"Ayo, Bapak-Bapak, kita dobrak saja pintunya," teriak salah satu pria paruh baya yang tampak tidak sabaran untuk segera membuka salah satu kamar di rumah kosong yang lama tak berpenghuni.
Semua yang ada di sana mengangguk setuju.
Beberapa pria maju dan mendobrak pintu tersebut.
Brakk!!!
Pintu terbuka lebar, dan bersamaan dengan itu seorang pemuda dan gadis yang ada di dalam tersentak bangun.
"A-apa yang terjadi?" ucap gadis itu terbata. Terkejut karena dikerumuni para warga, sekaligus tak mengerti mengapa bisa ia berada di tempat asing itu berdua dengan seorang lelaki, dan yang membuatnya tak habis pikir, bagaimana mungkin mereka berdua sama sekali tak memakai sehelai benang pun.
"Dasar anak muda tidak tahu malu, mencoreng nama baik desa kami, perbuatan kalian ini bisa mengundang kesialan dan bencana di sini!" Salah satu warga berteriak murka memandangi keduanya yang saat ini tampak sangat kebingungan.
"Atas dasar apa kalian berhak menuding suatu hal hanya karena bukti semacam ini?" sergah Alfarez dengan suara berat dan mata congkaknya, pria itu kini masih duduk di samping wanita yang terjebak dengannya.
Semua orang tentu tak senang mendengar keangkuhannya berbicara, sembari menggeram tipis menatap ke arah sepasang manusia yang tubuhnya hanya tertutupi oleh selimut itu.
sementara, Alleta diam-diam bergegas mengenakan pakaiannya kembali.
"Ayo, Bapak-Bapak, kita seret mereka keluar!"
Ketika beberapa orang hendak mendekat, Alfarez tiba-tiba membentak dengan suara lantang.
"Menyingkir kalian semua!"
Mendengar suaranya yang menggelegar, situasi berubah mencekam dan sunyi, nyali mereka ciut hanya dengan mengandalkan suara pria dengan tempramen buruknya itu.
"Siapa di antara kalian berani menyentuhku, kupatahkan tangan kalian!" Lagi-lagi, mata elang yang menukik tajam itu membuat mereka semakin terhipnotis untuk tetap diam di tempat.
"Ada apa ini ribut-ribut?"
Tiba-tiba seseorang datang memecah kerumunan.
Semua orang menoleh ke sumber suara, dan ternyata yang datang adalah kepala desa.
"Ini, Pak. Mereka ketangkap basah sedang kumpul kebo, tapi menolak untuk mengaku," jawab salah satunya.
"Mengakui hal yang tak pernah dilakukan. Ck, aku tak sebodoh itu," sinis Alfarez, sembari mengenakan semua pakaiannya.
Diam-diam Alleta memberanikan diri melirik pada Alfarez, meski ia termasuk salah satu orang yang takut pada pria itu, tetapi diam-diam ia setuju dengan setiap kalimat yang dikatakannya.
"Pak, tolong beri keadilan untuk kami, kami benar-benar tak melakukan apa pun di sini," Alleta mencoba untuk meluruskan ketegangan di antara mereka.
Namun, siapa yang akan percaya dengan ucapannya, bukti nyata telah disaksikan banyak orang, mereka tidur di satu kamar, satu ranjang, dan bahkan satu selimut, keadilan semacam apa yang diharapkannya.
"Alleta, Alfarez, sebagaimana yang sudah disepakati, di desa ini jika ada yang kepergok memiliki hubungan terlarang, jalan tengahnya cuma satu, kalian harus dinikahkan sesegera mungkin," ucap kepala desa dengan wajah tenang.
"Pak, tapi kami tak melakukan apa pun," sanggah Alleta dengan mata berkaca-kaca.
Saat ini, Alfarez hanya diam, kepala desa itu adalah utusan ayahnya, jika dia banyak membangkang, pria paruh baya itu akan mengadu, dan pasti masa hukumannya akan diperpanjang sebagaimana yang sudah-sudah.
"Tuan, kenapa kamu diam saja? Katakan pada mereka bahwa kita tak melakukan apa pun!" Alleta mulai panik ketika Alfarez tampak diam tanpa perlawanan.
Alfarez menatap Alleta sebentar, lalu ia beranjak dan menghela napas. "Baiklah, apakah kalian semua bisa keluar sekarang?" Alfarez menatap semua warga yang berkumpul, dan perlahan mereka keluar satu persatu, termasuk kepala desa, hanya menyisakan pria itu dan Alleta berdua.
"Tuan, apa maksudnya ini? kenapa kamu tidak menyanggahnya?" Alleta memelas, kerutan alisnya menandakan keputus asaan.
"Hanya menikah saja, apa yang perlu diributkan?" jawab singkat Alfarez tanpa ekspresi.
"Hanya? Kamu bilang hanya menikah? Ini masalah serius, Tuan."
"Kita bisa bercerai setelahnya, tak usah terlalu dramatis," jawabnya lagi seraya berlalu keluar meninggalkan Alleta sendirian dengan kekesalan yang memenuhi jiwa raganya.
Alfarez sendiri juga kesal, tapi apa yang bisa dia lakukan? baginya tak ada yang lebih mengerikan dari perpanjangan hukuman dari sang ayah.
****
Pagi itu, Alleta diantar pulang oleh kepala desa, sekaligus ingin menjelaskan apa yang telah terjadi.
Alleta sudah mati-matian menolak untuk diantar pulang, tapi kepala desa tetap kukuh agar ia menjelaskan secara langsung pada yang bersangkutan, karena ayah Alleta berhak tau apa yang sudah terjadi pada putrinya.
***
"Apa? Tidur sama Alfarez?"
Seperti dugaan, tentunya Adrian selaku ayah Alleta tak percaya dan menyangka akan hal itu bisa terjadi pada putrinya.
"Alleta, katakan bahwa ini tidak benar!" Adrian menatap putrinya penuh harap, mau taruh di mana wajahnya jika itu benar terjadi?
"Pa, Alleta tidak melakukannya, Papa percaya Alleta, 'kan?" Linangan air mata kini semakin tak terbendung di kelopak mata milik gadis cantik itu.
"Tapi bukti kamu tertangkap basah sudah jelas Alleta, kamu tak bisa mengelaknya lagi, jangan bohongi kami karena keegoisan kamu semata," ucap seorang gadis dengan rambut hitam pekat itu, yang tak lain dan tak bukan adalah kakak tiri Alleta.
"Aku sungguh tak melakukannya, kenapa kalian tak ada yang percaya? Aku sungguh tak melakukannya." Alleta terus mengelak, berharap ada secercah kepercayaan dari sang ayah.
"Alleta, sudah katakan saja yang sebenarnya, jangan terus mengelak, buktinya saja sudah sangat kuat, apa lagi kalian ditemukan tanpa memakai sehelai benang pun, wanita dan pria dalam satu kamar tanpa busana, apakah mungkin tak terjadi sesuatu?" sela Davina, sang ibu.
"AKU SUDAH BILANG, AKU TAK MELAKUKAN APA PUN, AKU BAHKAN TAK TAHU MENGAPA AKU BISA BERADA DI SANA!"
Alleta berteriak lantang bersamaan dengan air mata yang semakin deras, ia kesal mengapa semua orang menyudutkannya tanpa tahu apa yang sebenarnya terjadi.
Dan ....
Plak!!
Seketika sebuah tamparan keras melesat ke wajah mulusnya, dan seketika itu pula air matanya terhenti, berganti dengan rasa terkejut tak menyangka, seumur hidup, ini pertama kalinya sang ayah memukul wajahnya.
"Cukup, Alleta, kamu sudah sangat keterlaluan. Sudah salah malah berteriak pada orang tua, apakah seperti ini ayah mendidikmu selama ini?" Adrian berteriak geram dengan mata melotot marah, kali ini ia benar-benar kecewa pada putrinya itu.
"Pa ...."
"Cukup, sekarang kamu masuk ke kamar dan jangan pernah keluar sampai pernikahan kamu dilangsungkan!" titah Adrian dengan napas menggebu-gebu.
Alleta tak banyak bicara, ia langsung berlari masuk ke kamarnya dan mengunci diri di sana.
Tanpa mereka sadari, ada dua orang wanita yang saat ini berbahagia dan tersenyum puas melihat betapa putus asa dan tersiksanya Alleta.
Cermin besar memantulkan sebuah wajah sembab karena air mata, seharian menangis membuat Alleta tak dapat mengeluarkan air mata itu lagi.
Malam yang begitu sunyi, sesunyi hatinya yang terluka dan berdarah. Namun, bahkan ia sendiri pun tak dapat untuk mengobati luka yang menganga lebar di dalam sana.
Ia menghela napas sejenak, helaan yang terasa amat sangat berat.
Perlahan ia bangkit dan berdiri menyingkap tirai jendela, terlihat dengan jelas bintang di langit sana bertaburan seolah sedang menghiburnya.
Malam ini mungkin akan menjadi akhir dari masa lajangnya, tak pernah sama sekali terduga olehnya bahwa dia akan segera menikah, dan bahkan dengan pria yang sama sekali tak ia cintai, pria yang dikenal dengan tempramen buruknya itu, malah akan menjadi suaminya setelah matahari terbit nanti.
Jika pria itu menceraikannya, maka kehidupan ini akan semakin sulit untuk dirinya sendiri, di desa mereka masih begitu tabu dengan adanya seorang janda, ia pasti akan terus dikucilkan dan direndahkan karena status seperti itu.
Alleta menggelengkan kepala serta memijitnya beberapa kali, kepalanya terasa berat memikirkan hal itu.
Malam semakin larut, ia pun mencoba untuk tetap tenang dan berusaha untuk bisa tidur malam ini, Namun, saat ia berbalik badan Alleta melihat cangkir tehnya yang kemarin malam masih ada di atas meja, ia memang sempat membuat teh hangat untuk dinikmati bersama derasnya hujan malam, dan setelah meminum teh itu pula ia merasa kantuknya segera menyerang hingga tak tertahankan, ia bahkan tak sempat pindah ke kasurnya.
Saat bangun ia justru malah berada di rumah kosong itu bersama Alfarez.
Alleta mencoba berpikir keras dan menghubungkan masalah ini pada kedua orang itu. Ya, Davina dan Rahel pasti terlibat dengan masalah yang sedang ia hadapi ini.
Orang yang diuntungkan dengan adanya masalah ini hanyalah mereka berdua, dan tentunya cuma merekalah yang bisa melakukan itu padanya.
Malam kemarin kebetulan ayahnya memang sedang tidak ada di rumah karena harus mengurus jual beli hasil panen jagung ke kota, dan pasti karena itulah mereka langsung beraksi dan menjebaknya tanpa ia sadari.
Memikirkan itu napas Alleta mendadak naik turun dengan cepat, ia marah, kesal, dan rasanya ingin mengamuk detik itu juga.
Dengan sisa tenaga yang masih ada, ia pun keluar dari kamar untuk menghampiri Rahel, si kakak tirinya itu.
"Haha, akhirnya kita berhasil, Mah. anak sialan itu pasti tidak akan hidup tenang setelah ini."
"Setelah dia menikah dengan laki-laki pembawa sial itu, maka semua harta ayahnya akan menjadi milik kita."
Alleta seketika tertegun mendengar suara Rahel yang sedang bersuka cita di atas penderitaannya.
Ternyata sama seperti dugaannya, merekalah pelaku dari semua masalah yang sedang ia hadapi sekarang ini.
Kenapa? Kenapa mereka setega itu? Jadi kebaikan yang selama ini ia dapatkan, hanya sebuah kepura-puraan belaka? Sekejam itukah dunia memperlakukannya?
Sesak di dada seketika semakin menghimpit, Alleta sungguh sudah tak tahan lagi, dengan cepat ia membuka pintu dan membantingnya.
Kedua wanita itu tentu saja terkejut melihat Alleta yang tiba-tiba muncul, kedua matanya terbelalak seolah akan lepas.
"Alleta, a-apa yang kamu lakukan di sini?" tanya Rahel gugup.
Alleta dengan sekuat tenaga mengangkat tangannya dan menampar wajah Rahel.
Mereka berdua berteriak histeris tak menyangka bahwa Alleta berani melakukan sebuah kekerasan.
"Apa yang kamu lakukan, anak sialan?" Davina seketika berdiri dan menarik rambut Alleta dengan kuat. Namun, perlawanan Alleta tak berhenti sampai di sana, ia balas menendang ibu tirinya hingga Davina terjungkal dan jatuh ke lantai.
Alleta menggunakan kesempatan itu untuk balik menarik rambut Rahel dengan kekuatan penuh hingga Rahel menjerit histeris.
"Apakah sakit? Ck, ini tak sebanding dengan apa yang sudah kalian lakukan padaku!" teriak Alleta dengan murka.
"ALLETA, CUKUP!!"
Gadis itu seketika tersentak dan menoleh pada sang ayah yang kini berdiri di depan pintu menyaksikan apa yang sudah dia lakukan pada Rahel dan Davina.
"Lepaskan tanganmu!" titah ayahnya dengan sedikit membentak.
Kekuatan Alleta memudar, cengkramannya terlepas, sebagaimana tangisnya yang juga ikut tak terbendung.
Dunia terasa begitu tak adil padanya, kenapa hanya dia saja yang menderita? kenapa bahkan sosok ayah yang selalu ia kagumi itu sekarang justru tak memercayai dan menghakiminya.
Tanpa menunggu ayahnya angkat suara, Alleta berlari keluar dan membanting pintu kamarnya sekencang mungkin, sebagai bentuk protesnya pada sang ayah.
Melihat Alleta bersikap seperti itu, Adrian merasa dadanya begitu sesak, ia paham betul betapa terluka putri kecilnya itu, ia merasa gagal menjadi sosok ayah yang baik, ia gagal membuat putrinya merasa aman bersamanya.
Adrian menatap istri dan anak tirinya bergantian. "Aku tak mau ada keributan semacam ini lagi di rumahku," ucapnya, dan berusaha untuk tetap tenang.
"Tapi Alleta yang mulai duluan, Mas!" protes Davina. Namun, Adrian tak menanggapi itu dan berlalu pergi menuju ke kamarnya, ia tak ingin lagi mendengar kritikan apa pun atas nama Alleta, hari ini sudah cukup sangat melelahkan baginya.
Davina berdecak kesal melihat Adrian yang malah mengabaikannya, jika saja pria itu sedikit lebih peduli padanya, maka ia bisa membuat Adrian membenci putri kandungnya malam itu juga.
"Ini gimana, sih, Mah? Papa masih saja membela si Alleta itu," kesal Rahel dengan bibir ditekuk.
"Kamu tenang saja, Mama tidak akan membiarkan si Alleta itu hidup tenang di rumah ini." ucap Davin sinis dengan sorot mata penuh dendam.
****
Sementara di sisi lain, pria dengan perawakan yang hampir dikatakan sempurna itu bergegas membawa langkah lebarnya menuju ke kediaman kepala desa.
"Eh, Tuan Muda, ada apa gerangan sampai membuat Anda datang ke sini?" Aaron, seorang utusan yang juga merangkap menjadi kepala desa untuk bisa memantau tuan mudanya di desa terpencil ini. Bagaimana ia bisa menjadi kepala desa, tentu saja itu sudah diatur oleh atasannya. Ia tersenyum canggung melihat kedatangan Alfarez ke rumahnya.
"Kamu tahu dengan pasti apa yang membuatku datang ke sini," jawab Alfarez skakmat, hingga Aaron tak dapat menjawab, ia hanya bisa menggaruk kepalanya yang tak gatal.
"Sebaiknya Anda masuk dulu saja, Tuan Muda, tidak enak jika ada yang melihat kita seperti ini."
Aaron mempersilahkan Alfarez masuk dan segera menutup pintu setelahnya.
Ketika duduk di ruang tamu, tak ada sepatah kata pun yang keluar dari mulutnya, hanya setelah melihat tatapan Alfarez bagaikan hewan buas yang hendak menerkam, barulah Aaron dengan salah tingkah ia bersuara, "Bagaimana saya bisa menjelaskannya, Tuan Muda? Saya hanya menjalankan tugas dari tuan besar," dengan enteng ia tersenyum, meski sebenarnya keringat dingin mulai bercucuran di pelipisnya. Alfarez adalah sosok yang lebih mengerikan dari bosnya sendiri.
"Maksudmu, semua ini adalah bagian dari rencananya?" Alfarez menyipitkan mata curiga.
Aaron mengangguk mengiyakan.
"Perempuan itu, bagaimana kau bisa membawanya ke sana? Dia punya keluarganya sendiri."
Mendengar itu, Aaron sedikit menyunggingkan senyum getir.
"Seorang anak yang tidak diinginkan oleh keluarganya, bukankah menjadi istri Anda adalah suatu hal yang lebih baik?" ucapnya, dan Alfarez mengernyitkan dahi meminta jawaban dari maksud perkataan Aaron.
"Nona Alleta itu sudah dijual oleh ibu tirinya, dan tentunya juga sudah mendapat persetujuan dari ayahnya langsung, sekarang mungkin mereka sedang menikmati hasil penjualannya, mengingat harga yang ditawarkan oleh tuan besar jumlahnya tidaklah sedikit."
"Berapa?" tanya Alfarez tanpa basa-basi.
"Berapa apanya, Tuan Muda?"
Mendengar Aaron bertanya, Alfarez menatap tajam dengan gigi menggertak kesal, Aaron tersenyum dan segera menyudahi kebodohannya itu.
"Dua Millyar." Aaron mengacungi dua jarinya sesuai jumlah bayaran yang ia sebutkan.
Bibir Alfarez seketika menyungging sinis mendengar jumlahnya.
"Hanya dengan uang segitu mereka berani menukarnya dengan anak sendiri?"
"Anda jangan salah, Tuan Muda. Bagi Anda uang segitu mungkin sangatlah kecil dan tidak ada apa-apanya, tapi bagi warga desa sini, itu nominal yang bahkan mereka tak berani untuk membayangkannya, dua millyar itu cukup untuk biaya hidup mereka hingga tua."
Tak ada jawaban yang diberikan Alfarez ketika mendengar jawabannya, selain sebuah bibir yang hanya terus berdecak sinis dengan kekonyolan itu.
Pagi itu, di depan sebuah cermin yang memantulkan wajah dengan sebuah riasan membuat gadis itu tak percaya bahwa ia pun bisa berubah menjadi secantik itu.
Namun, wajah cantik dengan gaun mahal yang dibeli oleh ayahnya itu, rasanya terlalu hambar untuk dinikmati.
Pernikahan tanpa rasa cinta, pernikahan yang terpaksa, benar-benar tak bisa menjamin ia bisa hidup bahagia setelahnya.
"Baiklah, Alleta, riasanmu sudah selesai, kalau begitu saya pamit dulu, ya," ucap sang perias sambil merapikan kembali alat tempurnya yang cukup berantakan.
Alleta memaksakan diri tersenyum dan berkata, "Terimakasih, ya, Mbak."
Sang perias itu menatap Alleta sejenak, dan lalu tersenyum kembali dan mengangguk. "Kamu baik-baik, ya, semoga pernikahanmu ini merupakan jalan menuju kebahagiaan."
Alleta tersenyum kecut mendengarnya, ia sendiri pun tak yakin dengan hal itu, bahkan ia tak bisa menjamin Alfarez tidak akan menceraikannya sehari setelah mereka menikah.
Saat Alleta menikmati kesendirian itu, tiba-tiba saja pintu kamarnya terbuka, dan wajah yang tak ingin ia lihat pun sekarang mendadak muncul menghampirinya.
"Wah, pengantin kumpul kebo kita cantik sekali," ucap Rahel dengan senyum mengejek.
Meski marah, Alleta berusaha untuk tetap diam dan tenang, tak ada gunanya jika ia marah untuk saat ini.
"Aku ingin bertanya satu hal denganmu, bukankah katamu kau begitu yakin bahwa malam itu tidak terjadi apa pun antara kau dan Alfarez? Bagaimana mungkin kau bisa seyakin itu bahwa dia tak akan menyentuhmu?"
Alleta menoleh sekilas dengan tatapan tajamnya, tetapi lagi-lagi ia bisa meredam amarah yang hampir memuncak dan berpaling tak ingin melihat wajah Rahel.
Namun, Rahel tiba-tiba saja mendekat dan berbisik di telinga Alleta. "Pada dasarnya semua lelaki itu sama, mereka tidak akan tahan dengan godaan di depan mata."
"Keluar sekarang!" usir Alleta dengan nada yang ditekan agar tak berteriak.
"Tak perlu repot-repot mengusirku, aku juga tak sudi tinggal lebih lama di kamar kumuh ini."
"Aku hanya ingin memperingatkanmu, bersikap baiklah pada Alfarez, jangan sampai dia menceraikanmu, siapa yang bisa menjamin bahwa kau tak akan hamil karena kejadian semalam." Sembari melangkah gontai, Rahel keluar dari kamar Alleta, menyisakan luka yang semakin dalam pada gadis itu.
Setelah mendengar perkataan Rahel, pikiran Alleta semakin dibuat tak tenang, ia akhirnya meragukan pikirannya sendiri, benarkah ia sudah disentuh oleh Alfarez? Apa yang sebenarnya sudah terjadi di malam itu? Dia ... apakah sudah tidak perawan lagi?
****
Sepanjang acara, Alleta terus memikirkan hal itu, ia sibuk dengan pemikirannya sendiri, bahkan untuk menatap wajah pria yang kini menjadi suaminya saja ia tak sempat untuk melakukannya.
"Apa yang kau pikirkan? Tegakkan kepalamu, jangan mempermalukanku seolah hanya aku yang menginginkan pernikahan ini."
Mendengar pria di sampingnya itu berbisik dingin di telinganya, Alleta seketika langsung mengangkat kepalanya dan menatap semua tamu yang hadir, pikirannya kosong untuk sejenak.
Alfarez menyunggingkan senyuman tipis melihat kepatuhan istri kecilnya itu, sepertinya Alleta tidak akan sulit untuk ia hadapi, gadis ini tampak pasrah dengan keadaannya sekarang.
"Jika terus patuh seperti ini, ke depannya aku mungkin tak akan mempersulitmu," bisiknya lagi, dan Alleta mengerutkan alis tak mengerti.
"Apa maksudnya?"
Mendengar pertanyaan itu, Alfarez lebih memilih diam, merepotkan sekali jika harus menjelaskan apa yang sedang ia maksud.
****
Pernikahan itu terjadi begitu singkat, semua tamu pulang ketika sore hari, Alleta masuk ke kamarnya lebih dulu, sementara Alfarez, ia memilih untuk segera mandi, lokasi kamar mandi memang ada di luar kamar, tepatnya ada di samping dapur.
Rumah milik warga desa sini rata-rata memang seperti itu, kamar mandi digunakan bersama, tidak ada yang namanya kamar mandi pribadi yang terletak satu ruangan di kamar tidur.
hari itu terasa sangat melelahkan, dengan air yang mengguyur tubuhnya, membuat Alfarez merasakan kehidupan yang lebih segar dari sebelumnya.
Ketika ia selesai dan keluar dari kamar mandi, para tetangga yang pada saat itu sedang membantu bersih-bersih, seketika terperangah menatap Alfarez.
Mereka selama ini tak pernah menyadari bahwa pria satu ini memiliki wajah yang begitu tampan, kharismanya sungguh menyilaukan mata.
"Ya ampun, anak ini benar-benar pantas dijuluki pria tertampan di desa kita," celetuk salah satu ibu-ibu sambil memandangi punggung Alfarez yang sedang berlalu pergi menuju kamar Alleta.
Hanya melihat wajah Alfarez dengan rambut basahnya saja sudah membuat mereka kalang kabut, bagaimana jika sampai mereka melihat pria itu bertelanjang dada, apakah semuanya akan segera tak sadarkan diri?
"Apakah dia memang selalu setampan itu? Dia bak pangeran yang turun dari langit," ucap salah satu ibu paruh baya yang masih tampak tercengang.
"saya hanya pernah dengar dari para gadis yang sering membicarakannya, tapi saya bahkan tak menyangka ternyata memang setampan itu dia."
"Pantas saja setiap kali bertemu para gadis, mereka selalu berkata ingin dinikahi oleh pria itu, saya pikir apa bagusnya, tapi sekarang saya sadar bahwa mata mereka memang pandai menilai pria tampan."
"Ada apa, sih, Ibu-Ibu? Heboh sekali kelihatannya."
Di tengah perbincangan hangat itu, tiba-tiba Rahel datang memecah suasana.
"Itu, lho, Rahel, suami adik kamu, ternyata setampan itu. Beruntung sekali Alleta, bangun tidur bisa langsung cuci mata dengan pemandangan indah setiap paginya," jawab salah satu dari mereka sambil menyenggol temannya dengan senyum malu-malu.
"Ih, apa sih, Ibu-Ibu, genit sekali. Lagi pula apa gunanya? Mengandalkan wajah saja tak cukup untuk bertahan hidup, dinikahi pria miskin justru merupakan kesialan baginya, itu karma bagi Alleta karena melakukan hubungan terlarang dengan pria itu."
Para ibu-ibu mulai berbisik-bisik mendengar ucapan Rahel, dan wanita itu tampaknya cukup puas dengan respon mereka, ia segera berlalu pergi setelah berhasil menjatuhkan nama Alleta.
Sementara di sisi lain, Alfarez kini sudah berada di kamar milik Alleta, sembari mengusap rambutnya dengan handuk kecil, ia menatap Alleta yang kini sedang menghapus riasannya.
"Ada apa? Kenapa menatapku seperti itu?" tanya Alleta yang akhirnya menyadari dirinya sedang ditatap oleh pria yang telah menjadi suaminya itu.
Alfarez hanya diam saja tak menggubrisnya, ia melangkahkan kaki untuk segera mengganti pakaian, ketika ia hendak membuka jubah mandinya, Alleta tiba-tiba bangkit dari tempatnya dengan salah tingkah.
Alfarez mengernyitkan alis, respon macam apa itu? Ia kesal melihat Alleta menghindar menatapnya.
Menyadari ketidakpuasan Alfarez terhadap responnya, Alleta pun memberanikan diri untuk berkata meski tergagap. "A-aku akan keluar dulu, takutnya kamu tak nyaman jika ada aku di sini."
Alleta dengan cepat berbalik badan ingin pergi, tapi kecepatan Alfarez lebih unggul darinya, pria itu menarik pergelangan tangan Alleta dan merengkuhnya dengan kuat.
Melihat Alleta yang terbelalak kaget, Alfarez menyunggingkan senyum tipis, dan membuka ikatan jubah mandinya hingga menampilkan sebuah dada bidang yang berotot.
Alleta menelan ludah dengan berat, cobaan macam apa yang sedang ia hadapi saat ini?
"Siapa yang merasa tak nyaman masih belum bisa dipastikan," jawabnya santai.
Lalu melanjutkan, "Apa arti pernikahan ini bagimu?" tanya Alfarez dengan suara yang berat sekaligus begitu tipis, napasnya bahkan dapat menyapu ke wajah Alleta yang masih begitu shock.
Alleta tak berani menjawab, ia bagaikan seekor kelinci yang habis diburu.
Alfarez mendekatkan wajahnya ke telinga Alleta, lalu berbisik pelan di telinga wanita itu.
"Pernikahan adalah sebuah penyatuan antara pria dan wanita, itu artinya sekarang kamu adalah milikku, dan aku menjadi milikmu."
Bisikan halus itu membuat bulu kuduk Alleta berdiri dengan sendirinya. Angin yang berembus halus di lehernya menambah suasana yang semakin mengerikan.
Alfarez meraih tangan Alleta dan mengangkatnya, telapak tangan wanita itu ia tempelkan di dadanya yang sedang terbuka.
Ketika tangannya menyentuh sebuah kulit dingin itu, Alleta tiba-tiba seperti sedang mengalami serangan jantung mendadak, ia tak bisa bernapas dan wajahnya memerah dalam sekejap.
"Seperti ini, kau bebas menyentuh bagian mana yang kau inginkan," lanjut Alfarez, Alleta segera sadar dan menarik tangannya kembali, ia berlari dengan salah tingkah menghindari pria di hadapannya itu.
Alfarez tersenyum miring menatap kepergian Alleta.
Sepertinya mulai saat ini hidupnya akan sedikit lebih menyenangkan dari biasanya.
"Gawat, ini sungguh di luar dugaan, apa yang terjadi padaku, kenapa aku jadi begini?" Alleta menepuk kedua wajahnya, lalu berpindah merasakan detak jantung yang sedang berdegup kencang tak karuan.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!