NovelToon NovelToon

Mencintai Mantan Istri Sahabatku

PIPA BAJA

Lisa tengah sibuk menata makanan di meja. Sesekali dia berteriak kepada Hana dan Hamza yang masih berkutat dengan seragam sekolah mereka. Hana adalah anak perempuannya yg berusia tujuh tahun dan duduk di kelas satu SD, sedangkan Hamza adalah anak laki-lakinya yg berusia tiga tahun dan bersekolah di Play Group.

Hana keluar dari kamar dengan rambut yg masih acak-acakan. Lisa mengeluh," Ya ampun, Hana!" Dia segera menyisir rambut Hana dan dikuncir kuda.

Belum selesai kuncir kuda Hana tertata dengan sempurna, keluarlah Hamza yg masih mengenakan kaos dalam saja. Lagi-lagi Lisa mengeluh, tapi tak ada kata yg keluar dari mulutnya. Dia langsung menyambar seragam sekolah Hamza dan memakaikannya dengan rapi.

Masih belum selesai memakaikan seragam di bungsu, Handi, suami Lisa keluar dari kamar dengan baju setengah terkancing sambil menerima telpon," Iya, Bos, maaf. Aku bangun kesiangan, Bos. Baiklah, lima menit lagi aku keluar. Siap!"

Lisa menatap suaminya," Ayah ngga sarapan dulu?"

"Maaf ya, Bun, Ayah sudah terlambat nih. Si bos Haris sudah di depan gang," jawab Handi memelas.

Lisa melirik jam dinding, masih pukul enam lebih tiga puluh menit. " Pagi sekali jemputnya? Biasanya jam delapan?"

" Hari ini ada pengecekan proyek di ujung kota, Bun, makanya berangkatnya pagi sekali," jawab Handi yg sudah merapikan kemejanya.

Lisa hanya menganggukan kepalanya. Dia kembali mengurusi keperluan sekolah anak-anaknya dan menyuapi mereka sarapan. Handi bekerja di perusahaan produksi pipa baja selama sepuluh tahun ini. Pemilik perusahaan itu adalah sahabatnya sendiri yang bernama Haris. Handi dipercaya menjadi wakil direktur di perusahaan tersebut dan dia bertanggung jawab sampai dengan tender proyek itu berjalan sempurna. Jadi, dia akan mengawasi penuh bagaimana proyek itu berjalan dan memastikan tidak ada kesalahan pada setiap proyeknya, sesuatu hal yang hanya akan dipercayakan seorang Haris kepada Handi, bahkan segala keputusan baik buruknya suatu proyek lebih banyak diberikan oleh Handi ketimbang Haris. Pasalnya, selain usia Haris yg lebih muda lima tahun, Handi juga lebih berpengalaman dibanding Haris di bidang ini. Hal yg paling disukai Haris adalah Handi selalu mementingkan profesionalisme dalam bekerja, dia tidak akan mau mengambil tender yang mengharuskan menurunkan kualitas produksi mereka. Bagi Handi, keuntungan akan sejalan dengan terjaganya kualitas pipa mereka, tidak perlu takut mereka akan kalah tender dengan perusahaan lain.

Saking akrabnya bos dan anak buah ini, setiap hari Haris menjemput Handi di depan gang rumahnya. Rumah kontrakan Handi dan Lisa memang berada di dalam gang sempit yang tidak bisa dimasuki mobil. Maka setiap pagi, Handi akan berjalan menuju depan gang dan berangkat ke kantor bersama bosnya. Tidak ada jarak di antara mereka.

Lisa memandang suaminya yang serampangan memakai sepatunya. Entah kenapa dia memandangi suaminya dari ujung kepala hingga ujung kaki, sampai-sampai dia tahu di ujung sepatu Handi ada debu yg menempel. Mendadak hati Lisa gelisah seolah tidak ingin Handi berangkat kerja.

" Ayah nanti pulang jam berapa?," tanya Lisa.

Handi mendongak, menatap heran istrinya. Tumben Lisa tanya begitu, batin Handi. " Mungkin malam, Bun. Nanti Ayah kabari lagi. Ayah bawa kunci rumah kok."

" Hati-hati di jalan ya, Ayah." Raut wajah Lisa sudah terlihat khawatir.

Handi menyadari ada yang aneh dengan istrinya, tapi dia mengacuhkannya, dia sudah sangat terlambat. Akhirnya, dia mengecup kening Lisa. Kemudian, dia mencium pipi Hana dan Hamza bergantian. " Ayah berangkat!," teriaknya. Dia berlari menuju ujung gang tempat bos Haris sudah menunggu.

Lisa masih menatap punggung suaminya. Dia mencengkeram dadanya. Perasaan apa ini?, katanya dalam hati. Tadi dia melihat sekilas gurat aneh di wajah suaminya. Dia seolah melihat wajah suaminya memutih seperti mayat. Bahkan jantungnya berdegup seketika dan hatinya mengatakan bahwa mungkin suaminya tidak akan pulang. Entahlah, kenapa dia berpikir seperti itu. Bahkan punggung suaminya yang berlari menjauh tampak samar di matanya.

" Bunda!," suara si kecil Hamza menyadarkan Lisa dari lamunannya. " Ayo, kita berangkat sekolah!"

" Ah ya, baiklah," Lisa tersenyum memandang anak-anaknya yang sudah cantik, tampan dan rapi. Tampak bersemangat berangkat ke sekolah. Melihat wajah anak-anaknya, Lisa berusaha melupakan perasaan aneh yg mengganggu pikirannya.

Apa aku kurang perhatian ya sama Mas Handi? Ah, nanti aku dandan sedikit biar Mas Handi senang, Lisa menepis pikiran buruknya. Dia tersenyum kecil dan segera membonceng anak-anaknya, mengantarkan mereka ke sekolah masing-masing

*****

" Woy, ngapain melamun?," tanya Haris kepada Handi.

Handi yg tidak sadar dirinya melamun, tersenyum malu. " Tadi tumben banget Lisa tanya aku pulang jam berapa, padahal biasanya ga pernah."

" Ya elah begitu aja sampai melamun, Bro," Haris tertawa, " Si Dini malah tiap jam tanya begitu ke aku, bikin jengkel aja." Dini adalah kekasih Haris yg sudah lima tahun ini menjalin hubungan dengannya.

" Dini kan beda sama Lisa. Lisa itu kan orangnya cenderung cuek, Bro. Dia mana pernah tanya aku pulang jam berapa kalau aku kerja."

" Ya ampun, dia itu istrimu apa bukan sih? Masa kayak gitu ngga pernah tanya?," tanya Haris tersenyum mengejek.

" Tapi menurutku dia itu cuek plus pengertian luar biasa, Bro. Menurut dia, pekerjaanku ini tidak terpaku dengan jam, jadi daripada dia nunggu aku pulang yang ngga jelas jamnya, lebih baik dia ngga tanya. Dia juga ngga pernah melarang aku main sama teman-temanku. Buktinya aku masih bisa ngopi sana sini. Ya, kan!"

" Baiklah, yg istrinya pengertian luar biasa," timpal Haris jengkel. Handi dan Haris tertawa.

Haris dan Handi memasuki sebuah kawasan pembangunan PLTU di pinggiran kota. Haris memarkir mobilnya dan ada seorang laki-laki mendatangi mereka. Usianya kira-kira seumuran mereka, perawakannya tinggi, dan dia menyunggingkan senyum terbaiknya.

" Bapak Handi?," katanya sambil menjabat tangan Handi.

" Ya, betul. Kamu pasti Sofyan ya, anak buah Pak Jatmiko."

" Betul, Pak," jawab Sofyan sambil sedikit membungkukkan badan.

Handi memperkenalkan Haris," Ini Pak Haris, Direktur dari PT. Harang Pradana Steel tempat saya bekerja."

Sofyan menjabat tangan Haris. "Pak, dia yang akan membantu kita dalam proyek ini," kata Handi. Dalam lingkup pekerjaan, Handi akan menanggalkan segala keakraban mereka dan memperlakukan Haris selayaknya atasannya. Itulah salah satu point yang disukai Haris kepadanya.

" Saya mohon kerjasamanya, Pak Sofyan," Haris balas jabat tangan Sofyan.

" Panggil Sofyan saja, Pak, biar lebih akrab," kata Sofyan sambil terus tersenyum.

" Ah, baiklah," kata Haris.

Sofyan menyerahkan id card tamu dan safety helm sebagai syarat memasuki kawasan proyek. Sofyan mengajak mereka berkeliling kawasan proyek yang akan dijadikan PLTU terbesar se-Indonesia itu. Hari ini difokuskan kepada tempat dipasangkan pipa cerobong api yg diproduksi oleh perusahaan Haris. Mengingat tempat itu memiliki luas ratusan hektar, Sofyan mengajak mereka menaiki mobil patroli proyek yang tersedia disana. Sofyan menjelaskan detail tempat itu satu per satu dan sukses membuat kepala Handi dan Haris menoleh ke kanan dan ke kiri. Mereka sudah melewati beberapa blok dan akhirnya sampailah mereka di tempat yg dituju. Haris mendongakkan kepalanya ke atas dan melihat pipa bajanya sedang dipasang oleh banyak pekerja.

Handi melihat Haris mengangguk-angguk sambil tersenyum puas.

" Aku ingin melihat dari dekat." Haris melangkah mendekati pipa itu.

" Pak, itu berbahaya!," teriak Handi merendengi langkah Haris.

" Apanya yang berbahaya? Banyak pengamannya begitu kok!," timpal Haris. Dia sudah berada tepat di bawah pemasangan pipa tersebut. Pipa itu masih disangga banyak kawat baja dan banyak pekerja yang memasangkan baut untuk menguatkan pemasangan pipa.

Haris mendongak dengan bangga, sementara Handi terlihat cemas. " Ya ampun, sudah kubilang ini berbahaya. Mundurlah!"

Handi ikut mendongak dan disitulah itu terjadi. Entah bagaimana kawat penyangga pipa terakhir terlepas dan para pekerja berteriak keras. Baut baja besar dan sudah terpasang melenting jauh dan perlahan-lahan pipa baja seberat ratusan ton itu jatuh secara dramatis, langsung menuju tempat Handi dan Haris berada. Kecepatan jatuhnya sungguh tak terkira. Secepat kilat, Handi mendorong tubuh Haris menjauh dan Haris tidak tahu apa yg terjadi. Yang dia tahu dia jatuh berdebam di lantai beton yg panas dan berdebu hingga matanya kelilipan. Saat dia bangun dan menebaskan debu di tubuhnya, dia mendengar Sofyan, sopir mobil proyek dan para pekerja di atas berteriak histeris. Teriakan yang sangat menyanyat hati. Matanya menelusuri keadaan sekitar, yang dia cari hanyalah Handi. Hatinya terasa sakit dan teriris karena melihat tangan Handi mencuat di balik pipa baja yg terjatuh itu. Darah segar mengalir perlahan-lahan dari bawah pipa baja. Yang Haris tahu, dia langsung berlari ke arah pipa itu sambil berteriak sekeras mungkin," HANDIIIIIIIII......!"

KAMAR MAYAT

Lisa menjalani hari itu seperti biasa. Setelah dia mengantarkan Hana dan Hamza ke sekolah mereka masing-masing, Lisa berbelanja ke pasar dan pulang untuk masak. Hari ini dia akan masak sayur asem dan perkedel jagung kesukaan suaminya. Dia benar-benar bertekad memberikan perhatian pada suaminya khusus di hari itu. Lisa melirik ponselnya beberapa kali dan dia tidak menemukan pesan dari suaminya sama sekali, yang ada hanyalah pesan dari ibu-ibu teman sekolah Hana dan Hamza yang sedang membahas acara sekolah yang akan datang. Entah mengapa hati Lisa kembali cemas. Biasanya setiba Handi di tempat kerjanya, dia mengirim pesan singkat kepada Lisa dan mengucapkan beberapa kata-kata gombalan yg mampu membuat Lisa tersenyum geli. Hari ini pesan seperti itu tidak ada sama sekali.

Pukul dua belas, Lisa menjemput Hamza dan pukul satu siang, dia menjemput Hana, masih dengan pikiran-pikiran aneh yg menyelimuti otaknya. Ketika berhadapan dengan kedua anaknya, otak Lisa serasa blank. Dia hanya akan berkonsentrasi mengurus kedua buah hatinya karena tingkah mereka yang luar biasa aktif. Lisa tidak akan sempat memegang handphonenya karena dia sibuk meneriaki anaknya agar tidak melakukan hal-hal yg berbahaya, contohnya lompat naik turun tempat tidur atau mencolok-colok steker listrik, dan dia juga sibuk menyuapi anaknya yang sulit makan bila sudah asyik bermain.

Tak terasa jam sudah menunjukkan pukul tiga. Lisa baru saja selesai membersihkan rumahnya yang berantakan seperti kapal pecah karena anak-anaknya melempar mainan mereka. Hana dan Hamza sedang tidur siang. Saat inilah, Lisa baru bisa mengambil handphonenya dan mengecek siapa saja yang mengirimkan pesan kepadanya. Ada beberapa pesan dari ibu teman Hamza dan Hana, pesan dari ibu mertuanya yang tinggal di Kuningan, pesan dari adik iparnya yang tinggal di Sukabumi menanyakan kabar Hana dan Hamza. Dia tidak menemukan pesan dari Handi, suaminya. Merasa cemas, Lisa mengirimkan pesan kepada Handi," Ayah sudah makan? Kok tumben ngga ada kabar sama sekali. Ayah sibuk sekali ya?"

Lama sekali Lisa menunggu, tapi tak kunjung mendapatkan jawaban dari suaminya, sementara dia sudah mengobrol lama dengan teman-teman, ibu mertua dan adik iparnya. Kemudian dia mengecek pesannya kepada Handi sekali lagi dan dia mengerutkan dahinya karena pesannya kepada Handi tidak terkirim. Sejak kapan Handi menonaktifkan handphonenya? Seingat Lisa, suaminya tidak mungkin melakukannya pada jam kerja. Lisa mengingat-ingat apakah Handi lupa men-charge baterai handphonenya. Kelihatannya juga tidak, dia ingat bahwa Handi tadi pagi mencabut kabel charge baterai handphonenya karena ditelpon pagi-pagi sekali oleh Haris. Ataukah Handi kehabisan paketan? Ini lebih tidak mungkin! Bagi Handi haram hukumnya kehabisan paketan. Itu sama saja dengan kehilangan separuh nyawanya. Apa yang terjadi pada Handi kalau begitu? Ini tidak terjadi seperti biasanya.

BRAKKK!!!

Lisa tersentak karena tiba-tiba angin kencang menerpa pintu rumah kontrakannya. Jantungnya sampai berdegup keras saking kagetnya dan dia berjalan ke arah pintu. Angin sedang berhembus kencang menerbangkan daun-daun seperti topan kecil. Lisa secara otomatis mendongakkan kepala ke arah langit dan dia melihat awan-awan mendung menggumpal di beberapa bagian langit. Wah, mendung! Sepertinya akan turun hujan, batinnya.

Lisa menutup pintu rumahnya, lalu dia mendengar handphonenya berdering keras. Dia berlari menuju bufet tempat dia meletakkan handphonenya, berharap mungkin Handi yg menelponnya, tapi yang dia temukan adalah nama Haris di layar handphonenya.

" Hallo," Lisa mengangkat telponnya.

" Lisa....," suara Haris terdengar bergetar, dia sedikit terisak.

" Haris, ada apa?," ucap Lisa ikut khawatir. Apakah gerangan yang membuat seorang Haris yg perawakannya tinggi besar itu seperti sedang menangis di ujung sana.

" Handi......"

" Ada apa? Ada apa dengan suamiku?," teriak Lisa.

" Handi...kecelakaan...., dia... di Rumah Sakit..."

Tubuh Lisa seketika lemas. Dia mencengkram pinggiran bufet menjaga kakinya agar tetap berdiri. " APAAAA? BAGAIMANA MUNGKIN? APA YANG TERJADI? BAGAIMANA KEADAAN SUAMIKU?"

" Handi kecelakaan....berat.... Lisa,...," Haris terdengar menelan ludah, suaranya semakin serak dan dengan tercekat," Handi...dia... meninggal..."

" APAAAA?!," Lisa berteriak sambil menangis meraung-raung. Dia jatuh duduk bersimpuh, kakinya sudah tak kuat lagi. Handphonenya terjatuh di sampingnya, dia tak lagi mendengar Haris mengucapkan apa. " AYAHHHHH!!...SUAMIKUUUUUU!!..HUWAAA"

Teriakan Lisa membuat Hana dan Hamza terbangun. Sambil mengucek-ucek matanya, mereka keluar dari kamar. " Bunda, ada apa?," tanya Hana. Bersamaan dengan itu, Bu Karso, tetangga sebelah kontrakannya membuka pintu dengan keras. Beliau mendengar teriakan Lisa. Merasa khawatir, beliau berlari melesat ke rumah Lisa.

" Bu Handi, ada apa?," Bu Karso mengguncang tubuh Lisa ketika beliau menemukan Lisa duduk lemas di dekat bufet sambil menangis tersedu-sedu.

" AYAAHHHHH....!! HUWAAAAA....HUWAAAA...."

"Bu Handi, ada apa? Apa yang terjadi pada Pak Handi?," tanya Bu Karso lagi.

Mata Lisa menemukan Bu Karso dan dia memeluk beliau, menangis sejadi-jadinya. Bu Karso bingung melihat keadaan Lisa. Beliau memeluk Lisa dan mengelus punggungnya. Kemudian beliau melihat handphone Lisa berbunyi, tampak nama Haris disana dan beliau memberanikan diri mengangkat telpon.

"Hallo..," kata Bu Karso.

****

Bu Karso turun dari taksi memapah Lisa menuju Rumah Sakit. Rupanya keputusannya mengangkat telpon Lisa tadi sungguh tepat. Bu Karso mendapat penjelasan singkat dari Haris apa yang terjadi pada Handi. Beliau sangat terkejut dan terpukul bahwa Handi, tetangganya yang masih muda dan baik hati itu ternyata harus meninggal dunia dengan cara yang tragis seperti ini. Beliau bergerak cepat. Setengah menyeret Lisa dan mendudukkannya di kursi, beliau menyuruh Hana dan Hamza yang ikut menangis kebingungan melihat bundanya masuk ke dalam kamar sampai beliau kembali. Bu Karso menelpon mengumpulkan ibu-ibu sekitar rumah Handi dan meminta mereka untuk datang ke rumah Handi. Beliau menjelaskan kepada ibu-ibu yang datang, Bu Sholeh, Bu Umar, Bu Pardi dan Bu Idrus mengenai kondisi Handi. Ibu-ibu itu terpekik tertahan, bahkan Bu Idrus menangis tersedu-sedu sambil menebah dadanya berkali-kali.

" Kasihan sekali Bu Handi dan anak-anaknya!," kata Bu Idrus dalam tangis.

" Jadi, Ibu-Ibu, saya minta tolong urus semua keperluan di rumah Bu Handi, biar saya ajak Bu Handi ke Rumah Sakit melihat kondisi suaminya," kata Bu Karso.

" Siap, Bu Karso," jawab ibu-ibu serempak.

Maka, disinilah Bu Karso dan Lisa sekarang. Mereka sudah memasuki ruang UGD, kemudian Haris menjemput mereka di pintu. Bu Karso hendak menjerit ketika melihat baju biru langit yang dikenakan Haris penuh dengan darah, tapi beliau menahannya demi Lisa. Benar saja, saat Lisa menyadari keberadaan Haris dan melihat darah di bajunya, Lisa berlari mencengkeram kerah baju Haris dan berteriak menuntut," Apa yang terjadi pada suamiku?" Matanya merah dan melotot kepada Haris. Haris tampak ketakutan dan malu. Matanya sembab, hidungnya merah dan melihat Lisa, dia kembali menitikkan air mata.

" Lisa,...," Haris meraih tangan Lisa di kerah bajunya.

Bukannya melepaskan, Lisa justru memperkuaat cengkeram tangannya pada kerah baju Haris. " DIMANA SUAMIKUUU??," teriaknya. Matanya melotot.

" Lisa,..," Haris tak mampu berkata-kata.

Lisa menurunkan tangannya mengelus dada Haris, dimana di baju itu terdapat darah suaminya. "AYAAHHHH....," Lisa kembali menangis meraung-raung. Bu Karso dengan sigap menangkap Lisa yang hampir terjatuh, demikian pula Haris.

" Pak Haris, dimana Pak Handi?," Bu Karso memecah teriakan Lisa yang memanggil-manggil Handi dalam tangisnya.

" Dia....ada...di...kamar mayat. Mereka...sedang...membersihkannya...," jawab Haris tercekat. Suaranya habis di tenggorokannya.

" Bisa kita kesana?," tanya Bu Karso.

Haris mengangguk. Bu Karso berusaha memapah Lisa, namun tubuh Lisa sudah lemas tak berdaya. Haris kemudian membantunya. Dia memegang tangan Lisa sebelah kiri, sedangkan Bu Karso berada di sebelah kanan. Mereka berjalan di lorong Rumah Sakit yang ramai orang berlalu lalang. Rumah Sakit itu luas dan mereka berjalan jauh menuju kamar mayat yang berada di ujung belakang Rumah Sakit. Lisa masih menangis menjadi-jadi sambil membisikan nama Handi, membuat semua orang yang mereka lewati memandang Lisa dengan raut wajah prihatin.

Haris, Lisa dan Bu Karso sudah sampai di depan kamar mayat. Haris dan Bu Karso membantu Lisa duduk di kursi. Bu Karso ikut duduk di sebelah kanan Lisa, masih memeluk Lisa yang terguncang hebat. Haris berdiri di sudut, menangis tanpa suara. Dia terlihat menerima telpon, dan mengatakan bahwa posisinya berada di depan kamar mayat bersama Lisa menunggu jenazah Handi selesai dibersihkan. Selama lebih dari lima belas menit, mereka bertiga terdiam. Hanya terdengar sesenggukan Lisa. Keheningan mereka terpecah saat ada wanita paruh baya dan seorang perempuan muda menghampiri mereka. Wajah baru tersebut adalah Bu Nani, ibu Haris, dan Dini, kekasihnya. Bu Nani dan Dini terlihat khawatir, apalagi ketika melihat bekas darah di baju Handi yang bahkan belum mengering.

" Ya Tuhan, Haris!," Bu Nani menutup mulutnya. Beliau shock melihat darah di baju Handi. " Apa yang sebenarnya terjadi?"

Haris menjelaskan apa yang terjadi kepadanya dan Handi saat di kawasan proyek tadi. Haris menceritakannya sambil terus menangis. Dia tak mampu membendung emosinya mengetahui Handi meninggal karena menyelamatkan hidupnya.

" Seandainya Handi tidak disana....Seharusnya aku yang mati, Bu...Seharusnya aku yang tertimpa pipa itu...Seharusnya aku yang mati...," raung Haris memukul dadanya," Ini semua salahku...Kalau saja aku....Handi tidak akan meninggal...Dia tidak akan seperti ini...." Haris menutup wajahnya dengan kedua tangannya. Dia menangis sejadi-jadinya.

Bu Karso, Bu Nani dan Dini yang mendengarkan cerita Haris ikut menangis dalam diam, sementara Lisa hanya duduk termangu. Matanya tetep menitikkan air mata. Pandangannya kosong. Mulutnya terkatup rapat tak bersuara. Dini mengalihkan pandangannya kepada Lisa, kemudian dia duduk di samping kanan Lisa dan ikut memeluk Lisa sambil memangis tersedu-sedu. Lisa memejamkan matanya. Dia menangis hingga tubuhnya terguncang saat menerima pelukan Dini kepadanya. Dini dan Lisa juga berteman baik, seperti halnya Handi dan Haris, meskipun mungkin pertemanan mereka tak sekental Haris dan Handi. Setidaknya Lisa dan Dini sering saling mengirim pesan dan pernah pergi bersama.

Suasana sedih ini harus terhenti ketika pintu kamar mayat menjeblak terbuka. Perhatian mereka semua teralihkan, tak terkecuali Lisa. Dia seakan tersadar dari keadaannya. Petugas kamar mayat yang seorang laki-laki bertubuh pendek namun kekar itu berkata," Keluarga Pak Handi?"

Lisa berdiri dengan perlahan-lahan, diikuti Bu Karso dan Dini. Dia menjawab," Saya istrinya."

"Jenazah sudah selesai dimandikan dan dikafani. Apakah Ibu berkenan melihatnya dulu?," tanya sang petugas.

Lisa mengangguk. Bu Karso bertanya kepada si petugas," Apakah saya boleh ikut masuk? Saya mau membantu Bu Handi."

Sang petugas yang melihat keadaan Lisa menggangguk mempersilahkan Bu Karso dan Lisa masuk. Haris setengah berlari mengejar Lisa dan Bu Karso. " Pak, saya yang membawanya kesini. Boleh saya ikut masuk juga?"

Petugas itu menjawab," Silahkan, Pak."

Haris masuk ke kamar mayat mengikuti Lisa dan Bu Karso. Di dalam kamar mayat itu ada seorang petugas lagi yang masih berkutat dengan jenazah Handi, laki-laki itu tampaknya membenahi tali kafan jenazah Handi di bagian kakinya. Jenazah Handi diletakkan di sebuah peti. Lisa belum melihat jelas jenazah suaminya. Dia baru melihat siluet dimana seharusnya ada gundukan kaki, disana tidak ada apapun, seperti kosong. Semakin mendekat, Lisa mencari gundukan yang seharusnya ada dada dan tangan, disitu juga terlihat kosong meskipun ada tali kafan yang melilitinya. Lisa mencengkram dadanya berusaha menguatkan dirinya untuk melihat wajah suaminya. Daritadi dia mendengar cerita Haris yang mengatakan bahwa suaminya tertimpa pipa besi baja yang beratnya ratusan ton dan dia bisa mambayangkan bagaimana kondisi jenazah suaminya yang dipastikan tidak utuh. Lisa sudah berada tepat di depan dimana kepala jenazah Handi berada dan dia menutup mulutnya seketika, demikian juga Bu Karso. Itu memang kepala Handi tapi hanya ada separuh. Separuh tengkoraknya remuk, begitulah yang dikatakan si petugas ketika Bu Karso bertanya. Lisa menangis sambil menutup mulutnya. Wajah Handi tampak mengerikan. Hilang sudah wajah penuh tawa dan canda milik Handi. Handi mungkin tidak tampan, tapi dia selalu tersenyum sehingga dia selalu tampak menyenangkan. Melihat kondisi mayatnya sekarang, tidak akan ada yang mengenalinya sebagai Handi. Lisa teringat wajah korban-korban pembunuhan yang ada di film-film horor, tapi wajah jenazah Handi lebih mengerikan lagi daripada itu.

" Kami sudah berusaha sebisa mungkin untuk mengumpulkan tulang dan organ tubuh jenazah, Pak. Melihat kondisinya tidak mungkin kita hanya menguburkannya hanya dengan kain kafan. Kami menyarankan agar beliau dimakamkan dalam peti saja, Pak," kata petugas itu kepada Haris.

" Baiklah, terimakasih, Pak," jawab Haris.

Haris berdiri di belakang Lisa dan Bu Karso. Sesekali dia mengusap matanya yang masih mengeluarkan air mata tanpa suara. Dia masih mengutuki dirinya yang menyebabkan kejadian ini terjadi. Di dalam kepalanya masih berkata, seandainya tadi dia tidak berdiri di bawah pemasangan pipa baja itu, seandainya dia mendengarkan kata-kata Handi bahwa tindakannya berbahaya, seharusnya dia yang mati, bukan Handi. Kata-kata itu terus terngiang di kepala Haris.

Lisa melangkah keluar dari kamar mayat, diikuti Bu Karso yang memapah tubuhnya. Dia sudah tak sanggup lagi memandang wajah suaminya. Dia tak tega melihat wajah suaminya yang sudah menghiasi hidupnya selama delapan tahun ini. Dia terus bertanya-tanya dalam hati, mengapa suaminya mengalami hal setragis ini? Mengapa suaminya harus meninggalkannya dengan kondisi seperti itu? Hilang sudah cita-cita mereka untuk membangun rumah tangga sampai tua, sampai anak-anak mereka menikah dan mereka mempunyai cucu-cucu yang lucu. Hilang sudah harapan Lisa mempunyai keluarga utuh seperti yang selama ini diimpikannya.

Haris melangkah maju mendekat ke peti jenazah kawannya, menggantikan tempat Lisa yang berjalan keluar dengan gontai ditemani Bu Karso. Dia kembali menangis. Dia memutar seluruh kaset memori kebersamaannya dengan Handi selama lima belas tahun ini. Temannya yang paling karib, temannya yang mengenalnya dari ujung kepala sampai ujung kaki, temannya yang paling dia percayai untuk rahasia terdalamnya sekalipun telah pergi meninggalkan dunia ini, bahkan karena dirinya. Betapa dia menyesal dan terpukul karena hal mengerikan ini terjadi pada Handi. Betapa dia merasa bersalah karena dialah yang menyebabkan Handi harus mengalami ini. Betapa dia tidak akan bisa menebus semua kesalahannya karena telah memisahkan seorang suami dengan istrinya dan seorang ayah dengan anak-anaknya. Tidak! Sampai kapan pun dan dengan apapun dia tidak akan bisa menebus semua kesalahannya.

Pertahanan Haris telah goyah. Dia jatuh bersimpuh di bawah peti mati Handi. Menangis dan menangis. Dia akan menangis sampai air matanya kering. Bagaimanapun dia menangis, sebanyak apapun air matanya habis, dia tidak akan bisa menghapus semua kesalahannya terhadap keluarga Handi. Tidak akan pernah bisa!

KENANGAN HANDI DAN LISA

Lisa tidak tahu lagi berapa banyak orang yang sudah menjabat tangannya dan memeluknya. Otaknya sudah kosong sejak dia mengetahui bahwa Handi, suaminya, sudah terbujur kaku. Dia bahkan tidak menghiraukan Hana dan Hamza yang menuntut penjelasan sebenarnya apa yang terjadi pada ayahnya. Dia tidak sanggup mengatakan apapun pada anak-anaknya. Dia tidak tega memberitahu mereka bahwa ayah mereka telah pergi meninggalkan mereka selama-lamanya.

Tak bisa dibayangkan betapa terkejutnya Bu Sri, ibu Handi, ketika Bu Nani, ibu Haris yang merupakan tetangganya di kampung, menelponnya dan memberi kabar duka. Sama halnya dengan Lisa, Bu Sri tidak bisa menerima kenyataan bahwa putranya telah tiada dengan cara yang tragis. Beliau berkali-kali pingsan dan bangun dengan berteriak-teriak memanggil nama Handi. Beliau benar-benar tidak ikhlas, anak kesayangannya yang paling beliau sayangi meninggalkannya lebih dulu. Beliau meminta kepada Haris dan Bu Nani agar membawa jenazah Handi pulang ke kampung halaman. Beliau ingin berdekatan dengan anaknya meskipun hanya berupa makam. Lisa mengiyakan permintaan ibu mertuanya. Dia paham betul bagaimana perasaan ibu Handi. Dia mengizinkan ibunya memiliki Handi untuk terakhir kalinya.

Sudah dua hari sejak pemakaman Handi, sikap Lisa masih tidak menunjukkan tanda-tanda dia mengikhlaskan kepergian suaminya. Dia tidak makan, kurang minum, kurang tidur, dan kurang istirahat. Wajahnya tidak hanya terlihat sayu dan pucat, tapi tak ada pancaran kehidupan dari dalam dirinya. Dia memang duduk di ruang tamu, tak sekalipun beranjak dari sana ketika ada tamu pelayat yang datang. Dia menjabat tangan mereka, menerima ucapan belasungkawa mereka, dan tidak jarang yang memeluknya memberikan simpati kepadanya, tapi dia hanya diam membeku, tak ada satu kata pun keluar dari mulutnya. Ibu mertuanyalah yang menjawab setiap pertanyaan para tamu yang datang.

" Lisa, makan dulu!," kata Bu Sri. Di tangannya ada sepiring nasi soto ayam yang hangat.

Lisa menatapnya dengan pandangan kosong dan menggeleng pelan.

" Lisa, makanlah! Sudah dua hari kamu ngga makan!," Bu Sri menyendokkan nasi dan mengangkatnya di depan muka Lisa. Wajahnya diliputi rasa khawatir atas keadaan menantunya.

Lisa kembali menggeleng.

Bu Sri mengangkat sendok berisi nasi ke depan mulut Lisa dan berkata dengan lembut," Buka mulutmu! Ibu bilang buka!" Dia memaksa Lisa membuka mulutnya dengan menempelkan sendok itu di bibir Lisa.

Dengan enggan, Lisa membuka mulutnya dan Bu Sri menyuapinya. Lisa menangis ketika mengunyah makanannya. Dia menemukan keluarga yang didambakannya ketika dia menikah dengan Handi. Kini dia harus kehilangan semuanya. Lisa hidup sebatang kara sejak lahir. Ibunya membuangnya di depan rumah seseorang dan dia dikirim ke panti asuhan. Di panti asuhan itulah dia dibesarkan. Dia tidak pernah kekurangan kasih sayang, sebab pengurus panti asuhan sangat menyanyanginya dan bersikap adil kepada semua anak-anak panti, tetapi dia tidak bisa memungkiri bahwa dirinya iri bila melihat mereka yang hidup bersama ayah dan ibunya. Sejak kecil Lisa terbiasa bekerja, meskipun pengurus panti tidak pernah mengizinkannya. Dia merasa malu bila harus meminta uang lebih kepada pengurus panti bila dia menginginkan sesuatu. Dia tahu pengurus panti sudah berjuang membesarkannya dan ratusan anak panti yang lain dengan hanya mengandalkan bantuan para donatur. Lisa cukup tahu diri untuk tidak merepotkan pengurus panti dengan keinginannya akan sesuatu. Mungkin bagi anak-anak lain memiliki sebuah diari bagus dengan motif boneka Teddy Bear, bersampul tebal, memiliki gembok dan kertas dalamnya berwarna-warni adalah hal yang mudah, namun tidak bagi Lisa. Dia harus bekerja di warteg dekat panti asuhannya, mencuci piring kotor sejak pulang sekolah hingga lepas maghrib dengan upah hanya lima ribu perak setiap hari. Dia harus menyisihkan uang hasil keringatnya tiga ribu per hari agar dia segera bisa punya buku diari itu yang harganya tiga puluh ribu saja. Dia bekerja berpindah-pindah setiap ada orang lain yang menawarinya bekerja part time. Dia bahkan bisa membayar sebagian biaya sekolahnya saat SMA dengan bekerja di percetakan. Suatu prestasi yang membanggakan baginya, begitulah pemikiran seorang anak SMA.

Selepas SMA, dia pergi merantau ke Jakarta, mencoba keberuntungannya, melambungkan harapannya siapa tahu nasibnya bisa berubah. Dia bermimpi bisa sukses dengan kemampuannya sendiri. Prestasi belajarnya selama bersekolah SD sampai dengan SMA bagus, hal tersebut bisa menjadi bekal untuknya bisa bekerja di tempat yang bagus dan berpenghasilan besar. Ternyata alam masih belum memihaknya. Dia hanya bisa menjadi waitres di sebuah rumah makan waralaba, office girl di perkantoran kecil dan akhirnya dia menjadi staf administrasi di sebuah perusahaan kecil distributor rokok baru. Gajinya tidak pernah besar, tapi dia menikmati semua proses hidupnya.

Bagaimana Lisa bisa bertemu Handi? Ah, pertemuan mereka bukanlah hal yang bisa disebut biasa. Lisa berjalan pulang dari kantornya ke arah rumah kosnya, dia selalu melewati jalan yang sama dan di jam yang sama setiap harinya. Di jalan itu, ada sebuah warung kopi sederhana yang selalu ramai pengunjung dan disitulah Handi biasa ngopi bersama teman-temannya. Tanpa Lisa ketahui, Handi mengawasinya dan selalu menunggunya lewat disana setiap harinya.

Suatu hari, Handi membuat siasat agar bisa berkenalan dengan Lisa. Dia menunggu Lisa di warung kopi seperti biasa. Dia celingak-celinguk menantikan kehadiran Lisa yang rupanya terlambat lewat lebih dari tiga puluh menit, cukup membuatnya cemas rencananya bakal gagal, bahkan sebelum dilakukan. Akhirnya Lisa lewat juga setelah dia mulai bosan menunggu, tepat lima langkah setelah Lisa melewatinya. Handi berlari menghampiri Lisa dan menepuk pundaknya.

" Mbak..mbak," sapa Handi dengan napas tersengal-sengal.

Lisa menoleh. " Ada apa ya, mas?," tanya Lisa sopan.

Handi mencengkram dadanya, ternyata langkah kaki Lisa cepat juga, dia harus benar-benar berlari menyusulnya. " Uang Mbak tadi jatuh," katanya sambil menyodorkan uang kertas lima puluh ribuan yang terlipat.

Lisa otomatis merogoh sakunya. Dia memang punya pecahan uang itu di saku celana kerjanya. " Tapi punya saya masih ada,mas," katanya sambil mengeluarkan uang kertas lima puluh ribu yang juga dalam kondisi terlipat. "Mungkin Mas salah orang." Lisa tersenyum.

Hati Handi seketika tersengat ketika melihat senyum Lisa. Entah mengapa rasanya baru kali ini dia melihat senyum seindah dan setulus senyum Lisa kepadanya. " Masa sih, Mbak? Kayaknya tadi saya lihat uang ini jatuh dari saku Mbak," elak Handi sedikit ngotot.

" Tapi uang saya masih ada kok, Mas," Lisa kembali mengeluarkan uang lima puluh ribu miliknya setelah tadi sempat dia masukkan ke dalam saku celananya.

" Waduh, terus ini uang siapa ya, Mbak?," tanya Handi bersikap bodoh.

Lisa tersenyum kecil. Wajahnya benar-benar menggemaskan di mata Handi saat itu. " Mana saya tahu, Mas. Kan Mas yang menemukan uangnya. Saya balik dulu ya, Mas. Semoga pemilik uangnya segera ketemu." Lisa sudah berbalik hendak berjalan pergi ketika Handi meneriakinya.

" Kalau boleh tahu, nama Mbak siapa ya?"

Lisa menoleh sekali lagi dan tersenyum manis. Hati Handi tersengat lagi.

" Namaku Lisa, Mas." Lisa berbalik lagi. Dia sudah berjalan dua langkah ketika Handi kembali berteriak.

" Apa saya bisa menemui Mbak lagi besok?"

Lisa berhenti. Dia lagi-lagi menoleh, kali ini dengan tatapan heran dan bingung. Matanya memandang Handi dari ujung kepala sampai ujung kaki lagi. Sebelum akhirnya dia tersenyum lebar, membuat wajahnya semakin terlihat manis di mata Handi. Lebih manis lagi ketika bibir tipis Lisa menjawab tanpa ragu-ragu," Boleh. Bila kita berjodoh, besok kita akan bertemu lagi, Mas. Siapa namamu?"

" Handi," jawab Handi.

" Baiklah, Mas Handi, saya pulang dulu."

Lisa berbalik lagi dan berjalan cepat. Handi memandangi punggungnya hingga hilang dari pandangan.

Sejak itu hubungan mereka berlanjut, hingga Handi menyatakan rasa sukanya kepada Lisa, bahkan berani melamarnya. Handi juga menyatakan keseriusannya ingin hidup berumah tangga dengan Lisa dengan mengajak Lisa menemui orangtuanya di kampung. Baru kali ini ada seorang laki-laki yang menyukainya sedemikian tulus seperti Handi. Baru Handi yang mampu menggetarkan hatinya. Handi tidak tampan, postur tubuhnya juga biasa-biasa aja, namun Lisa sangat menyukai sikap gentleman Handi. Handi selalu perhatian, pengertian, menerimanya apa adanya, menghargai setiap kata-katanya dan mendengarkan keluh kesahnya. Handi selalu ada dengan segala kata-kata petuahnya. Handi juga selalu ada dengan gombalannya bila Lisa cemberut. Handi selalu punya cara agar Lisa tersenyum.

Semua terjadi begitu singkat. Lisa masih ragu-ragu ketika Handi bilang bahwa dia ingin menjadikan Lisa sebagai istrinya. Keluarga mana yang akan menerima Lisa menjadi bagian dari keluarga mereka bila melihat latar belakang hidup Lisa? Keluarga mana yang akan membiarkan anaknya menikahi seorang perempuan yang hidup sebatang kara? Lisa tak mau larut dalam impiannya. Dia takut sakit hati bila nanti keluarga Handi tidak menerimanya. Dia sudah siap dengan hal yang terburuk. Dia sudah siap bila nantinya dia harus putus dengan Handi bila keluarganya tidak merestui cinta mereka. Bukan berarti Lisa tidak mencintai Handi, dia hanya sadar diri. Dia tidak mungkin menyuruh calon suaminya untuk berseteru dengan keluaarganya sendiri hanya karena dirinya.

Lisa gugup bukan kepalang ketika dia dan Handi sudah berada di depan pintu rumah Handi di kampung. Keringat dingin membasahi tangan Lisa. Dia bolak balik menelan ludahnya yang sudah kering. Dia bahkan merasa bedaknya sudah luntur saking banyaknya keringatnya.

Handi mengetuk pintu rumahnya, sambil mengucap salam. Terdengar ada orang yang menjawab dari dalam rumah dan suara orang berlari. Pintu terbuka setelahnya. Seorang wanita paruh baya berperawakan langsing, tinggi sekitar seratus lima puluh centimeter, berwajah teduh, berkulit putih dan bermata sayu menggenggam gagang pintu. Sudah pasti wanita ini ibunya Handi. Seketika Lisa menyadari bahwa Handi mirip sekali dengan ibunya. Wanita itu tersenyum lebar menyambut tangan Handi," Handi, sudah datang, Nak."

Handi masuk ke dalam rumah diikuti Lisa yang malu-malu. " Jadi ini Lisa ya?," tanya Bu Sri riang.

Lisa mengangguk pelan. Dia menundukkan kepalanya karena malu. Dia tak sanggup menatap wajah ibu Handi. Tiba-tiba Bu Sri menarik tangannya dan memeluknya erat. Lisa terbelalak. Jantungnya berdegup kencang, mungkin Bu Sri bisa mendengar suara detak jantungnya. Beliau melepaskan pelukannya dan memegang kedua pipi Lisa dengan kedua tangannya yang keriput. Beliau tersenyum sangat dalam dan tulus.

" Jadi inikah perempuan yang dicintai anakku, sampai-sampai memaksa ibunya untuk segera menikahkannya?," kata Bu Sri.

" Saya mohon maaf, bu...," kata Lisa dengan suara lirih yang langsung dipotong Bu Sri, " Ya ampun, pantas aja kamu minta cepat-cepat menikah, Han. Siapa yang menolak calon istri secantik dia?"

Lisa terbelalak bingung. Mulutnya melongo. Mungkin itu ekspresi paling bodoh yang pernah tersirat di mukanya. Handi terkekeh melihat perubahan wajah Lisa. Bu Sri juga tertawa. Bu Sri menuntun Lisa duduk di kursi tamu. Beliau sendiri duduk di kursi di sebelah Handi.

" Jadi kapan kalian menikah?," tanya Bu Sri kepada Handi.

" Kalau bisa minggu depan," jawab Handi santai.

Lisa terpana. Mulutnya terbuka. Matanya bergantian menatap Handi dan ibunya yang tersenyum jahil kepadanya.

" Baiklah. Ibu akan mengurus semuanya. Kamu urus yang di Jakarta," kata Bu Sri sambil menepuk paha Handi. Mereka tersenyum-senyum.

Handi mengalihkan pandangannya kepada Lisa. " Kenapa diam saja, Lisa? Kamu tidak senang? Kita menikah minggu depan loh! Ibu sudah setuju," tanya Handi.

Lisa mengangguk, tapi buru-buru dia menggeleng.

Bu Sri tertawa melihat kelakuan Lisa yang menggemaskan. " Kamu dapat istri darimana sih, Han? Kok lucu begini?"

" Seleraku kan memang unik, Bu," Handi tertawa.

" Lisa,..," Bu Sri memanggil namanya, seketika si empunya nama memalingkan kepalanya melihat Bu Sri. " Handi selalu menceritakanmu dari awal sampai akhir, dari ujung kepala sampai ujung kaki. Sebelum kamu sampai disini, Ibu sudah tahu siapa dirimu, bagaimana hidupmu, apa yang kamu lakukan, apa yang kamu suka dan yang tidak kamu suka. Ibu sudah tahu semuanya. Ibu tidak pernah mempermasalahkan dengan siapa anak Ibu akan menikah, bagaimana latar belakangnya, keturunan siapa. Bagi Ibu, itu tidak penting. Yang penting anak Ibu bahagia bersama wanita pilihannya, itu sudah cukup buat Ibu. Kayaknya harus Ibu yang balik tanya sama kamu, kamu mau ngga menikah dengan anak Ibu?"

Mata Lisa terasa panas saat itu juga. Dia menitikkan air mata. Kekhawatirannya yang terlalu berlebihan, ketakutannya tidak diterima, kecemasannya tidak direstui oleh calon mertuanya menguap karena kata-kata Bu Sri. Lisa mengangguk. " Iya, saya mau, Bu. Terimakasih." Air mata Lisa tak bisa dibendung lagi.

Dan inilah awal mula kehidupan bahagia Lisa. Dia yang dulu iri melihat anak lain hidup bersama keluarga mereka, kini dia memiliki keluarga bersama Handi. Dulu dia bermimpi disayang dan diperhatikan oleh ibu dan ayahnya, kini dia mendapatkannya dari Handi, ibu mertua dan ayah mertuanya. Saking sayangnya Handi padanya, Handi tidak memperbolehkan Lisa bekerja di luar. Dia bilang istri itu tugasnya santai di rumah, mengurus anak-anak dan menunggunya pulang kerja di rumah. Kehidupan sempurna dan bahagia versi Lisa.

" Lisa, kamu harus makan. Lanjutkanlah hidupmu, Nak!," suara bu Sri memecah lamunan Lisa yang sedari tadi mengingat pertemuannya dengan Handi dan ibunya untuk pertama kalinya. Bu Sri kembali menyorongkan sesendok nasi ke dalam mulut Lisa. " Lihatlah Hana dan Hamza! Lihat anak-anakmu! Mereka membutuhkanmu, Sayang! Jangan siksa dirimu seperti ini!"

Lisa menangis. Entah keberapa ratus kali. Dia heran kenapa air matanya tak kunjung mengering. Mendengar kata-kata ibu mertuanya membuatnya tersadar. Dia masih punya Hana dan Hamza. Dia masih punya anak-anaknya yang butuh kasih sayang dan perhatian darinya. Anak-anaknya yang akan menjadi penghiburan baginya. Mereka akan saling menguatkan satu sama lain tanpa kehadiran Handi di sisi mereka lagi.

" Lisa, meskipun Handi sudah tiada, sampai kapanpun kamu boleh menganggap Ibu sebagai ibumu. Hana dan Hamza adalah cucu Ibu dan Abah. Sampai kapanpun kamu boleh pulang dan menganggap rumah ini sebagai rumahmu," kata Bu Sri.

Lisa mengangguk sambil menitikkan air mata.

" Berjanjilah pada Ibu, kamu akan bangkit! Berjanjilah kamu akan berjuang demi anak-anakmu! Kamu wanita yang kuat, Lisa! Ibu percaya padamu," kata Bu Sri. Beliau ikut menangis melihat kondisi menantunya.

Lisa tak mampu menjawab kata-kata mertuanya. Dia hanya bisa memeluk tubuh Bu Sri dan membenamkan semua perasaannya, kesedihannya, keputusasaannya, dan kepedihan hatinya di pundak ibu mertunya. Dia berjanji dalam hati dia akan terus hidup, membesarkan anak-anak Handi dengan baik dan mengantarkan mereka menuju kesuksesan. Dia berjanji akan membahagiakan Hana dan Hamza demi nama Handi.

Bu Sri melepaskan pelukan Lisa dan mengelus pipi Lisa dengan lembut. Beliau menghapus sisa air mata Lisa. Kemudian beliau lanjut menyuapi Lisa hingga piring Lisa kosong.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!