NovelToon NovelToon

Dia Yang Kau Pilih

Drama Di Sekolah

Aroma kapur barus dan buku usang berbaur di udara ruang kelas X-A SMA Negeri 2. Pukul sepuluh pagi, matahari sudah menusuk dari jendela kaca, menyinari debu-debu halus yang menari-nari di atas meja. Di depan kelas, berdiri Rika Nurbaya, 30 tahun, seorang guru honorer Bahasa Inggris yang memancarkan energi berlipat ganda, seolah ingin membuktikan bahwa statusnya hanyalah sebatas kertas administrasi, bukan batasan kemampuannya.

"So, to summarize, coba sebutkan kembali, apa esensi dari puisi Robert Frost ini? Selain tentang jalan setapak yang bercabang, apa yang dia sampaikan secara tersirat?” Suara Rika lembut, namun tegas.

Para siswa kelas X-A, generasi yang konon katanya sulit fokus, justru nampak antusias. Seorang siswa mengangkat tangan, matanya berbinar. Rika tersenyum tulus. Senyum itu, menurut beberapa guru senior, adalah bagian dari "akting berlebihan" Rika.

Satu jam pelajaran berlalu cepat. Bel berdentang nyaring, memecah fokus.

“Alright, that’s all for today. Jangan lupa tugasnya dikumpulkan minggu depan. See you!”

Rika Nurbaya membereskan buku dan laptopnya dengan gesit. Energi positifnya seolah masih melekat di udara. Ia melangkah keluar kelas, menyusuri koridor yang ramai oleh tawa dan suara sepatu yang bergesekan. Pikirannya sudah tertuju pada setumpuk koreksi di ruang guru. Gaji honorer yang tipis menuntutnya untuk bekerja keras, dan ia memilih untuk menganggapnya sebagai motivasi, bukan beban.

Namun, begitu kakinya menyentuh ambang pintu ruang guru, energi itu langsung menghantamnya, seolah ia baru saja menabrak tembok tak kasat mata. Bukan energi, melainkan gelombang suara yang sengaja dikencangkan, dipenuhi nada sinis yang ia kenal betul.

Itu suara Bu Rosba.

Rosba, guru senior yang sudah mengabdi hampir tiga puluh tahun, adalah raksasa di ruang guru ini. Posturnya memang kecil, tapi suaranya—dan pengaruhnya—bisa mengisi setiap sudut ruangan.

Rika terhenti. Ia menarik napas, mencoba menetralkan degupan jantungnya yang tiba-tiba memberontak. Rosba sedang berbicara dengan Bu Siti, guru Akuntansi yang cenderung netral, namun kali ini jelas sekali monolognya ditujukan untuk didengar oleh Rika.

“...Ya ampun, Bu Siti. Guru baru ini memang luar biasa, ya? Semua kegiatan dia ikuti, semua lomba dia dampingi. Kelas X-A yang terkenal bandel itu mendadak jadi kelas teladan. Semua orang jadi memuji-muji,” desis Rosba, suaranya seperti bilah pisau yang diasah pelan. Ia tidak menyebut nama, tapi semua orang tahu siapa "guru baru" yang dimaksud.

****

Rika mengepalkan buku-buku jarinya. Ia tahu, jika ia membalas, Rosba akan menuduhnya tidak sopan. Jika ia diam saja, Rosba akan menganggapnya sebagai kelemahan.

“Bukannya bagus, Bu Ros? Murid jadi semangat, sekolah juga untung kalau menang lomba?” jawab Bu Siti, terdengar sedikit enggan.

Rosba tertawa kecil, tawa yang menusuk hingga ke ulu hati. “Bagus? Tentu saja bagus di mata kepala sekolah. Tapi di mata kita? Coba Ibu perhatikan, Bu Siti. Segala sesuatu yang berlebihan itu pasti ada maunya. Ambisi, Bu. Ambisi namanya. Nanti, kalau ada peluang jadi PNS, dia yang paling depan.”

Rika menutup mata sejenak. Tuduhan itu selalu sama. Selalu tentang ambisi yang berlebihan, tentang "mencari muka." Padahal, ia hanya mencoba bekerja sebaik mungkin, membayar lunas kepercayaan yang diberikan padanya. Sebagai guru honorer, ia harus dua kali lipat lebih baik hanya untuk diakui setara.

Ia memutuskan untuk bergerak. Ia melangkah ke mejanya, mencoba fokus pada laptop, pura-pura tidak mendengar.

Rosba bangkit dari kursinya, berjalan mendekat, seolah mengejar Rika dengan suaranya. Ia kini berdiri tepat di samping meja Bu Siti, berjarak tak lebih dari lima langkah dari Rika.

“Saya ini sudah kenyang makan asam garam sekolah, Bu Siti. Dulu, jaman saya muda, kita kerja ya kerja saja, ikhlas. Tidak perlu segala dipamerkan ke sana kemari. Guru itu tugasnya mendidik, bukan jadi sales yang menjajakan kehebatan diri. Apalagi yang statusnya masih—ah, sudahlah. Tidak enak menyebutnya.”

****

Rika meletakkan tasnya dengan sedikit keras. Suara bantingan itu menarik perhatian seisi ruangan. Rosba tersenyum tipis, senyum puas karena berhasil memancing reaksi.

Rika mendongak, matanya bertemu langsung dengan mata Rosba. Sorot mata Rika tidak marah, melainkan terluka dan sangat lelah.

“Ibu Rosba,” Rika memanggilnya, suaranya rendah, nyaris bergetar. “Kalau Ibu mau bicara tentang saya, saya ada di sini. Kenapa tidak bicara langsung?”

Rosba membuang pandangan sebentar, lalu menoleh kembali dengan ekspresi kaku dan dibuat-buat terkejut.

“Oh, Rika? Sudah selesai mengajar? Hebat sekali. Saya kira kamu masih sibuk dengan para siswa istimewa kamu itu.” Rosba menekankan kata ‘istimewa’ dengan nada menghina.

"Saya sudah selesai mengajar. Dan saya bukan siswa istimewa, saya guru,” balas Rika, berusaha menjaga suaranya tetap datar. “Soal bicara. Sepertinya dari tadi Ibu memang sengaja mengarahkan pembicaraan ke saya, ke ambisi saya.”

“Ambisi? Kenapa, memangnya saya salah?” Rosba mendengus, melipat tangan di dada. “Memangnya kamu tidak berambisi? Kamu pikir semua guru di sini buta? Kamu selalu datang paling pagi, pulang paling sore. Kamu selalu menawarkan diri mengurus ini itu. Apa itu namanya kalau bukan ambisi untuk—maaf, nampang di depan Kepala Sekolah?”

Napas Rika tercekat. Ia bisa merasakan air matanya berkumpul di sudut mata, namun ia menahannya kuat-kuat. Ia tidak boleh terlihat lemah di depan wanita ini.

“Saya datang pagi karena itu kewajiban saya, Bu. Saya pulang sore karena saya butuh waktu lebih untuk mengoreksi dan menyiapkan materi yang layak,” jawab Rika, suaranya meninggi satu oktaf. Ia berdiri, menghadap Rosba sepenuhnya.

“Saya honorer, Bu. Gaji saya tidak sebanyak gaji Ibu. Saya tidak punya jaminan pensiun. Saya tidak punya tunjangan ini itu. Satu-satunya yang saya punya hanyalah kinerja saya,” kata Rika, menunjuk dadanya sendiri. “Dan jika Ibu menganggap saya berambisi, Ibu benar! Saya berambisi untuk jadi guru yang baik. Saya berambisi agar jerih payah saya dihargai. Saya berambisi agar saya, yang bukan siapa-siapa ini, bisa membuktikan diri saya pantas berdiri di sini, setara dengan Ibu dan guru PNS lainnya!”

****

Ruang guru sunyi, seolah semua orang menahan napas. Bu Siti hanya menunduk, tidak berani mengangkat wajah.

Rosba maju selangkah. Matanya tajam, memancarkan amarah yang terbungkus rasa superioritas.

“Dengar sini, Rika. Kalau kamu memang punya ambisi, simpan saja di laci kamu! Di sekolah ini, kami tidak butuh guru honorer yang sok pahlawan dan sok tahu segalanya! Kamu pikir, dengan semua tingkah kamu itu, kamu akan cepat diangkat jadi PNS? Jangan mimpi!” Rosba mencondongkan tubuhnya, suaranya kini berbisik tajam, jauh lebih mengancam daripada teriakan.

“Kamu hanya memicu kecemburuan. Kamu membuat kami yang sudah senior ini terlihat seperti pemalas. Kamu tidak sadar, kan? Kamu menciptakan jurang di antara kami!” Rosba menuding Rika.

Rika menggeleng, rasa sakitnya kini bercampur dengan kepedihan. “Bukan saya yang menciptakan jurang itu, Bu. Jurang itu sudah ada sejak lama, dan Ibu yang terus melebarkannya dengan prasangka dan sindiran-sindiran Ibu. Saya hanya ingin mengajar. Saya hanya ingin anak-anak itu berhasil.”

“Bullshit!” Rosba berdecak keras. “Semua guru di sini juga ingin muridnya berhasil! Bedanya, kami tidak perlu jungkir balik dan mencari perhatian dengan cara norak seperti yang kamu lakukan!”

Rika merasakan tubuhnya lemas. Pertahanan dirinya runtuh. Ini bukan lagi soal Bahasa Inggris atau RPP, ini soal harga diri dan pengakuan.

“Saya hormat sama Ibu, sebagai guru senior. Tapi tolong, Bu,” Rika menarik napas panjang, “Hormati juga kerja keras saya. Tidak semua ambisi itu buruk. Ambisi saya adalah agar saya bisa bertahan hidup dengan pekerjaan yang saya cintai ini. Tolong, jangan jadikan status honorer saya sebagai senjata untuk menjatuhkan saya.”

Mertua Dan Ucapannya

Setelah insiden di ruang guru, Rika merasa seolah energi dalam dirinya telah terkuras habis, menyisakan hanya ampas kelelahan dan rasa perih yang tak terdefinisikan. Ia menghabiskan sisa jam kerjanya dengan koreksi yang lambat, setiap gerakan tangannya terasa berat, seolah ia sedang mengangkut beban emosional yang tak terlihat. Jam dinding menunjukkan pukul tiga sore.

Rika memasukkan laptopnya ke dalam tas. Ia tidak berani menoleh ke arah meja Bu Rosba, yang sedari tadi hanya diam membatu, namun kebisuan itu terasa lebih mengintimidasi daripada teriakan. Ia melangkah keluar dari ruang guru yang suram, mencari pelarian dari tatapan-tatapan menghakimi yang masih terasa menempel di punggungnya.

Perjalanan pulang Rika adalah ritual sunyi. Melewati jalanan yang macet, ia mencoba mengusir bayang-bayang Bu Rosba dari kepalanya, namun kini bayangan lain yang lebih akrab, lebih pribadi, mulai membayang. Ibu Cahya.

Jika Bu Rosba menyerangnya di ranah profesional, Ibu Cahya, sang mertua, menyerangnya di ranah yang paling Rika rasakan kegagalannya: menjadi seorang istri dan menantu yang ‘sempurna.’

Ketika motor matic Rika memasuki halaman rumah kontrakan kecilnya, aroma masakan yang bercampur bauan rempah dan minyak kayu putih langsung menyambutnya. Itu pertanda Ibu Cahya sudah pulang dari warung tempatnya berjualan, dan suasana damai di rumah sudah berakhir.

Rika melepas helm, menghela napas panjang—napas persiapan perang. Ia mencium punggung tangan Ibu Cahya yang duduk di kursi rotan ruang tamu, tangannya dingin dan kaku.

“Assalamualaikum, Bu. Rika pulang,” sapa Rika dengan suara yang dibuat seceria mungkin.

Ibu Cahya, wanita yang usianya menginjak enam puluh tahun namun ketajamannya masih setajam mata pisau, hanya bergumam pelan tanpa menoleh. Matanya terpaku pada layar televisi yang menayangkan sinetron dengan volume kencang.

“Baru pulang?” tanya Cahya, akhirnya menoleh, namun pandangannya menyapu Rika dari ujung rambut hingga ujung kaki dengan ekspresi jijik yang sudah Rika hafal.

“Iya, Bu. Tadi ada sedikit pekerjaan tambahan di sekolah.”

“Pekerjaan tambahan? Atau malah cari-cari kerjaan biar tidak cepat pulang?” Cahya mendesis, menyindir. “Saya kira guru honorer itu kerjanya santai, gajinya kecil, waktunya banyak. Ternyata malah menyusahkan begini.”

****

Rika menutup pintu pelan. Ia menahan diri untuk tidak membalas. “Semua pekerjaan pasti ada tuntutannya, Bu. Rika cuma berusaha tanggung jawab.”

“Tanggung jawab?” Cahya tertawa singkat, tawa kering yang menusuk. “Coba kamu artikan, tanggung jawab itu apa, Rika? Seorang istri itu tanggung jawabnya di rumah. Mengurus suami, memastikan dapur ngebul, dan yang paling penting, ya memberi cucu!”

Rika merasakan perutnya seolah ditinju. Ia menaruh tas kerjanya di sofa dengan gerakan hati-hati. “Masih diusahakan, Bu.”

“Diusahakan? Sudah tahun ke berapa pernikahan kalian, Rika? Sudah berapa banyak uang yang habis untuk dukun itu? Dokter itu, dokter itu, kamu kira semua itu murah? Kami sudah habis-habisan membiayai pengobatan kamu, tapi hasilnya apa?” Suara Cahya mulai meninggi, mengalahkan suara sinetron di televisi.

Rika berlutut, mencoba melepaskan sepatu yang terasa berat. Ia mencoba mencari tempat untuk bersembunyi.

"Bukan hanya uang, Rika. Tapi harapanku. Kamu tahu, saya ini sudah tua. Saya ingin menimang cucu dari anak saya satu-satunya. Tapi kamu? Kamu lebih mementingkan kertas-kertas Bahasa Inggris yang tidak akan membuat masa depan kamu terjamin itu!”

Rika akhirnya berdiri tegak, membalikkan badan menghadap mertuanya. Ia berusaha menjaga suaranya tetap rendah, agar tidak terdengar seperti sedang melawan.

“Bu, Rika juga ingin punya anak. Setiap bulan Rika berharap, setiap kali datang bulan Rika menangis. Ibu pikir Rika tidak berusaha?” Rika menarik napas, bibirnya bergetar. “Rika minum semua ramuan yang Ibu suruh. Rika bolak-balik ke dokter sampai rasanya sudah tidak punya malu lagi untuk diperiksa. Rika sudah coba semuanya, Bu.”

Cahya mencondongkan tubuhnya ke depan, matanya menyipit penuh kecurigaan. “Mencoba? Atau kamu memang sengaja menunda? Kamu terlalu sibuk dengan sekolahmu itu, Rika. Pagi-pagi sudah pergi, sore baru pulang. Kapan kamu punya waktu untuk suami kamu? Kapan kamu punya waktu untuk merawat diri?”

****

Air mata Rika sudah tidak bisa ditahan lagi. Setitik air mata jatuh membasahi pipinya. Ia merasakan tuduhan ini lebih menyakitkan daripada tusukan.

“Saya kerja, Bu! Saya jadi guru honorer, bukan main-main. Saya butuh uang untuk bantu suami saya. Gaji Ramdhan tidak cukup untuk biaya hidup kita, Bu. Apalagi untuk biaya pengobatan dan usaha punya anak ini!”

“Oh, jadi kamu menyalahkan anak saya?!” Cahya tiba-tiba berdiri, ekspresinya berubah drastis menjadi marah. “Anak saya itu sudah bekerja keras! Tapi kamu? Kamu itu hanya honorer, Rika! Gajimu seberapa, sih? Dua ribu per bulan? Tiga ratus ribu? Itu tidak ada artinya dibandingkan uang yang kami keluarkan untuk usaha punya cucu ini!”

Cahya melangkah mendekat, Rika mundur selangkah.

“Seharusnya kamu malu! Sudah tidak bisa memberi cucu, malah sibuk di luar sana mencari muka jadi guru. Aku ini sudah tua, Rika. Anak itu berkah! Tapi kamu malah menghambat berkah itu dengan kesibukanmu yang tidak jelas!”

“Ibu kira saya tidak sedih, Bu? Ibu kira saya bahagia pulang sore hanya untuk mendengar hinaan seperti ini?” Suara Rika serak, air matanya kini mengalir deras. “Saya kerja, Bu, agar saya merasa berguna! Agar saya tidak bergantung pada siapa pun. Karena anda Bu,” Rika menjeda, mengambil napas, suaranya kini penuh kesedihan, “Saya tahu, kalau saya tidak punya anak, saya tidak akan punya tempat di rumah ini! Saya hanya menantu yang menyusahkan di mata Ibu!”

Cahya terdiam. Ekspresi wajahnya mengeras, namun ada secercah bayangan kejutan di sana.

“Omong kosong! Kamu terlalu dramatis!” Cahya berusaha menyangkal, namun nadanya sedikit goyah.

“Saya tahu, Bu. Kalau saya PNS, Ibu mungkin akan sedikit bangga. Kalau saya punya anak, Ibu pasti akan menyayangi saya. Tapi karena saya cuma guru honorer dan belum bisa memberi cucu, saya selalu salah. Saya menantu yang tidak tahu diri, terlalu ambisius di sekolah, tapi tidak becus di rumah.” Rika menyeka air matanya dengan kasar.

“Saya hanya ingin menjadi guru yang baik, Bu. Saya ingin dihargai sebagai manusia yang bekerja, bukan sebagai mesin pembuat anak yang gagal!”

Keheningan melanda ruang tamu. Cahya menatap Rika, dan Rika menatap balik, kali ini tanpa rasa takut, hanya kepasrahan. Rika sadar, ia baru saja mengucapkan semua yang selama ini ia tahan. Itu adalah kejujuran yang menyakitkan, dan ia tahu, hubungan mereka tidak akan pernah sama lagi.

Cahya membuang muka, kembali duduk di kursi rotannya. “Terserah kamu mau bicara apa. Pokoknya, cepat ganti baju. Sudah waktunya menyiapkan makan malam. Jangan sampai suami kamu pulang, makanan belum ada.” Cahya kembali fokus pada sinetronnya, seolah percakapan emosional yang baru saja terjadi hanyalah iklan yang tidak penting.

Suami Memilih Cerai

Kelegaan singkat yang dirasakan Rika setelah ledakan emosinya di ruang tamu cepat menguap. Air mata sudah mengering, menyisakan jejak asin dan rasa terbakar di pelupuk mata. Di dapur sempit itu, ia berusaha keras memotong sayuran dengan irama teratur, mencoba menenggelamkan pikiran-pikiran buruk. Ia memasak tumis kangkung terasi, lauk kesukaan Ramdhan, suaminya.

Ketika masakan matang dan aroma harum memenuhi ruangan, Rika menyajikan hidangan itu di meja makan. Ia menyendok sedikit tumis kangkung untuk Ibu Cahya yang masih duduk di depan televisi.

“Bu, makan dulu. Sudah Rika siapkan,” ujar Rika, nadanya kembali lembut, mencoba menawarkan gencatan senjata.

Cahya mematikan volume televisi, meraih piring itu, dan menatap isinya dengan jijik yang kentara. Ia mengambil satu helai kangkung, mengunyahnya, lalu seketika memuntahkannya kembali ke piring.

“Apa ini?” desis Cahya, menatap Rika tajam. “Rasanya seperti air comberan. Terlalu banyak garam! Kamu mau meracuni saya, Rika?”

Rika tercekat. “Astaga, Bu, maaf. Tadi Rika sudah coba, rasanya pas. Mungkin lidah Ibu—”

"Lidah saya kenapa? Lidah saya ini sudah makan masakan puluhan tahun, Rika. Kamu pikir saya tidak bisa membedakan masakan enak dan racun?” Cahya mendorong piring itu menjauh dengan kasar. Piring itu bergeser, nyaris jatuh.

“Kamu itu ya, jadi guru tidak becus, jadi istri apalagi! Memasak pun seperti ini hasilnya! Pantas saja anak saya kurus. Kamu mau anak saya keracunan, Rika?”

Rika merasakan gejolak marah kembali menyelimuti. Ia sudah mencoba yang terbaik, bahkan setelah pertengkaran tadi, namun wanita ini tidak akan pernah puas. Ia menatap piring di meja. Tumisan itu terlihat sempurna di matanya.

“Bu, kalau Ibu tidak suka, Rika bisa buatkan yang lain. Tapi tolong, jangan menghina masakan ini seperti itu,” kata Rika, suaranya kembali bergetar karena emosi yang tertahan.

“Menghina? Saya hanya berkata jujur! Kamu itu memang tidak punya selera, Rika! Sama seperti selera kamu memilih pekerjaan honorer itu!” Cahya bangkit, berjalan ke belakang, sengaja membanting pintu kamar mandi dengan keras.

Rika berdiri terpaku di depan meja makan, menatap hidangan yang seharusnya menjadi simbol kehangatan, kini menjadi saksi bisu penghinaan. Ia mengambil napas dalam-dalam, mencoba meyakinkan diri bahwa semua ini akan berlalu saat Ramdhan pulang.

****

Pukul tujuh malam, terdengar suara Ramdhan di teras. Pria itu masuk, wajahnya kusut, dan tubuhnya terlihat kelelahan. Ramdhan adalah suami yang baik, namun ia punya satu kelemahan besar: ia selalu tunduk pada ibunya.

Belum sempat Rika menyambutnya, Cahya keluar dari kamar mandi, wajahnya dihiasi ekspresi paling menderita yang bisa ia buat.

“Ramdhan!” jerit Cahya, suaranya dibuat parau. “Kamu lihat istri kamu ini? Seharian di sekolah, pulang hanya menyusahkan! Ibu sudah tua, Ramdhan, tapi disuruh makan masakan yang seperti sampah! Dia mau Ibu mati pelan-pelan, Ramdhan!”

Ramdhan menoleh ke arah Rika, lalu ke arah Cahya, dan pandangannya berhenti di piring tumis kangkung di meja.

“Ibu! Tidak seperti itu!” protes Rika cepat. “Aku sudah masak yang terbaik, tapi Ibu bilang itu racun. Rika sudah coba tawarkan untuk membuat yang lain, tapi Ibu malah marah.”

Cahya segera menarik tangan Ramdhan. “Dia bohong, Nak! Dia sudah lancang bicara keras pada Ibu. Dia bilang pekerjaan dia honorer itu jauh lebih mulia daripada uang hasil keringat kamu! Dia menghina Ibu, Nak! Dia bilang Ibu tidak akan bangga kalau dia tidak jadi PNS! Dia menuduh Ibu memperlakukannya seperti—seperti mesin saja!”

Mata Ramdhan langsung berubah. Rasa lelah di wajahnya digantikan oleh amarah. Ia menarik tangannya dari Cahya, lalu menatap Rika dengan pandangan penuh kekecewaan.

“Rika, ikut aku sebentar,” kata Ramdhan, suaranya dingin, tanpa ada kehangatan seorang suami.

Mereka masuk ke kamar. Cahya tidak benar-benar masuk kamar, melainkan berdiri di balik tirai dapur, telinganya dipasang tajam, senyum kecil mulai terukir di bibirnya.

****

Di dalam kamar, Ramdhan mengunci pintu. Ia menyalakan lampu, dan cahaya bohlam yang kekuningan menampakkan dengan jelas garis keras di wajahnya.

“Aku tidak menyangka kamu seberani itu, Rika,” Ramdhan memulai, tidak meninggikan suara, namun intonasinya terasa lebih mengiris daripada teriakan. “Kamu menghina Ibu? Kamu bilang pekerjaan aku tidak cukup?”

“Tidak, Mas. Aku tidak menghina. Aku hanya mencoba menjelaskan bahwa—”

“Cukup, Rika!” Ramdhan memotong. “Aku sudah lelah. Sangat lelah dengan semua ini.”

Rika merasakan firasat buruk yang besar. Jantungnya berdebar kencang, seolah akan melompat dari tempatnya. “Lelah dengan apa, Mas? Kita bisa bicarakan baik-baik. Masalah Ibu, masalah anak, kita bisa cari jalan keluarnya.”

Ramdhan menggeleng, mengalihkan pandangan dari Rika. Ia berjalan mendekati jendela. “Tidak ada jalan keluar. Aku... aku akan mengajukan gugatan cerai.”

Dunia Rika berhenti berputar. Kata-kata itu, enam suku kata yang diucapkan Ramdhan, menghantamnya telak di dada.

“A-apa?” Rika berbisik, suaranya nyaris hilang. Kakinya mendadak lemas.

Ramdhan tidak menoleh. “Aku akan menceraikanmu, Rika.”

Rika berjalan mendekati suaminya, air mata sudah siap menetes. “Mas, kenapa? Masalah anak? Kita bisa coba lagi. Aku akan berhenti jadi guru honorer kalau itu maumu. Aku janji!”

Ramdhan akhirnya menoleh, matanya dingin, tanpa simpati. “Terlambat, Rika. Ini bukan hanya soal anak. Ini soal... soal kamu.”

Ia menghela napas panjang. “Kamu terlalu keras. Kamu terlalu ambisius. Kamu terlalu sibuk membuktikan diri di luar sana, sampai lupa bahwa di rumah ini ada kewajibanmu. Ibu benar, kamu terlalu lelah mencari muka sampai lupa mencari tempat di hati keluarga ini.”

Rika menggeleng-geleng, air matanya tumpah ruah. “Itu tidak adil, Mas! Itu tidak benar! Aku mencintai Mas, aku mencintai keluarga ini!”

“Tidak, kamu hanya mencintai pekerjaanmu. Dan sayangnya, aku sudah menemukan seseorang yang lebih baik, Rika.”

Rika terhuyung mundur. Ia menatap Ramdhan, mencari-cari kebohongan di matanya, namun yang ia temukan hanyalah kekosongan yang nyata.

“Seseorang yang lebih baik? Siapa?” Rika menjerit kecil, tangisnya pecah.

“Dia bisa memberikan aku keturunan. Dia sabar. Dan yang paling penting, dia mengerti posisi aku sebagai anak laki-laki. Dia tidak membanding-bandingkan gajiku, dia tidak menuntut apa-apa selain kebahagiaan.” Ramdhan mengucapkan kata-kata itu dengan nada tenang yang menusuk.

****

Rika merasakan setiap sel di tubuhnya meronta kesakitan. “Jadi, semua ini karena ada wanita lain?” Rika menunjuk dadanya, suaranya serak. “Setelah semua perjuanganku? Setelah aku berusaha keras menjadi istri yang baik, menjadi guru yang baik, hanya untuk dicampakkan karena ada wanita lain yang lebih ‘penurut’?”

Ramdhan mengangguk tanpa ekspresi. “Anggap saja begitu.”

“Mas…” Rika jatuh terduduk di lantai, tangisnya semakin histeris. “Aku mencintai Mas! Aku berjuang untuk Mas!”

Tiba-tiba, dari balik pintu, terdengar suara tawa kecil yang tertahan, penuh kemenangan, disusul bisikan pelan yang tak sengaja terdengar Rika. “Bagus, Nak. Cepat selesaikan!”

Rika mendongak, matanya yang basah penuh pengkhianatan. Ia tahu, Cahya sengaja menguping. Pengkhianatan Ramdhan terasa didukung, dirayakan, oleh orang yang seharusnya menjadi ibu keduanya. Rasa sakit itu berlipat ganda, merobek jiwanya. Ia tidak hanya kehilangan suami, ia kehilangan harga diri dan harapan.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!