Langit sore di atas kota tampak kelabu, seolah meniru suasana hati Zidan sore itu. Angin menerpa kandang raksasa yang berdiri di pinggiran kota. Di balik panggung, suara musik, sorak-sorai, dan lampu warna-warni terdengar samar tapi semua itu terasa begitu jauh dari dirinya.
Ia duduk di dalam kandang besar yang kini sepi, ditemani oleh satu-satunya sahabat sejatinya: seekor harimau Bengal jantan bernama Alpen. Bulunya oranye keemasan, namun kini terlihat kusam. Nafasnya tersengal-sengal, tubuhnya lemah, dan mata emasnya kehilangan cahaya yang dulu menakutkan semua orang.
“Berlari, melompat, mengaum,” gumam Zidan lirih sambil menepuk-nepuk lembut kepala harimau itu. “Berlari, melompat, mengaum... ayo, satu kali lagi, Alpen.”
Tapi harimau itu hanya menatapnya, tenang, pasrah. Ia tahu waktunya hampir habis. Dan Zidan tahu juga.
Tangannya bergetar saat memeluk tubuh besar binatang itu. Dalam setiap helaan napasnya, kenangan masa lalu berkelebat, hari-hari ketika Alpen masih muda dan liar, ketika ia melatihnya dengan kesabaran.
Zidan tidak pernah punya keluarga. Ia dibesarkan oleh mendiang kakeknya yang sudah meninggal beberapa tahun lalu, hidup dari pekerjaan kasar hingga akhirnya direkrut oleh Kebun Binatang Safari. Sejak itu, Alpen adalah satu-satunya keluarga yang ia punya.
Harimau itu bukan sekadar hewan bagi Zidan. Ia sahabat, pelindung, sekaligus alasan untuk terus hidup. Namun kini, di depan matanya, keluarga satu-satunya itu sedang sekarat.
Ia menatap wajah binatang itu dengan mata memerah. “Kau tahu, Alpen… orang bilang aku gila karena lebih peduli padamu daripada manusia. Tapi mereka tidak tahu, hanya kau yang selalu menatapku tanpa kebencian.”
Harimau itu menggerakkan telapak kaki depannya, menyentuh tangan Zidan lemah-lembut. Lalu, untuk terakhir kalinya, ia mengeluarkan suara pelan, bukan auman, tapi seperti bisikan lembut yang hanya bisa dimengerti oleh satu orang di dunia ini.
“Roarrr…”
Suaranya memudar, dan tubuhnya pun diam. Zidan menatap kosong, seolah seluruh warna di dunia menghilang. Udara tiba-tiba begitu berat, waktu seakan berhenti berputar.
Air mata jatuh tanpa suara.
“Tidak, Alpen… buka matamu… ayo, sekali lagi…” suaranya parau, nyaris tak terdengar. Tapi tubuh besar itu tetap tak bergerak. Hangat yang dulu ada di bawah tangannya perlahan menghilang, berganti dingin yang menusuk hati.
Ia menunduk, keningnya menyentuh kepala harimau itu. “Tidurlah,” bisiknya lirih. “Kau sudah berjuang terlalu lama.”
Di luar, hiruk pikuk pengunjung kebun binatang masih menggema, tanda bahwa dunia tidak berhenti walau satu jiwa baru saja pergi.
Zidan, begitulah namanya. Ia hanya tahu satu kata itu saja. Jujur saja, Zidan tak pernah tahu tentang asal-usul keluarganya, dan dirinya tak pernah ingin tahu. Yang jelas bagi Zidan, keluarganya telah membuangnya karena kecacatan yang dirinya miliki.
Memang sejak lahir, Zidan memiliki kecacatan fisik berupa tangan buntung. Seumur hidupnya dia hanya punya tangan kanan. Karena kecacatan itu pula Zidan selalu dibully dan tak punya teman.
Malam itu, hujan turun pelan.
Kebun binatang telah sepi, hanya suara tetesan air yang menemani Zidan yang duduk di samping tubuh Alpen yang sudah dibungkus kain putih. Ia tidak bisa berhenti memandangi wajah harimau itu.
“Berlari, melompat, mengaum,” ulang Zidan pelan. Kalimat itu kini hanya gema dari masa lalu.
Petir menyambar di langit.
Dalam cahaya kilat sesaat, Zidan menatap cincin kecil yang tergantung di lehernya, cincin giok tua yang dulu diberikan oleh kakeknya. Lelaki tua itu berkata cincin itu membawa keberuntungan, simbol penjaga dari roh binatang besar. Tapi malam itu, cincin itu terasa berat. Seolah menyerap kesedihan yang menyesakkan dada.
Sementara itu, di halaman luas kebun binatang, masuk sebuah mobil mewah. Seorang lelaki berjas rapi keluar dari mobil. Ia melangkah cepat sambil di iringi dua pengawalnya kala itu.
Lelaki berjas rapi tersebut menghampiri petugas keamanan kebun binatang yang berjaga. "Permisi, bisakah kami menemui karyawan yang bernama Zidan? Katanya dia bekerja jadi pawang harimau di sini," ujarnya.
"Oh si tangan buntung dan aneh itu? Dia kulihat belum pulang dari tadi. Ada apa ya, Pak? Apa dia melakukan pelecehan seperti Agus yang viral itu?" tanggap Sobri, si petugas keamanan.
Dahi lelaki berjas rapi itu berkerut dalam. Ia menatap tajam petugas keamanan seakan marah dengan ucapannya.
"Maaf, Pak. Kalau bagitu aku antarkan ke tempatnya sekarang," ujar Sobri sambil berjalan lebih dulu.
Lelaki berjas rapi dan dua pengawalnya segera mengikuti. Mereka berjalan menuju tempat dimana Zidan berada.
Sementara itu, tepatnya di sebuah gedung pencakar langit. Seorang lelaki berwajah serupa Zidan baru masuk ke dalam penthousenya. Ia menggandeng dua wanita sekaligus. Mencium bibir dua wanita itu secara bergantian dengan ganas.
Zayan Adi Nugroho namanya. Ia diketahui merupakan anak tunggal keluarga Nugroho yang dikenal sebagai keluarga crazy rich. Bisnis propertinya diketahui adalah yang tersukses di Asia.
Tahun ini Zayan dipastikan akan menjadi direktur utama untuk menggantikan ayahnya. Setidaknya itulah yang diyakini Zayan. Sejak kecil, dia sudah terbiasa hidup dalam kemewahan. Sehingga Zayan selalu merasa apa yang di inginkannya harus dimiliki.
Kini Zayan sudah berada di kamar dengan dua wanitanya. Ia menyuruh dua wanita itu telanjang dan saling mencumbu duluan di ranjang.
Dengan senyuman miring, Zayan mulai melepas seluruh pakaian. Atensinya tertuju pada dua wanita yang ada di ranjang. Sungguh, dua wanita itu mampu membangkitkan hasratnya sampai ke level tertinggi.
Zayan segera ikut bergabung ke ranjang. Namun sebelum itu, dia mengambil serbuk ekstasi terlebih dahulu dan menghirupnya. Ia juga tak lupa membaginya dengan dua wanitanya. Dalam pengaruh obat-obatan, Zayan dan dua wanitanya bermain di ranjang.
Zayan memang begitu, karena terbiasa hidup enak, dia jadi kehilangan arah. Semakin dewasa, dia malah tambah nakal dan sulit di atur. Sehingga membuat Jefri sang ayah, berpikir dua kali untuk menyerahkan warisannya pada Zayan.
Selain suka bermain wanita, Zayan diketahui pemakai narkoba. Ia sering berkelahi dan berbuat onar. Meski kelakuan nakalnya tak pernah ketahuan media, namun tetap saja membuat Jefri dan istrinya pusing. Apalagi jika mereka harus menggunakan banyak uang untuk membersihkan nama Zayan.
Masalah terakhir yang dibuat Zayan adalah pemukulan. Dia hampir membuat orang itu mati, dan itulah yang membuat Jefri mengambil keputusan untuk menemui saudara kembar Zayan.
Saudara kembar Zayan tidak lain adalah Zidan. Sebuah kesalahan besar yang disesali Jefri adalah menyembunyikan Zidan dari dunia hanya karena anak itu cacat. Itu semua Jefri lakukan karena hasutan dari orang tua dan istrinya sendiri yang menyebut kecacatan Zidan adalah kesialan.
Kini Jefri berdiri di balkon. Menatap pintu gerbang dengan serius. Menunggu sebuah mobil yang akan datang dengan membawa Zidan kembali.
"Kau yakin akan melakukan ini?! Bukankah kita harusnya beritahu Zayan dulu?" timpal Leony, istrinya Jefri. Dia sebenarnya tak setuju dengan keputusan Jefri yang ingin kembali membawa Zidan.
"Bukankah memberitahu anak itu adalah tugasmu? Dia lebih mendengarkanmu dibandingkan aku!" sahut Jefri.
"Itu karena kau selalu keras padanya. Bagaimana dia mau mendengarkanmu?!" balas Leony.
"Bagaimana aku tidak keras, Leony! Anak itu sudah sering sekali berbuat onar! Yang hanya bisa dia lakukan adalah membuat masalah, dan parahnya dia bahkan tidak pernah bisa menyelesaikan masalahnya sendiri!"
"Tapi dia anakmu juga!"
"Tapi Zidan juga anakku! Dia sudah lama menderita karena keegoisanmu! Harusnya sebagai ibu, kau lebih mengerti! Harusnya kau yang lebih memperdulikan Zidan!"
"Aku?! Memperdulikan anak cacat itu? Dia hanya akan jadi bahan ejekan. Entah apa yang merasukimu sekarang, tapi aku yakin kau akan menyesalinya! Anak itu hanya akan membawa sial!"
Leony pergi begitu saja karena kesal. Sementara Jefri kembali menatap pintu gerbang.
Zidan masih berada di samping tubuh Alpen yang sudah tak bernyawa. Ia masih meratapi kepergian binatang loreng tersebut.
Dari kejauhan terdengar suara langkah kaki mendekat. Sobri membuka pintu dan berucap, "Eh Zidan! Ada yang mau bertemu denganmu!"
"Bilang aku nggak ada. Aku sekarang tidak ingin bertemu siapapun," sahut Zidan.
"Astaga! Bangkai harimau itu belum dibawa juga?" timpal Sobri.
Zidan kali ini hanya diam. Ia hanya memasang tatapan tajam pada Sobri.
"Bisakah aku bicara padamu, Tuan Zidan?" sosok lelaki berjas rapi muncul. Dia berjalan mendekati Zidan dan kembali berkata, "Kenalkan aku Roby. Aku sekretaris pribadi Tuan Jefri Nugroho. Bisakah kita bicara?"
Dahi Zidan berkerut dalam. Menatap Roby dengan terheran-heran. Apalagi saat lelaki paruh baya itu membungkuk ke arahnya. Sungguh, hal yang sangat ganjil dilakukan. Terlebih pada orang biasa dan cacat seperti Zidan.
Sementara itu, Sobri sangat terkejut. Terutama saat mendengar Jefri Nugroho disebut oleh Roby. Semua orang mengenal pebisnis sukses itu. Akan tetapi Zidan? Dia lebih peduli pada binatang di Safari.
"Apa aku bermimpi? Kau memanggilku tuan dan membungkuk padaku? Anjing di kebun binatang ini bahkan enggan melakukannya," pungkas Zidan.
Roby tersenyum. "Aku akan menjelaskan semuanya jika kau bersedia bicara," tuturnya.
Zidan mengangguk. Dia lantas menjauh dari jasad Alpen. Zidan duduk di bangku panjang dekat kandang harimau bersama Roby. Di dalam kandang terlihat ada beberapa harimau yang telah tidur.
"Kau itu adalah anak kandung Jefri Nugroho. Saudara kembar Zayan Ali Nugroho. Mereka adalah keluargamu, dan Tuan Jefri ingin kau kembali," jelas Roby.
Zidan terperangah. "Apa aku nggak salah dengar? Setelah bertahun-tahun lamanya ada orang yang mengaku-ngaku sebagai keluargaku? Kau pasti bercandan kan?" tanggapnya.
"Mendiang kakekmu, dia adalah kenalan ayahmu. Selama ini Tuan Jefri tidak pernah berhenti mengirimkan uang padanya. Tapi semenjak kakek Burhan meninggal, dia putus kontak denganmu. Meskipun begitu, Tuan Jefri terus mengirim uang. Kau tahu tentang rekening kakekmu kan?" ujar Roby.
Kening Zidan mengernyit. Sebab kakeknya tidak pernah memberikan apapun selain cincin giok yang sekarang dirinya jadikan kalung.
Zidan lantas mencoba mengingat-ingat lagi. Sampai dia teringat kalau pernah bibinya datang ke rumah dan mengambil sesuatu dari kamar kakeknya.
"Aku nggak tahu..." lirih Zidan. Entah kenapa dia merasa dikhianati oleh kakeknya sendiri. Terlebih selama hidup bersama sang kakek, Zidan selalu hidup susah.
Mata Zidan bergetar. Meluruhkan tetesan air mata satu per satu. Ia terdiam dan merasa marah. Rasanya Zidan kehilangan kepercayaan pada semua manusia sekarang. Apalagi setelah merasa kalau kakeknya juga berkhianat. Zidan berpikir kakeknya sengaja menyimpan uang dari Tuan Jefri untuk keluarganya di kampung. Jujur saja, dia beberapa kali pernah menemani sang kakek mengirim uang lewat bank.
"Ikutlah bersamaku, Tuan Zidan. Kau tidak perlu lagi bekerja berat di kebun binatang. Hidupmu akan jadi lebih baik," kata Roby.
"Apa jaminan kalau hidupku bisa berubah jadi lebih baik?!" balas Zidan.
"Orang tuamu kaya raya, Tuan. Kau bisa memiliki apapun dengan uang."
"Uang?" Zidan terkekeh sinis. "Uang hanya membuat manusia buta," lanjutnya.
"Jadi kau tak akan ikut?" Roby memastikan.
"Bilang pada Tuan Jefri. Kalau dia mau aku kembali, buat kebun binatang ini jadi milikku terlebih dahulu!" tegas Zidan. Dia yakin Jefri tidak akan mampu melakukannya. Apalagi Zidan tahu kebun binatang Safari tempatnya bekerja sekarang sangat disayangi pemiliknya.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!