"Ceddy!"
Suara teriakan seorang wanita memenuhi ruangan. Membuat si pemilik nama bergegas menyahutinya.
"Ya, Bunda!" Seorang pria kecil berjalan pelan menghampiri sang Ibu.
"Sayang, karena ini hari pertamamu sekolah di sekolah dasar, kita rayakan dengan makan kue spesial buatan Bunda," jelas Wanita itu tersenyum sumringah. Memperlihatkan potongan kue coklat yang di hiasi berbagai toping coklat juga.
"Wow! Makasih, Bunda," jawab Ceddy, tangannya memeluk sang Ibu.
"Sama-sama, sayang. Yuk dimakan," ajaknya.
Wanita itu menatap Putranya dalam, ia sangat mensyukuri hadirnya Cedric didalam hidupnya. Putra kecilnya yang sangat menyukai apapun yang berhubungan dengan Coklat.
"Pegangan ya, nanti jatuh," pintanya, menarik kedua lengan Putranya melingkari pinggangnya.
"Eh, Anna! Ini hari pertama si bocah, ya," celetuk seorang lelaki tampan. Cedric yang di panggil bocah hanya bisa mendengus kesal.
"Eh, Adnan! Iya, Nan," jawab Anna, singkat.
"Eh, bocah! Rajin-rajin sekolahnya, awas kalo nakal," pesan Adnan, sambil mengusap-usap kepala Cedric.
"Iya, Om. Aku tau, kok! Lagian Aku enggak mau Bunda khawatir," jawab Cedric, sambil menenggelamkan kepalanya di punggung Anna.
"Pintarnya anak Bunda," ucap Anna. "Eh, aku pamit ya, Nan. Nanti Ceddy terlambat," pamit Anna sembari menstater motornya.
"Hati-hati."
Sesampainya di SD Kasih Ibu.
"Rajin-rajin sekolahnya, ya. Nanti Bunda jemput kalo udah jam pulang," ujar Anna sembari mengelus rambut Putranya.
Cedric mengangguk paham. "Bunda hati-hati ya," sahut Cedric.
Anna menatap punggung kecil Putranya yang semakin menjauh.
'Enggak terasa. Putraku yang kemarin masih ku gendong karena menangis minta susu, sekarang sudah sebesar ini. Maafin, Bunda ya. Bunda enggak bisa berikan kasih sayang penuh layaknya anak-anak lain, karena keegoisan Bunda,' batin Anna, ia merasa sangat bersalah pada buah hatinya itu.
****
Tepat pukul 10 pagi. Anna telah tiba di depan sekolah Cedric. Ia menutup toko kuenya setiap jam pulang Cedric.
"Ceddy!" teriak Anna, memanggil Putranya.
Cedric yang mendengar itu, hanya diam berjalan dengan wajah tertunduk. Anna terdiam melihat sikap Putranya, jelas ia tahu bahwa selama ini Cedric memanglah anak yang pendiam dan tidak banyak tingkah seperti anak-anak pada umumnya.
"Ada apa, sayang?" tanya Anna, ia mensejajarkan tingginya dengan Putranya. "Apa terjadi sesuatu di dalam? Kamu dimarahi Bu Guru?" tanya Anna dengan lembut, dengan sorot mata khawatir.
Cedric yang melihat itu hanya bisa diam. Lalu tersenyum kecut, "Aku enggak apa-apa kok, Bun. Ceddy cuma lelah habis sekolah," jawabnya, lalu berjalan menaiki motornya.
Anna yang masih belum yakin, ingin bertanya kembali. Namun ia urungkan karena melihat wajah Putranya yang sedih.
****
Beberapa hari berikutnya. Anna masih tetap merasa terjadi sesuatu pada Putranya. Namun, ia masih tetap mendapatkan jawaban yang sama dari pertanyaannya yang pertama kali.
Anna hanya bisa melihat punggung anaknya yang berjalan menjauh memasuki sekolah. Putranya yang selalu pendiam, terkadang memang selalu memendam semuanya seorang diri padahal jelas itu tak seharusnya dilakukan seorang anak kecil pada umumnya.
Anna mengerti, anaknya berusaha tak membuatnya khawatir. Cedric terlalu mandiri dan dewasa dari umurnya. Bahkan anaknya itu tak pernah menangis karena menginginkan sesuatu. Anna hanya bisa mengetahui keinginan Cedric saat Putranya itu menatap lama sesuatu atau benda.
'Ya Allah. Tolong jagalah Putraku. Dia satu-satunya tujuan hidupku! Dia satu-satunya alasanku bertahan,' batin Anna, tak terasa buliran bening itu mengalir di pipinya.
Anna termenung di Tokonya. Keadaan tokonya memang lagi sepi. Hanya ada beberapa pengunjung. Pikirannya melayang pada Putranya. Perasaannya tak menentu. "Jangan sampai terjadi sesuatu pada Ceddy," gumam Anna nyaris tak terdengar.
"Apa? ANNA!"
Anna terlonjak kaget mendengar Adnan yang berteriak di depannya. "Adnan! Lo bikin gue kaget aja!" seru Anna memegang dadanya yang berdegup kencang.
Adnan terkekeh. "Lagian Lo ngapain sih bengong sambil komat-kamit?" tanya Adnan, yang sedari masuk sudah memperhatikan Anna yang komat-kamit.
"Kesambet baru tau," sambungnya.
Anna hanya mendesah pelan. "Hah... Enggak tau nih, Nan. Gue kepikiran sama Ceddy. Entah kenapa perasaan gue enggak enak," jawab Anna, dengan raut wajah gelisah.
"Tenang, Na. Lagian Ceddy di sekolahnya, kan! Enggak mungkinlah dia kenapa-kenapa," jawab Adnan, berusaha menghibur Anna.
"Ya, tapi sikapnya itu berubah banget semenjak hari pertama masuk sekolah, Nan..."
"Gue enggak tenang. Karena setiap gue tanya dia selalu jawab hal yang sama, dia hanya cape karena ternyata di sekolah dasar tugasnya lebih banyak. Padahal Lo juga tahu betul seberapa pintar Ceddy," sambung Anna yang merasa aneh. Jelas Ceddy telah banyak mengikuti perlombaan usia dini, perlombaan Matematika dan IPA yang paling dia sukai.
Drttt! Drrttt!
Anna meraih ponselnya yang bergetar. Dan, dengan cepat menjawab panggilan itu kala nama Guru sekolah dasar Putranya terpampang disana. Ya, dia meminta nomor wali kelas Cedric beberapa hari yang lalu, semenjak sikap Putranya itu mulai berbeda.
"Waalaikumsalam, Bu. Ada apa ya, Bu Mita?" tanya Anna dengan cemas. Baru saja ia memikirkan Putranya, dan Guru sekolah Putranya malah menelpon.
"Maaf, Bu Anna. Cedric bertengkar dengan teman sekelasnya. Jadi, bisakah Ibu datang ke sekolah sekarang," terang Guru Mita.
"Apa! Ba-baiklah, Bu. Tolong jaga anak saya sebentar ya," jawab Anna dengan cepat.
Tut!
Saat sambungan telpon terputus, Anna segera menyambar kunci motornya dengan panik. "Adnan, gue titip toko gue bentar ya. Ceddy.... Ceddy---."
"Anna! Tenang, gue jagain toko Lo. Tapi Lo harus tenang, hati-hati bawa motornya," jelas Adnan, penuh pengertian.
"Makasih, ya!"
Anna melajukan motornya dengan cemas. Pikirannya bercabang. Ia tau Ceddy adalah anak pendiam, tak mungkin Putranya itu memulai perkelahian tanpa sebab.
"Assalamualaikum!" Anna memasuki ruang Guru dengan cemas. Matanya menelusuri letak keberadaan Putranya. Dan, berlari menuju Cedric yang tertegun melihat Anna yang datang dengan nafas memburu. Lalu, anak itu tertunduk merasa bersalah dan menyesal.
"Ya Allah, sayang. Apa yang terjadi, Nak... " Anna tak menghakimi Putranya, ia memeluk Cedric dengan lembut.
"Maaf, Bunda," gumam Cedric nyaris tak terdengar, tangannya bergetar menahan tangis. Namun, Anna menyadari itu dan menatap Putranya.
"Enggak apa-apa, sayang. Enggak papa. Kamu enggak salah, kok," ujar Anna mencoba menenangkan Cedric. Satu tangannya memeluk Cedric dalam dekapannya dan satunya memberikan rasa nyaman dengan mengelus rambut Putranya.
Saat Cedric mulai tenang. Suara lantang seorang wanita membuat seisi ruangan kaget. Termasuk Cedric dan Anna.
"Hei, Anna! Enggak salah! Enggak salah! Kamu yang benar dong Ngajarin anak! Anak salah di bilang enggak salah! Liat anak saya sampai luka-luka begini!" bentak seorang Wanita, menunjuk Putranya.
"Begini nih, kalo anak yang gak dapet didikan dari Ayahnya," sambungnya dengan sinis.
Deg!
Jantung Anna seolah berhenti berdetak. Ia menahan sesak di dadanya, mendengar pernyataan itu. Ia tak apa-apa, namun tidak dengan anaknya yang saat ini semakin mengeratkan genggamannya di baju Anna.
"Bu! Jangan sembarangan kalo ngomong! Saya tahu, Anak saya. Dia enggak mungkin duluan kalo enggak ada sebabnya," jawab Anna dengan lantang. Ia berdiri menatap Ibu itu, dan menyembunyikan Cedric di belakang tubuhnya.
"Halah, buktinya anak saya sampe luka-luka begini! Kamu harus tanggung jawab, Anna! Inilah akibat kalo hamil di luar nikah. Anak yang enggak diinginkan Ayahnya, mana mungkin bisa berbaur dengan anak-anak lainnya," cetusnya tanpa perasaan.
"Bu Laras!" bentak Anna.
"Apa kamu bentak-bentak saya! Itu memang kenyataannya, Anna! Kamu datang ke Kota ini dalam keadaan hamil tanpa tahu siapa Ayahnya! Kamu dan anakmu itu pembawa sial di sini," cerocosnya lagi, dengan emosi.
"Bu Lara---"
"Aku yang salah! Aku minta maaf! Jangan sakitin Bunda! Bunda enggak salah!" teriak Cedric dengan nafas memburu, tangannya bergetar hebat.
Hati Anna sakit mendengar permintaan maaf dari Putranya. Ia berjongkok dihadapan Cedric. "Enggak, sayang! Kamu enggak salah. Bunda yang salah, hiks... Maafin Bunda, ya," jelas Anna, ia memeluk Cedric dengan tangisnya.
"Hiks... Hiks... Bunda enggak salah, hiks... Bunda enggak salah. Ceddy yang salah!" teriak Cedric sembari menangis tersedu-sedu, berusaha membela Ibunya.
"Enggak sayang, enggak!" Anna semakin merasa bersalah pada Putranya. Ini pertama kalinya sejak beberapa tahun, Anna melihat Cedric menangis tersedu-sedu seperti ini.
"Cedric, tenang, Nak. Kita enggak tahu siapa yang salah kalo kamu cuma diam," jelas Bu Mita berusaha menengahi. Cedric masih menangis di pelukan Anna namun perlahan mereda.
"Bu Laras, sebaiknya Ibu menjaga kata-kata Ibu di depan anak-anak! Ibu mana yang rela anaknya di hina, jadi Ibu harusnya tahu bagaimana perasaan Bu Anna," sambung Bu Guru Mita, ia menatap Laras dengan sarkas.
Laras hanya memalingkan wajahnya tanpa rasa bersalah.
"Tio, sekarang jelaskan kenapa kamu bisa bertengkar dengan Cedric?" tanya Bu Guru Mita.
Anak itu hanya menunduk takut.
"Di-dia terus te-terusan bilang ka-kalo a-aku anak ha-haram hiks... Hiks, dia bahkan men-mencuri Kue Coklatku," jelas Cedric terbata-bata, berusaha menahan tangisnya.
"Dia enggak suka aku lebih pintar darinya," sambung Cedric.
"Cedric, ceritakan semuanya ya!"
Flashback.
"Siapa yang tahu hewan apa saja yang bisa bernafas di laut dan di darat?" tanya Bu Mita.
Tio mengangkat tangannya sembari tersenyum sumringah. "Lumba-lumba, Bu!" jawabnya dengan percaya diri.
"Salah, Tio!"
"Loh, tapi benar kok. Waktu aku sama Mama dan Papa nonton pertunjukan lumba-lumba, waktu itu lumba-lumbanya keluar dari air," jelas Tio dengan kekeh.
"Bu Guru enggak pernah nonton pertunjukan lumba-lumba, benar ko---."
"Lumba-lumba tidak termasuk hewan amfibi. Lumba-lumba adalah mamalia laut yang hidup di air dan bernapas menggunakan paru-paru. Mereka tidak memiliki kemampuan untuk hidup di darat seperti hewan amfibi," potong Cedric, sontak membuat seisi kelas terdiam.
Bu Mita terkejut dengan kemampuan berbahasa dan pengolahan kata yang di berikan Cedric. Untuk anak seusianya itu sangatlah cerdas.
"Kamu tahu apa hewan amfibi?" tanya Bu Mita, yang semakin penasaran dengan kemampuan Cedric. Cedric mengangguk, dengan ekspresi datar khasnya.
"Jadi, Hewan amfibi adalah hewan yang hidup di dua lingkungan, yaitu air dan darat. Contoh hewan amfibi adalah katak, salamander, dan kodok," jawab Cedric dengan entengnya, lalu kembali fokus pada buku pelajarannya.
"Wow! Semuanya tepuk tangan untuk Cedric!"
Prok!
Prok!
Prok!
"Cedric! Kamu sangat pintar. Bu Guru bangga sama kamu. Perkembangkan lagi ya kemampuanmu, biar nantinya bisa jadi anak yang membanggakan orang tua," jelas Bu Mita sembari mengelus lembut surai Cedric.
Bocah itu mengangguk dengan senyum tipis. Kalo sudah membahas soal Bundanya ia tak bisa menahan perasaannya.
Selesai kelas. Para siswa-siswi mengerumuni Cedric. Tetapi bocah itu hanya fokus pada buku pemberian Ibunya, tentang astronomi.
"Wah! Cedric kamu pintar sekali tadi. Bagaimana kamu bisa menjawabnya tadi?" tanya seorang gadis kecil.
"Iya, aku saja tidak bisa, hehe," timpal seorang gadis.
"Halah, dia itu sok tahu aja! Dia pasti belum pernah nonton pertunjukan lumba-lumba, karena keluarganya miskin dan dia enggak punya Ayah," ledek Tio, sembari mengompori teman-temannya.
"Hah? Cedric enggak punya Ayah? Ayahnya meninggal?" tanya gadis kecil itu dengan polosnya.
"Dia itu anak haram! Ayahnya buang dia karena kata Mamaku, Ibunya hamil diluar nikah," jawab Tio, dengan ekspresi bangga di wajahnya.
Cedric yang mendengar itu merasa marah. "Aku bukan anak haram! Bunda enggak hamil di luar nikah! Bunda.... Bunda----." Cedric terdiam, ia sadar selama ini ia tak mengetahui apa-apa tentang Ayahnya. Apakah benar ia adalah anak yang tak diinginkan seperti kita Tio.
"Apa? Benarkan dia anak diluar nikah, anak haram. Dia aja enggak bisa jawab," hasut Tio. Seketika itu juga raut wajah anak-anak disana berubah saat menatap Cedric.
"Diam, Tio! Aku tau kau iri padaku yang tidak mempunyai Ayah ini tapi lebih pintar dari kamu, kan," balas Cedric dengan mata yang menatap tajam penuh amarah pada Tio.
Bocah itu tertegun, menahan malu dan marah. "Aku tidak iri sama anak haram kaya kamu!" teriaknya mendorong Cedric sekuat mungkin, hingga anak itu terjungkal dan tangannya mengenai kursi hingga bengkak.
"Kau---." Cedric berusaha bangun walau tubuhnya sakit. Ia mencakar tangan Tio, karena kesal.
Dan, terjadilah pertengkaran yang membuat kedua bocah itu luka-luka di sekujur tubuhnya.
Flashback Off!
Seisi ruangan seketika hening tak bersuara. Semua fokus tertuju pada Tio. Mereka menatap penuh pertanyaan apakah semua yang diceritakan Cedric adalah kebenarannya.
"Benar! Itu salah Tio! Tio yang duluan dorong Cedric sampe jatuh," celetuk seorang gadis kecil.
Seketika itu juga Bu Laras terdiam, dengan wajah yang memerah bak tomat menahan malu akibat ulah anaknya.
"Sudah jelaskan, Bu Laras yang terhormat! Saya minta anda meminta maaf pada anak saya, dan anak anda juga meminta maaf!" Anna menatap Laras dengan tajam, hatinya tak akan pernah bisa memanfaatkan segala perkataan jahat itu pada Putranya.
"Ini salah Mama! Aku dengar sendiri. Mama yang bilang kalo Cedric anak haram dan Ibunya hamil di luar nikah!" teriak Tio, merasa tak terima jika harus meminta maaf pada Cedric.
"Tio!" Laras semakin menundukkan kepalanya malu.
"Saya dan anak saya minta maaf. Karena sudah mengatakan hal yang keterlaluan pada Cedric," jelas Laras dengan wajah tertekan. Laras menyenggol anaknya untuk segera meminta maaf.
"Ma-maaf, Cedric! Aku tidak akan begitu lagi!"
Setelah semua perdebatan selesai. Anna hanya bisa memandang Putranya yang tertidur pulas dengan mata yang sembab karena menangis.
"Maafin Bunda, sayang..." Anna tak tega melihat keadaan Putranya. Apalagi setelah mendengar semua cerita Cedric. Bagaimana bocah itu tak bisa menjawab apapun saat pertanyaan tentang Ayah kandungnya muncul.
Anna kembali teringat kejadian 8 tahun lalu, saat ia belum mengandung Cedric. Saat-saat terberat baginya. Saat ia hampir saja menyerah pada hidupnya, saat ia terpuruk akan keadaan yang tak pernah berpihak padanya, saat lelaki itu merenggut cinta dan kesuciannya walau dengan status Istri satu minggunya.
Flashback On.
Disebuah ruangan.
"Apa benar? Semua yang mereka katakan itu benar?" tanya seorang lelaki, tubuhnya yang tinggi serta bentuk wajahnya tegas menambahkan kesan dingin.
"Lucian, gadis inilah yang telah mencelakai Mona! Hiks... Hiks, Mona yang malang bertemu gadis ular sepertinya!" bentak seorang wanita, menatap tajam dengan seringai di bibirnya.
"Jawab Anna!" bentak Lucian, habis kesabaran.
Gadis itu yang merasa telah di fitnah hanya bisa menggelengkan kepalanya, dengan sedikit pembelaan yang keluar dari bibirnya.
"Bu-bukan! Aku tidak tahu," jelasnya terbata.
Lucian lelaki itu menoleh dengan amarah di wajahnya. Jelas lelaki itu sedang dalam kondisi emosi yang meluap-luap.
"Aku tanya sekali lagi. Apakah kau yang telah mencelakai Mona!" bentak Lucian, tangannya dengan kasar memegang dagunya.
"Tidak, Lucian! Aku tidak melakukan itu, aku bersumpah. Hiks... "
"Tidak! Jangan bohong kamu, Anna! Jelas-jelas kami melihat kau yang terakhir kali menyentuh mobil Mona sebelum dia pergi," tuduh seorang gadis, menatap wanita di sambil sembari berkedip.
Dalam keadaan emosi, Lucian tanpa sadar menurunkan genggamannya ke leher Anna dan mengeratkan jarinya yang memegang leher Anna. Sehingga gadis itu mulai kesulitan bernafas.
"Luc----Lucian, le-lepas," pinta Anna terbata-bata. Nafasnya tercekat, air matanya mulai mengalir deras di pipinya.
Ia tak menyangka pria yang ia cintai ini tega mencekik dirinya. Hatinya sangat sakit, bak tertusuk ribuan jarum. Anna tahu seberapa besar rasa sayang Lucian pada Mona. Mana mungkin Anna tega membiarkan lelaki yang ia cintai bersedih.
BRAK!
"Lucian! Apa yang telah kau lakukan, hah! Kau mau membunuh Anna!" bentak seseorang.
"Kakek..."
"Kakek sudah cukup membela gadis ini, tidak cukupkah selama ini Kakek menyayanginya melebihi Cucumu sendiri!" bentak Lucian emosi. "Jangan buta dengan kenyataan! Bukalah matamu!" hardik Lucian dengan emosi.
"Aku tidak pernah membedakan kasih sayangku padamu, Liana, bahkan Anna!" Kakek tampak memegang dadanya, sembari terus menjawab pertanyaan Cucunya itu.
"Omong kosong! Haha... Harusnya aku tahu ini percuma bahkan setelah Mona kritis gara-gara gadis ini, Kakek masih membelanya?" tanya Lucian seolah tak percaya.
Kakek menggeleng pelan. "Kakek percaya, Anna. Anna tidak mungkin melakukan hal itu. Kakek akan menyelidiki ini, Luc. Jadi bersabarlah," pinta Kakek, ia tahu sejak awal emosi Lucian selalu tak bisa di kontrol.
"Sabar? Saat wanita yang kucintai terbaring koma! Jika terjadi sesuatu pada Mona, Aku tak akan tinggal diam!" bentak Lucian, ia menatap Anna penuh kebencian, lalu berlalu meninggalkan ruangan itu.
"Apa yang kalian lakukan! Bisa-bisanya kalian menuduh Anna!" bentak Kakek, tak habis pikir dengan menantu serta Cucu perempuannya itu yang tak pernah bisa menerima Anna dirumah ini.
"Hah... menuduh? Jelas sekali bukti menunjukkan gadis yatim piatu ini yang melakukannya," balas Rianti, Ibu Lucian dan Liana.
"Kau---." Kakek yang tak lagi sanggup menahan emosinya yang meledak-ledak, akhirnya terjadi pingsan.
"Kakek!" teriak Anna.
"Ka-kakek," lirih Liana, yang merasa bersalah.
"Minggir dasar anak enggak tahu diri! Ini semua karena kau!" bentak Rianti yang mendorong Anna hingga tersungkur.
Anna hanya bisa menangis. Ia tak bisa berbuat apapun. Semua perlakukan keluarga besar Dewata selalu ia terima, walau tubuh, pikiran dan hatinya tak sanggup lagi menerima semua kesakitan fisik dan hinaan ini.
Ia lakukan semata-mata karena ia merasakan kasih sayang Kakek yang sangat tulus padanya yang hanya seorang yatim piatu. Ia yang pertama kali merasakan kehangatan sebuah keluarga. Ia juga yang telah menemukan cintanya di rumah besar ini.
Anna tahu betul. Sangat-sangat mengetahui tembok apa yang membatasinya saat ini. Anna dan Lucian adalah dua nama yang tak akan pernah bisa bersatu. Bukan hanya karena status keluarga dan kekayaan namun perasaan cinta Lucian terhadap kekasihnyalah yang membuat hati Anna hancur.
"Hiks... Hiks..."
Semua ia lakukan demi bisa memberikan kebahagiaan pada Lucian. Entah sejak kapan sosok dingin Lucian memenuhi relung hatinya. Ia yang tak lagi memiliki harapan hidup, seketika memiliki harapan walau hanya sedikit ia tak ingin menyia-nyiakan harapan itu.
Anna menatap lengan kanannya dengan sendu. Melihat sebuah bekas luka bakar yang cukup besar, yang menjadi saksi awal mula kebencian Lucian padanya.
Kondisi Kakek dinyatakan kritis setelah dibawa kerumah sakit. Seluruh keluarga besar Dewata datang, kecuali Anna yang hanya bisa menanti-nantikan kabar baik dari Rumah sakit.
Anna melaksanakan kewajibannya, sebagai umat muslim, meminta pertolongan hanya kepadanya, sang maha pencipta. Ia tak punya tempat lain untuk mengadu hanya ialah tempat untuk Anna mengadu dan meminta.
"Ya Allah... Hamba memohon padamu, hanya engkaulah tempat untukku mengadu dan memohon. Tolong berikanlah keselamatan untuk Kakek Edward. Namun, jika yang terbaik menurutmu adalah membawanya ke sisimu. Aku ikhlas, tapi berikanlah hambamu ini kesempatan untuk berada di sisinya, disaat-saat terakhirnya," pinta Anna, tak terasa air matanya mengalir deras. Karena ia tahu betul, selama ini Kakek telah mengidam penyakit kanker yang terus menggerogoti dirinya tanpa sepengetahuan siapapun.
Hanya Anna dan Asisten Pribadi Kakek yang mengetahuinya, karena Anna yang selalu berada di samping Kakek tanpa sengaja mengetahui semuanya. Anna tahu betapa sakitnya Kakek menahan semua itu. Maka itulah Anna ikhlas jika satu-satunya orang di dunia yang menyayanginya dengan tulus, kembali ke sisi yang maha kuasa.
"Hiks... Kakek. Makasih, makasih banyak. Dan, maaf," lirih Anna, terisak. Ia menangis sesenggukan sembari berusaha menahan tangisnya agar tak terdengar.
Di rumah sakit.
**CEKLEK**!
Pintu ruang operasi telah dibuka dan dokter keluar. Membuat Lucian segera bergegas menghampiri Dokter dan bertanya.
"Bagaimana kondisinya!"
Dokter menggeleng pelan. "Tuan, harus segera mempersiapkan hati untuk kemungkinan terburuk, saya minta maaf tapi penyakit kanker Tuan Besar sudah menyebar dan tak bisa lagi----."
"Apa-apaan kau, hah! Aku membangun rumah sakit ini agar keluargaku bisa mendapatkan perawatan terbaik! Mengapa tidak ada satupun laporan jika Kakek mengidap kanker!" bentak Lucian dengan amarah yang membuncah, ia menarik kerak Dokter itu dengan emosi. Ia baru saja mendapati wanita yang di cintanya berada dalam kondisi koma dan sekarang ia harus menerima kenyataan bahwa ia akan kehilangan Kakeknya juga.
Ia memang membenci sikap tak adil dan pilih kasih Edward padanya dan Anna, bahkan sebelum kedatangan Anna, Edward tak pernah menunjukkan kasih sayangnya pada dirinya.
Entah sudah berapa banyak prestasi yang Lucian dapatkan dalam dunia akting, bahkan ia harus menjalani dua peran yang sama-sama sulit yaitu menjadi Pewaris DW Entertainment juga menjadi seorang Aktor.
"Kami tak bisa berbuat apa-apa, karena Tuan Besar melarang kami untuk melaporkan keadaan beliau kepada siapapun," jelas Dokter menunduk takut.
"Cukup, Lucian! Jangan membuat keributan! Jelas-jelas Kakek yang merahasiakannya dari kita semua!" teriak Adam, Papa Lucian.
Lucian melepaskan tangannya, dan terduduk lemas.
'*Haha... Apakah sampai akhir kau tidak akan pernah memberitahukan semuanya padaku, Kek? Apakah kau sungguh sangat membenci diriku*?' batin Lucian, ia menahan sesak di dadanya dan memijat pelipisnya yang terasa berdenyut.
**CEKLEK**!
"Lucian! Pasien memanggil seseorang bernama Lucian! Apakah hadir?" tanya seorang suster, melirik diantara anggota keluarga Dewata.
Lucian tertegun. Ia terdiam sejenak seolah tak percaya bahwa Kakeknya akan memanggil dirinya sesaat setelah ia sadar. Lucian segera berlari memasuki ruangan dengan perasaan tak menentu berpikir bahwa mungkin Kakeknya akhirnya akan mengerti dirinya.
"Ka-Kakek," panggil Lucian, melihat keadaan Kakeknya yang sangat memperihatinkan.
Sosok **Edward Stuart Dewata**, yang sangat terkenal di industri hiburan, mantan Aktor Terpopuler dan Pendiri Perusahaan Entertainment terbesar di Asia, DW Entertainment. Saat ini sedang terbaring dengan selang infus dan oksigen di tubuhnya, dengan kulit yang memucat.
Edward menjulurkan tangan perlahan menyentuh tangan Lucian. Melihat itu Lucian merasa bahagia.
"Apa yang ingin Kakek katakan? Katakan saja, Aku akan mendengarkannya," ucap Lucian pelan, penuh dengan perasaan.
"Me-menikahlah dengan Anna, Luc," lirih Edward terbata-bata.
**DEG**!
Jantungnya seolah berhenti berdetak saat itu juga. Ia yang tadinya berharap ungkapan kasih sayang dari Sang Kakek malah mendengar permintaan paling tak masuk akal itu.
**Plak**!
Lucian menghempaskan tangan Edward dengan kasar. Wajahnya terlihat jelas menelan kekecewaan yang begitu dalam pada ungkapan Edward pada dirinya barusan.
Bukan ungkapan kasih sayang, melainkan menikahi Anna yang jelas-jelas telah mencelakai kekasihnya, yang telah merenggut semua kasih sayang Edward darinya dan sekarang ia akan merenggut kebahagiaannya juga?
"Luc---."
"Cukup! Haha... Sampai akhir pun Kakek tetap membela gadis hina itu, kan! Aku membencinya! Sejak Kakek membawanya ke rumah!" Lucian lelaki itu yang selalu tampak dingin tak berperasaan akhirnya memperlihatkan raut wajah kekecewaan yang mendalam, kasih sayang Edward adalah hal yang paling ia inginkan.
Edward adalah kebanggaannya sejak kecil. Tetapi Edward selalu bersikap dingin, acuh dan keras padanya.
"Ini permintaan terakhir Kakek. Kakek ... mohon," lirih Edward, menatap Lucian.
Edward tahu rasa benci Lucian terhadap Anna karena semua kesalahpahaman yang ia lakukan tanpa pernah ia luruskan. Tapi Edward yakin, ketulusan cinta Anna terhadap Lucian lah yang akan mengubah Lucian. Edward tahu, Anna seribu kali lebih tulus dan baik untuk Lucian daripada Mona.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!