Pintu mahoni rumah Keluarga Dwiputra bukan sekadar kayu. Bagi Arion (25), pintu itu adalah simbol garis demarkasi, perbatasan rapuh yang ia tegakkan antara dirinya yang waras, seorang arsitek yang logis, dan keterikatan emosional yang tak terhindarkan di dalamnya. Setiap pagi, ia harus menyeberanginya, seperti seorang prajurit yang meninggalkan rumah menuju medan perang, tanpa kepastian akan kembali utuh.
Pagi itu, udara Jakarta sudah mendidih, tetapi di balik kaca ruang makannya, Arion merasakan dingin yang familier. Ia duduk di meja, sendirian. Ia sudah berpakaian lengkap—jas mahal yang terasa seperti kulit kedua, dasi sutra yang melilit lehernya dengan sempurna. Setiap detail mencerminkan kontrol, sesuatu yang sangat ia butuhkan di tengah rumah ini.
Arion menatap jam tangannya, pukul 06:45. Lima belas menit lagi, ia harus pergi. Lima belas menit lagi, rutinitas penyanderaan akan dimulai.
Ia mencoba fokus pada kopi hitamnya, rasa pahit yang seharusnya membersihkan pikirannya. Namun, pikirannya sudah dipenuhi oleh aroma: perpaduan vanilla manis dan strawberry segar. Aroma yang tak pernah gagal menyergap rumah ini—aroma yang melekat pada dua adik tirinya, Luna dan Kyra.
Arion tahu aroma itu adalah jebakan yang menyenangkan. Sebuah lapisan gula yang menutupi keanehan dan intensitas hubungan mereka.
"Kak Arion tidak menunggu kami?"
Suara itu datang dari belakang, lembut dan penuh sindiran. Luna (20) berdiri di ambang pintu dapur.
Luna tidak berjalan. Ia melayang. Rok span putihnya yang ketat dan terlalu pendek nyaris tak tersentuh oleh paha mulusnya. Blus satinnya yang pas membiarkan lekuk tubuhnya terlihat jelas, sebuah pemandangan yang seharusnya membuat Arion, sebagai seorang kakak, hanya merasakan kebanggaan. Tapi yang ia rasakan adalah panik moral.
"Pagi, Luna. Aku harus ke kantor lebih awal," jawab Arion, nadanya kaku. Ia menghindari tatapan langsung ke mata Luna.
Luna berjalan ke meja, duduk di hadapan Arion. Ia tidak menyentuh makanan, hanya menatap Arion.
"Kau melanggar peraturan. Kita harus sarapan bersama," ujar Luna, bibirnya mengerucut, seperti anak anjing yang kehilangan mainan. "Jika Kakak pergi duluan, nanti kami diantar siapa? Kyra sedang menyiapkan touch-up terakhir."
Arion merasakan hawa panas menjalar di tenggorokannya. Ia tahu ini bukan tentang tumpangan ke kampus. Ini tentang kontrol.
"Aku sudah memanggil supir," balas Arion.
"Supir tidak punya wewenang untuk mencium keningku sebagai ucapan selamat jalan," balas Luna, matanya yang besar dan polos berkedip lambat.
Saat Arion hendak membalas, serangan kedua tiba. Kyra (19) masuk.
Kyra membawa energi yang lebih ceria dan berbahaya. Ia mengenakan celana legging hitam yang dipadukan dengan kemeja putih longgar milik Arion yang ia curi—sebuah kombinasi yang secara simultan polos dan provokatif. Rambutnya diikat asal-asalan, memberikan kesan bahwa ia baru saja bangun tidur, tetapi setiap lipatan busananya adalah hasil perhitungan yang matang.
"Kyra tidak suka dibohongi, Luna. Kak Arion pasti mau menemui Risa, ya?" tuduh Kyra, suaranya mengandung cemburu yang terang-terangan, sebuah chemistry gelap yang selalu mereka gunakan untuk mengikat Arion.
Arion merasakan jantungnya berdebar. Risa adalah rekan kerjanya, seorang wanita yang sedang ia kencani secara rahasia. Bagaimana Kyra tahu?
"Itu urusan pekerjaanku, Kyra. Jangan mencampuri urusan orang dewasa," Arion menegur.
Kyra menyeringai. Ia berjalan ke belakang kursi Arion. Aroma strawberry segar menyeruak, menjebak Arion.
"Ayah tidak pernah menyembunyikan apa pun dari kami," bisik Kyra, suaranya rendah, persis di telinga Arion, menciptakan getaran yang membuat Arion harus menahan diri. "Kau adalah Ayah kami sekarang, Kak Arion. Kau tidak boleh punya rahasia."
Arion menutup mata, merasakan bahaya yang melingkari lehernya. Ia tahu Kyra menekan tombol paling lemah Arion: rasa bersalahnya pada Ayahnya dan kebutuhan moralnya untuk menjadi wali yang baik.
Ia bangkit, menjauh dari sentuhan Kyra. "Aku harus pergi."
Arion berjalan cepat menuju pintu mahoni. Ia meraih kenopnya, siap membuka pintu itu dan melarikan diri ke dunia logika dan beton.
Namun, seperti yang sudah ia duga, ritual itu mencapai puncaknya.
Luna dan Kyra bergerak serentak. Luna mendahului, menyambar dan memeluk kaki kanan Arion dengan cengkeraman yang sangat kuat, kepala bersandar di lututnya.
"Tidak! Kami akan ikut! Luna tidak mau ditinggal!" rengek Luna, suaranya kini kembali pada kepolosan yang tidak tulus.
Kyra menyusul, memeluk kaki kiri Arion. "Kami tidak percaya kau. Kau pasti mau bertemu wanita itu! Kau melanggar janji Ayah!"
Arion kini terjebak. Dua makhluk cantik, dua pasang kaki mulus yang membuat otaknya berasap, dua tuntutan emosional yang mematikan.
Ia menunduk. Ia tidak melihat kaki. Ia melihat penjara yang mereka ciptakan.
Di pergelangan tangan Luna, gelang perak kuno itu berkilauan. Gelang itu selalu terlihat dingin, kontras dengan kulit hangat Luna. Dan di leher Kyra, ia melihatnya dengan jelas dalam cahaya pagi: garis pucat dan lurus, nyaris tak terlihat, seperti goresan memanjang.
Misteri yang selama ini hanya mengganggu, kini menjadi alarm.
Arion merasakan sentuhan Kyra di kaki kirinya. Di antara tekanan tubuhnya, ia merasakan tonjolan kecil. Itu bukan tulang. Itu adalah tonjolan keras dari cincin atau penanda yang disembunyikan di bawah celana legging-nya.
"Kalian berdua. Lepaskan," Arion berkata, suaranya penuh tekanan, bukan karena nafsu, tetapi karena ia menyadari ia sedang diuji.
Luna mengangkat wajahnya, air mata mulai menggenang. "Apa Kakak membenci kami? Apa Kakak memilih Risa daripada kami?"
Arion tahu ini adalah momen keputusan. Jika ia marah, mereka akan menggunakan itu sebagai bukti penolakannya. Jika ia mengalah, mereka akan memenangkan kontrol.
Arion menghela napas, menutup matanya. Ia merasakan kehangatan dan aroma yang mencekik itu.
Aku adalah Jangkar. Aku harus tetap di sini.
Arion membuka matanya, menatap Kyra, Pengawas yang cerdas.
"Aku tidak membenci kalian. Tapi kalian harus tahu satu hal. Arion bukan Ayah kalian. Aku tidak bisa selamanya menunda kehidupanku karena ketakutan masa lalu kalian," ujar Arion, memilih kejujuran yang pahit. "Aku harus tahu apa yang kalian sembunyikan. Kenapa kalian melakukan ini?"
Kyra tersenyum kecil, senyum kemenangan yang kejam. "Maka, tinggallah, Kak. Dan kau akan menemukan sendiri jawabannya. Kau akan menemukan mengapa kami tidak mau membiarkanmu pergi."
Luna melepaskan kakinya, dan Arion merasakan kebebasan yang singkat. Namun, sebelum Arion bisa melangkah, Luna mencondongkan tubuhnya ke depan, mencium lutut Arion—sebuah tindakan yang begitu intim dan tidak bersalah.
"Jika Kakak pergi, kami tidak akan pernah kembali ke sekolah. Kami akan menunggu di kamar kami, dalam kegelapan," ancam Luna, suaranya kembali pada nada yang manis.
Arion melihat mereka pergi, berjalan santai menaiki tangga. Ia ditinggalkan di ambang pintu, dengan setelan jas yang kusut, pikiran yang kacau, dan rasa bersalah yang mendalam.
Ia tidak bisa pergi. Ia tahu itu. Ia tidak bisa meninggalkan mereka dalam kegelapan yang mereka takutkan.
Arion menutup pintu mahoni itu. Ia mengambil tasnya. Ia tidak lagi menuju kantor. Ia menuju gudang, mencari petunjuk yang ia tahu telah ditinggalkan oleh Ayahnya.
Ia adalah Jangkar mereka. Dan Sang Jangkar telah memilih untuk kembali ke Sangkar.
Arion tidak pergi ke kantor. Ia tidak bisa. Pintu mahoni itu tertutup rapat, mengunci Arion bersama janji tak terucapkan yang baru saja ia buat: Aku tidak akan meninggalkan kalian dalam kegelapan.
Ia melepas jas dan dasinya, melemparkannya ke sofa. Pakaian yang melambangkan kontrol dan logika itu kini terasa seperti beban yang menyesakkan.
Keputusannya untuk tetap tinggal bukanlah kemenangan bagi Luna dan Kyra, melainkan sebuah kekalahan bagi dirinya sendiri—kekalahan rasionalitasnya melawan kekuatan emosional mereka. Ia harus melakukan apa yang diminta Kyra: mencari tahu.
Arion berjalan perlahan menuju lantai atas. Kamar Luna dan Kyra berdekatan, menciptakan zona kekuasaan mereka.
Arion mengabaikan kamar-kamar itu. Ia menuju kamar tidur utama, kamar yang ditinggalkan oleh Ayahnya dan Ibu tiri mereka, Elara. Ruangan itu dingin, sunyi, seperti museum tempat kenangan yang telah mati disimpan.
Arion pergi ke lemari pakaian besar Ayahnya. Ia mencari di sudut terdalam, tempat Ayahnya menyimpan barang-barang yang tidak ingin ia bagi. Arion menemukan sebuah kotak perkakas yang tua dan berdebu.
Di dalam kotak perkakas itu, Arion menemukan Kunci Utama yang telah ia cari: kunci perak kecil yang ia curi cetak birunya dari kamar Luna (Bab XIV, yang kini diintegrasikan). Itu adalah kunci yang sangat spesifik, dengan tiga alur dalam.
Arion menyadari bahwa kunci itu tidak berada di kamar Ayahnya, melainkan di kamar Luna. Itu berarti Ibu mereka, Elara, atau Luna sendiri, yang telah memindahkan kunci itu, menjaganya agar tetap dekat. Sebuah pergerakan yang disengaja.
Arion meninggalkan kotak perkakas itu. Ia tahu ia butuh konteks. Ia harus mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi pada mereka sebelum Ayahnya meninggal.
Ia berjalan kembali ke kamar tidurnya sendiri, mencoba menelepon kantornya untuk membatalkan semua jadwal, tetapi pikirannya terganggu.
Ia memandang lurus ke pintu kamarnya. Pintu itu terbuka sedikit.
Kyra.
Gadis itu berdiri di ambang pintu, bersandar di kusen, masih mengenakan kemeja Arion dan legging hitamnya. Ia tidak mengawasi Arion, melainkan menatap Arion dengan ekspresi yang sulit diuraikan—perpaduan antara kemenangan dan ketidakpastian.
"Kenapa Kakak tidak pergi?" tanya Kyra, suaranya pelan.
"Aku memilih untuk mencari tahu, Kyra," jawab Arion, nadanya dingin dan tenang.
Kyra berjalan masuk, menutup pintu. Kehadirannya seketika memenuhi kamar Arion, memutus ruang udara.
"Luna menangis di kamar. Dia pikir Kakak marah dan akan pergi selamanya," bisik Kyra, ia berjalan ke tempat tidur Arion, duduk di tepi ranjang.
"Kalian menggunakan tangisan sebagai senjata," Arion membalas, ia berdiri menghadap Kyra. "Itu tidak adil."
"Hidup tidak adil, Kak," Kyra mengangkat bahunya, senyum sinisnya muncul. "Luna butuh kepastian. Aku butuh kendali atas kepastian itu."
Kyra menunjuk pergelangan tangannya. Arion melihatnya. Kyra membalik tangannya, memperlihatkan garis luka di lehernya.
"Aku tahu Kakak melihat ini. Bekas luka ini," kata Kyra, nadanya berubah serius. "Ini bukan goresan, Kak. Ini adalah penanda dari masa lalu. Penanda bahwa kami tidak pernah benar-benar bebas, bahkan setelah Ibu membawa kami ke sini."
Arion melangkah mendekat. Ia menunduk, meneliti garis pucat dan lurus itu. Jantungnya berdebar. Itu bukan luka biasa.
"Apa yang terjadi, Kyra? Siapa yang melakukan ini?" desak Arion.
Kyra tidak menjawab. Ia meraih tangan Arion, menariknya agar Arion duduk di sampingnya.
"Kakak sudah tahu tentang gelang Luna. Gelang perak yang terkunci itu. Gelang itu adalah ikatan yang terpaksa. Selama itu ada, Luna terkendali. Dia tidak bisa menunjukkan semua yang ia rasakan. Dia hanya bisa manja," bisik Kyra, ia menyandarkan kepalanya di bahu Arion, gerakan yang begitu intim dan penuh arti.
Arion merasakan wangi strawberrynya meresap ke pori-porinya. Ia merasakan gejolak dalam dirinya—sebagian ingin mendorong Kyra menjauh karena batas etika, sebagian ingin memeluknya karena rasa kasihan. Inilah chemistry yang dilarang, yang membuat Arion merasa makin gila.
"Gelang itu adalah wadahnya, Kak. Dan aku..." Kyra mengangkat kepalanya, menatap Arion dengan mata hazelnya yang memohon. "Aku adalah kuncinya. Aku yang tahu bagaimana mengendalikan dia."
Kyra mencondongkan tubuhnya ke Arion, suaranya kini dipenuhi rasa cemburu dan posesif yang tak tertahankan.
"Kami tidak takut ditinggalkan Ayah, Kak. Kami takut ditinggalkan oleh Jangkar yang memilih kebebasan. Jangkar yang memilih wanita lain. Jangkar yang memilih Risa."
Kyra menyentuh bibir Arion dengan jarinya. "Kau sudah melihat kami menangis. Kau sudah melihat kami ketakutan. Sekarang, tunjukkan pada kami: apakah kau akan kembali ke kebebasan yang fana itu, atau kau akan tetap di sini, terikat pada kami, pada misteri yang tidak akan pernah kau pecahkan?"
Arion merasakan sentuhan Kyra di bibirnya, dan ia tahu, pengawasan Kyra terhadap emosinya lebih berbahaya daripada gelang apa pun. Ia tidak bisa berpikir logis lagi. Ia tidak bisa menahan chemistry yang beracun ini.
Ia menarik napas, matanya terkunci pada Kyra. Ia memiliki dua pilihan: melarikan diri, atau menyerah pada hasrat dan misteri yang berbau bahaya ini.
Arion perlahan mengangkat tangannya, dan memegang kepala Kyra.
"Aku akan tinggal," Arion berbisik, menyerah pada permainan berbahaya ini. "Aku akan mencari tahu. Dan kau akan membantuku."
Kyra tersenyum penuh kemenangan, senyum yang begitu manis hingga terasa seperti racun.
Arion telah memilih. Dengan keputusan untuk tetap tinggal, ia secara sadar melepaskan kebebasan logisnya dan mengikat dirinya pada benang-benang emosional Kyra yang kejam dan Luna yang rentan.
Setelah Arion mengklaim Kyra sebagai sekutunya (walau dengan nada dingin dan penuh tekad), Kyra melepaskan diri dengan senyum puas. Ia tahu Arion kini berada dalam kendalinya.
"Luna tidak mau makan. Dia mengunci diri. Kakak harus menenangkannya," ujar Kyra, nadanya kini penuh perintah, bukan permintaan.
Arion menghela napas. "Apa yang kalian berdua inginkan? Aku sudah memilih untuk tetap tinggal. Apa lagi?"
"Kami ingin Kakak memastikan kami aman," jawab Kyra. "Dan satu-satunya cara untuk aman adalah dengan menghancurkan semua rahasia yang mengancam kami. Termasuk rahasia yang Ibu sembunyikan di kamar Ayah. Dan rahasia yang Luna sembunyikan di kamarnya."
Kyra menunjuk ke pintu kamar Luna, yang kini tertutup rapat. "Luna menyimpan sesuatu. Sesuatu yang membuatnya takut, bahkan lebih dari Gelang itu. Aku tidak tahu apa itu. Aku hanya tahu dia tidak pernah mengizinkan siapa pun masuk ke sana, bahkan aku."
Arion menunggu hingga malam tiba. Setelah memohon pada Luna melalui pintu yang terkunci untuk memastikan adiknya itu masih hidup (dan Luna hanya menjawab dengan tangisan yang dibuat-buat), Arion tahu ia harus bergerak.
Pukul 01:00 dini hari. Rumah itu sunyi, hanya diterangi oleh lampu malam yang remang-remang.
Arion mengambil kunci duplikat yang ia temukan (kunci utama Ayahnya, Bab II yang diperbaiki), dan berjalan ke kamar Luna.
Ia memasukkan kunci itu, memutarnya perlahan. Klik.
Pintu kamar Luna terbuka.
Bau vanilla yang biasanya lembut, kini terasa pekat dan menyesakkan, seperti aroma yang digunakan untuk menutupi sesuatu yang busuk. Arion melangkah masuk.
Kamar Luna gelap, tirai jendelanya tertutup rapat. Cahaya bulan tidak dapat menembusnya. Arion menyalakan senter ponselnya.
Kamar itu adalah cerminan dari jiwa Luna: dekorasi serba putih, bantal-bantal mewah, boneka-boneka beruang, dan di tengahnya, ranjang besar dengan seprai sutra. Pemandangan yang sangat feminin dan polos, tetapi terasa artifisial.
Arion mengamati Luna. Ia tidur meringkuk, memeluk erat selimut beludru. Pergelangan tangannya yang memakai Gelang Perak itu tersembunyi di bawah bantal—sebuah refleks protektif.
Arion tidak berniat menyentuh Luna, tetapi ia harus mencari. Kyra mengatakan Luna menyembunyikan sesuatu.
Ia berjalan ke meja rias Luna. Di sana terdapat botol-botol parfum yang mahal. Arion ingat tebakan Kyra di bab sebelumnya (Bab XV yang sudah dihilangkan) tentang tempat penyimpanan kunci kecil Luna.
Arion memindahkan botol parfum di sudut. Tidak ada kunci kecil, tetapi ada sebuah kotak musik kecil dari kayu yang diukir rumit.
Arion mengambil kotak musik itu. Benda itu terasa dingin. Ia membukanya.
Musik lembut mulai mengalun—melodi sederhana yang sedih. Di dalamnya, tidak ada perhiasan. Hanya ada dua helai rambut hitam panjang yang dililit rapi, diikat dengan pita sutra merah. Rambut itu terasa tebal dan kasar saat Arion menyentuhnya.
Rambut. Kenapa Luna menyimpan rambut yang diikat seperti jimat di kotak musiknya?
Tiba-tiba, Arion merasakan sentuhan dingin di lehernya. Ia membeku.
Luna berdiri di belakangnya. Ia tidak lagi di ranjang. Arion tidak mendengar Luna berjalan, bahkan di lantai kayu.
"Kau melanggar batas, Jangkar," bisik Luna, suaranya sedingin es.
Arion berbalik, jantungnya berdegup kencang. Wajah Luna hanya berjarak beberapa sentimeter. Matanya terbuka lebar, memantulkan cahaya senter.
"Luna, aku hanya—"
"Kau tidak boleh menyentuh itu," potong Luna, tatapannya kini dipenuhi ancaman yang dalam.
Luna tidak menyerang Arion dengan kekuatan fisik yang brutal seperti di Bab XXVI. Ia menyerang Arion dengan tatapan emosional. Arion merasakan gelombang rasa takut yang bukan miliknya—rasa takut yang begitu kuat, ia nyaris menjatuhkan kotak musik itu.
"Apa ini?" tanya Arion, mencoba mengendalikan ketakutannya.
Luna tersenyum dingin. "Itu adalah saksi kami. Rambut dari wanita yang menjadi Pengawas sebelum Kyra. Wanita yang seharusnya menjadi Jangkar Ayah kandungku. Rambut yang dipotong sebelum dia dibunuh."
Rasa dingin yang merayap di leher Arion kini terasa nyata. Bukan hanya manipulasi, ini adalah ancaman pembunuhan dari masa lalu mereka.
Luna menjulurkan tangan ke kotak musik itu. Tangannya gemetar. "Aku tidak menyimpannya untuk kekuatan, Kak. Aku menyimpannya karena aku takut rambutku sendiri yang akan ada di sana berikutnya. Itu adalah pengingat."
Luna tiba-tiba memeluk Arion, membenamkan wajahnya di dada Arion. Pelukannya kuat, tetapi bukan karena nafsu, melainkan karena ketakutan yang mendalam. Arion merasakan air mata Luna membasahi kemejanya.
"Aku takut, Kak Arion. Rambut ini membuatku ingat Ayah kandungku. Dia akan datang mengambil kami. Kau harus menjadi Jangkar kami. Kau harus membunuh semua ketakutan ini," isak Luna.
Arion memeluknya erat, menenangkan Luna. Emosinya kini nyata, bukan lagi manja. Arion menyadari bahwa di balik ancaman Gelang, di balik rengekan, ada ketakutan yang begitu besar hingga Luna harus membangun benteng dari vanilla dan kepalsuan.
Saat Arion menenangkan Luna, ia merasakan ada sesuatu yang terselip di balik selimut di ranjang Luna.
Dengan satu tangan memeluk Luna, Arion menggunakan tangan yang lain untuk meraba-raba selimut itu.
Ia menemukan sebuah ponsel lama—bukan ponsel pintar, tetapi ponsel flip kuno. Ponsel yang tidak terhubung ke internet, tidak memiliki pelacak, tetapi sangat disembunyikan.
Luna adalah Korban yang Memantau dengan cermat.
Tiba-tiba, pintu kamar Luna terbuka. Kyra berdiri di sana, memegang pistol kecil.
"Kak Arion! Luna! Ada yang datang! Danu! Dia ada di gerbang! Dia datang sendiri!" teriak Kyra.
Kyra melihat Arion memeluk Luna di tengah ruangan. Ia melihat Luna menangis. Kecemburuannya langsung memuncak.
"Kau curang! Kau mengambil Luna! Kau tidak mendengarkanku!" teriak Kyra.
Arion tidak punya waktu untuk menjelaskan. Ia harus melindungi mereka berdua.
"Tinggalkan pistol itu, Kyra! Danu akan melihatnya!" perintah Arion.
Arion menatap kedua adik tiri yang kini saling bertentangan: Luna yang rapuh dan ketakutan, dan Kyra yang cemburu dan bersenjata. Danu sudah ada di gerbang.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!