Ini hari senin..
Hanya mau mengingatkan kalau semua aktivitas segera dimulai pada hari SENIN.
Siapa yang benci hari senin?
Sama kalau begitu.
Arkan juga tidak benci hari senin.
Namanya Arkan Rayendra Wicaksana— Pria lulusan Universitas ternama di Indonesia dengan predikat kelulusan MEMUASKAN.
Karena dia bisa memuaskan dalam segala aspek.
Baiklah, itu tidak nyambung. Fokus.
Jadi, dihari senin yang fana ini Arkan sudah bersiap dengan pakaian formal ala pekerja kantoran.
Mau kemana?
Ya, kekantor lah.
Untuk kerja?
Lebih tepatnya untuk melamar pekerjaan yang kesekian kalinya.
Sebelum itu, Arkan sudah bermeditasi dikamar mandi dan mandi kembang 7 rupa agar kali ini ia tak berakhir dengan kalimat, "Kami akan menghubungi anda nanti, Pak"
Sederet kalimat yang dipenuhi harapan palsu, nyatanya tak ada panggilan telpon sama sekali meski Arkan sudah dengan sangat rajin menunggu sambil memegang ponselnya 7/24 tanpa lelah.
Terkadang ia bingung kenapa dirinya selalu ditolak?
Apakah ia kurang tampan?
Tidak mungkin. Menurut kenarsisannya— Arkan termasuk pria dengan visual di atas rata-rata.
Atau karena ia tak fasih berbahasa Inggris?
Tapi Arkan itu pecinta tanah air dengan seluruh jiwa raganya. Jadi ia menolak untuk mempelajari bahasa Asing sama sekali.
Sebenarnya itu hanya alasannya saja.
Otaknya memang tak sampai kalau soal Bahasa Inggris.
Jadi begitu.
Arkan kembali merapikan pakaiannya lalu mengambil tas yang berisi map lamaran kerjanya. Kemudian berjalan keluar dari kamar menuju ruang makan dimana sudah tersedia roti panggang dengan bacon serta telur mata sapi setengah matang.
Ia baru saja duduk sebelum ponselnya berdering heboh disaku celananya.
Kak Emi is calling..
"Halo Kak?"
"Oh.. Tumben sudah bangun. Ini baru jam 8 pagi loh.."
"Aku mau lamar kerja, kak. Jadi wajarlah."
Hening.
"Lagi?"
Arkan bergumam sembari tangannya menyusun bacon serta telur diatas roti lalu menutupnya dengan roti lain hingga seperti sandwich.
"Astaga., Arkan. Berapa kali Aku bilang tid—"
"Ssstt! Kak, Aku ini pria, kalau aku tak bekerja bagaimana aku bisa melamar kekasihku nanti?"
"Memangnya kau punya kekasih?"
"Tidak.. Hehehehe"
"Terserah. Dengar, Kenapa kau tidak—"
"Aduh, Kak Emi Kumohon jangan membuat moodku hancur pagi-pagi."
"Heh! Bahkan aku belum mengatakan apapun, bodoh!"
"Karena aku tahu kakak akan melarangku mencari pekerjaan."
"Bukan melarang, Arkan! Tapi—"
"Sudahlah, Kak. Aku harus pergi, kirim salam untuk Kak Arfan, Ya. Bye~"
Dan Arkan mematikan sambungannya sepihak. Tak perduli jika Emi mungkin saja sedang mengumpatinya saat ini dan Arfan lah yang akan jadi sasarannya.
Lagipula Arkan itu heran pada Emi— kakak iparnya. Kenapa wanita itu selalu saja protes jika dirinya hendak melamar pekerjaan?
Padahal Arkan bukan melamar pekerjaan yang aneh-aneh. Dia hanya sebatas memasukan lamaran pada perusahaan-perusahaan besar lalu diinterview sejenak sebelum ia ditolak dengan cara paling menyebalkan— tunggu ditelpon.
Sialan sekali.
Arkan menyelesaikan sarapannya dan keluar dari dalam rumah mewah miliknya menuju audi hitam yang sudah terparkir dengan cantiknya didepan. Bersenandung pelan saat masuk kedalam mobil lalu menjalankannya menuju perusahaan yang akan ia tuju.
***
"Jadi.. Namamu Arkan Rayendra Wicaksana?"
Arkan tersenyum lebar, "Iya pak.."
Pria paruh baya itu mengerutkan kening sejenak, "Namamu kok sepertinya tidak asing, ya," gumamnya sambil seperti sedang mengingat-ingat sesuatu.
"Ah, masa, sih pak? Ini pertama kalinya saya melamar di sini, loh," jawab Arkan yakin.
Ngomong-ngomong dirinya sedang diinterview saat ini, duduk dihadapan 3 orang pria paruh baya yang sepertinya memiliki jabatan cukup penting.
Pria yang ditengah sibuk membuka berkas-berkas Arkan sebelum ia membelalak syok membaca biodata diri anak itu lebih dalam lagi.
Kemudian menutup map itu cepat dan berdehem dengan senyuman canggung ke arah Arkan.
"Jadi, Kau melamar dibagian Marketing?"
"Iya, Pak."
"Tidak berminat bidang lain? Sekretaris misalnya?"
Dahi Arkan mengernyit heran, kenapa mereka jadi menawarkan bidang lain sementara ia hanya tertarik dibidang Marketing?
Lagipula menjadi sekretaris itu bukan keinginan Arkan. Pekerjaan itu tak cocok dengannya yang bahkan mengatur dirinya sendiri saja tidak becus, apalagi mengatur jadwal bosnya.
Hancurlah.
"Umm.. Saya rasa saya lebih cocok dibagian Marketing, pak.." Jawab Arkan seadanya.
Pria tua itu hendak berbicara lagi sebelum temannya mengalihkan perhatiannya pada ponsel yang ia pegang. Kemudian mereka bertiga saling berpandangan sejenak sebelum kembali menatap Arkan yang masih menatap mereka dengan raut wajah bingung.
"Jadi.. Bagaimana pak? Saya diterima atau saya harus menunggu panggilan telpon lagi?" Arkan bertanya tak sabaran, biarlah dianggap tak sopan. Toh, ia juga sudah tak sabaran.
Maklum, Semenjak lulus kuliah ia jadi menganggur selama setengah tahun sebelum memutuskan mulai mencari pekerjaan. Bosan terus-menerus bolak-balik luar Negeri hanya untuk liburan.
Ketiga orang dihadapannya tersenyum lebar dan bertepuk tangan, Arkan yang bingung otomatis ikut tepuk tangan juga. Padahal dia tak tahu ada apa sebenarnya. Tubuhnya hanya refleks mengikuti saja.
"Anda kami terima. Selamat datang di Perusahaan kami, Pak Arkan."
Arkan membelalak, ia hampir meloncat kegirangan jika tak mengingat Manner yang selalu diajarkan oleh kakeknya.
"Anda serius kan pak?!"
"Tentu saja."
"Wahh.. Terimakasih.. Terimakasih!"
Akhirnya..
Arkan punya pekerjaan juga setelah ia menunggu selama beberapa bulan lamanya. Tak sia-sia mandi kembang 7 rupa yang selalu ia lakukan setiap malam jumat.
***
Ditempat lain..
"Bagaimana?" Tanya Emi sembari menyeduh kopi hitam kesukaan suaminya, Arfan.
Pria ber-dimple itu menghela nafas dan meletakkan ponselnya diatas meja sembari mengurut keningnya.
"Terkadang aku tak mengerti isi pikiran anak itu.. Kenapa ia malah repot-repot melamar di Perusahaan Keluarga? Kan ia calon direkturnya."
Emi mendengus, "Sudah ratusan kali aku mencoba mengatakan padanya dan dia selalu saja memotong ucapanku. Adikmu itu ingin sekai kugetok kepalanya dengan panci pemberian ibuku!" Geram Emi sebal.
Sementara Arfan hanya meringis saja, mau bagaimana lagi Arkan adiknya itu memang tak bisa ditebak.
Anak itu sebenarnya terlalu polos yang menyerempet bego.
Dia terlalu sibuk dengan dunianya sampai-sampai tidak tahu tentang hal-hal yang seharusnya sudah ia ketahui.
Untung Arfan sayang padanya, kalau tidak sudah ia tenggelamkan adik semata wayangnya itu di sungai Ciliwung.
Paris, Menjelang senja,
"Iya begitu. Tahan sebentar.."
Pria itu sedikit membungkuk, jari telunjuknya menekan rana— klik. Sang model bergerak sedikit, mengganti posisi, dan suara itu terdengar lagi. Suara Shutter kamera mendominasi ruangan itu selama beberapa menit. Lampu-lampu di arahkan ke arah sang model untuk membuat pencahayaan lebih artistik.
"Angkat sedikit dagumu, Elira," Titah sang fotografer kemudian kembali fokus pada kamera di tangannya. Sesekali matanya melirik sang Model yang masih berpose.
"Tahan posisimu," ucapnya lagi kemudian mengambil beberapa gambar dengan angle yang tepat.
Elira Naraya Pradipta, model wanita terkenal yang wajahnya selalu ada diberbagai macam majalah terkenal. Karirnya sudah melejit hingga International. Bahkan ia selalu di undang dalam fashion week setiap tahun.
Wanita berparas manis dengan gigi kelinci itu sedikit menyayukan kedua matanya, menatap tepat kearah lensa kamera dan membuat si fotografer semakin tidak fokus saja. Elira tahu tatapan mata itu— tatapan mata seseorang yang sudah tidak profesional.
Tapi memang dasarnya Elira memiliki jiwa penggoda yang suka iseng. Maka ia tersenyum samar, matanya menatap ke arah lensa nyaris tak terbaca. Memiringkan kepalanya sedikit— cukup membuat cahaya menelusuri garis pipinya dengan lembut. Tangannya terangkat pelan, menyibak helaian rambut yang sengaja di jatuhkan di bahunya. Gerakannya lambat tapi seperti sedang menari. Udara disekitar terasa berubah; suara rana kamera berhenti sejenak sebelum kembali berbunyi— klik.
Elira tahu fotografer itu kehilangan ritmenya, dan itu adalah tujuannya sejak awal.
"Se-selesai.." Kata si fotografernya.
Elira berdiri dan merapikan rambutnya lalu mengucapkan terima kasih beberapa kali kepada staf juga si fotografer dengan senyuman sopan. Wanita itu berjalan mendekati si fotografinya seolah hendak mengecek hasil foto, padahal Elira hanya ingin semakin membuat si fotografer gelisah.
"Bagaimana?"
Deheman gugup terdengar, "Perfect seperti biasa."
"Begitu kah? Baiklah, berarti aku sudah selesai, kan?"
"Iya."
"Okey, Aku ganti baju dulu," Lanjutnya lalu berjalan menuju ruang ganti yang sudah disediakan khusus untuknya.
Saat didalam ruang ganti, Elira tertawa geli sendiri dan tersenyum puas membayangkan raut wajah tersiksa si fotografer. Sebelum berganti pakaian, ia mengambil ponselnya di dalam tas dan menghubungi sebuah nomor.
"Kak, Ini aku."
"......."
"Hanya ingin tahu kabarnya saja. Aman kan, kak?"
"......."
Tawa halus itu terdengar lagi, "Baiklah, kak. Tolong jaga dia sampai aku kembali ke Jakarta."
Diseberang sana si wanita sudah paham maksud Elira. Artinya hajar siapa saja yang berani mendekati propertynya.
"......."
"Ok kak~" Katanya lalu memutuskan sambungan teleponnya lagi.
Elira kembali menyimpan ponselnya, ia baru saja hendak melepas kemejanya sebelum terkejut dengan suara pintu yang ditutup tiba-tiba. Menoleh dan mengerjap sejenak ketika mendapati si fotografer sudah berdiri tepat didepan pintu menatapnya.
"Oh, ada apa?" tanya Elira, sudut matanya melirik jemari sang fotografer yang menutupi pintu itu perlahan.
Si fotografer itu tersenyum tipis dan berjalan mendekati Elira perlahan.
"Aku hanya ingin membicarakan sesuatu denganmu saja."
"Oh.. Begitukah? Apa tentang konsep berikutnya?"
"um.. Yaa.." Jawabnya dengan tatapan mata yang terpaku pada Elira— tajam, dalam, dan sarat akan sesuatu yang sulit disembunyikan. Ia melangkah mendekati tanpa terburu-buru, hingga jarak di antara mereka nyaris menguap habis.
"Bagaimana kalau konsep selanjutnya tanpa ada penghalang seperti kemeja ini?"
Sebelah alis Elira terangkat, "Tanpa kemeja?"
"Ya, Kurasa kau akan semakin seksi. Kalau ragu, kita bisa mempraktekannya saat ini juga. Bagaimana?" Katanya lagi, kali ini ia dengan berani hendak melepas kancing kemeja Elira tapi wanita itu menahan tangannya cepat.
"Tawaran yang menggiurkan. Tapi aku bukan model majalah Dewasa. Batasku hanya sampai ini saja.." tolak Elira halus dengan senyuman manisnya, ia baru saja akan pergi sebelum tangannya dicekal kuat dan membuatnya meringis.
"Kau tahu maksudku, Elira," Geramnya rendah sembari mengeratkan cengkramannya.
"Singkirkan tanganmu! Aku peringatkan kau!"
Lelaki berusia hampir 30 tahun itu tertawa, menurunkan wajahnya seolah hendak menciumnya. Elira semakin memberontak untuk melepaskan diri.
BRAK!
"DASAR BAJINGAN TENGIK KAU!" Teriak sebuah suara dan langsung menarik kerah baju pria itu lalu membantingnya dilantai. Membuat si fotografer meringis kesakitan disana.
"Nona muda.. Anda baik-baik saja?" tanyanya sambil menatap ke arah Elira.
Elira melirik sejenak, "Lama sekali sih! Sengaja ya membiarkan pria sialan itu menyentuhku?!"
"Maafkan saya."
"Dia tadi hampir menciumku!"
Pria jangkung dengan wajah tampan itu membelalak kaget, bisa dilihat rahangnya yang mengeras sekali dengan tatapan mata tajam.
"Apa?" Ia berbalik menghadap si fotografer yang hendak kabur, menarik kakinya lalu dengan cepat mencengkram leher si fotografer dan menghantamnya ke dinding hingga tubuhnya terangkat.
"Beraninya menyentuh cucu Tuan Hans! Kau cari mati, hah?!" Geram pria itu, membayangkan betapa marahnya sang Tuan besar jika cucu kesayangannya dilecehkan.
"A-ampun.. Ugh..!"
Sementara itu Elira mendengus dan mengambil tissue lalu membersihkan bagian pergelangan tangannya yang tadi dicengkram.
"Menjijikan sekali.." gerutunya sebal kemudian menatap sadis si fotografer yang sedang meregang nyawa ditangan pengawal pribadinya, "Aku minta ganti fotografer! Dan aku tak mau melihat wajahnya lagi!"
Si pengawal atau mari kita panggil Farhan itu mengangguk patuh, "Baik, Nona. Yang diluar masuk dan bawa sisialan ini pergi!" Panggil Farhan.
Tak lama masuk 2 orang pria berpakaian serba hitam dan langsung memakaikan karung dikepala pria itu kemudiaan menyeretnya pergi.
Setelah itu Farhan berbalik menatap Elira, melepas kemejanya dan memakaikannya di pundak wanita itu.
"Anda baik-baik saja ?"
"Ya, aku hanya kesal."
Farhan hanya tersenyum tipis lalu mengangkat tubuh yang lebih muda ala bridal dan membawanya keluar dari tempat tersebut. Elira sendiri malah santai menyamankan kepalanya di pundak si pengawal, total mengabaikan tatapan orang-orang yang memandang mereka antara takjub dan kaget. Seperti melihat adegan-adegan romansa di film kerajaan-kerajaan.
***
Di tempat lain,
Arkan berdiri menghadap mesin fotokopy dengan kening berkerut. Sedari 30 menit yang lalu dia pusing sendiri bagaimana cara mengoperasikan benda itu. Sudah diotak-otik kenapa benda itu tidak berfungsi sama sekali?
Apa rusak?
"Arkan? Apa ada masalah?"
Pria tampan itu menoleh, menatap wanita cantik yang berstatus sebagai senior di divisinya, Ayana namanya.
"Um...apa mesin ini rusak, Kak?"
"Rusak? Biar kucoba.." katanya lalu mengambil alih kertas-kertas dari tangan Arkan dan mulai mengoperasikan benda itu. Ajaibnya, ia hanya menekan satu tombol— suara mesin yang menyala langsung terdengar.
"Sepertinya kau tidak menekan tombol On, Arkan.."
Arkan mengerjap sejenak dan tertawa malu sendiri, "Ah.. Pantas saja. Terimakasih, biar aku saja kalau begitu.."
"Yakin?"
Hening sejenak.
"Sebenarnya tidak. Tolong bantuannya, kak," ucapnya sopan sekali. Tidak menyadari interaksi mereka berdua diperhatikan oleh sang kepala divisi sembari ponsel yang menempel ditelinganya.
"Iya, Pak. Saya akan menjaga putera anda dengan baik."
"Tolong jangan beritahu kepada siapapun soal puteraku.."
"Eh.. Boleh saya tahu alasan anda, Pak?"
Dari seberang sana bisa terdengar kekehan khas seorang Ayah, "Aku hanya ingin ia bisa beradaptasi saja dengan baik.."
"Baiklah, pak. Saya mengerti.."
***
Ditempat lain..
Arfan terduduk dihadapan ayahnya dengan kening berkerut.
"Kenapa Ayah membiarkan saja? Bagaimana jika mereka memanfaatkan Arkan?"
"Berarti adikmu itu lemah dan aku takkan membiarkan orang lemah memimpin Perusahaan ini."
Pria berdimple itu menghela nafas pelan, "Ayah.. Ayah Tahu Arkan itu bagaimana.. Dia itu terlalu baik dan polos, sudah pasti mudah dimanfaatkan. Apalagi hanya diberi senyuman yang tidak lebih dari dua detik."
"Itulah yang aku benci darinya.. Dia mengambil semua sifat perempuan itu. Jika saja dia sepertimu, maka aku takkan melakukan ini padanya."
"Tapi Ayah—"
"Fokus saja sama Perusahaan cabang yang Ayah berikan padamu untuk kau urus, Arfan. Arkan biar ayah yang urus."
Pada akhirnya Arfan hanya bisa menghela nafas saja dan pergi dari ruangan sang Ayah. Meratapi nasib adik satu-satunya yang menjadi sasaran kebencian sang Ayah karena kesalahan ibu mereka.
Jika saja ada sedikit keberanian, sudah sejak dulu Arfan membawa kabur Arkan dan mengurusnya sendiri ketimbang anak itu yang hidup mewah namun ia terkekang tanpa sadar.
Sudah dua minggu lebih Arkan bekerja sebagai admin dibagian Marketing. Meski awam tapi ia cepat belajar dan bagusnya semua pekerjaannya rapi serta jarang sekali ada kesalahan.
Sudah begitu ia cukup populer di Perusahaan tersebut—terlalu populer malah.
Pasalnya, setiap orang yang lewat akan ditegur lalu diberi senyum manis pula. Dan lagi Arkan tak segan membantu siapapun yang sedang kewalahan membawa barang, mau itu pria atau wanita.
Wanita mana yang tidak baper?.
Jadi tidak heran jika pada saat jam istirahat begini bagian Marketing akan ramai oleh fans dadakan Arkan, beralasan ada urusan penting ditempat itu padahal niatnya mau modusin Arkan.
Apa Arkan tahu itu?
Tentu tidak.
Pria berusia 24 tahun itu malah benar-benar percaya dengan tujuan fake mereka.
Sudah di bilang, polos dan idiot itu memang Beti sekali alias Beda tipis.
"Mas Arkan~"
Arkan yang sedang merapikan berkasnya sebelum ia pergi makan itu mendongak, mendapati dua orang wanita cantik yang sudah tersenyum manis didepannya.
"Uh.. Ya?" jawabnya ragu.
"Kau ingat kami tidak?"
"Maaf," Jawabnya pelan sambil menggeleng dengan perasaan tak enak.
"Itu loh Yang kemarin kau bantu bawakan kardus sampai gedung sayap kiri."
Arkan diam sejenak sebelum ia ber'Ah' saat mengingat kedua wanita itu samar-samar. Padahal baru kemarin dan Arkan sudah lupa. Sebenarnya sudah berapa banyak orang yang ia bantu sih?
Jadi Arkan berdiri lalu bersikap sopan mengingat kedua wanita itu adalah seniornya di kantor.
"Ada yang bisa saya bantu lagi, mbak?"
Kedua wanita itu terkikik gemas dengan tingkah Arkan yang mendadak kaku.
"Panggil Kakak saja~"
"Um, iya Jadi.. Apa kakak perlu bantuan lagi?"
"Tidak. Kami kesini ingin mengajakmu makan siang bersama."
"Wah.. Hey apa-apaan itu?! Kan kami yang datang lebih dulu!"
"Iyaaa.. Curaaang.. Huuuu~"
Dan berbagai macam protesan yang dilayangkan fans Arkan lainnya didepan pintu masuk. Masalahnya kedua wanita itu terkenal paling cantik dan cukup ditakuti oleh karyawan wanita lainnya. Jadi mereka tak berani protes didepan secara langsung, beraninya dari jauh seperti saat ini.
Lalu mereka diam seketika saat ditatap sinis oleh dua wanita itu.
"Jadi.. Bagaimana, mas Arkan?" Tanya si wanita yang rambutnya panjang, tersenyum malu-malu dan diselingi kedipan genit yang bikin gumoh. Ayana saja yang memperhatikan sedari tadi rasanya pengen muntah pelangi.
"Maaf, kak. Aku taken."
Kretak.. 💔
Ada yang retak tapi bukan cermin.
Jawaban kalem Arkan membuat semua fansnya jadi patah hati berjamaah, bahkan suara patahannya terdengar hingga bergema diseluruh ruangan.
Ayana tak bisa menahan diri untuk tak tertawa melihat ekspresi para wanita itu yang menyedihkan. Apalagi dua orang wanita yang terdiam dengan raut wajah aneh dihadapan Arkan.
Bahkan belum ditembak tapi sudah ditolak.
Suckit tapi tak berblood.
"Ta-Taken?" tanyanya lagi memastikan. Mungkin saja ia salah dengar, mungkin juga ada batu besar yang menyumbat telinganya.
Bisa jadi.. Bisa jadi..
Taehyung mengangguk ceria, "Ya," jawabnya diikuti senyuman kotaknya.
"O-okay. Tak apa.. Baru Taken.. Belum sah.. Santai.. Santai.." gumamnya pelan mencoba tersenyum dan menyemangati dirinya sendiri. Setelah itu ia menarik temannya yang masih syok pergi begitu saja, diikuti kumpulan fans Arkan yang bubar dengan aura suram.
Arkan yang melihat itu hanya mengernyit bingung, sudah begitu Ayana tak berhenti tertawa sedari tadi.
Apa ia salah bicara?
Atau ucapannya itu terdengar lucu hingga Ayana tertawa sampai menangis begitu?
"Kak, apa ada yang lucu?" Tanya Arkan heran.
Ayana menggeleng masih dengan kekehan terdengar, "Tidak.. Kkkk~Tidak ada.."
"Lalu kenapa kakak tertawa begitu?"
"Ah.. Tadi Raka jatuh dan pusakanya kepentok kaki meja.." bohongnya.
Ngomong-ngomong, Raka adalah teman sekantor yang cukup dekat dengan mereka juga.
Raka yang juga bekerja dibagian marketing menoleh tak terima saat difitnah.
"Hey! Pusakaku baik-baik saja! Jangan memfitnahnya!" Protesnya.
"Raka Apa kau yakin pusakamu baik-baik saja? Sebaiknya diperiksa dulu. Bagaimana jika kau jadi mandul nanti." saran Arkan yang cemas dengan keadaan teman sekantornya.
"Kak Arkan!"
Dan Ayana semakin terpingkal-pingkal ditempatnya.
Tak menyangka bahwa Arkan segampang itu dibohongi.
"Kak Aya berhenti tertawa!" Kesal Raka lalu ia berdiri dengan cepat hendak pergi sebelum...
GEDUBRAK.!
Pria bernama lengkap Rakantara Putra Dewa itu tersandung kaki meja dan terjatuh dengan wajah yang menghantam lantai kayu dengan tak elitnya.
Ledakan tawa Aya a semakin membahana, bahkan ia sampai memukul-mukul meja kerjanya sendiri.
Untung saja diruangan itu hanya tinggal mereka bertiga, jika tidak maka sudah dipastikan Raka akan dijadikan bulan-bulanan yang lain.
Arkan yang masih kaget lalu menghampiri Raka cepat dan membantu pria itu berdiri.
"Raka, Kau baik-baik saja?"
"Tidak, kak. Aku terluka.. Hiks.."
"Apa?! Mana.. Mana?!" Raka jadi panik tapi ia heran kenapa Ayana hanya tertawa dan tak menolong teman mereka.
"Harga diriku terluka, Kak, Hiks.." Raka berlari ala-ala drama keluar ruangan, mencoba mendramatisir keadaan tapi—
DUGH..!
"ARGHHH..! KENAPA AKU SIAL SEKALI, SIH..?!" Teriak Raka sebal yang lagi-lagi ia kepentok kaca dibelokan hingga tulang hidungnya mulai membiru karena serangan beruntun.
Pria itu tambah dongkol ketika tawa Ayana semakin terdengar hingga keluar.
"Kusumpahi keselek kau, kak!" umpatnya lalu benar-benar pergi.
Raka sendiri menghampiri Ayana yang sudah terguling-guling dilantai kantor karena tertawa. Menatap wanita itu dengan tatapan datar sekali.
Image anggunnya jadi hilang seketika.
***
Dikantin.
Ayana masih sesekali terkekeh sambil menyeruput kopinya, sementara Arkan hanya menghela nafas sambil meminum teh dinginnya.
"Kak, Ada yang membuatku penasaran.."
"Apa?"
"Taken itu apa? Kenapa Kakak menyuruhku mengatakan itu pada setiap wanita yang kutemui?"
Ayana menongkat dagunya diatas meja sembari tersenyum tipis, "Menurutmu apa?"
"Entah... Aku cari dikamus Taken itu bahasa lampau dari Take yang artinya membawa. Jadi, aku membawa? Aku tak mengerti."
Ayana meringis dalam hati lalu menghela napas.
Apa Arkan hanya menggunakan otaknya untuk bernapas?
"Taken itu artinya tampan," jawab Ayana sembarangan.
"Woah benarkah?!"
"Yup. Jadi katakan saja itu pada setiap orang yang kau temui terlebih lagi jika itu wanita. Mereka akan senang sekali~"
"Tapi... Kenapa dua orang kakak tadi terlihat tidak senang?" Tanya Arka saat mengingat ekspresi kedua wanita tadi.
Ayana mendengus geli, "Mereka senang kok.. Sengaja saja mereka itu jual mahal depanmu.. Tapi percaya deh.. Mereka sangaaaaat senang.."
Tidak tahu saja jika para wanita itu sedang menangis berjamaah dikamar mandi karena patah hati.
Arkan tersenyum, "Begitukah?"
"Iya.. Jadi jangan pikirkan apapun.. Sekarang habiskan makananmu dan kita kembali bekerja.."
"Baiklah."
***
Ditempat lain..
Elira sedang sibuk menelpon seseorang, ia berdiri dari bathupnya begitu saja dan membiarkan seorang pelayan wanita memakaikan bathrobe ditubuh telanjangnya.
Berjalan keluar kamar mandi diikuti sang pelayan setia. Wanita cantik itu duduk dipinggir ranjang sementara si pelayan mengeringkan rambutnya.
"Astagaa.. Calon suamiku lucu sekali~kkkk~aku jadi tak sabar bertemu dengannya~"
"......"
"Aku ingin segera pulang tapi kerjaanku masih banyak sekali, kak~" Rengeknya kesal.
"......"
"Seminggu lagi baru aku bisa kembali Ke Indonesia. Menyebalkan~"
"......"
"Okey.. Jaga Tigerku baik-baik, kak. Nanti kuberi tiket liburan gratis selama sebulan penuh di Athena, seperti keinginanmu.."
Terdengar suara pekikan senang dari sana sebelum Elira memutus sambungannya sepihak.
Elira sempat melihat layar hp nya yang terpampang foto prianya yang sedang tersenyum.
Duh, jantungnya jadi deg-degan saking tampannya sicalon.
Wajah anak itu sampai memerah sendiri.
"Nona muda.. Anda baik-baik saja?" tanya Farhan saat ia baru saja datang sembari membawa pesanan majikannya. Menatap Elira yang masih dengan bathrobe dan tersenyum lebar.
"Farhan, aku jatuh cinta lagii padanyaaaaa~~" pekiknya girang sambil membanting tubuhnya sendiri diranjang dan berguling-guling tidak jelas. Sementara Farhan hanya terkekeh saja melihat tingkah lucu sang Nona Muda.
Tak ingin menggangu momen Elira, Farhan lebih memilih keluar kamar agar sang Nona muda bisa berpakaian.
Saat pria dewasa itu turun dari lantai mansion mewah milik keluarga Pradipta di Inggris, ia dikejutkan dengan kehadiran Tuan Hans alias kakek Elira. Pria tua itu tengah terduduk dengan penuh kharisma sambil menyeruput minumannya.
Sontak Farhan langsung membungkuk hormat.
"Tuan besar.. Kapan anda kembali dari China?"
"Baru saja. Dimana cucuku?" tanyanya tanpa melirik sama sekali.
"Nona muda sedang berguling-guling dikamarnya karena jatuh cinta.." Jawabnya diselingi senyum gemas ketika mengingat tingkah Elira yang seperti anak kecil.
Tuan Hans mendengus, "Anak itu tak pernah jatuh cinta.. Sekalinya jatuh, bukan hanya hatinya yang jatuh tapi otaknya juga..dasar. Kkkkk~" Kekehnya.
Detik berikutnya kekehan itu menghilang dengan cepat seolah tak terjadi apapun.
"Kudengar ada yang berani melecehkan Elira-ku ?"
Pertanyaan bernada datar itu membuat Farhan jadi keringat dingin sendiri. Kenapa Tuan Hans bisa sampai tahu?
"Benar Tuan."
Krak.. ..
Farhan terkejut ketika cangkir yang digenggam pria tua itu retak begitu saja karena terlampau kuat dipegang. Suasana yang tadinya hangat jadi terasa begitu mencekam hingga ke ubun-ubun.
"Potong tangannya yang berani menyentuh cucuku, dan juga lidahnya..tapi jangan dibunuh. Biarkan dia menderita dengan hidup cacat. Paham?" titahnya dengan lirikan tajam.
Farhan mengangguk patuh, "Dimengerti Tuan.."
***
"Oh! Kakek!" Elira berteriak senang saat ia baru melangkah turun dan sudah mendapati kakeknya disana bersama Farhan.
Tuan Hans langsung merubah ekspresinya seceria mungkin dan membentangkan kedua tangannya untuk menyambut sang cucu dalam pelukan.
Elira berlari cepat menuruni tangga dan membuat Farhan panik sendiri, kalau sampai terpeleset kan bisa gawat.
"Nona muda!" Jerit Farhan panik sembari menghampiri Elira cepat dan mengapit pinggang wanita itu lalu membawanya turun kelantai dengan aman dam damai.
"Terima kasih~" Katanya dengan senyuman kelinci miliknya kemudian menghampiri sang kakek dan memeluk pria itu erat.
Ia kangen sekali setelah hampir sebulan tak bertemu.
Sementara Farhan mengelus jantungnya lega, cobaan hari ini banyak sekali.
Untung jantungnya kuat.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!