NovelToon NovelToon

Royal Veil Of Java (Selendang Cinta Dua Kerajaan)

1. Royal Invitation

Langit Yogyakarta sore itu berwarna keemasan, memantulkan cahaya yang jatuh lembut di atas atap-atap joglo tua milik keraton. Burung-burung jalak terbang rendah melewati halaman luas, sementara gamelan di pendapa tengah terdengar lirih, mengiringi suasana yang tenang dan penuh wibawa.

Di balik dinding tebal yang berhias ukiran motif parang kusumo, seorang gadis duduk bersimpuh di atas tikar pandan. Busana kebayanya berwarna hijau zaitun, lembut dan menenangkan, sementara rambutnya disanggul rapi dihiasi melati putih.

Dialah Raras Ayu Kusumadewi, satu-satunya putri dari Kanjeng Adipati Suronegoro, salah satu bangsawan keraton Yogyakarta yang paling dihormati.

Sore itu, Raras tengah menyalin aksara Jawa di atas kertas lontar, namun pandangannya kerap melayang ke luar jendela, pada taman yang berhiaskan kolam teratai. Ada kerinduan yang tidak bisa ia ucapkan — sebuah rasa ingin tahu pada dunia di luar tembok keraton yang tinggi.

“Den Ayu,” panggil suara lembut dari balik pintu.

Seorang abdi dalem perempuan, Mbak Darmi, masuk sambil menunduk. “Kanjeng Adipati memanggil panjenengan ke pendapa prabayeksa. Ada tamu penting dari pihak istana yang datang membawa surat dari luar negeri.”

Raras menoleh. “Dari luar negeri?” tanyanya dengan dahi sedikit berkerut.

Sebuah rasa penasaran muncul di matanya yang bening. “Baik, Mbak. Tolong bantu siapkan selendangku.”

Beberapa menit kemudian, Raras berjalan menyusuri koridor panjang yang dihiasi lukisan para leluhur. Langkah kakinya pelan, namun anggun, seperti seorang penari yang tahu setiap ritme bumi. Ketika tiba di pendapa, ia melihat ayahnya tengah duduk bersama Kanjeng Gusti Hameng Prabu, sang Sultan sendiri, yang tampak berbincang dengan beberapa tamu berpakaian jas formal — wajah-wajah Eropa berambut pirang dan bermata biru.

Raras menunduk memberi hormat, lututnya menyentuh lantai kayu jati.

“Ndoro Putri Raras Ayu sowan, Kanjeng,” ucapnya pelan.

Sultan menatap lembut. “Mendekatlah, Raras. Kami baru saja menerima surat resmi dari Istana Windsor, Inggris.”

Raras menegakkan tubuhnya perlahan. Jantungnya berdebar ketika salah satu tamu bule berdiri dan menyerahkan map bersegel kerajaan pada ayahnya. Di atasnya tertera lambang mahkota emas dengan tulisan Royal House of Windsor.

Sang ayah membacanya dengan seksama, lalu menatap putrinya penuh makna. “Kerajaan Inggris mengundang perwakilan budaya dari keraton untuk menghadiri Royal Cultural Exchange bulan depan. Dan...,” beliau menatap Sultan sejenak, kemudian tersenyum samar, “Sultan menghendaki agar kau ikut menjadi perwakilan, Raras.”

Raras tertegun. “Saya... ke Inggris, Ayah?”

Sultan tertawa kecil, suaranya dalam namun lembut. “Ya. Dunia sudah berubah, Nak. Sudah saatnya Keraton membuka diri, dan kau, Raras, adalah lambang dari warisan dan masa depan.”

Namun bagi Raras, kabar itu seperti badai kecil yang mengguncang ketenangan jiwanya. Ia belum pernah keluar dari Jawa, apalagi ke benua lain. Dunia barat hanya ia lihat dari buku dan film dokumenter yang sesekali diputar oleh paman sepupunya di pendapa belakang.

“Tapi, Kanjeng... Raras tidak tahu adat mereka, tidak tahu bagaimana bersikap di istana asing.”

Ayahnya tersenyum. “Kau tahu satu hal penting, Raras. Etika dan keanggunan adalah bahasa universal. Di mana pun kau berada, kesopanan Jawa akan tetap menjadi mahkota.”

Raras menunduk. “Inggih, Ayah.”

Tamu-tamu asing itu tersenyum, tampak terkesan dengan tutur halus sang putri. Salah satunya, pria berkacamata dengan pin berbentuk mahkota di jasnya, menatap Raras cukup lama, seolah memperhatikan cara bicara dan gerak tubuhnya.

¹“She will be a perfect representative,” katanya pada Sultan dalam bahasa Inggris. ²“Our prince will be honored to meet someone like her.”

¹“Dia akan menjadi perwakilan yang sempurna,”

²“Pangeran kita akan merasa terhormat bertemu seseorang seperti dia.”

Sultan tersenyum bijak, lalu menjawab dalam bahasa yang sama. ³“Then may this be a bridge between our worlds.”

³“Semoga ini bisa menjadi jembatan antara dunia kita.”

Raras tidak paham seluruh percakapan itu, tapi satu kalimat menancap di pikirannya — Our prince will be honored to meet someone like her.

Hatinya berdesir, entah mengapa.

---

Malamnya, di bawah temaram cahaya minyak, Raras berdiri di serambi kamarnya. Angin malam membawa aroma bunga kenanga. Ia memandang langit, membayangkan negeri jauh di balik awan — negeri tempat sang pangeran itu tinggal.

Dalam hatinya, sebuah rasa aneh tumbuh: campuran antara takut, kagum, dan penasaran.

Mungkin, pikirnya, hidupnya akan berubah setelah surat bersimbol mahkota itu datang.

Namun ia tak tahu, perubahan itu bukan hanya perjalanan budaya.

Melainkan awal dari takdir cinta yang akan mengguncang dua kerajaan.

2. A Journey Beyond Java

Langit pagi Yogyakarta berwarna tembaga, hangat namun sendu. Suara kentongan dari kejauhan bersahutan dengan lantunan adzan Subuh yang sayup-sayup terdengar.

Di halaman keraton, barisan abdi dalem sibuk menyiapkan segala keperluan keberangkatan Putri Raras Ayu. Beberapa peti berisi batik tulis, kain songket, dan cendera mata khas Jawa ditata rapi di mobil hitam yang menunggu di luar gerbang.

Di serambi, Raras berdiri dalam balutan kebaya biru lembut, rambutnya disanggul klasik berhias melati. Matanya menatap halaman luas yang sebentar lagi harus ia tinggalkan. Ada sesuatu yang berat di dada — seperti benang halus yang menahan langkahnya di antara dedaunan jati yang bergoyang perlahan.

“Den Ayu, Kanjeng Adipati sudah menunggu di pendapa,” ujar Mbak Darmi pelan, sambil membenarkan lipatan selendang Raras.

Raras mengangguk, menarik napas panjang. “Inggih.”

Langkahnya pelan menyusuri lorong panjang menuju pendapa utama, tempat ayah dan ibunya sudah duduk bersila. Sang ayah mengenakan beskap hitam dengan blangkon, sementara sang ibu, Nyai Adipati Retno, tampak menatap putrinya dengan mata yang lembut namun berkaca-kaca.

Raras bersimpuh di hadapan mereka, menunduk dalam.

“Raras pamit, Ayah, Ibu. Mohon doa restu semoga perjalanan Raras lancar.”

Ayahnya tersenyum, meletakkan tangan di kepala sang putri.

“Leluhurmu akan menjagamu di mana pun kau berpijak. Ingatlah, Raras, wanita Jawa tidak pernah kehilangan martabatnya hanya karena berpindah tanah. Kau adalah cermin bangsa ini, bawa kesopananmu seperti kau membawa pusaka.”

Sang ibu menahan isak. “Dan jangan lupa makan, Nak. Cuaca di sana dingin, tidak seperti di sini. Pakai selendang yang Ibu jahit itu, ya, kalau kedinginan.”

Raras tersenyum kecil, air matanya jatuh perlahan. “Inggih, Ibu.”

Suara gamelan lembut mengiringi langkahnya meninggalkan keraton. Ketika mobil hitam itu melaju keluar gerbang, Raras menatap ke belakang — ke arah tanah tempat ia tumbuh, berlari kecil di taman teratai, dan menulis puisi di bawah sinar rembulan.

Semuanya perlahan menjauh, menjadi bayangan dalam kaca jendela.

---

Perjalanan menuju Bandara Adisutjipto berjalan sunyi. Raras duduk di kursi belakang bersama pengawal dan penerjemah dari Kementerian Kebudayaan. Ia diam, hanya sesekali melihat pemandangan sawah yang berkilau diterpa matahari pagi. Di dadanya, sebuah buku kecil berisi catatan harian ia peluk erat — warisan dari sang ibu.

Pesawat menuju London lepas landas pukul sembilan pagi.

Untuk pertama kalinya, Raras melihat dunia dari ketinggian ribuan meter. Lautan awan putih seperti kapas, menyelimuti pandangannya.

Ia membuka halaman pertama buku catatannya.

Tulisan halus di sana terbaca:

> “Ke mana pun langkahmu, jangan takut asing. Karena langit di atasmu tetap satu.”

Senyumnya perlahan muncul. Ia bersandar, menatap keluar jendela. Angin kehidupan baru sedang memanggilnya.

---

LONDON, UNITED KINGDOM

Setelah belasan jam penerbangan, pesawat mendarat di Heathrow dengan lembut. Udara dingin langsung menyergap begitu Raras melangkah keluar dari bandara.

Jakarta dan Yogyakarta terasa seperti mimpi yang jauh — udara Eropa menusuk, langitnya kelabu, dan bangunan-bangunan tampak seperti lukisan di kartu pos.

“Selamat datang di London, Miss Raras Ayu,” sapa seorang wanita muda berambut pirang yang mengenakan seragam kerajaan. “Saya Lady Eleanor. Saya ditugaskan oleh Royal House untuk menjemput Anda.”

Raras menunduk sopan. “Terima kasih, Lady Eleanor,” ucapnya pelan, dengan aksen Jawa yang lembut namun jelas.

Lady Eleanor tersenyum hangat. “Anda sangat sopan. Tidak seperti tamu-tamu dari luar negeri biasanya. Istana akan menyukai Anda.”

Perjalanan menuju istana melewati jalanan London yang ramai. Gedung-gedung tua berdiri gagah, dan salju tipis mulai turun di tepi jalan. Raras memandangi semuanya dengan takjub.

Ia menatap arsitektur Victoria yang kokoh, bus-bus merah yang melintas, dan suara lonceng Big Ben yang menggema dari kejauhan.

Dunia ini begitu berbeda, namun ada keindahan tersendiri di dalamnya — keindahan yang dingin dan misterius.

Mobil berhenti di depan gerbang besar berwarna emas.

Buckingham Palace.

Raras menahan napas. Ia bahkan tidak percaya tempat ini benar-benar nyata di hadapannya.

Ketika ia turun dari mobil, beberapa penjaga berjas merah dan topi tinggi berdiri kaku di sisi gerbang. Langit sore London tampak keperakan, dan dari arah taman istana, terdengar langkah kaki mendekat.

Seorang pria dengan jas navy rapi, bahu tegap, dan sorot mata lembut berjalan mendekat. Hidungnya mancung, kulitnya pucat, dan senyumnya seperti campuran antara keanggunan dan misteri.

Lady Eleanor menunduk. ¹“Your Highness, this is Princess Raras Ayu from Yogyakarta Palace.”

¹“Yang Mulia, ini Putri Raras Ayu dari Keraton Yogyakarta.”

Pria itu berhenti beberapa langkah di depan Raras.

Tatapan mereka bertemu. Sekilas, dunia terasa melambat.

Raras menunduk dalam, memberi hormat ala keraton. “Kulo Raras Ayu saking Ngayogyakarta Hadiningrat, Paduka.”

Sang pangeran tersenyum samar. ²“Welcome to London, Princess. I’m Prince William Alexander.”

²“Selamat datang di London, Putri. Saya Pangeran William Alexander.”

Suara itu dalam, lembut, dan menenangkan.

Raras mendongak sedikit, matanya yang bening menatap wajah sang pangeran yang kini tersenyum hangat. Ada sesuatu dalam tatapan itu — rasa ingin tahu, kekaguman, dan ketenangan yang sulit dijelaskan.

“Terima kasih, Your Highness,” balasnya dalam bahasa Inggris dengan nada sopan.

Di antara embun dingin sore London dan deru salju yang turun perlahan, dua dunia yang berbeda akhirnya bersentuhan untuk pertama kalinya.

Dan tanpa mereka sadari, takdir mulai menulis kisahnya sendiri — kisah cinta dua darah biru dari dua langit yang berjauhan.

3. Tea in the Palace

Langit London pagi itu tampak kelabu. Hujan gerimis tipis membasahi taman istana, meninggalkan aroma tanah basah yang menenangkan. Dari balik jendela besar berbingkai emas, Putri Raras Ayu memandangi taman mawar yang berwarna pucat di bawah kabut.

Ia mengenakan kebaya sutra warna krem lembut, rambutnya disanggul rapi dengan tusuk konde emas kecil. Meski berada ribuan kilometer dari tanah kelahirannya, Raras tetap membawa pesona Jawa yang halus dan berwibawa.

Suara ketukan lembut terdengar di pintu kamarnya.

“Come in,” ujarnya dengan aksen lembut yang membuat kata-katanya terdengar seperti melodi.

Lady Eleanor masuk sambil tersenyum. ¹“Your Highness, the Prince requests your presence for tea in the Winter Hall.”

¹“Yang Mulia, Pangeran meminta kehadiran Anda untuk minum teh di Aula Musim Dingin.”

Raras menoleh pelan, lalu menunduk sopan. ²“Thank you, Lady Eleanor. I will come shortly.”

²“Terima kasih, Lady Eleanor. Saya akan segera datang.”

Sambil menapaki koridor panjang yang didekorasi dengan lukisan keluarga kerajaan dan chandelier kristal, Raras berjalan pelan. Setiap langkahnya seolah menggema di antara sejarah panjang dinding istana itu. Semua terasa asing, tapi juga memesona.

---

Winter Hall

Ruangan itu luas dan elegan, dengan perapian besar yang menyala lembut. Aroma teh bergamot bercampur dengan kayu hangus memenuhi udara. Pangeran William Alexander duduk di kursi berlengan, mengenakan jas abu-abu muda. Ketika Raras masuk, ia berdiri dan tersenyum.

³“Good morning, Princess Raras,” sapanya hangat.

³"Selamat pagi, Putri Raras."

⁴“Good morning, Your Highness,” jawab Raras sambil menunduk sedikit.

⁴"Selamat pagi, Yang Mulia."

Ia duduk di seberang meja marmer kecil yang telah diatur rapi dengan teko porselen bermotif bunga. Lady Eleanor menuangkan teh ke dalam cangkir, lalu mundur dengan hormat.

“Do you like tea, Princess?” tanya William, mencoba mencairkan suasana.

*“Apakah kamu suka teh, Putri?”

Raras menatap cangkirnya, lalu tersenyum lembut. “In Java, we usually drink wedang teh with palm sugar. The sweetness warms the soul.”

*"Di Jawa, kami biasanya minum wedang teh dengan gula aren. Manisnya menghangatkan jiwa."

William mengangkat alis, tampak tertarik. “Palm sugar? That sounds… comforting.”

*"Gula aren? Kedengarannya... menenangkan."

Raras mengangguk pelan. “It reminds us of home.”

*“Itu mengingatkan kita pada rumah.”

Senyum William melembut. “Then perhaps one day, you can show me how it’s made.”

*“Mungkin suatu hari nanti, kamu bisa menunjukkan padaku cara pembuatannya.”

Raras menunduk sedikit, menahan senyum malu. “It would be my honor, Your Highness.”

*“Akan menjadi suatu kehormatan bagi saya, Yang Mulia.”

Suasana hening sesaat. Hanya terdengar suara hujan yang menetes di luar jendela dan denting halus sendok perak.

Pangeran William memperhatikan cara Raras memegang cangkir teh — anggun, tenang, penuh tata krama — berbeda dari siapa pun yang pernah ia temui.

“Princess Raras,” ucapnya perlahan, “I read a little about Javanese culture last night. Your palace… it’s called Keraton, isn’t it?”

*“Saya membaca sedikit tentang budaya Jawa tadi malam. Istana Anda… namanya Keraton, ya?”

Raras mengangguk. “Yes, Your Highness. Keraton is more than a palace. It is the soul of our people — a place where we learn patience, grace, and respect.”

*"Ya, Yang Mulia. Keraton lebih dari sekadar istana. Ia adalah jiwa rakyat kami — tempat kami belajar kesabaran, keanggunan, dan rasa hormat."

William tersenyum kecil. “Patience and grace… I believe you are the embodiment of both.”

*“Kesabaran dan keanggunan… Saya percaya Anda adalah perwujudan keduanya.”

Raras menatapnya, matanya sejenak bertaut dengan tatapan sang pangeran. Ada kehangatan yang tak terucap — halus, seperti benang halimun yang menautkan dua dunia yang berbeda.

Tak lama, seorang pelayan masuk membawa nampan berisi kue kecil dan buah segar.

Raras memperhatikan dengan rasa penasaran, lalu menatap William. “In my country, we usually serve jadah and klepon with tea,” ujarnya lirih, membuat William tertawa ringan.

*“Di negara saya, kami biasanya menyajikan jadah dan klepon dengan teh,”

“Klepon?” tanyanya, penasaran.

Raras tersenyum. “Green rice balls filled with palm sugar. It bursts sweetly in your mouth.”

*"Bola-bola nasi hijau isi gula aren. Manisnya meledak di mulut."

“Sounds delightful,” balas William, matanya bersinar geli. “Perhaps our royal chef needs to learn from you.”

*“Kedengarannya menyenangkan,”

*“Mungkin koki kerajaan kita perlu belajar darimu.”

Percakapan mereka mengalir hangat, dari hal kecil seperti makanan hingga topik serius — tentang tanggung jawab sebagai penerus keluarga kerajaan.

Meski latar mereka berbeda jauh, ada kesamaan yang mereka rasakan: beban yang sama di pundak, harapan yang sama dari rakyat mereka, dan kesepian yang sama di balik nama besar.

Ketika teh hampir habis, Raras menatap keluar jendela. Hujan mulai berhenti, dan cahaya lembut menembus awan kelabu. Ia berbisik pelan, seolah pada dirinya sendiri.

“In Javanese, we say sawangen langit, eling panggonan. Look at the sky, but remember your place.”

*“Dalam bahasa Jawa kita bilang sawangen langit, eling panggonan. Lihatlah ke langit, tapi ingat tempatnya.”

William menatapnya dengan lembut. “That’s beautiful. It means even if we reach for the sky, we must stay humble, right?”

*"Indah sekali. Artinya, meskipun kita menggapai langit, kita harus tetap rendah hati, kan?"

Raras menatapnya terkejut, lalu tersenyum hangat. “You understand so quickly, Your Highness.”

*“Anda mengerti begitu cepat, Yang Mulia.”

William menatap matanya dengan senyum lembut. “Perhaps it’s because you make everything sound like poetry.”

*“Mungkin karena kamu membuat semuanya terdengar seperti puisi.”

Suasana mendadak hening, namun bukan karena canggung — melainkan karena sesuatu yang mulai tumbuh diam-diam di antara mereka. Sebuah ketertarikan yang tulus, lahir dari rasa hormat dan kekaguman.

Ketika Lady Eleanor datang kembali untuk menjemput Raras, William berdiri lebih dulu, lalu menunduk sedikit memberi salam.

“It was an honor to have tea with you, Princess. I hope this won’t be the last.”

*“Merupakan suatu kehormatan bisa minum teh bersamamu, Putri. Kuharap ini bukan yang terakhir.”

Raras menunduk anggun, senyum kecil menghiasi wajahnya. “The honor is mine, Your Highness.”

*“Kehormatan ini milik saya, Yang Mulia.”

---

Di koridor menuju kamarnya, Raras menahan napas panjang. Dadanya terasa hangat, entah karena teh yang ia minum, atau karena cara sang pangeran menatapnya dengan begitu tulus.

Sementara itu, di dalam Winter Hall, William masih berdiri di dekat jendela, menatap salju yang mulai turun kembali.

Senyumnya samar, namun matanya berbinar.

“Princess Raras Ayu…” gumamnya pelan. “There’s something extraordinary about you.”

*“Ada sesuatu yang luar biasa tentangmu.”

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!