NovelToon NovelToon

Menikahi Adik Sang Mafia

Bab 1 : Kehilangan Selamanya

Ivy mondar mandir di depan ruangan operasi sambil menunggu lampu indikator di atas pintu operasi mati menandakan operasi telah selesai. Sesekali dia menggigit jarinya untuk mengusir rasa kekhawatiran yang hampir tak terbendung. Dia tahu apa yang sedang terjadi di dalam sana dan konsekuensi apa yang harus dihadapi suaminya karena dia sendiri sudah hampir tiga tahun menjadi seorang perawat di rumah sakit ini. Tapi kali ini berbeda. Di dalam sana bukan pasien biasa. Di dalam sana adalah separuh hidupnya, ayah dari putra semata wayangnya, Aiden Vergara.

Tidak boleh menangis. Ya, tidak boleh menangis, batinnya.

Dia berusaha melupakan ketegangannya dengan mengingat kembali masa indah yang sudah dilalui bersama suaminya, Rafael Vergara.

Lima tahun berumah tangga bukanlah hal mudah. Apalagi pernikahan mereka adalah pernikahan lintas negara. Rafael berkewarganegaraan Filipina, sedangkan Ivy asli Indonesia. Belum lagi, Rafael belum memenuhi janjinya untuk membawa Ivy bertemu keluarganya. Pekerjaan Rafael membuat dia belum memiliki waktu untuk membawa keluarga kecilnya ke Negera asalnya.

Rafael pria yang sehat. Tubuhnya tinggi kekar dan dia selalu menyempatkan waktu untuk berolahraga selesai bekerja. Dia juga sangat menjaga makanannya. Namun apa daya, bukan penyakit yang membuat dia menjadi pesakitan di meja oprasi, melainkan kecelakaan tunggal di jalan tol tadi pagi ketika dia akan kembali ke ibu kota. Mobilnya mengalami kerusakan hampir 90%. Benar-benar ringksek hampir tak berbentuk. Polisi menduga Rafael sempat ketiduran sekitar tiga detik dan mobilnya keluar jalur tol dan menabrak pembatas tol. akibatnya besi pembatas tol masuk melalui kaca depan dan menancap di dada Rafael. Organ dalamnya rusak parah. Dokter sudah hampir angkat tangan, tetapi Rafael yang dibawa dalam keadaan tak sadarkan diri, tiba-tiba bisa membuka matanya dan berbicara meskipun tidak jelas. Ini membuat para dokter segera melakukan operasi kepada Rafael meskipun kemungkinan untuk hidup lebih lama sangat kecil.

Ivy teringat bagaimana nantinya nasib Aiden kalau terjadi sesuatu pada Rafael. Selama ini Rafael telah bekerja dengan begitu kerasnya supaya dia dan Aiden bisa hidup layak dan nyaman. Rafael hampir tidak punya waktu di rumah. Sebagai distributor salah satu merek rokok di kota itu, tak jarang Rafael harus turun tangan untuk masalah pendistribusian. Termasuk saat kecelakaan itu, Rafael baru saja pulang dari survey di kota sebelah untuk mengatur pendistribusian. Penghasilannya cukup besar. Mereka hidup di real estate dan memiliki beberapa kendaraan.

Kesetiaan? Rafael tergolong pria yang setia. Sejak pertama bertemu Ivy enam tahun lalu, Rafael tidak pernah sedikit pun ada cela mengkhianati Ivy. Dia bahkan selalu rutin mengirimkan pesan teks kepada Ivy jika sedang berjauhan. Dia sebenarnya melarang Ivy bekerja, tapi Ivy kekeh ingin tetap bekerja sebagai perawat. Baginya, menjadi perawat bukan sekadar pekerjaan tapi panggilan. Dan Rafael sendiri yang membantu Ivy diterima di rumah sakit ini karena Rafael kenal salah satu donaturnya yang juga berasal dari Filipina. Sekilas, Rafael adalah suami idaman bagi Ivy. Itulah mengapa Ivy tidak mempersoalkan ketidakhadiran keluarga Rafael di hari pernikahan mereka. Rafael hanya menggunakan wali nikah, itupun dari anggota keluarga Ivy sendiri. Rafael yang Ivy kenal adalah lelaki mandiri yang tidak bergantung pada keluarga makanya Ivy tidak banyak tanya tentang keluarga Rafael.

Ting. Lampu merah padam.

Ivy segera menghapus setetes air mata yang tidak sadar sudah jatuh dari pelupuk matanya ketika dia sedang mengenang sosok Rafael.

Ivy sudah tidak sabar menunggu dokter keluar. Napasnya memburu dan jantungnya berdegup kencang.

"Bagaimana hasilnya, dok?," serbu Ivy begitu dokter keluar

Dokter laki-laki itu menghela napas panjang,

"Rafael sudah dibawa ke ruang PACU. Kamu boleh ke sana Iv sekarang,"

"Artinya dia baik-baik saja kan, dok?,"

"Kita belum bisa simpulkan sekarang, Iv. Kita harus tunggu sampai efek obat biusnya hilang dan Rafael sadar. Jika dia tidak sadar, pilihannya hanya dua, vegetatif atau mati," dokter berbicara dengan perlahan agar Ivy tidak begitu syok.

Ivy menutup mulutnya dengan tangan. berusaha tetap kuat. Dokter menepuk pundaknya dan berlalu. Tanpa menunggu, Ivy segera berlari ke ruang PACU. sebagai perawat di rumah sakit itu dia punya akses untuk masuk ke berbagai ruangan di rumah sakit itu.

Dan Rafael baru menunjukan tanda kesadaran setelah 24 jam pasca operasi. Dan selama itu juga, Ivy tidak beranjak dari samping tempat tidurnya. Tidak makan, tidak tidur, dan tidak pulang ke rumah. Aiden punya seorang suster yang menjaganya, seorang wanita paruh baya yang sangat telaten menjaga Aiden, Ivy tidak khawatir meskipun tidak pulang rumah.

Rafael menggerakan jarinya. Ivy yang selalu terjaga melihat gerakan itu.

"Sayang..," Ivy memegang jari Rafael. Rafael ingin membuka matanya tapi efek obat membuatnya belum bisa membuka mata secara sempurna.

"Sayang.. Ini aku. Bangun ya, kita kembali ke rumah. Aiden menunggu kita," Ivy berbicara dengan cukup dekat ke wajah Rafael. Rafael kembali menggerakan jarinya yang ada dalam genggaman Ivy.

"Kamu mau bilang apa?," Ivy menebak suaminya ingin mengatakan sesuatu. Mulutnya bergumam. Selang yang dimasukan ke dalam mulutnya menghalangi Rafael untuk berbicara. Dia terdengar seperti menggumam. Ivy mendekatkan wajahnya ke arah mulut Rafael supaya mendengarkan apa yang dia katakan.

"Sayang, aku tidak dengar. Ayo sadarlah dan kita berdua berbicara sepuasnya," suara Ivy bergetar. Rafael masih menggumam. Kini daun telinga Ivy hanya berjarak satu sentimeter dari bibir Rafael. Berusaha sekuatnya untuk mengerti perkataan Rafael.

"To..n..do..," Ivy menangkap satu kata dari Rafael.

"Tondo? Kamu ingin pulang kampung ke Tondo?," Ivy tahu Tondo adalah tempat lahir Rafael. Salah satu distrik di Manila, Filipina.

"Sayang, kamu ingin pulang kampung ke Tondo?," Ivy bertanya lagi. Rafael mengetuk-ngetuk jarinya kembali.

"Oke baiklah. Kamu ingin pulang ke Tondo. Kita akan pulang. Aku, Aiden akan ikut ke Tondo. Kita akan menemui keluargamu di sana. Kalau perlu, kita akan buat resepsi besar-besaran di sana. Biar semua orang tahu kita sudah menikah. Tapi kamu harus sadar dulu," suara Ivy bergetar.

Namun, apa yang Ivy katakan itu pada akhirnya tidak terwujud. Selang beberapa jam selesai mengucapkan kata Tondo pada Ivy, Rafael dinyatakan meninggal. Organ dalamnya tidak terselamatkan lagi.

Ivy sangat terpukul. Sungguh, tidak pernah terpikirkan olehnya menjadi janda di usia 27 tahun.

"Ivy.. Sayang..kamu baik-baik saja?," Bella sahabat Ivy berlari dan memeluk Ivy yang sedang berdiri sambil menangis di samping jasad suaminya yang akan dibawa ke ruang formalin.

"Bella...," Ivy menangis dalam pelukan Bella

Untuk sesaat keduanya menangis sambil berangkulan.

"Bagaimana pemakamannya, Iv? Apa kamu sudah memberitahu keluarganya?," tanya Bella begitu pelukan Ivy berakhir

"Aku gak kenal satu pun keluarganya, Bel,"

"Lalu?,"

"Di detik-detik terakhir dia menyebutkan kata Tondo. Itu tempat lahirnya. Keluarganya di sana. Aku harus membawa dia ke Tondo," ujar Ivy

"Ke Tondo? Filipina?," Bella terkejut dengan keinginan Ivy. Ivy mengangguk, "Tapi bukankah itu sulit Iv untuk pengurusan dokumen dan lain-lain?," lanjut Bella.

"Koleganya yang memasukanku bekerja di rumah sakit ini akan mengurus semuanya. Keluarganya di sana juga sudah diberitahu dan sementara bersiap untuk menyambut kedatangan kami,"

"Kapan kalian berangkat ke sana?,"

"Sebentar sore Iv. Semuanya sudah diurus. Tiketnya sudah ada,"

"Aiden?,"

"Harus aku bawa Bel. Aiden harus tahu keluarga ayahnya. Di sana ada nenek, paman dan bibinya, adik dari Rafael. Aiden harus bertemu mereka,"

"Aku ingin menemanimu ke sana Iv, tapi kamu tahu kan Ruben belum bisa ditinggal. Dia masih menyusui,"

"Tidak apa-apa, Bel. Aku mau sekalian titip rumah. Aku mungkin hanya sekitar semingguan di sana. Tidak akan lama. Aku harus kerja lagi. Lagian aku juga tidak dekat dengan mereka. Tidak mungkin aku betah di sana,"

"Aku akan sering-sering melihat rumah selama kamu disana,"

"Nanti kamu ambil kuncinya sama bibi Rahmi ya," Bella mengangguk, "Dan tolong stand by hp mu ya Bell. Aku tidak tahu keadaan di sana. Manatau aku butuh bantuan. Aku segera menelpon mu kalau sudah ganti SIM card di sana,"

Mereka pun berpelukan lagi dan pelukan itu terasa menyayat hati bagi keduanya. Seakan ada suatu perasaan akan sesuatu hal yang besar yang akan terjadi.

----------------------------------------------------------------------

Dear readers,

Nah, Ivy berangkat nih ke Tondo, Filipina. Tetap stay tune untuk bab-bab selanjutnya supaya kita tahu bahwa perjalanan ini akan teramat sangat tidak mudah untuk Ivy.

Bab 2 : Tondo, i'm coming

Ivy melangkahkan kaki menginjak tangga pesawat sambil membetulkan kacamatanya. Dia menghela napas, memandang sejenak lapangan parkir bandara Ninoy Aquino, Manila, Filipina. Ini adalah kali pertama Ivy menginjak tanah Filipina. Meskipun cukup dekat dengan Indonesia, Ivy belum pernah ke sini.

Dia membalikan badan dan mengambil Aiden untuk digendong. Aiden baru berusia hampir empat tahun. Ivy takut Aiden jatuh saat turun tangga. Ivy mengikuti petunjuk arah dan menuju ke tempat pengambilan bagasi. Barang yang dibawanya tidak terlalu banyak. Hanya saja karena Aiden masih kecil mau tidak mau baju-baju Aiden yang paling banyak dan membutuhkan koper besar. Tidak ada oleh-oleh atau bingkisan tangan untuk keluarga Rafael karena kunjungan kali ini berbeda. Ivy datang untuk pemakaman.

Tidak lama bagasinya sudah diambil dan Ivy menuju pintu keluar. Ivy berdiri sejenak untuk melihat tulisan penjemput. Matanya berhenti di salah satu penjemput bertubuh tinggi kekar menggunakan kemeja hitam dan celana jeans slim fit serta topi hitam. Di tangannya ada tulisan "IVY CECILIA VERGARA".

Ivy membuka kaca matanya dan melambaikan tangan kepada orang itu. Ivy sudah diberitahu bahwa di sana mereka bisa menggunakan bahasa Inggris. Ivy menyapa dan menjabat tangan orang itu.

"Ivy,"

"Damon," pria itu memperkenalkan namanya. Dia melirik ke arah Aiden dan tersenyum, "Saya saja yang bawa, Madame," Damon menarik koper besar milik Ivy sambil mempersilakan Ivy mengikutinya ke arah parkiran.

Ivy terkejut melihat sekelompok pria menggunakan baju serba hitam sedang berdiri tegak di depan mobil yang dituju Damon. Ekspresi wajah Ivy bisa dibaca oleh Damon.

"Mereka semua pengawal, Madame dan tuan kecil," Damon menjelaskan

Tuan Kecil? Mungkin dia belum memperkenalkan Aiden.

Sungguh sikap yang sangat formal, batin Ivy.

"Aiden. Namanya Aiden," Ivy berusaha menjelaskan

"Ya. Tapi kami harus memanggil Tuan Kecil, tidak boleh namanya,"

"Kenapa?," Ivy mengernyitkan kening

"Tidak sopan," jawab Damon. Bicaranya menang cukup irit dari tadi.

"Selamat datang Madame dan Tuan Kecil," serempak para pria itu bersuara sambil menundukkan kepala.

Ivy mengangguk dengan ekspresi bingung.

"Bagaimana dengan peti nya?," tanya Ivy

"Tuan Lukas sementara mengurusnya," jawab Demon

"Lukas, adiknya Rafael?,"

"Ya. Saudara kembarnya Tuan Rafael,"

Ivy terkejut. Tunggu dulu. Kembar? Rafael tidak pernah bercerita dia punya saudara kembar. Dia hanya mengatakan kalau dia punya dua adik.

"Bagaimana prosesi pemakaman di sini? Mohon petunjuk saya tidak mengetahui banyak hal tentang Manila,"

"Nyonya besar akan menjelaskan langsung kepada Madame. Selesai Madame makan siang,"

"Nyonya besar?,"

"Iya. Ibu dari Tuan Rafael,"

"Oo, baik,"

Kenapa semua di sini terasa seperti ada sesuatu yang aneh. Tuan kecil, nyonya besar, penjaga, semuanya terasa asing, batin Ivy.

Ivy terdiam sejenak.

"Apakah semua barang sudah diambil di bagasi?," suara berat dan berwibawa terdengar di telinga Ivy. Dia segera menoleh dan betapa terkejutnya melihat siapa yang datang. Dia mengedipkan matanya beberapa kali berpikir mungkin dia berhalusinasi.

"Sudah, Tuan," jawab Damon. Kalau Damon menjawab berarti ini bukan halusinasi. Orang ini benar-benar real, batin Ivy.

Tunggu dulu. Damon bilang tadi Rafael punya saudara kembar. Apakah ini yang dimaksud? Tapi ini benar-benar sangat mirip, Ivy membatin lagi.

"Selamat datang di Manila," Lukas menyapa dan masih dengan ekspresi terkejut bercampur bingung Ivy mencoba tersenyum.

"Ah, ehm.. Iya terima kasih," Ivy terlihat kebingungan harus menyapa bagaimana.

"Permisi Tuan, ada sedikit masalah dengan bea cukai," seorang pria yang bertubuh kekar juga menghampiri Lukas.

"Kenapa?," Lukas bertanya sambil berlalu dari hadapan Ivy. Sepertinya percakapan mereka sangat rahasia.

"Apa ada masalah, Pak Damon?," Ivy bertanya

"Tidak apa-apa, Madame. Tuan pasti bisa menyelesaikan nya," Dan benar saja. Selesai Lukas menelpon menggunakan hp nya, raut wajah pria yang datang tadi langsung berubah cerah. Sedangkan Lukas, wajahnya sangat datar. Dibandingkan Rafael, Lukas sepertinya tidak pernah tersenyum dalam hidup.

Ya Tuhan, siapa sebenarnya keluarga Rafael ini. Kenapa mereka terlihat agak aneh tapi bisa menyelesaikan masalah dengan begitu cepat seperti memiliki otoritas tinggi di sini, Ivy kembali membatin.

Seberapa banyak pun pertanyaan dalam benar Ivy, dia tidak berani bertanya banyak pada Damon.

Lukas menghampiri mereka lagi dan mengusap kepala Aiden dengan lembut.

"Kita ke Mansion sekarang. Ibu sudah menunggu supaya kalian bisa istirahat," Lukas berbicara tapi dari nadanya bukan seperti memberi tahu tapi memberi penekanan dan itu keharusan.

"Baik, Tuan, jawab Damon.

Damon mempersilakan Ivy dan Aiden di mobil yang sudah disiapkan. Di dalam mobil hanya ada Ivy, Aiden, Damon, dan seorang driver. Sementara Lukas dan lainnya jangan ditanya lagi. Ivy hanya memalingkan wajahnya sesaat ketika hendak masuk mobil, Lukas dan para pria tadi sudah tidak ada.

Mobil perlahan meninggalkan bandara dan mulai membelah keramaian kota Manila.

Sebenarnya seperti apa keluarga Rafael. Mereka tidak terlihat selayaknya keluarga. Tidak ada adegan cipika cipiki seperti kebiasaan menyambut tamu di Indonesia. Jangan berharap ada suguhan opor ayam dan rendang di atas meja makan nanti. Bisa saja mereka bukan makan makanan manusia, sekilas Ivy membatin sembari tersenyum geli.

Terlalu larut dalam pikiran tentang yang dia hadapi saat ini, tanpa sadar mereka sudah di depan rumah berpagar cukup tinggi dengan tulisan "Mansion of Vergara". Terlihat beberapa orang bertubuh kekar sedang berjaga di depan dan sangat sigap membuka pagar begitu melihat mobil yang mereka kenali datang.

Ivy memperhatikan para penjaga itu. Bagaimana cara mereka memberi hormat dan tunggu, ada pistol di pinggang mereka. Seketika mata Ivy terbelalak. Spontan dia mengambil tangan Aiden dan memegangnya kuat-kuat. Aiden anak yang pendiam tidak seperti anak-anak usia balita pada umumnya. Jarang merengek dan selalu patuh pada Ivy. Dia hanya bisa menatap Ivy yang tiba-tiba menggenggam tangannya cukup kuat.

Ya Tuhan, kalau tempat ini berbahaya biarlah aku dan Aiden bisa kabur dari sini, Ivy berdoa dalam hatinya.

Halaman rumah itu begitu luas. Ada banyak pohon dan bunga-bunga yang tertata sepanjang jalan menuju pintu utama. Jantung Ivy berdegup kencang. Makin ke sini makin aneh saja yang Ivy lihat.

Mobil berhenti tepat di depan tangga menuju pintu utama. Damon segera keluar membukakan pintu bagi Ivy.

"Mari Madame, kita sudah tiba," Damon mengulurkan tangan. Ivy merasa sungkan dan langsung turun tanpa membalas uluran tangan Damon.

Dan betapa terkejutnya dia ketika dia melihat Lukas sudah berdiri tegak di sana. Entah bagaimana caranya dia tiba-tiba sudah di sana padahal tadi mobil Ivy yang duluan meninggalkan bandara. Lukas berdiri di samping wanita paruh baya dengan rambut yang dibiarkan beruban tanpa dicat dan dress panjang hitam. Wajah wanita itu begitu anggun. Meski tanpa riasan yang berlebihan dan rambut yang hanya dicepol sederhana, terlihat bahwa wanita ini sangat cantik semasa muda dan tentunya wajah Rafael mirip wanita ini. Ini pasti ibunya Rafael.

"Nyonya Christina Vergara, Nyonya besar kami sekaligus ibu dari Tuan Rafael," Damon memperkenalkan wanita paruh baya itu

Mendengar hal itu, tanpa berpikir panjang Ivy langsung mendekat dan memeluk Nyonya Christina. Terlihat di raut wajah wanita paruh baya itu terkejut. Namun dia tetap menyambut pelukan Ivy.

"Ibu," sapa Ivy dalam pelukan. Wanita itu tak berkata apa-apa. Dia hanya mengusap pundak Ivy.

Ivy melepaskan pelukannya dan membalikan badan melihat Aiden.

"Aiden, ini Grandma. Ayo sapa dulu, nak,"

Aiden yang menggunakan jumper warna jeans dan kaos putih polos sebagai dalaman berlari kecil ke arah Ivy. Mata Nyonya Christina berbinar. Mulutnya terbuka ingin mengatakan sesuatu tapi kata-katanya tidak bisa keluar.

"Glandma," sapa Aiden dengan cadel

Nyonya Christina berkaca-kaca. Segera dia membungkukkan badan dan membuka lebar kedua tangannya.

Ivy menganggukan kepala kepada Aiden tanda dia mengizinkan Aiden dipeluk Nyonya Christina. Aiden segera berlari ke pelukan Nyonya Christina.

Air mata jatuh di pipi Nyonya Christina. Berbeda dengan pelukannya pada Ivy, pelukan pada Aiden begitu emosional dan lama.

"Glandma, Aiden ingin pipis," Aiden mungkin sudah pengap di pelukan Nyonya Christina sehingga membuat alasan itu atau memang dia ingin benar-benar buang air kecil.

Nyonya Christina melepaskan pelukannya,

"Aiden ingin pipis ya, nanti ditemani Maya ya," Nyonya Christina memberi kode kepada wanita bernama Maya dan dengan sigap Maya mengajak Aiden masuk.

"Mari masuk," ujar Nyonya Christina kepada Ivy.

"Koper...," baru saja ingin berbalik badan mengambil koper, Damon sudah berdiri tegak memegang kopernya.

Ivy sedikit salah tingkah dan langsung masuk mengikuti langkah Nyonya Christina. Lukas menyusul di belakangnya.

Bab 3 : Welcome to Tondo

"Selamat datang di Tondo," ucap Nyonya Christina begitu semua sudah duduk di meja makan berukuran besar itu. Nyonya Christina duduk di kepala meja sepertinya dia adalah kunci rumah ini. Seisi rumah akan bergerak dengan perintahnya. Sementara Ivy duduk di samping kanannya dan Lukas samping kirinya. Aiden duduk di samping Ivy. Sedangkan di samping Lukas ada seorang wanita muda yang wajahnya mirip Lukas dan Rafael.

"Terima kasih Ibu," ujar Ivy.

"Tidak usah sungkan. Kami di sini menerima kalian berdua dengan bahagia. Walaupun kebahagiaan ini sudah berkurang. Rafael sudah tidak bersama kami lagi," suara Nyonya Christina bergetar.

Ivy menundukan kepala. Kesedihan itu juga sangat dirasakannya dan Aiden tentunya.

"Kita bahas Rafael dan pemakamannya sebentar saja. Oh ya, ini Sofia. Adik Rafael&Lukas. Dan Lukas tentunya kamu sudah lihat sejak di bandara, kan," Nyonya Christina menatap kedua anaknya.

Ivy tersenyum kepada Sofia dan Sofia membalas senyumannya. Begitu pun kepada Lukas, tapi senyuman Ivy tidak dibalas Lukas. Ivy segera memalingkan wajahnya kepada Nyonya Christina tidak memedulikan Lukas yang tidak membalas senyumannya.

Mereka makan dengan sangat kaku. Tidak ada satu patah kata pun yang keluar. Aiden pun sepertinya memahami situasi asing ini maka dia hanya berbisik jika ingin sesuatu kepada Ivy.

Pelayan begitu cekatan membersihkan meja ketika mereka selesai makan.

"Aiden, Grandma punya ice cream enak di dapur. Jika Aiden mau, Aiden bisa ikut Maya ya," ujar Nyonya Christina sambil mengelap mulutnya dengan serbet makan.

"Mau Glandma," jawab Aiden

Maya segera mendekatinya dan menuntunnya menuju dapur.

"Ivy atau bagaimana aku harus memanggilmu?,"

"Iya, Ivy saja, Ibu,"

"Ivy, besok pemakaman Rafael harus segera dilakukan. Takutnya semakin lama akan merusak jasadnya. Tidak ada lagi yang harus kita tunggu. Rafael tidak memiliki ayah lagi. Ayahnya meninggal saat Rafael masih kecil," Nyonya Christina berbicara dengan begitu formal

"Baik, Ibu. Saya mengikuti saja. Apabila ada yang harus saya lakukan untuk pemakaman ini katakan saja akan saya lakukan,"

"Tidak ada lagi. Semua sudah disiapkan oleh Lukas dan Damon. Kita tinggal menghadiri saja,"

"Tapi Ibu, saya dari tadi tidak melihat mobil yang membawa peti ikut ke sini,"

"Ya. Anakku akan dikebumikan di balai duka. Kebetulan itu milik keluarga kami,"

"Baik, Ibu,"

"Saya sudah mengirim orang ke Indonesia untuk menyelidiki penyebab kematian Rafael,"

"Tapi Ibu, kecelakaan Rafael itu murni kecelakaan. Tidak ada unsur disengaja. Polisi sudah memastikan itu,"

Nyonya Christina seketika menatap Ivy dengan tajam.

"Murni kecelakaan? Heh, terlalu naif. Saya ibunya. Sekalipun kami sudah lama tidak bertemu tapi saya tahu apa yang terjadi. Saya punya firasat seorang ibu bahwa kecelakaan itu disengaja bukan murni kecelakaan,"

Melihat tatapan Nyonya Christina yang begitu tajam, Ivy tidak berani lagi membantah.

"Oh ya, Ivy, besok jangan coba-coba jauh dari kami. Kamu dan Aiden harus tetap berada di dalam pengawasan Damon dan para penjaga,"

"Besok ada apa, Ibu?,"

"Kita tidak tahu ada marabahaya apa di sana apalagi besok pasti akan sangat banyak orang,"

Dug. Dada Ivy berdegup lagi. Ada yang tidak beres dengan keluarga ini. Ada yang salah dengan tempat ini. Aku dan Aiden harus cepat-cepat pergi dari sini setelah pemakaman, batin Ivy.

"Kak Ivy, kakak tenang saja. Besok kita semua akan baik-baik saja. Nanti kakak dekat-dekat Sofia saja supaya ada teman bicara," Sofia akhirnya bersuara. Suaranya lembut dan ceria.

Lukas menatap Sofia.

"Tenang kak Luk, Sofia akan menjaga kak Ivy dan juga Aiden," ujar Sofia sambil meniru gaya otot apa olahragawan

Lukas tersenyum getir sambil menggelengkan kepala.

"Pokoknya saya tidak mau terjadi apa-apa padamu besok Ivy. Apalagi pada Aiden. Jadi jangan jauh-jauh,"

Ivy hanya bisa mengangguk dan mengiyakan. Aura Alfa female ibu mertuanya begitu kuat. Perkataannya adalah perintah. Tidak bisa diganggu gugat.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!