NovelToon NovelToon

Mahar Satu Miliar Dari Pria Impoten

01. Satu Miliar Untuk Mahar

Suasana sore di rumah besar keluarga Pratama terasa menekan. Di ruang tamu berlangit tinggi dengan lampu kristal yang menggantung megah, aroma teh melati bercampur dengan ketegangan yang kental.

Tuan dan Nyonya Pratama duduk di kursi utama, wajah mereka tegang namun penuh harap. Di hadapan mereka tergeletak sebuah undangan berlapis emas dengan lambang keluarga Argantara.

“Ini kesempatan yang tidak datang dua kali, Asyanti,” ujar Hasna Pratama pelan tapi tegas. “Keluarga Argantara itu bukan keluarga sembarangan. Mahar satu miliar, dan nama kita akan naik di kalangan elit. Kau harus menerima lamaran ini.”

Asyanti yang duduk di seberang mereka menatap ibunya tidak percaya. Wajah cantiknya memucat, dan tangan yang memegang cangkir teh bergetar pelan.

“Ma ... kamu mau menjodohkanku dengan orang itu?” suaranya meninggi, hampir bergetar karena marah. “Dengan pria yang katanya ... impoten?”

Suara tawa kecil lolos dari bibirnya yang merah muda. Tawa getir.

“Untuk apa, Ma? Untuk jadi bahan tertawaan? Semua orang tahu gosip itu! Dia cacat! Apa Mama tega menjual anak kandung sendiri hanya karena uang?”

Tuan Pratama menghempas napas berat.

“Mulutmu jangan seenaknya, Asyanti! Kau bicara seolah kami menjerumuskanmu. Padahal ini peluang! Nama kita akan tercatat di surat pernikahan keluarga Argantara, kau tahu artinya itu?”

“Artinya, aku menikahi pria yang tak bisa menyentuhku!” bentak Asyanti.

Air matanya mengalir deras, bukan karena sedih tapi karena marah.

“Aku menolak, Papa! Sekalipun dunia menawarkanku satu miliar, aku tidak akan mau menghabiskan hidupku dengan pria yang bahkan tidak bisa memuaskan istrinya!”

Suasana membeku, hanya terdengar detik jam dinding yang berdetak pelan.

Di sudut ruangan, Arum Mustika Ratu berdiri diam. Ia mengenakan baju sederhana warna biru muda, rambutnya dikuncir rendah. Tatapannya kosong, tapi telinganya menangkap setiap kata yang keluar dari mulut keluarga yang membesarkannya.

Asyanti berdiri, menatap Arum dari ujung kepala hingga kaki, lalu mendecih.

“Kalau mereka begitu butuh pengantin wanita, suruh saja Arum! Dia pasti mau, kan, Ma? Dia tidak punya masa depan, tidak punya siapa-siapa. Lagipula, uang itu bisa membayar semua biaya yang sudah keluarga ini keluarkan untuk membesarkannya.”

Kata-kata itu menusuk dada Arum seperti belati. Namun, tidak ada yang membelanya. Bahkan Tuan dan Nyonya Pratama hanya diam, seolah kata-kata itu masuk akal.

“Benar juga,” ujar Hasna akhirnya, suaranya datar. “Kalau Asyanti menolak, maka Arum bisa menggantikan. Lagi pula, oma Hartati tidak meminta gadis bangsawan, hanya gadis yang bersedia menikah dengan Tuan Reghan Argantara.”

Ruang tamu itu hening kembali. Semua mata kini tertuju pada Arum. Gadis itu menarik napas panjang, menunduk sejenak, lalu mengangkat wajahnya perlahan, sorot matanya tajam, tapi tenang.

“Baik,” katanya lirih, namun jelas.

“Aku bersedia menikah dengan Reghan Argantara.”

“Asal satu hal,” lanjutnya tegas. “Setelah aku menikah, semua hutang budi yang selama ini keluarga Pratama berikan padaku ... lunas. Aku tidak ingin disebut menumpang, tidak ingin lagi diingatkan bahwa aku ini bukan siapa-siapa, setelah ini, aku bebas.”

Kata-katanya membuat ruangan itu seolah berhenti bernapas. Tuan Pratama menatapnya dengan ekspresi tak percaya, sementara Asyanti tersenyum sinis.

“Lihatlah, Papa, Mama,” ejek Asyanti sambil menyilangkan tangan. “Dia bahkan lebih murah dari yang aku kira. Menjual diri demi uang dan kebebasan.”

Arum menatapnya lurus, tanpa air mata. “Kau benar, Asyanti. Tapi setidaknya, aku tahu apa yang kupilih. Aku menjual diriku ... untuk terbebas dari belas kasihan kalian.”

Setelah itu, keheningan kembali mengisi ruangan. Tak ada yang berani berbicara, hingga akhirnya Tuan Pratama mengangguk pelan.

“Baiklah, kalau itu keputusanmu, Arum. Aku akan menghubungi pihak Argantara. Kau akan mewakili keluarga ini.”

Arum hanya menunduk. Seketika, hatinya terasa kosong. Ia tidak tahu apakah keputusannya benar. Tapi yang jelas, mulai saat itu hidupnya bukan lagi miliknya.

Malam itu, saat semua orang sudah tertidur, Arum berdiri di balkon kamarnya yang kecil. Angin malam mengelus rambutnya, membawa bau bunga kamboja dari halaman belakang. Ia menatap langit, berusaha meyakinkan dirinya sendiri.

“Ini bukan tentang cinta,” gumamnya lirih. “Ini tentang kebebasan.”

Dan jauh di tempat lain, di rumah megah keluarga Argantara, seorang pria duduk di kursi roda dengan pandangan dingin menatap foto lamanya bersama Alena.

“Wanita datang hanya karena uang,” desisnya lirih, penuh kebencian. Tatapannya tajam, gelap, nyaris tak menyisakan harapan.

Keesokan harinya.

Rumah keluarga Pratama penuh sesak. Mobil-mobil mewah berderet di halaman depan, dan suara tamu berdesir di antara aroma bunga melati yang menghiasi ruang utama. Di tengah ruangan berdiri meja panjang, penuh seserahan, perhiasan emas, kain batik halus, dan koper hitam yang di dalamnya berisi uang tunai satu miliar rupiah. Semua mata menatap pada koper itu bukan pada pengantin perempuan.

“Semua sudah sesuai permintaan Oma Hartati,” ucap salah satu utusan keluarga Argantara dengan nada kaku. “Uang tunai satu miliar rupiah, lengkap dengan perhiasan pengiring.”

Tuan Pratama tersenyum puas serta Hasna, tampak sibuk menyambut para tamu dengan wajah bahagia yang dibuat-buat. Sementara itu, di sudut ruangan, Arum duduk diam mengenakan gaun putih gading sederhana, tanpa riasan berlebihan. Wajahnya pucat, tangannya gemetar memegang buket mawar putih yang disiapkan untuk prosesi.

Dia masih belum percaya bahwa semuanya nyata bahwa dirinya akan menikah hari ini. Suara mesin mobil berhenti di depan rumah. Suara langkah terburu-buru dari luar, lalu bisik-bisik kecil terdengar di antara tamu.

“Dia datang ... pewaris Argantara itu...”

“Benarkah dia lumpuh?”

“Aku dengar dia tak bisa berdiri lagi sejak kecelakaan itu ... dan katanya dia ... impoten. Kasian sekali hidup Arum habis hanya untuk merawat pria itu,"

Pintu utama perlahan terbuka. Dua pria bersetelan hitam masuk lebih dulu, diikuti seorang wanita tua berwajah tegas, Oma Hartati. Di belakang mereka, seorang pria tampan dengan rahang tegas, mata tajam, dan tubuh tegap meski duduk di atas kursi roda didorong masuk perlahan, dia Reghan Argantara.

Langkah waktu seolah berhenti. Suasana ruangan yang tadi penuh bisik-bisik kini hening total. Semua mata tertuju padanya, pria yang dulu dikagumi, lalu dijatuhkan gosip, kini hadir dengan tatapan dingin yang menusuk udara. Tatapan itu akhirnya berhenti di Arum. Sesaat, pandangannya seperti menelusuri wajah gadis itu, polos, tenang, tapi di balik matanya ada sesuatu yang membuat dada Reghan mengeras dan bergumam lirih.

'Jadi ... ini wanita yang menjual dirinya untuk uang,' gumamnya dingin dalam hati.

Oma Hartati menatap keduanya bergantian, lalu tersenyum lembut. “Mulai hari ini, kau, Reghan, tidak sendirian lagi. Dan kau, Arum, akan menjadi istri sah cucuku. Pernikahan kalian telah kami daftarkan di catatan sipil. Semua sudah resmi.”

Arum menunduk, suaranya nyaris tak terdengar. “Terima kasih, Nyonya.”

Namun saat pandangannya bertemu dengan mata Reghan, hatinya bergetar, bukan karena cinta, tapi karena tatapan pria itu terasa tajam, dingin, bahkan menusuk. Seolah kehadirannya adalah sebuah penghinaan.

Reghan memandangi Arum tanpa senyum.

“Jadi, kau wanita yang menerima satu miliar untuk menikah denganku?” ucapnya datar, namun setiap katanya seperti cambuk, semua orang di ruangan itu tersentak.

Arum menelan ludah, mencoba tegar.

“Ya,” jawabnya pelan, tapi tegas. “Karena dengan cara ini, aku bisa melunasi hutang budiku pada keluarga yang membesarkanku.”

Sudut bibir Reghan menegang, membentuk senyum sinis.

“Jujur sekali, setidaknya aku tahu, istriku bukan tipe wanita yang berpura-pura mencintai.”

Oma Hartati menatap cucunya dengan kecewa.

“Reghan!” tegurnya tajam. Namun pria itu tak menoleh, dia hanya mengalihkan pandangan dari Arum, seolah wajah gadis itu tak pantas dilihat lebih lama. Upacara singkat dimulai, hanji pernikahan dibacakan di hadapan penghulu dan para saksi. Semua berlangsung cepat tanpa genggaman tangan, tanpa senyum, tanpa tatapan hangat seperti pengantin pada umumnya.

Sore itu, pesta usai.

Tamu-tamu beranjak pergi, meninggalkan ruangan yang kini hanya berisi suara denting gelas dan langkah pelan. Arum berdiri di ambang pintu, menatap mobil hitam yang siap membawanya menuju rumah keluarga Argantara rumah barunya, rumah suaminya yang tak menginginkannya.

Sebelum masuk ke mobil, Oma Hartati menggenggam tangannya lembut.

“Jangan takut, Nak. Reghan memang keras, tapi hatinya tidak seburuk yang terlihat.”

Arum hanya tersenyum samar. “Saya tidak takut, Nyonya. Saya hanya belum tahu ... bagaimana caranya menjadi istri bagi pria yang tidak menginginkan saya.”

Oma terdiam, dan dari dalam mobil, Reghan hanya melirik lewat kaca, dingin, kaku, seolah dunia di sekitarnya tak berarti.

"Masuk! Atau ku tinggalkan," itulah ucapan dingin lainnya yang Arum dengar, dia pun bergegas masuk setelah pintu mobil dibuka oleh sopir.

02. Rumah baru

Langit mulai meredup ketika mobil hitam yang ditumpangi Arum berhenti di halaman megah kediaman keluarga Argantara. Gerbang besi tinggi berlapis ukiran emas perlahan terbuka, memperlihatkan taman luas dengan air mancur di tengahnya, serta rumah bergaya kolonial yang berdiri kokoh di ujung jalan berbatu.

Arum menatapnya dari balik jendela, napasnya tercekat. Rumah itu indah tapi entah mengapa, hawa di sekitarnya terasa dingin, sunyi, dan berbahaya seperti tempat di mana senyum bisa berubah menjadi racun dalam sekejap. Ketika pintu mobil dibuka, udara sore yang lembab menerpa wajahnya. Dia menjejakkan kaki ke pelataran untuk pertama kalinya sebagai Nyonya Argantara. Tapi langkahnya terasa berat.

Oma Hartati keluar lebih dulu, disambut dengan hormat oleh para pelayan dan asisten rumah tangga yang berbaris rapi di depan pintu. Lalu, di ambang pintu, berdirilah empat orang, Tuan Argantara, Maya, Elion, dan seorang wanita bergaun merah yang menawan yaitu, Alena.

Arum menatap mereka satu per satu. Tuan Argantara tampak gagah meski rambutnya memutih, auranya penuh wibawa dan kekuasaan. Di sampingnya, berdiri Maya, wanita cantik dengan senyum yang terlihat manis di wajah, tapi dingin di mata. Dan sedikit di belakang mereka, seorang pria muda tinggi, tampan, dengan senyum percaya diri. Elion Argantara, adik tiri Reghan.

Sementara wanita di samping Elion, dengan gaun merah yang anggun dan tatapan licin penuh rasa ingin tahu adalah Alena. Arum tidak tahu siapa dia, tapi sejak pertama kali menatap mata Alena, jantungnya bergetar aneh. Wanita itu memandangnya seperti seseorang yang menyimpan rahasia besar di balik senyum ramahnya.

“Selamat datang di rumah keluarga Argantara, Nyonya muda,” sapa Maya lembut. Senyumnya menawan, tapi entah kenapa, Arum merasa dingin menjalar dari ujung jari hingga tengkuknya.

“Terima kasih, Nyonya,” jawab Arum pelan sambil menunduk sopan.

Oma Hartati tersenyum puas. “Mulai sekarang, Arum tinggal di sini. Kalian semua tahu, pernikahan mereka sah di mata hukum dan agama.”

Tuan Argantara mengangguk. “Aku mendengarnya. Semoga pernikahan kalian membawa ketenangan di rumah ini.”

Nada suaranya berat, dalam, dan mengandung sesuatu yang sulit ditebak apakah restu, atau sekadar basa-basi.

Arum menatap pria itu sopan. “Terima kasih, Tuan.”

Di sampingnya, Reghan masih duduk di kursi roda, wajahnya tetap tanpa ekspresi, hanya sesekali memandangi wajah-wajah yang menatapnya. Pandangan matanya berhenti sejenak pada Alena dan Elion. Suasana seketika menegang, tatapan mata mereka bertemu antara Reghan dan Alena.

Ada sesuatu di udara yang membuat Arum menggigit bibir bawahnya tanpa sadar. Ia tak tahu apa hubungan di antara mereka, tapi jelas, tatapan itu bukan tatapan biasa.

Maya cepat memecah keheningan dengan tawa lembutnya. “Mari, kita masuk dulu. Makan malam sudah disiapkan.” Ia melangkah ke depan, mempersilakan mereka masuk.

Arum berjalan perlahan di belakang Oma, sementara dua pelayan mendorong kursi roda Reghan. Setiap langkahnya terasa berat. Tatapan orang-orang di ruangan itu seperti pisau yang mengupas kulitnya perlahan.

Di meja makan besar, suasana tampak hangat di permukaan, lilin menyala lembut, hidangan tersusun rapi, semua terlihat mewah dan sempurna. Tapi di bawah semua itu, Arum bisa merasakan sesuatu yang menekan, seperti udara yang menahan napas.

Tuan Argantara duduk di ujung meja, memimpin jamuan. Di sisi kanan, Maya duduk anggun, sementara Elion dan Alena duduk berdampingan di sisi kiri. Reghan dan Arum ditempatkan berhadapan langsung dengan mereka.

“Bagaimana perjalanan kalian?” tanya Maya dengan senyum palsu yang terlalu manis. “Kau pasti lelah, Arum. Rumah ini besar, tapi jangan khawatir. Semua pelayan siap membantumu.”

“Terima kasih, Nyonya,” jawab Arum sopan.

Elion menyandarkan punggungnya ke kursi, lalu melirik Arum dengan senyum menggoda. “Kau beruntung, Nona. Tidak banyak wanita yang bisa duduk di sini sebagai Nyonya muda Argantara.”

Nada suaranya halus, tapi mata Reghan menajam tajam, menusuk Elion dalam diam. Alena menimpali lembut, “Benar, banyak wanita akan iri pada posisi sepertimu.”

Ia menatap Arum dalam-dalam, lalu dengan santai menggenggam tangan Elion di atas meja.

“Termasuk wanita yang dulu pernah menantikan kursi itu.”

Arum mengerutkan kening kecil, dia tak mengerti. Sementara Reghan memalingkan wajah, rahangnya menegang, matanya membeku menatap ke arah piring.

Oma Hartati yang memperhatikan semuanya menatap tajam ke arah Alena, lalu berkata dingin, “Makanlah, tidak perlu basa-basi berlebihan.”

Percakapan pun mereda, hanya tersisa denting sendok dan pisau yang beradu pelan. Arum mencoba menelan makanannya, tapi rasanya seperti pasir. Ia sadar, rumah megah ini bukan rumah tapi arena. Setiap senyum di meja itu terasa seperti jebakan.

Malam itu, setelah jamuan berakhir, Oma Hartati menggandeng tangan Arum.

“Nak, jangan biarkan tatapan atau kata mereka menjatuhkanmu. Di rumah ini, semua orang pandai bersembunyi di balik topeng.”

Arum menatap wajah tua itu, suaranya lirih, “Saya tahu, Oma. Tapi bagaimana jika topeng itu adalah satu-satunya yang membuat mereka tampak manusia?”

Oma terdiam, sementara di seberang lorong, Reghan memandangi punggung istrinya yang menjauh, matanya redup dingin tapi dalam.

Rumah besar keluarga Argantara tampak mewah di luar, tapi di dalamnya, setiap cinta menyimpan dendam, dan setiap senyum menyembunyikan luka.

Arum, berbalik setelah berbicara dengan Oma Hartati, dia mendapati Reghan di lorong rumah di tempat semula dia berdiri.

“Aku sudah menyuruh pelayan menyiapkan kamar masing-masing,” suara Reghan terdengar pelan tapi tegas. “Kau tidur di kamar sebelah.”

Arum menunduk sopan. “Baik.”

Ia ingin bicara sesuatu entah berterima kasih, entah sekadar menanyakan keadaan, tapi suara itu seperti tertelan oleh kesunyian. Reghan sudah memutar kursi rodanya, beranjak menuju kamar utama tanpa menoleh lagi. Arum berdiri di sana cukup lama.

Hujan di luar makin deras, menimpa atap rumah dan mengirimkan gema lembut ke seluruh ruangan.

Malam itu, Arum berdiam di kamar barunya, kamar luas dengan balkon yang menghadap taman belakang. Ia membuka jendela, membiarkan angin malam dan aroma hujan masuk. Matanya menatap kosong ke arah pepohonan yang berayun lembut.

Di sisi lain dinding, Reghan duduk di kursi roda di depan jendela kamarnya sendiri. Tangannya menggenggam segelas minuman, matanya menerawang ke luar, memandangi hujan yang jatuh deras. Bayangan masa lalu menari-nari di benaknya, tatapan Alena, suara tawa lembutnya, malam ketika ia berjanji akan menikahinya dan pagi ketika semuanya hancur karena kecelakaan yang merenggut bukan hanya kakinya, tapi juga kepercayaannya pada cinta.

Namun, dia tahu Arum tidak bersalah. Tapi yang membuatnya marah adalah kenyataan bahwa gadis itu menikah dengannya karena uang, bukan karena cinta, bukan karena peduli. Dan itu cukup baginya untuk menolak semua bentuk kelembutan.

Pintu kamarnya diketuk pelan.

“Tuan Reghan...” suara lembut itu terdengar dari balik pintu. “Aku hanya ingin memastikan, apa Tuan sudah ingin tidur?”

Tak ada jawaban, Reghan menggenggam gelas minumannya kuat hingga hampir retak.

“Kalau Tuan butuh sesuatu, aku ada di kamar sebelah.”

Masih hening, beberapa detik kemudian, Reghan akhirnya berkata tanpa menoleh, suaranya datar dan dingin, ketika mendengar suara pintu terbuka perlahan.

“Aku tidak butuh apa pun darimu. Dan mulai malam ini, jangan pernah masuk ke kamarku tanpa izin.”

Suara itu menampar lebih keras dari pukulan. Arum menunduk, menggenggam gaun tidurnya erat-erat.

“Baik, Tuan.”

Ketika langkah kakinya menjauh, Reghan memejamkan mata. Ia menyesal, tapi tak ingin menyesal. Sebab rasa iba bisa berubah menjadi cinta, dan cinta adalah sesuatu yang sudah lama ia kubur.

Malam beranjak larut. Arum masih terjaga, duduk di tepi ranjang sambil menatap cincin di jarinya. Cincin yang tampak berkilau tapi terasa hampa. Ia tak menangis, dia hanya diam, seperti batu yang sudah menerima takdirnya.

Sementara dari kamar sebelah, suara roda kursi Reghan terdengar pelan, dia tidak tidur, hanya menatap foto lama di tangannya, foto seorang wanita tersenyum di tepi danau.

“Cinta itu mati bersamamu, Alena.” gumam Reghan. Di rumah yang megah itu, dua jiwa terkurung di dalam pernikahan tanpa cinta. Satu mencoba bertahan dengan hati yang pasrah, satu lainnya bertahan dengan luka yang menolak sembuh.

03. Dia bereaksi padanya.

Cahaya matahari menyelinap lembut di sela tirai kamar. Arum bangun lebih awal, masih dengan perasaan asing terhadap rumah besar itu. Dia melirik jam di meja rias, lalu bergegas mengenakan pakaian sederhana dan merapikan rambutnya. Hari pertamanya sebagai istri keluarga Argantara dimulai dan entah kenapa, jantungnya berdetak sedikit lebih cepat dari biasanya.

Saat hendak keluar dari kamar, langkahnya terhenti. Suara keras terdengar dari kamar sebelah, kamar Reghan.

“Brengsek! Sial!" Suara bentakan itu disertai bunyi benda jatuh. Arum sontak panik, menempelkan telinga ke pintu. Ada suara air mengucur dari kamar mandi, lalu dentuman berat lagi, disusul desahan tertahan seperti orang kesakitan.

Tanpa pikir panjang, Arum memutar gagang pintu.

“Tuan Reghan?”

Tak ada jawaban dari panggilan Arum, dia menelan ludah, lalu membuka pintu lebih lebar dan masuk. Suara air semakin jelas, bercampur dengan helaan napas berat. Dari arah kamar mandi yang pintunya sedikit terbuka, terdengar lagi suara Reghan, penuh frustrasi dan kemarahan.

“Aku akan melakukannya sendiri!"

Arum menahan napas, sesuatu dalam suaranya terdengar bukan sekadar marah, tapi juga terluka. Ia akhirnya melangkah cepat, membuka pintu kamar mandi tanpa mengetuk.

Pandangan pertamanya langsung membuatnya terdiam. Reghan tengkurap di lantai marmer yang basah, tanpa sehelai benang pun di tubuhnya. Air pancuran masih menyala, meneteskan sisa hujan buatan di sekujur punggungnya yang dipenuhi bekas luka lama. Salah satu tangannya bergetar berusaha menopang tubuh, tapi lemah.

“Keluar!” bentaknya parau dan tajam saat melihat Arum berdiri di ambang pintu kamar mandi, mencoba menegakkan diri tapi gagal.

Air jatuh membasahi rambutnya yang hitam, menutupi sebagian wajahnya yang tegang dan penuh amarah.

Arum menatapnya sejenak, jantungnya berdegup kencang, tapi bukan karena malu hanay saja karena iba. Ia melangkah masuk, mengambil handuk besar yang tergantung, lalu berjongkok di samping Reghan.

“Aku bilang keluar!” suaranya makin keras, nyaris bergetar oleh ego yang terluka. Namun Arum tetap diam, dengan hati-hati membungkus handuk di sekitar tubuh Reghan, lalu menarik napas dalam-dalam. “Tuan akan kedinginan kalau terus begini, aku hanya membantu.”

Reghan menatapnya dengan mata tajam, penuh bara, tapi tubuhnya tak kuasa menolak ketika Arum membantu memapahnya perlahan ke kursi roda yang terparkir di dekat pintu. Setiap sentuhan kecil dari tangan Arum seolah menjadi tamparan bagi harga dirinya.

“Jangan sentuh aku lagi,” desisnya pelan tapi menggigit. “Aku tidak butuh belas kasihanmu. Aku tahu kau di sini hanya karena uang.”

Arum menunduk, bibirnya bergetar kecil, tapi ia tetap membantu Reghan mengenakan baju mandi dengan tangan yang tenang.

“Kalau aku di sini karena uang,” ucapnya lirih, “biarlah uang itu yang bekerja hari ini untuk membantu Tuan berdiri.”

Reghan terdiam sesaat, lalu menepis tangan Arum kasar.

“Keluar!”

Arum menatapnya sejenak ada amarah, ada sedih, tapi lebih dari itu, ada kelelahan yang dalam. Dia berdiri perlahan, menunduk sopan. “Baik, Tuan.”

Langkahnya menjauh, meninggalkan aroma sabun dan air yang masih menetes di lantai.

Ketika pintu tertutup, Reghan menatap bayangan dirinya di cermin, tangan kanannya mengepal erat. Air mata yang tak seharusnya jatuh, menetes tanpa ia sadari.

“Lemah,” gumamnya getir. “Bahkan untuk membenci, aku masih butuh bantuan wanita itu.”

Sementara di luar, Arum berdiri memegang gagang pintu, menahan napas panjang. Hatinya berdenyut aneh, bukan karena takut, tapi karena iba pada seseorang yang begitu keras menolak kelembutan, padahal yang paling ia butuhkan hanyalah dipahami.

Reghan menatap kosong ke arah cermin besar di kamarnya. Bajunya masih setengah terbuka, air dari rambutnya menetes ke bahu, menuruni leher yang menegang. Napasnya belum stabil antara menahan marah dan malu. Semua harga dirinya seolah hancur saat tubuhnya terjatuh di lantai marmer tadi, tak mampu berdiri tanpa bantuan seorang wanita.

“Menjijikkan…” desisnya lirih, tangannya mengepal di atas pangkuan, menatap refleksi wajahnya sendiri yang tampak asing.

“Bahkan untuk berdiri saja aku butuh dikasihani.”

Dia memutar kursi rodanya pelan, menghadap ke jendela besar yang terbuka sedikit. Hujan semalam masih meninggalkan sisa embun di dedaunan taman belakang. Udara terasa lembap, sunyi. Ia menatap keluar, mencoba menenangkan diri. Namun, rasa frustrasi di dadanya tak kunjung reda.

Tiba-tiba, terdengar ketukan lembut di pintu.

Reghan tak menjawab. Pintu itu terbuka perlahan, menampakkan sosok Arum yang masuk dengan langkah hati-hati sambil membawa secangkir teh beruap. Wangi jahe segar menyebar di udara. Arum mendekat tanpa banyak bicara, meletakkan cangkir itu di atas nakas di samping kursi Reghan.

“Teh jahe,” ucapnya pelan, suaranya lembut tapi terdengar mantap.

“Setelah terlalu lama di air dingin, Tuan bisa masuk angin. Minumlah selagi hangat.”

Reghan menoleh perlahan, menatap perempuan itu dengan pandangan tajam.

“Aku tidak butuh perhatianmu.”

Arum tersenyum tipis, tidak tersinggung. “Saya tidak peduli Tuan butuh atau tidak. Saya hanya tidak ingin Oma marah kalau Tuan jatuh sakit.”

Kalimat itu membuat Reghan mendengus pelan, lalu memalingkan wajah.

“Pergilah,” katanya datar. “Aku bisa mengurus diriku sendiri.”

Namun sejenak kemudian, sesuatu membuat Reghan terdiam. Arum baru saja menunduk untuk mengambil pakaian bersih dari lemari kecil dan tanpa sadar berdiri begitu dekat dengannya. Aroma tubuh Arum campuran sabun bunga dan hangat kain yang bersih tercium samar di udara, membuat napas Reghan tersendat.

Tubuhnya menegang, ada sensasi aneh di dalam dirinya, sesuatu yang selama setahun ini diyakininya telah mati sejak kecelakaan, sejak dokter mengatakan kata yang paling ia benci, yaitu impoten.

Matanya menatap kosong ke arah lantai, jantungnya berdetak sedikit lebih cepat dari biasanya. Tidak, bahkan dia tidak menolak merasakannya. Ia hanya menolak percaya bahwa tubuhnya masih bisa bereaksi terhadap siapa pun terlebih terhadap wanita yang menikahinya karena uang.

“Aku bilang pergi,” katanya lagi, kali ini lebih pelan tapi bergetar. Arum menatapnya sebentar, kemudian dengan sabar mengambil kemeja yang terlipat rapi dan membantu Reghan mengenakannya. Gerakannya tenang, penuh kehati-hatian. Setiap kali jarinya menyentuh kulit Reghan, lelaki itu menahan napas antara amarah dan sesuatu yang sulit diakui. Begitu kancing terakhir terpasang, terdengar ketukan di pintu.

“Permisi, Tuan Reghan,” suara pelayan terdengar dari luar.

“Dokter pribadi Tuan sudah datang untuk pemeriksaan rutin.”

Arum menoleh ke arah pintu, lalu menjawab tenang, “Tolong tunggu sebentar, kami hampir selesai.”

“Baik, Nyonya,” jawab pelayan itu sopan.

Setelah suara langkah menjauh, Arum menatap Reghan.

“Tuan sebaiknya segera diperiksa. Dokter pasti sudah menunggu sejak pagi.”

Reghan menghela napas panjang. “Kau terlalu banyak ikut campur.”

Arum menunduk sedikit, suaranya nyaris seperti bisikan.

“Saya hanya melakukan apa yang seharusnya dilakukan seorang istri.”

Reghan terdiam, tidak ada yang ia balas. Hanya suara detik jam di dinding yang terdengar, berdetak lembut di antara mereka.

Beberapa detik kemudian, Arum melangkah menuju pintu, hendak keluar memanggil pelayan untuk mempersilakan dokter masuk. Tapi sebelum ia sempat membuka pintu, suara Reghan memecah keheningan di belakangnya datar, namun kali ini lebih tenang,

“Tinggalkan tehnya.”

Arum menatapnya sebentar, lalu mengangguk kecil. “Baik, Tuan.”

Ketika pintu tertutup, Reghan menatap cangkir beruap itu. Tangannya terulur pelan, menggenggam gagangnya dengan kaku. Ia menatap cairan hangat di dalamnya, dan untuk pertama kalinya sejak lama, tubuhnya berhenti bergetar. Entah karena teh itu, atau karena kehadiran seorang perempuan yang tidak ia inginkan tapi diam-diam mulai mengusik hatinya.

'Jika ini bereaksi pada Arum, mungkin akan bereaksi juga pada orang lain,' batin Reghan menatap pintu yang kini perlahan terbuka, dokter masuk dengan senyum kaku, menyapa Reghan pelan.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!