Satu per satu pelayat mulai berdatangan, memenuhi rumah kecil yang sederhana. Udara sore terasa berat, seolah ikut berduka. Di depan pintu, seorang perempuan duduk terpaku dengan mata sembab, menatap jalanan.
Ia menunggu.
Menunggu dua anaknya—Rudy dan Melda.
Ia yakin, hari ini keduanya akan pulang. Akan datang untuk melihat ayah mereka, untuk terakhir kalinya.
“Rindi, ayo masuk. Semua sudah siap. Kasihan almarhum kalau dibiarkan terlalu lama,” ucap seorang perempuan paruh baya sambil mengelus lembut punggungnya.
Rindi mengangguk pelan. Perempuan berusia hampir empat puluh tahun, namun masih menyimpan sisa kecantikan di balik kulitnya yang mulai legam oleh kerja keras dan mata yang lelah menahan tangis.
Air mata terus mengalir di pipinya. Harapannya perlahan pupus. Telepon tak diangkat. Pesan tak dibalas.
Rudy dan Melda tak juga datang.
Dengan langkah gontai, Rindi dibantu Bu Tuti mendekati jasad Tony—suaminya, pria yang selama ini menjadi sandaran hidupnya. Tubuh Tony terbujur kaku, terbalut kain kafan putih, wajahnya tenang seolah sedang tidur.
Rindi terjatuh di samping tubuh itu, memeluknya erat-erat.
“Mas… kenapa secepat ini kamu pergi? Kenapa tidak sekalian Tuhan memanggil aku juga? Aku tidak bisa hidup tanpamu, Mas. Bangun… ayo kita ke kota cari anak-anak kita. Seperti yang kamu inginkan selama ini.”
Tangisnya pecah. Ia mengguncang tubuh suaminya yang sudah dingin, seolah masih berharap ada sedikit keajaiban.
Orang-orang di sekeliling hanya bisa terdiam. Beberapa menunduk, tak kuasa menahan air mata. Mereka tahu, betapa besar pengorbanan Rindi dan Tony selama ini.
Seluruh harta telah habis demi pendidikan anak-anak mereka—Rudy dan Melda—yang sejak berangkat ke kota, tak pernah kembali.
Mereka hanya memberi kabar ketika membutuhkan uang. Setelah itu, tak pernah ada lagi berita dari mereka.
"Yang sabar, Rindi… Kita semua menyayangi almarhum, tapi Tuhan lebih menyayanginya. Biarkan almarhum tenang di sana, jangan membuatnya ikut bersedih dengan melihat kondisimu seperti ini," ucap Bu Tuti lembut sambil menggenggam tangan Rindi yang gemetar menahan tangis.
Rindi terisak. Ia memeluk Bu Tuti erat—perempuan paruh baya yang selalu ada di saat dirinya terpuruk, yang tahu betul bagaimana perjuangan mereka bertahan hidup tanpa harta, hanya dengan cinta dan harapan untuk masa depan anak-anaknya.
Bu Tuti memberi aba-aba kepada beberapa pria untuk mengangkat tubuh almarhum Tony. Dengan hati-hati, mereka mengusung keranda itu keluar dari rumah kecil yang kini terasa begitu kosong dan dingin.
Rombongan pelayat berjalan perlahan, menyusuri jalan setapak menuju pemakaman di pinggir kampung. Langit mendung, angin berhembus lirih, seakan ikut berduka.
Rindi berjalan di belakang, langkahnya gontai, matanya tak lepas memandangi keranda yang semakin jauh. Bu Tuti menggandengnya, khawatir ia jatuh karena tubuhnya begitu lemah.
Sesampainya di pemakaman, suara lantunan doa terdengar sayup. Ketika tanah mulai menutupi jasad suaminya, tangis Rindi pecah tak tertahankan. Ia berlutut di tepi makam, menggenggam tanah basah dengan tangan gemetar.
“Mas… aku janji, aku akan temukan Rudy dan Melda. Aku ingin mereka tahu… betapa keras perjuanganmu untuk mereka,” ucapnya parau di sela isak.
Semua orang yang hadir hanya bisa terdiam. Tak ada kata yang bisa menghapus luka seorang istri yang kehilangan segalanya.
Setelah semua pelayat pulang kecuali Bu Tuti, Rindi duduk di depan makam. Hujan turun perlahan, membasahi tubuhnya yang tak lagi peduli pada dingin.
“Mas… andai mereka tahu, betapa kamu mencintai mereka…” bisiknya lirih.
Lama Rindi terdiam menatapi gundukan tanah yang basah terkena air hujan. Hingga Bu Tuti mengusap punggungnya dan mengajaknya untuk kembali.
Malamnya, di rumah yang kini terasa sunyi, Rindi menatap foto keluarga mereka yang terpajang di dinding.
Rudy dan Melda tersenyum di foto itu—senyum yang dulu membuat semua lelah terbayar. Tapi kini, senyum itu justru menjadi luka yang tak bisa sembuh.
Rindi duduk termenung, mengingat kembali perjuangan mereka melewati hari-hari mereka yang penuh pengorbanan.
Menghabiskan semua tanah warisan orang tua, pinjam kesana- kemari hanya untuk membuat kedua anaknya bisa hidup layak seperti penduduk kampung yang sudah terlebih dulu meraih keberhasilan melihat anak-anak mereka sukses di kota.
Dari arah pintu Bu Tuti datang sambil membawa rantang, kedua matanya berkaca-kaca melihat kondisi Rindu. Perempuan yang dulu terlihat lincah dan pekerja keras kini mengalami keterpurukan.
Sanak saudara tak ada, suami telah tiada, dan kini kedua anaknya entah di mana rimbanya. Rindi benar-benar sendiri.
“Rindi, makanlah dulu. Sejak kemarin kamu belum menyentuh makanan sedikit pun. Jangan sampai kamu jatuh sakit. Tidak baik berlarut-larut dalam kesedihan,” ucap Bu Tuti lembut sambil duduk di sampingnya.
“Aku tidak lapar, Bu…” balas Rindi lirih, matanya masih menatap kosong ke arah foto suaminya di dinding.
Bu Tuti menghela napas pelan.
“Tidak baik menyiksa diri sendiri, Nak. Ibu sudah buatkan makanan kesukaanmu—sayur lodeh, pete goreng, dan sambal terasi. Cobalah walau hanya sedikit.”
Bu Tuti membuka rantang, lalu berdiri sebentar. Tak lama kemudian, ia kembali membawa sepiring nasi hangat, sendok, dan segelas air putih. Dengan penuh kasih, ia mulai menyuapi Rindi.
Awalnya Rindi menolak, tapi melihat tatapan tulus Bu Tuti, ia perlahan membuka mulut. Setiap suapan terasa pahit, tapi juga mengingatkannya pada perhatian seorang ibu yang tak pernah berhenti berharap.
Aroma masakan sederhana itu perlahan membangkitkan sedikit semangat di hatinya yang hampir padam. Bu Tuti tersenyum, lega melihat Rindi akhirnya mau makan, walau hanya sedikit.
Setelah Bu Tuti pulang, rumah kembali sunyi. Rindi berjalan perlahan menuju pembaringan. Ia merebahkan tubuhnya dan menatap ke sisi tempat tidur yang kosong—tempat di mana Tony biasa tidur di kala sakit.
Dengan tangan gemetar, ia mengusap guling kesayangan suaminya, lalu memeluknya erat.
“Mas… kenapa secepat ini kamu meninggalkanku? bisiknya dengan suara bergetar.
Air matanya menetes satu per satu, membasahi guling itu. Hingga akhirnya, kelelahan dan kesedihan membuatnya tertidur lelap.
Namun di tengah tidurnya, Rindi bermimpi.
Ia melihat Tony berdiri di tepi sawah, tersenyum hangat seperti dulu.
“Sayang, jangan bersedih lagi. Aku sudah tenang di sini. Lanjutkan hidupmu walau tanpa Mas. Mas yakin, suatu saat kamu akan menemukan penggantiku, bahkan lebih baik dariku,” suara itu terdengar lembut namun tegas, penuh kasih seperti belaian terakhir.
Rindi tersentak, matanya perlahan terbuka. Napasnya tersengal, dadanya terasa sesak. Air mata masih mengalir di pipinya, tapi kali ini tak sepedih sebelumnya. Ada ketenangan kecil yang mulai tumbuh di hatinya.
Ia tahu… mimpi itu bukan sekadar bunga tidur. Itu adalah pesan dari seseorang yang pernah menjadi separuh jiwanya — suaminya, Tony.
Belum sepenuhnya sadar, tiba-tiba terdengar suara keras dari luar rumah. Suara itu memecah keheningan pagi yang baru saja dimulai.
“Rindi! Keluar kamu!” teriak seseorang dengan nada tinggi.
Rindi terdiam. Jantungnya berdegup kencang. Ia mengenali suara itu — suara Pak Warto, ketua RT yang biasanya ramah, tapi kali ini terdengar penuh tekanan.
Dengan langkah gemetar, Rindi mendekati jendela dan mengintip ke luar.
Beberapa orang kampung sudah berkumpul di depan rumahnya. Wajah mereka tampak tegang, sebagian berbisik-bisik.
“Ya Tuhan… ada apa lagi ini?” bisik Rindi lirih, dadanya semakin sesak.
Rindi membuka pintu dengan langkah gemetar. Pandangannya masih kabur oleh sisa air mata yang belum sepenuhnya kering.
Di depan rumah, berdiri Pak Warto bersama dua pria berpakaian rapi dan beberapa warga kampung.
Wajah mereka tampak dingin, tanpa sedikit pun ekspresi simpati.
“Kami datang bukan untuk membuat masalah,” ujar Pak Warto dengan nada berat.
“Tapi rumah ini akan disita oleh pihak bank. Hutang almarhum suamimu belum juga dilunasi.”
Rindi tertegun. Wajahnya pucat seketika.
“Disita? Tapi, Pak… ini satu-satunya tempat yang aku punya. Di sinilah aku dan suamiku tinggal… di sini pula dia menghembuskan napas terakhirnya,” ucap Rindi lirih, suaranya bergetar menahan tangis.
Salah satu pria dari pihak bank menunduk sebentar, lalu berkata datar,
“Kami hanya menjalankan perintah, Bu. Hutangnya sudah menunggak hampir dua tahun. Kami sebenarnya sudah memberi waktu cukup lama, tapi tidak ada pembayaran sama sekali. Selama ini kami sengaja tidak menagih, karena tahu almarhum masih dalam kondisi sakit.”
Rindi menggenggam ujung bajunya erat-erat. Air matanya jatuh tanpa bisa ditahan.
“Uang kami… semua sudah habis untuk sekolah anak-anak kami di kota. Suami saya meninggal tanpa sempat melunasinya. Tolong… beri saya waktu, Pak. Saya akan mencari anak-anak saya, mungkin mereka bisa membantu membayar…”
Pria itu hanya menggeleng.
“Kami akan datang lagi 1 bulan ke depan. Tolong kosongkan rumah ini sebelum waktu itu tiba.”
Suara langkah mereka menjauh, meninggalkan keheningan yang menyesakkan. Rindi terjatuh di depan pintu, menutup wajahnya dengan kedua tangan.
“Mas… bahkan rumah kita pun akan pergi, seperti kamu…” isaknya parau.
Bu Tuti yang datang tergesa langsung memeluknya.
“Sudah, Nak… sabar. Jangan menyerah. Mungkin ini saatnya kamu pergi ke kota. Temui Rudy dan Melda. Katakan pada mereka, waktunya untuk membalas pengorbanan kalian selama ini.”
Rindi mengangkat wajahnya perlahan. Matanya sembab, tapi ada sedikit tekad di dalamnya.
“Ya, Bu… aku akan ke kota. Aku harus menemukan mereka, sebelum segalanya benar-benar hilang.”
Siang itu, Rindi berkemas. Ia membawa hanya pakaian secukupnya, foto keluarga, dan sedikit uang sisa penjualan hasil kebun.
Setiap barang yang dimasukkannya ke dalam tas seakan menjadi potongan kenangan — tawa Tony, harapan untuk anak-anak, dan semua perjuangan yang kini terasa hampir sia-sia.
Rindi tak lupa membawa kue kesukaan Rudy dan Melda, berharap kedua anaknya itu akan tersenyum bahagia saat menerima oleh-oleh buatannya.
Sebelum menutup pintu Rindi menatap rumah sederhana yang menyimpan beribu kenangan bersama suaminya.
“Mas… jaga aku dari atas sana. Hari aku akan ke kota. Aku akan menemukan anak-anak kita…”
Angin siang berhembus lembut, seolah menjawab doanya. Bu Tuti mengeluarkan beberapa uang kertas dari balik dasternya dan memasukan kedalam tas Rindi.
Sepanjang perjalanan, banyak pasang mata yang memandang ke arah Rindi — sebagian menatap iba, namun tak sedikit pula yang memandangnya dengan tatapan jijik dan penuh prasangka.
“Pergi, dan jangan pernah kembali lagi! Takutnya, janda sepertimu malah menggoda suami kami!” teriak Ibu Wati dengan suara nyaring, seolah ingin memastikan seluruh warga mendengarnya.
“Betul! Di kota juga banyak pria hidung belang yang suka pada janda seperti kamu!” sahut seorang perempuan lain, menimpali dengan nada sinis.
Bu Tuti mengelus punggung Rindi, yang hanya bisa menunduk diam menahan luka di hati.
“Sabarlah, Nak… jangan dengarkan ucapan mereka,” bisiknya lembut.
Setibanya di jalan utama, sebuah bus berhenti di depan mereka. Bu Tuti memeluk Rindi erat-erat, air mata yang sejak kemarin tertahan akhirnya tumpah juga.
“Jaga dirimu baik-baik, Nak. Jangan lupa kabari Ibu kalau sudah sampai dI kota. Ibu harap, kamu bisa menemukan kebahagiaanmu di sana… setelah bertemu Rudy dan Melda,” ucapnya dengan suara bergetar.
Rindi mengangguk pelan, matanya berkaca-kaca. Ia menaiki bus dengan langkah berat.
Bus perlahan melaju, meninggalkan Bu Tuti yang masih berdiri di pinggir jalan, menatap kepergian Rindi dengan hati yang berat. Sambil melambaikan tangan.
Perjalanan memakan waktu sekitar lima belas jam hingga akhirnya Rindi tiba di sebuah terminal besar di kota.
Untuk pertama kalinya ia menginjakkan kaki di tempat yang selama ini hanya ia dengar dari cerita orang-orang. Perasaannya campur aduk — antara takut, cemas.
Seorang pria bertubuh tegap menghampiri Rindi dan menawarkannya tumpangan. Dengan cepat, Rindi menggeleng halus sambil tersenyum kikuk.
“Terima kasih, Pak… keluarga saya sebentar lagi datang menjemput,” ucapnya pelan, berusaha menutupi rasa canggung dan takut.
Pria itu pun berlalu tanpa banyak bicara. Rindi menghela napas lega sambil mengelus dadanya, mencoba menenangkan diri.
Ia kemudian merogoh tasnya dan mengeluarkan ponsel tua yang mulai retak di ujung layar. Tangannya bergetar saat menekan nama Rudy di daftar kontak. Panggilan berdering lama, namun tak juga diangkat.
Rindi menarik napas panjang, lalu mencoba menghubungi Melda. Belum sempat berdering lama, panggilan itu malah langsung ditolak.
Rindi mengeluarkan selembar kertas kecil dari dalam tasnya — tulisannya sudah hampir pudar dimakan waktu. Alamat yang pernah dikirimkan Rudy beberapa tahun lalu.
Rindi berjalan keluar dari terminal. Sama seperti sebelumnya, beberapa orang menawarkan tumpangan, namun ia menolak dengan halus. Ia memilih berjalan kaki, meski panas dan debu jalanan mulai menyelimuti tubuhnya.
Hampir tiga puluh menit ia melangkah tanpa arah, hingga akhirnya berhenti di sebuah kedai kecil di pinggir jalan. Ia memesan segelas es teh, mencoba menenangkan diri di tengah lelah dan kebingungan.
Sambil menyeruput perlahan, Rindi menyerahkan kertas kecil itu pada penjaga kedai.
“Pak, maaf… apa Bapak tahu alamat ini? Ini alamat yang dikirim oleh putra saya,” ucap Rindi dengan suara bergetar.
Penjaga kedai itu menatap kertas tersebut lama, lalu menggeleng pelan.
“Maaf, Bu. Alamat ini tidak pernah saya dengar. Saya sudah lama tinggal di sini, jadi mustahil kalau saya tidak tahu wilayah sekitar.”
Rindi terpaku. Hatinya berkecamuk.
Apa mungkin Rudy mengirim alamat palsu? Tidak mungkin… Rudy bukan anak seperti itu, pikirnya sambil menatap kosong kertas yang mulai lembap oleh keringat tangannya.
Ia menarik napas panjang, menatap ke kejauhan. Harapannya seakan sirna. Lama ia terdiam, hingga tiba-tiba matanya berbinar — seolah sebuah harapan terlintas di kepalanya.
Dengan tergesa, Rindi mengeluarkan ponselnya dan mencari satu nama di daftar kontak.
“Sri… mungkin hanya dia yang bisa menolongku sekarang,” gumamnya lirih, sebelum akhirnya menekan tombol panggil dengan tangan gemetar.
Nada sambung terdengar lama hingga akhirnya seseorang menjawab dari seberang.
“Ada apa kau meneleponku?” suara seorang perempuan terdengar ketus di ujung sana.
Rindi menarik napas pelan dan mulai menceritakan kondisinya dengan terbata-bata.
Obrolan itu berlangsung lama dan serius, hingga akhirnya Rindi menutup sambungan telepon dengan wajah yang sulit ditebak, antara lega dan cemas.
Tak lama kemudian, sebuah mobil putih berhenti di depan kedai. Dari dalam mobil, seseorang melambaikan tangan memanggil Rindi. Ia segera membayar es pesanannya, lalu berlari kecil menuju mobil itu.
Begitu pintu mobil dibuka, aroma menyengat langsung menyeruak — campuran alkohol dan parfum yang menusuk hidung. Beberapa botol minuman keras tergeletak di lantai mobil.
“Cepat masuk!” bentak Sri dari balik kemudi.
Rindi hanya mengangguk pelan dan masuk tanpa banyak bicara. Sepanjang perjalanan, tak ada satu kata pun yang keluar dari mulut mereka. Hanya suara mesin mobil dan detak jantung Rindi yang berpacu dengan rasa takut.
Akhirnya, mobil berhenti di depan sebuah rumah besar dengan lampu warna-warni berkelap-kelip seperti kafe malam. Musik samar terdengar dari dalam.
“Turun,” perintah Sri dingin.
Rindi menuruti, menatap rumah itu dengan tatapan bingung dan cemas. Ia mengikuti Sri dari belakang. Begitu pintu terbuka, pemandangan di dalam membuat dadanya sesak.
Perempuan berpakaian minim tampak duduk di pangkuan pria-pria yang tertawa keras sambil menenggak minuman. Beberapa pasang mata langsung tertuju padanya — memandang penuh selidik, bahkan ada yang menatap dengan tatapan menggoda.
Seorang pria berjas berdiri dan langsung menghampiri Rindi.
"Malam ini dia milikku."
Sri memberi isyarat pada pria itu agar bersabar. Ia berjanji akan mendandani Rindi terlebih dahulu sebelum melayaninya.
Pria itu mengangguk, lalu kembali bergabung bersama teman-temannya sambil tertawa pelan.
Sri menggandeng tangan Rindi menuju sebuah kamar. Begitu pintu terbuka, aroma parfum menyengat langsung memenuhi ruangan — harum, tapi menusuk hidung.
Di dalamnya, tempat tidur dipenuhi taburan bunga mawar merah, seperti kamar pengantin yang disiapkan untuk malam pertama.
Sri menyuruh Rindi masuk, lalu melangkah ke arah lemari dan mengeluarkan sehelai pakaian tipis berwarna mencolok. Dengan suara datar namun tegas, ia menyuruh Rindi untuk mandi dan mengenakan pakaian itu. Malam itu, katanya, akan menjadi malam pertama Rindi bekerja di tempat tersebut — kalimat yang membuat tubuh Rindi seketika gemetar, seolah darahnya berhenti mengalir.
Rindi menatap gaun itu dengan bingung.
“Sri, aku datang ke kota ini bukan untuk bekerja. Aku hanya ingin mencari anak-anakku….”
Sri tersenyum tipis, senyum yang entah mengandung iba atau tipu daya.
“Tenang saja. Setelah kamu bekerja, aku akan bantu menemukan mereka. Lagipula, pekerjaan ini hanya sementara. Setelah dapat uang, kamu bisa bebas.”
Rindi menatap Sri dengan mata penuh harap. Ia percaya begitu saja, sebab Sri adalah teman lamanya — bahkan mengenal baik ibunya di kampung.
Tanpa curiga, Rindi menuruti perkataan Sri. Ia masuk ke kamar mandi, membasuh wajah dan tubuhnya yang lelah setelah perjalanan panjang.
Sementara itu, di luar kamar, Sri berbicara pelan melalui telepon.
Ia memberi tahu seseorang bahwa wanitanya sudah siap dan memintanya untuk segera datang.
Dari seberang sana terdengar tawa berat seorang pria — tawa yang penuh nafsu dan kesenangan jahat.
Sri menutup teleponnya dengan senyum puas. Ia tahu malam ini akan menjadi malam yang panjang — bukan untuk Rindi, tapi untuk isi kantongnya sendiri.
Di dalam kamar mandi, Rindi menatap bayangannya di cermin. Wajahnya tampak lelah, tapi hatinya masih menyimpan harapan kecil kalau setelah ini, ia bisa bertemu anak-anaknya.
Selesai mandi, Rindi mengenakan baju yang diberikan Sri. Gaunnya sangat pendek, membuatnya merasa tidak nyaman. Ia memandangi dirinya di cermin dan menghela napas panjang.
“Demi anak-anakku… aku harus kuat,” gumamnya pelan.
Saat Rindi keluar dari kamar mandi, Sri langsung menatapnya dari atas sampai bawah.
“Cantik sekali. Kamu cocok sekali pakai baju itu,” kata Sri dengan senyum yang membuat Rindi agak gugup.
“Aku nggak biasa pakai pakaian seperti ini, Sri,” ucap Rindi lirih.
Sri mendekat dan menepuk bahunya.
“Tenang saja, Rind. Setelah malam ini, aku janji bantu cari anak-anakmu. Tapi kamu harus nurut dulu, ya.”
Rindi mengangguk lagi. Ia percaya saja apa yang dikatakan Sri.
Tak lama kemudian, terdengar ketukan di pintu kamar. Seorang pria masuk dengan langkah gontai, wajahnya merah akibat mabuk. Tatapan matanya liar, dan senyumannya tampak aneh. Sri mengangguk pelan, lalu berpesan agar pria itu memperlakukan Rindi dengan baik, karena ia masih baru.
Rindi mulai curiga.
“Sri, siapa dia? Maksudmu apa?” tanyanya pelan.
Tapi Sri tidak menjawab. Ia malah berbalik dan keluar dari kamar. Suara pintu terkunci dari luar membuat Rindi panik.
Pria itu berjalan mendekat sambil tersenyum miring.
“Jangan takut, aku cuma mau bersenang-senang. Kamu butuh uang, kan?” katanya dengan suara mabuk.
Rindi mundur ketakutan.
“Jangan dekat! Aku nggak tahu apa-apa!”
Rindi berlari ke arah pintu dan mengetuk keras. Meminta tolong pada Sri agar membuka! Aku mau pulang!”
Dari luar kamar terdengar tawa Sri.
Menyuruh Rindi segera menyelesaikan tugasnya. Setelah itu, ia akan mempertemukannya dengan anak-anaknya.
Air mata Rindi jatuh. Ia merasa hancur, marah, dan takut. Ia menatap meja kecil di dekat tempat tidur dan melihat vas bunga.
Dengan cepat, ia mengambil vas itu dan melemparkannya ke arah pria tersebut. Vas pecah, darah menetes dari pipi si pria.
“Dasar perempuan gila!” teriaknya marah.
Rindi tak peduli. Ia menendang pintu sekuat tenaga hingga kuncinya rusak, lalu berlari keluar kamar.
Dari belakang terdengar suara Sri berteriak,
“Tangkap dia! Jangan biarkan kabur!”
Rindi berlari sekencang-kencangnya melewati lorong, lalu keluar dari rumah. Hujan turun deras, membasahi seluruh tubuhnya hingga menggigil.
Ia terus berlari tanpa arah, hanya ditemani rasa takut, dingin, dan air mata yang tak kunjung berhenti.
Setelah cukup jauh, Rindi berhenti di bawah pohon besar di pinggir jalan. Ia duduk sambil memeluk lututnya, mencoba menenangkan diri di tengah hujan yang semakin lebat.
Dari kejauhan terdengar bunyi klakson. Sebuah mobil berhenti tepat di depan Rindi. Dari dalam, seorang perempuan berteriak menyuruh Rindi segera masuk sebelum orang-orang itu datang menangkapnya.
Awalnya, Rindi hanya menatap dengan waspada. Ia takut kejadian buruk yang baru saja menimpanya terulang lagi.
Namun perempuan itu kemudian mengangkat sebuah tas dari kursi samping.
“Ini punyamu, kan? Cepat masuk! Aku bukan orang jahat. Aku mau nolong kamu!” teriak perempuan itu lagi sambil melambaikan tangan.
Dengan tubuh gemetar, Rindi akhirnya berdiri dan berlari kecil mendekati mobil. Ia membuka pintu dan langsung masuk ke dalam. Mobil melaju di tengah hujan deras, meninggalkan tempat mengerikan itu.
Rindi menatap perempuan itu dengan mata penuh air mata.
“Siapa kamu?” tanyanya pelan.
Perempuan itu menoleh sebentar sambil fokus menyetir.
"Rara" jawabnya singkat lalu menjelaskan bahwa ia juga bekerja di tempat itu, namun bukan sebagai perempuan penghibur seperti yang lain. Tugasnya hanya menyediakan stok minuman untuk para tamu. Ia juga menceritakan bahwa sebagian besar perempuan di sana berasal dari kampung, sama seperti Rindi — datang ke kota dengan harapan bisa memperbaiki nasib, namun justru terjebak dalam jerat yang kejam.
Rindi terdiam, dadanya terasa sesak. Ia baru menyadari kalau semua perempuan di tempat itu dipaksa bekerja untuk melayani pria-pria hidung belang.
“Sri itu orang kejam. Dia menjual perempuan-perempuan yang datang ke kota dengan alasan bekerja.”
Air mata Rindi menetes dan berterima kasih kepada Rara — andai bukan karena dia, entah bagaimana nasibnya sekarang.
Rara menepuk bahu Rindi pelan dan mengatakan kalau sekarang Rindi aman.
Mobil terus melaju di bawah derasnya hujan malam, melewati jalanan sepi yang hanya diterangi oleh lampu jalan. Setelah beberapa saat, mobil berbelok menuju sebuah rumah sederhana namun tampak asri.
Rara mempersilakan Rindi masuk ke dalam rumahnya yang sederhana namun tampak hangat. Dengan lembut, ia membantu Rindi membawa tasnya sambil berkata bahwa rumah itu bisa menjadi tempat tinggal bagi Rindi kapan pun ia mau. Ucapan itu terdengar tulus, seolah memberi sedikit harapan bagi hati Rindi yang masih diliputi ketakutan.
Rara membawa Rindi ke sebuah kamar kecil. Kamar itu sederhana, tetapi rapi dan bersih. Aroma sabun dan kayu lembap memenuhi udara, menghadirkan rasa tenang bagi yang menghirupnya.
Rindi membuka tasnya dan mengeluarkan beberapa potong pakaian dari dalam. Setelah selesai, ia meminta izin kepada Rara untuk menggunakan kamar mandi.
Sementara Rindi berada di dalam kamar mandi, Rara memperhatikan isi tas yang masih terbuka. Pandangannya tertuju pada sebuah bingkai foto yang terselip di antara pakaian. Dengan tangan gemetar, Rara mengambil bingkai itu dan menatapnya lekat-lekat.
Krek… suara pintu kamar mandi terbuka.
“Itu foto keluargaku,” ujar Rindi, kini sudah berganti pakaian.
Rindi duduk di samping Rara dan mulai menjelaskan siapa saja yang ada dalam Poto itu, saat telunjuknya beralih ke Poto berikutnya, Rara memotong dengan cepat.
“Tuan Rudy…”
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!