NovelToon NovelToon

Sistem Suami Sempurna

Bab 1

Pagi itu aku terbangun bukan karena alarm, tapi karena suara panci jatuh di dapur.

Suara khas yang langsung bikin bulu kuduk berdiri tanda kalau istriku, Dinda, lagi dalam mode “bad mood”.

Aku ngelirik jam. 08.15.

Telat bangun lagi.

Sial.

Aku lompat dari kasur, buru-buru cuci muka, terus jalan pelan ke dapur. Tapi baru lima langkah, suara Dinda udah nyambar.

“RAKA! Dasar ya kamu , kalau mau tidur malem, alarmnya pasang yang banyak!”

Aku otomatis senyum kecut. “Pagi juga, Sayang.”

“Jangan ‘sayang-sayang’. Sana mandi dulu, setelah nya sarapan.”

“Siap ibunda ratu."

Aku langsung cepat cepat ke kamar mandi, deh.”

Aku duduk di kursi dapur,makan sambil liatin Dinda yang lagi tausiyah pagi hari sambil ngomel-ngomel.

Dia pakai daster merah muda, rambut diikat asal, tapi tetap aja cantik walau matanya tajam kayak silet.

Sumpah, tiap kali dia ngomel-ngomel , aku pengen bilang “kamu lucu banget kalau kesal”, tapi naluri bertahan hidupku bilang jangan coba-coba.

“Raka,” katanya tiba-tiba, tanpa menatapku.

“Hm?”

“Kamu sadar nggak, udah beberapa bulan kamu nganggur?”

Nah, ini dia.

Pertanyaan maut di pagi hari.

Aku garuk kepala. “Hehehe… sadar kok.”

“Dan kamu sadar nggak, uang tabungan kita tinggal segitu-gitu aja?”

“Eh, ya… aku sadar juga.”

“Jadi kamu sadar kamu bikin aku stres?”

Aku diem.

Kadang, kesadaran malah jadi hal yang menyakitkan.

Dinda naruh spatula di meja, lalu duduk di depanku.

Matanya capek banget, tapi bukan cuma karena kurang tidur.

Dia magang di sebuah perusahaan desain interior, sering pulang malam, dan masih harus ngurus rumah karena suaminya… ya, aku ini, pengangguran setia.

“Ra,” katanya pelan, “aku nggak minta banyak, aku cuma pengin kamu usaha dikit aja. Aku tahu kamu lagi nyari kerja, tapi jangan cuma ngeluh. Aku capek kalau harus jadi satu-satunya yang mikir.”

Aku ngangguk. “Aku ngerti, Din. Aku bakal coba lagi.”

Dia narik napas panjang, lalu bangkit. “Yaudah, aku berangkat dulu.”

Dia ambil tas kerja, jalan keluar tanpa cium pipi kayak biasanya.

Dan aku cuma bisa duduk di meja dapur, nunduk, sambil ngelihat telur dadar gosong di piring.

Hidupku nggak buruk-buruk amat, sebenernya.

Cuma ya… bisa dibilang lagi nggak di atas angin juga.

Aku dulu magang di perusahaan IT, tapi pandemi bikin perusahaan bangkrut.

Sejak itu, aku nyoba jadi freelancer, jualan online, sampai bantu temen buka warung kopi. Hasilnya? Ya gitu-gitu aja.

Dan Dinda, yang awalnya sabar banget, mulai kehilangan harapan. Aku nggak nyalahin dia.

Aku sendiri juga capek jadi versi gagal dari diri sendiri.

Setelah dia berangkat, aku duduk di ruang tamu, buka HP, buka aplikasi lowongan kerja.

Scroll, scroll, scroll. Semua butuh pengalaman atau keahlian.

Sementara aku cuma punya satu skill: bisa pura-pura tenang pas hidup lagi berantakan.

Aku taruh HP, terus rebahan di sofa.

“Kalau aja ada sistem yang bisa bantu hidupku kayak di novel-novel itu,” gumamku pelan, “kayak… ‘Sistem Suami Sempurna’ gitu.”

Aku ketawa kecil sendiri.

Mana mungkin hal begitu beneran ada?

Tapi detik berikutnya, HP-ku bergetar.

Dan bukan karena notifikasi WhatsApp.

Layar HP tiba-tiba gelap, lalu muncul tulisan:

[Selamat datang di Sistem Suami Sempurna!]

Tingkat: 1 (Pemula Gagal)

Tugas pertama: Buat istrimu tersenyum hari ini.

Hadiah: +10 Poin Kehangatan dan uang...

Aku bengong.

“Hah? Ini siapa yang ngerjain aku?!”

Aku cubit tangan. Sakit.

Aku tutup HP. Layar balik normal.

Tapi begitu aku buka lagi, notifikasi itu masih ada.

“Jangan bercanda, deh,” kataku ke udara.

Lalu tulisan baru muncul lagi:

[Peringatan: Mengabaikan misi pertama akan menurunkan poin hubungan sebesar -5.]

Oke. Ini mulai aneh.

Aku berdiri, nyari kamera tersembunyi. Nggak ada.

Aku nyubit pipi lagi masih sakit.

Berarti ini… nyata?

“Beneran sistem, nih?” tanyaku setengah panik.

Tulisan muncul lagi:

[Benar. Misi dimulai.]

Aku tepuk jidat. “Sial, aku gila.”

Sepuluh menit kemudian, aku keluar rumah bawa sepeda motor bututku.

Rencana: cari sesuatu buat bikin Dinda senyum.

Tapi apa? Bunga? Kado? Atau… makanan?

Aku melirik dompet.

Isi: 27 ribu.

Oke, nggak bisa banyak gaya.

Akhirnya aku mampir ke toko kue di pinggir jalan.

“Bang, roti brownies satu ya.”

“Yang ini 25 ribu, Mas.”

Aku kasih uang, dan tinggal dua ribu di dompet.

“Semoga aja senyum istri harganya nggak lebih mahal dari ini,” gumamku.

Sore hari.

Dinda pulang, keliatan lelah.

Aku duduk di ruang tamu, pura-pura santai tapi jantung deg-degan.

Di meja ada kotak brownies kecil yang udah aku bungkus pakai kertas seadanya.

Dia buka pintu.

“Halo,” sapaku hati-hati.

Dinda ngelihatku sebentar. “Hm.”

“Eh, aku… beliin kamu sesuatu.”

Dia berhenti, kening berkerut. “Apa?”

Aku kasih kotak kue itu.

“Cuma brownies. Aku lihat kamu suka manis-manis, jadi…”

Dia diam. Lalu buka bungkusnya perlahan.

Aku nunggu reaksi.

Kalau dia senyum, berarti misi berhasil. Kalau nggak… ya, gagal lagi.

Dia ambil sepotong kecil, gigit.

Diam.

Lalu…

Senyum.

Bukan senyum lebar, tapi cukup buat aku lega.

“Lumayan enak,” katanya pelan.

“Yang penting bukan gosong kayak masakan kamu,” tambahnya dengan tawa kecil.

Aku ketawa juga. “Eh, iya juga sih.”

Dan di detik itu, HP-ku bergetar pelan.

[Misi Selesai! +10 Poin Kehangatan. Saldo kamu bertambah Rp 100.000 ]

[Skill Baru Terbuka: Empati Level 1.]

[Fitur Statistik Hubungan Aktif.]

Layar HP menampilkan status:

Nama: Raka Pradana

Level: 1

Poin Kehangatan: 10

Saldo : Rp.100.000

Hubungan: Stabil (53/100)

Skill: Empati Lv.1

Aku melongo.

Beneran kayak game.

Aku ngetik cepat di HP: “Kamu siapa?”

Dan jawabannya muncul dalam bentuk teks biru.

[Aku adalah Sistem Suami Sempurna, versi 1.0. Aku hadir untuk membantumu menjadi suami yang pantas dicintai.]

Aku bengong.

“Terus… kalau aku gagal?”

[Poin hubungan akan turun. Bila mencapai 0, sistem akan menganggap hubunganmu berakhir.]

Aku menelan ludah.

Jadi… aku harus terus bikin Dinda bahagia?

Aku lihat wajahnya yang lagi nonton TV sambil makan brownies itu, dan entah kenapa, aku senyum.

“Yaudah, Sistem,” kataku pelan, “kayaknya aku nggak punya pilihan lain.”

[Misi berikut akan muncul besok pagi. Siapkan dirimu.]

Aku naruh HP, rebahan di sofa.

Dan untuk pertama kalinya dalam tiga bulan terakhir, aku ngerasa ada harapan kecil.

Kalau ini mimpi, aku nggak mau bangun dulu.

Tapi sebelum aku sempat tidur, Dinda nyeletuk dari ruang TV.

“Ra, besok kamu anter aku ke kantor ya. Motor aku lagi di bengkel.”

Aku spontan nengok. “Iya, siap.”

Dia ngelirik dan senyum lagi.

“Eh, jangan lupa bangun pagi.”

[Misi Baru Akan Segera Dimulai.]

Aku menatap langit-langit kamar, antara bingung dan senang.

Mungkin hidupku mulai berubah.

Atau mungkin aku cuma gila.

Tapi satu hal pasti aku nggak akan sia-siakan kesempatan kedua ini.

...﹌﹌﹌﹌﹌﹌...

Bab 2

“Bangun lebih pagi dari istri?”

Aku menatap layar ponsel yang menampilkan misi pagi itu dengan wajah bengong.

Tulisan di layar muncul dengan gaya khas sistem:

[Misi Harian: Bangun lebih pagi dari istrimu dan siapkan sarapan!]

Hadiah: +15 Poin Kehangatan, +1 Skill Rumah Tangga (acak)]

Aku mengucek mata, memastikan aku nggak salah baca.

Jam baru menunjukkan pukul 04.47 pagi.

Biasanya jam segini aku masih jadi fosil di kasur, tapi entah kenapa aku kebangun sendiri.

“Sistem, kamu serius? Sarapan?”

[Benar. Ini kesempatanmu untuk menunjukkan inisiatif.]

Aku menghela napas panjang.

Oke, Raka. Kalau ini beneran sistem, berarti harus dijalani.

Tapi masalahnya satu: aku nggak bisa masak.

Mau bikin telur ceplok aja kadang hasilnya mirip arang.

Tapi ya udah lah. Aku jalan pelan ke dapur, mencoba nggak ribut biar Dinda nggak bangun.

Begitu buka kulkas, aku bengong.

Isinya cuma ada telur, sisa nasi, sambal teri kemarin, dan sedikit sayur yang udah mulai layu.

“Ya Tuhan, gimana caranya bikin sarapan romantis dari bahan beginian?” gumamku.

[Gunakan kreativitas. Sistem tidak menilai rasa, hanya niat.]

“Oh, gitu ya?” aku nyengir. “Kalau niat doang bisa dimakan, aku udah kenyang tiap hari.”

Tapi karena udah niat, aku mulai masak juga.

Aku nyalain kompor, panasin minyak, pecahin telur satu.

Praak!

Setengah cangkangnya ikut masuk.

“Oke, belum gagal. Masih bisa diperbaiki.”

Aku coba ambil spatula buat ngeluarin pecahan cangkang itu, tapi karena tanganku grogi, minyak malah muncrat.

“AUU!”

Aku lompat kecil sambil tiup tangan sendiri.

Sial, baru lima menit udah berasa kayak lagi perang.

Tapi akhirnya, setelah perjuangan konyol selama 20 menit, jadilah nasi goreng aneh yang bentuknya kayak habis dihajar dinosaurus, plus telur setengah gosong.

Aku taruh di piring paling bagus, kasih hiasan tomat yang kupotong miring-miring — hasilnya malah kayak senyum miring setan.

“Ya sudahlah,” aku menarik napas lega. “Yang penting niat.”

Sekitar jam enam, suara langkah kaki terdengar dari kamar.

Dinda keluar, rambutnya masih acak-acakan, tapi wajahnya… tetap cantik meski belum cuci muka.

Dia melihat ke meja makan dan mengernyit.

“Kamu… masak?”

Aku nyengir. “Surprise?”

Dia mendekat, matanya memindai nasi goreng itu dengan tatapan waspada, kayak polisi lagi periksa barang bukti.

“Ini aman dimakan, kan?”

“InsyaAllah aman,” jawabku cepat. “Aku udah tes rasa sedikit.”

“Oh, berarti kamu udah siap tanggung jawab kalau aku sakit perut.”

Aku ngakak kecil. “Hehe, nggak sampai segitunya lah.”

Dia akhirnya duduk dan ambil sendok.

Deg.

Aku jujur lebih deg-degan dari waktu dulu nembak dia.

Dia nyendok sedikit, tiup, dan makan perlahan.

Beberapa detik berlalu tanpa reaksi.

Lalu dia menatapku… dan senyum tipis.

“Rasanya…” dia berhenti sebentar, bikin aku hampir pingsan. “…lumayan. Nggak enak, tapi aku terharu kamu mau masak.”

Aku langsung ketawa lega. “Berarti aku lulus?”

Dia mengangguk kecil. “Lumayan. Tapi dapurnya jangan kayak kapal pecah lagi ya.”

Aku refleks nengok dapur — benar aja, kayak habis dilempar granat.

HP-ku bergetar.

[Misi Selesai! +15 Poin Kehangatan diperoleh.]

[Skill Baru Diperoleh: Masak Seadanya Lv.1]

Aku ketawa kecil tanpa sadar.

Dinda melirik. “Kamu ketawa sendiri, kenapa?”

Aku buru-buru jawab, “Eh, nggak, cuma lega aja.”

Dia geleng-geleng, lalu berdiri dan nyium pipiku cepat sebelum berangkat.

“Terima kasih udah usaha, ya.”

Dan jujur, ciuman itu terasa kayak reward yang paling berharga sejauh ini.

Setelah dia pergi, aku duduk di ruang tamu, buka HP.

Sekarang sistemnya punya tampilan baru.

Nama: Raka Pradana

Level: 2 (Suami Pemula)

Poin Kehangatan: 25

Hubungan: Stabil (61/100)

Skill:

- Empati Lv.1

- Masak Seadanya Lv.1

“Wah, naik level,” gumamku. “Kayak main game beneran.”

[Selamat, pengguna. Kamu resmi naik ke Level 2. Fitur baru terbuka: Toko Poin.]

“Toko?”

Layar berubah, muncul daftar item:

Voucher Makanan Enak (50 poin)

Mood Booster Istri (100 poin)

Insting Romantis Lv.1 (150 poin)

Kartu Penghapusan Kesalahan (200 poin)

Aku melongo. “Kartu penghapusan kesalahan? Ini apa, kayak cheat minta maaf otomatis?”

[Benar. Tapi item tersebut hanya bisa digunakan sekali.]

Aku ngakak kecil. “Wah, kalau gitu aku butuh 100 kartu, Sistem.”

[Silakan bekerja keras, Suami Pemula.]

Hari itu aku ngerasa aneh tapi semangat.

Mungkin sistem ini beneran bantu aku berubah.

Aku mulai bersihin dapur, cuci piring, nyapu, bahkan buang sampah — hal-hal yang dulu sering aku tunda-tunda.

Pas sore Dinda pulang, dia agak kaget ngeliat rumah udah rapi.

“Kamu bersihin rumah?”

“Hmm,” jawabku santai, “aku cuma nggak mau kamu pulang capek terus liat rumah berantakan.”

Dia senyum lagi, tapi kali ini lebih tulus dari biasanya.

Aku tahu, hubungan kami pelan-pelan mulai pulih.

Tapi malamnya, sesuatu yang aneh terjadi.

Sekitar jam sebelas malam, aku duduk di ruang tamu sambil main HP.

Tiba-tiba sistem muncul lagi.

[Peringatan: Anomali terdeteksi.]

[Sumber: Perangkat pengguna lain di radius 200 meter.]

“Apa maksudnya, Sistem?”

[Ada sinyal sistem lain yang mirip dengan milikmu.]

Aku spontan berdiri. “Tunggu, maksudmu… ada orang lain juga yang punya sistem kayak aku?”

[Kemungkinan besar, ya.]

Aku ngerasa bulu kudukku berdiri.

Sistem lain?

Di sekitar rumah ini?

Aku jalan ke jendela, lihat ke luar. Lingkungan sepi, cuma suara jangkrik dan lampu jalan yang temaram.

Tapi entah kenapa, aku ngerasa kayak ada seseorang yang memperhatikan dari kejauhan.

[Rekomendasi: Tetap tenang. Sistem tidak mendeteksi ancaman langsung.]

Aku duduk lagi, menatap layar yang kini menampilkan notifikasi baru.

[Misi Rahasia Terbuka: Cari tahu pemilik sistem lain di sekitar rumahmu.]

Hadiah: +20 Poin Kehangatan, +1 Petunjuk tentang Asal Sistem.]

Aku menelan ludah.

Baru aja aku mikir hidupku mulai normal…

Ternyata sistem ini nggak sesederhana yang kukira.

Besok paginya aku bangun lebih cepat dari alarm — mungkin efek sistem juga.

Dinda masih tidur, dan entah kenapa aku sempat menatap wajahnya lama-lama.

Ada rasa hangat yang susah dijelaskan.

Tapi di dalam hati kecilku, mulai tumbuh rasa penasaran bercampur takut.

Kalau aku punya sistem, dan ternyata ada orang lain juga…

Apakah itu berarti aku bukan satu-satunya “eksperimen”?

Dan kalau ada “pemilik sistem lain”…

Apakah mereka juga menjalani misi-misi yang sama — atau justru punya tujuan yang bertentangan denganku?

Aku menatap layar HP yang kini hanya menampilkan teks tenang:

[Hari baru, tantangan baru. Tetaplah menjadi suami yang lebih baik, Raka.]

Aku menutup layar itu, lalu menarik napas panjang.

“Baiklah, Sistem,” gumamku.

“Aku siap. Tapi kalau nanti kamu mulai aneh-aneh, aku nggak bakal diem aja.”

[Tercatat.]

Dan tanpa sadar, perjalanan hidupku yang aneh baru saja benar-benar dimulai.

Bab 3

Sejak malam itu, aku jadi agak waspada.

Setiap kali keluar rumah, aku otomatis nyalain sistem dan liatin notifikasi sinyal yang sempat muncul.

Tapi anehnya, pagi ini sinyal itu hilang.

[Status: Aman. Tidak ada anomali terdeteksi.]

Aku mengernyit.

"Jadi cuma semalam doang?" gumamku.

Atau mungkin sistemnya emang cuma ngasih peringatan awal?

Aku sempat pengin cuek aja, tapi rasa penasaranku keburu gede.

Soalnya sistem itu nyebut ada pengguna lain dalam radius 200 meter.

Berarti… orang itu bisa aja salah satu tetanggaku.

Pagi itu, Dinda lagi siap-siap kerja.

Dia pakai kemeja putih dan celana bahan, rambutnya dikuncir rapi.

Aku perhatiin sebentar, masih aja kagum tiap kali ngelihat dia.

“Kok liatin?”

“Eh, nggak… cuma, kamu kelihatan capek akhir-akhir ini,” jawabku. “Aku bisa bantuin apa?”

Dia senyum kecil. “Cukup kamu jangan bikin dapur kayak kapal tenggelam lagi.”

Aku ngakak. “Oke, noted.”

Tapi sebelum berangkat, dia sempat ngomong sesuatu yang bikin aku berhenti.

“Eh, tadi aku ketemu tetangga baru di ujung gang. Katanya mereka baru pindah semalam. Suaminya agak pendiam, tapi istrinya ramah.”

Aku langsung refleks nanya, “Ujung gang yang mana?”

“Yang deket warung Bu Rini.”

“...Oh.”

Dada aku mendadak agak sesak, tapi aku berusaha tetap santai.

Mungkin kebetulan aja.

Tapi setelah Dinda berangkat, aku langsung keluar rumah pura-pura nyapu halaman.

Padahal niatku satu: ngecek siapa tetangga baru itu.

Rumah yang dimaksud Dinda itu masih bau cat baru.

Ada mobil putih di depan, dan di terasnya aku lihat seorang pria berdiri — pakai kaus hitam polos, rambut agak berantakan, tapi auranya… entah kenapa aneh.

Matanya tajam, kayak orang yang nggak suka diganggu.

Tapi begitu sadar aku ngelihatin, dia malah senyum tipis.

Senyum yang lebih mirip senyum basa-basi daripada ramah.

Aku angkat tangan sedikit. “Pagi, Pak. Tetangga baru ya?”

Dia mengangguk. “Iya, baru pindah semalam.”

“Saya Raka, rumah nomor 12.”

“Rian.”

Pendek banget jawabannya, tapi aku tetap nyengir ramah.

“Wah, selamat datang di kompleks ini, Pak Rian. Kalau butuh bantuan, bilang aja.”

Dia cuma mengangguk lagi, tapi mata dia sempat melirik HP di tanganku.

Sekilas. Cepat. Tapi cukup bikin aku merinding.

Entah kenapa, detik itu aku merasa dia tahu sesuatu.

Sesuatu yang seharusnya nggak dia tahu.

Begitu balik ke rumah, aku langsung buka sistem lagi.

[Peringatan ringan: fluktuasi sinyal mirip sistem terdeteksi di sekitar pengguna.]

Jantungku langsung berdetak lebih cepat.

“Jadi beneran… dia?” gumamku.

[Kemungkinan besar, iya.]

Aku menelan ludah.

“Terus, apa aku harus ngelaporin atau gimana?”

[Tidak perlu. Namun, tetap waspada. Sistem lain bisa bersifat netral, bersahabat, atau berbahaya.]

“Berbahaya?” aku mengulang pelan.

[Benar. Beberapa pengguna sistem memiliki misi yang berbeda dari milikmu.]

Aku terdiam.

Selama ini aku kira sistemku cuma bantu aku jadi suami yang lebih baik, tapi kalau ternyata ada sistem lain dengan tujuan beda…

Jadi sebenarnya semua ini buat apa?

Sore harinya, Dinda pulang agak malam.

Dia kelihatan lelah tapi tetap nyapa hangat waktu lihat aku udah masak.

“Wah, kamu masak lagi?”

Aku nyengir. “Kali ini aku yakin nggak gosong.”

Dia ketawa kecil. “Aku bangga, serius.”

Kami makan bareng sambil nonton berita.

Suasana tenang — sampai tiba-tiba, berita di TV bikin aku merinding.

“Seorang pria di daerah Jakarta Barat dilaporkan bertingkah aneh sebelum menghilang secara misterius. Saksi mengatakan korban sempat berbicara sendiri tentang ‘sistem’ yang mengendalikannya.”

Aku refleks menatap layar, lalu menatap Dinda.

Untungnya dia nggak terlalu memperhatikan, cuma bilang, “Orang zaman sekarang aneh-aneh, ya.”

Aku cuma mengangguk, tapi tanganku dingin.

Sistemku bergetar.

[Pesan Khusus: Kasus sistem tak stabil terdeteksi di luar area kamu. Jangan panik. Fokus pada misi pribadimu.]

“Gila,” bisikku pelan.

Ternyata bukan cuma aku dan Rian yang punya sistem kayak gini.

Berarti di luar sana… ada lebih banyak lagi.

Malamnya aku duduk di teras sambil ngopi.

Udara agak dingin, tapi otakku justru panas mikirin semua ini.

Aku buka HP, tapi sistem nggak kasih jawaban lebih detail.

Tiba-tiba, suara langkah pelan terdengar dari arah depan.

Aku nengok — Rian berdiri di seberang pagar.

“Mas Raka, belum tidur?” suaranya datar.

“Belum, biasa… susah tidur kalau kopi kebanyakan,” jawabku santai. “Pak Rian juga?”

Dia jalan mendekat.

“Cuma pengin lihat suasana malam di sini. Tenang banget ya.”

Aku cuma mengangguk, tapi mata kami sempat saling pandang beberapa detik.

Dan anehnya, aku ngerasa kayak ada semacam getaran… bukan di tanah, tapi di kepala.

Kayak tekanan halus.

[Sistem memperingatkan: deteksi energi sistem lain dalam jarak dekat.]

“…”

Aku coba tetap tenang.

“Pak Rian kerja di mana, kalau boleh tahu?”

Dia menatapku lama sebelum menjawab. “Ah, kerjaan kecil-kecilan aja. Kadang bantu orang… memperbaiki hal yang rusak.”

Nada bicaranya datar, tapi ada sesuatu di balik kata-kata itu.

“Hmm, keren juga,” sahutku, meski hatiku nggak tenang.

Dia menatap HP-ku di meja, lalu senyum samar.

“Mas Raka sering main HP tengah malam ya?”

Aku spontan genggam HP itu erat.

“Kadang,” jawabku cepat. “Kenapa?”

“Ah, nggak. Cuma nanya. Soalnya sinyal di sini kadang suka gangguan, ya?”

Dia bilang gitu, tapi matanya nggak lepas dari HP-ku.

Kayak dia tahu persis aku lagi nyembunyiin sesuatu.

[Sistem memperingatkan: deteksi gangguan ringan. Sumber: pengguna sistem lain di dekatmu.]

Aku berdiri pelan. “Eh, saya masuk dulu ya, Pak. Kopinya udah dingin.”

Dia cuma mengangguk, tapi sebelum aku masuk, dia sempat ngomong pelan banget:

“Kalau sistemmu mulai ngelakuin hal aneh… jangan terlalu percaya.”

Aku berhenti di ambang pintu.

“...Apa maksudnya?”

Tapi dia cuma senyum, balik badan, dan jalan pergi tanpa jawab.

Begitu pintu kututup, HP-ku langsung bergetar lagi.

[Peringatan keras: Interaksi dengan pengguna sistem lain terdeteksi. Risiko meningkat 5%.]

“Apa-apaan sih ini…” aku duduk di kursi, napas ngos-ngosan.

Keringat dingin ngalir di pelipis.

“Rian itu siapa sebenarnya?”

[Data tidak cukup. Tapi sinyal sistem miliknya lebih tua dari punyamu.]

Aku menatap layar, kaget.

“Lebih tua? Maksudmu… dia udah punya sistem ini lebih lama?”

[Benar.]

Aku mengusap wajah, ngerasa bingung sekaligus takut.

“Jadi sistemku bukan yang pertama. Dan mungkin… sistemnya Rian udah lihat banyak hal sebelum aku.”

Tiba-tiba, layar HPku berkedip dan muncul pesan baru — bukan dari sistemku.

[Kamu seharusnya tidak percaya begitu saja pada “mereka”.]

Aku langsung berdiri panik. “SIAPA KAMU!?”

Tapi tulisan itu hilang dalam tiga detik.

[Gangguan eksternal terdeteksi. Sistem sedang menstabilkan koneksi.]

“Jangan bilang…” aku menatap ke arah rumah Rian yang lampunya masih menyala samar.

“...Itu dari dia?”

Malam itu aku nggak bisa tidur.

Aku terus mikirin kata-kata Rian — “jangan terlalu percaya.”

Apakah maksudnya sistemku menyembunyikan sesuatu?

Aku lihat ke arah Dinda yang tidur pulas di sampingku.

Dia nggak tahu apa-apa soal ini, dan aku nggak mau dia terlibat.

Tapi kalau sistem ini bisa bantu aku memperbaiki rumah tangga kami, aku nggak bisa berhenti begitu aja.

[Misi baru tersedia: Jaga hubunganmu tetap harmonis sambil menyelidiki asal sistem lain.]

Hadiah: +30 Poin Kehangatan, +1 Petunjuk Kebenaran.]

Aku menatap layar lama-lama, lalu menghela napas.

“Baiklah, Sistem. Kalau kamu mau main teka-teki, aku ikutan.”

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!