NovelToon NovelToon

GAZE

Bab 1 – TATAPAN YANG TAK BIASA

Malam itu, hujan turun pelan di Hangzhou. Butiran air memantul di jendela kecil kamar Yang Xia, seperti irama lembut yang menemani kesepiannya.

Di atas meja kayu, cangkir teh melati mengepulkan uap, sementara layar televisi menampilkan acara gala amal tahunan, panggung penuh cahaya, tawa, dan tepuk tangan.

Namun Yang Xia tidak benar-benar memperhatikan acara itu. Ia hanya menatap kosong, membiarkan cahaya layar menari di wajahnya. Sampai namanya disebut.

“Selamat datang, aktor berbakat Yu Liang!”

Sorak sorai meledak. Kamera menyorot pria tampan, tinggi putih, dengan senyum sempurna, setelan hitam yang menawan, dan tatapan mata teduh yang memikat jutaan penonton.

Senyum itu terlihat begitu hangat, seolah dia benar-benar bahagia.

Namun, sesuatu di mata pria itu terasa aneh.

Yang xia menatapnya tanpa sadar, seperti tertarik ke dalam pusaran yang tak terlihat.

Dan saat pandangan mereka bertemu, meski hanya lewat layar, dunia di sekelilingnya berubah. Cahaya ruangan memudar, suara tawa menghilang.

Yang Xia tiba-tiba berdiri di ruangan gelap, hanya diterangi oleh lampu kamera yang berputar. Di depannya, Yu Liang duduk di kursi dengan kedua tangan terikat.

Seorang pria bersuara berat berbisik dari balik bayangan:

“Senyum, Liang. Kau tahu akibatnya jika menolak.”

Tubuhnya gemetar. Air mata menetes di pipinya, tapi di depan kamera, ia tersenyum lagi.

Yang Xia menjerit kecil.

Pemandangan itu lenyap seketika, dan ia kembali ke kamarnya yang sunyi. Dadanya naik turun, napasnya tersengal. Teh di atas meja sudah dingin.

Ia memegang dadanya, menatap layar yang kini menampilkan Yu Liang sedang tertawa di panggung, seperti tidak terjadi apa-apa.

Senyum itu…

Persis sama dengan yang ia lihat di penglihatannya barusan.

“Apa… itu?” bisiknya, suaranya gemetar.

...

Paginya,

Langit masih diselimuti kabut tipis ketika Yang Xia melangkah melewati gerbang rumah sakit. Aroma antiseptik dan suara langkah tergesa-gesa para perawat sudah akrab di telinganya.

“Dokter Xia,” sapa seorang perawat senior sambil menata masker di wajahnya.

“Kau menonton gala semalam? Aktor itu… tampan sekali, bukan?”

Yang Xia tersenyum kecil, menatap kopi yang baru saja diberikan oleh salah satu rekannya yang berada di tangannya. “Terimakasih Lin Hua, Tampan, ya… tapi matanya sedih sekali.”

Perawat itu terkekeh ringan. “Ah, mungkin karena terlalu lelah syuting.”

Namun, senyum Yang Xia tak berubah. Ia tahu betul, tatapan itu bukan sekadar lelah. Ia sudah sering melihat mata seperti itu, mata yang menyimpan bayangan masa lalu, rasa kehilangan, dan jejak luka yang belum sembuh.

Biasanya hanya sekilas.

Tapi kali ini…

Lebih kuat.

Lebih nyata.

..

Langit malam di Hangzhou meneteskan cahaya dari ribuan papan reklame, seperti bintang-bintang buatan manusia.

Wajah Yu Liang terpampang di mana-mana. Di kaca trem, di dinding pusat perbelanjaan, bahkan di cangkir kopi yang Xia pegang saat ini.

Tapi anehnya, setiap kali ia melihat wajah itu, hatinya terasa berat. Ada sesuatu di balik tatapan mata itu… sesuatu yang tidak bisa dijelaskan.

Ia menatapnya lama, lalu berbisik pelan,

“Kenapa kau terlihat seperti orang yang sedang minta tolong?”

Mei, sahabatnya, tertawa. “Kau terlalu serius, Xia. Dia cuma aktor, bukan roh yang bisa kau baca pikirannya.”

Namun Xia tahu, matanya berbeda. Sejak kecil, ia bisa melihat sesuatu yang tidak dilihat orang lain. Bayangan, perasaan, bahkan kejadian yang belum terjadi.

Mei, sahabatnya, hanya menggeleng pelan dan tersenyum. “Ayo, kita pulang. Aku rasa kau sudah sangat lelah.” Xia mengangguk pelan.

Mungkin benar, pikirnya. Rasa lelah itu seperti baru ia sadari setelah mendengar perkataan Mei.

Langit malam terasa terlalu terang untuk menyembunyikan rahasia.

Lampu neon, papan iklan, dan sorotan kamera menelan gelapnya kota, seolah tak memberi ruang bagi kesunyian.

Namun di antara keramaian itu, Yang Xia, seorang dokter di rumah sakit pusat, justru merasa dadanya sesak. Ia baru saja pulang dari shift malam, wajahnya lelah, namun matanya tetap waspada.

Saat berhenti di depan toko serba ada, pandangannya terpaku pada layar besar di seberang jalan.

Seorang aktor muncul dalam iklan parfum, menatap kamera dengan senyum hangat.

Yu Liang.

Senyum itu seharusnya menenangkan…

Tapi tidak bagi Xia.

Dalam hitungan detik, matanya menangkap sesuatu yang tidak biasa: Tatapan pria itu tiba-tiba berubah di matanya, bukan lagi hangat, melainkan kosong dan lelah, seolah meminta tolong pada seseorang yang tak pernah datang.

Xia menunduk. “Nafasku… kenapa berat sekali,” gumamnya.

Ia sudah terbiasa melihat hal yang tak seharusnya dilihat, sisa energi kehidupan, bayangan masa lalu, bahkan luka yang tidak kasat mata. Namun wajah pria di layar itu menimbulkan sesuatu yang berbeda: rasa iba bercampur ketakutan.

Setelah keluar dari toko serba ada, mereka berjalan pulang melewati belakang panggung gedung konser, xia kembali merasakan hal aneh.

Suara langkah seseorang, cepat, tergesa.

Siluet seorang pria lewat dengan topi hitam dan masker, diikuti oleh dua orang berpakaian formal yang tampak seperti pengawal.

Seketika, hawa dingin menyentuh tengkuknya.

Ia menatap sosok itu…

Dan dalam sekejap, pandangannya bergetar.

Bayangan di sekeliling pria itu berubah, seolah ia melihat dua versi dirinya:

Satu di atas panggung yang disorot cahaya, dan satu lagi terkurung dalam ruangan gelap dengan tatapan hampa.

Xia terkejut dan hampir kehilangan keseimbangan.

“Xia!” seru Mei, menangkap bahunya.

Xia mengerjap, menatap ke arah yang sama.

Namun pria bertopi itu telah lenyap, terserap oleh kerumunan yang bergerak tanpa wajah, seolah tak pernah ada.

..

Malam itu,

Xia sudah kembali kerumahnya yang megah. Sepi hanya ada dia dan Para pelayan, ia kembali ke kamar mewahnya. Lampu redup menerangi tumpukan berkas medis dan catatan kecil yang berserakan di meja.

Ia membuka buku catatannya yang lama, halaman yang berisi tulisan tangan berguncang:

Mata tidak pernah berbohong.

Tapi kenangan…

Bisa dimanipulasi.

Mungkin masa lalu yang kulihat bukan milik mereka, tapi pantulan dari luka yang mereka sembunyikan.

Yang Xia, 28 tahun.

Dokter muda spesialis trauma psikis di Yáng Tiansheng Hospital, Hangzhou. Rumah sakit ternama yang sekaligus merupakan warisan keluarganya.

Tak banyak yang tahu, di balik sikapnya yang lembut dan penuh ketenangan, dialah CEO termuda di antara para pemimpin rumah sakit besar di seluruh Tiongkok. Namun Xia jarang memperlihatkan sisi itu. Ia lebih memilih berjalan di koridor rumah sakit dengan jas dokter putihnya, bukan jas mahal dan rapat dewan.

Ia tidak ingin disapa “Direktur Yang,” ia ingin dipanggil “Dokter Xia.”

Setiap langkahnya selalu tampak anggun, setiap senyum terukur dan penuh kehati-hatian.

Namun di balik mata hitamnya yang tenang, tersembunyi sesuatu yang bahkan dirinya sendiri takut untuk mengakui, kemampuan melihat masa lalu seseorang hanya melalui tatapan mata.

Sebuah anugerah...

Atau mungkin kutukan.

Xia tumbuh dengan beban yang tak pernah ia minta, kemampuan yang muncul setelah kematian kedua orang tuanya dalam kecelakaan pesawat menuju Swedia.

Sejak saat itu, hidupnya tak pernah sama lagi.

Ia mulai melihat hal-hal yang tidak seharusnya terlihat.

Bayangan samar yang menelusup di balik tatapan seseorang, potongan kenangan yang berkelebat begitu nyata, dan kebenaran yang bahkan dunia berusaha menghapusnya.

Di antara cahaya lampu rumah sakit yang dingin, Xia sering bertanya-tanya...

Apakah kemampuan itu adalah anugerah terakhir dari orang tuanya atau kutukan yang diwariskan bersamaan dengan nama besar keluarga Yang?

Dan setiap kali menatap mata seseorang, dunia seolah berhenti berputar, menyeretnya ke masa lalu yang bukan miliknya.

Kemampuannya yang dapat melihat masa lalu seseorang melalui tatapan mata; namun kemampuan itu bukan hadiah, melainkan kutukan yang perlahan menggerogoti jiwanya.

..

Yang Xia berdiri di bawah lampu sorot yang sama, melihat Yu Liang menatapnya dari kejauhan.

“Kau… bisa melihatku?” suara itu lemah tapi jelas.

“Tolong aku…”

BAB 2- CAHAYA YANG MENYEMBUNYIKAN LUKA

Sementara itu, di sisi lain kota, Shenzhen.

dunia yang tak tersentuh oleh publik berdetak dengan ritme yang berbeda.

Gedung kaca milik Han Star Entertainment berdiri megah, tapi di balik dinding-dindingnya, banyak yang dikubur dalam diam.

Sang aktor Yu Lian baru saja keluar dari ruang latihan. Wajahnya tampan tapi lelah, napasnya berat, matanya kehilangan cahaya.

“Latihanmu bagus hari ini,” kata sang manajer, Chen Wei, dengan senyum tipis yang dingin.

Yu Liang hanya menunduk.

Ia tahu senyum itu berarti sesuatu bukan pujian, tapi peringatan halus untuk patuh.

“Besok malam ada pertemuan dengan investor besar,” lanjut Chen Wei sambil menyerahkan ponselnya.

“Kau tahu apa yang harus dilakukan.” Yu Liang diam.

Suara ponsel yang bergetar di saku terasa seperti jerat yang makin kencang.

Ia menatap pantulan dirinya di cermin besar: wajah yang dikenal jutaan orang, tapi jiwanya sendiri terasa asing.

Yu Liang melangkah perlahan di antara peralatan kamera yang berserakan, setiap langkahnya terasa berat. Kru sibuk memeriksa lampu dan mikrofon, suara-suara mereka bersaing dengan dentuman musik latar yang diputar untuk latihan adegan.

Seorang asisten mendekat, menyalakan monitor kecil di tangannya. “Yu Liang, adegan berikutnya akan dimulai sebentar lagi,” ucapnya.

Suaranya datar, tapi penuh ketegangan, sama seperti yang Yu Liang rasakan sekarang.

Ia mengangguk, menyesuaikan posisi tubuhnya, mencoba menenangkan detak jantung yang semakin cepat. Mata Yu Liang menangkap bayangan kamera yang bergerak, fokus kru yang tajam, dan para penonton yang mulai menahan napas.

Sementara itu, rasa lapar dan lelahnya mulai menumpuk. Tapi Yu Liang menepisnya. Tidak ada waktu untuk menyerah. Setiap gerakan, setiap ekspresi, harus sempurna. Meski tubuhnya menuntut istirahat, pikiran yang haus kontrol tetap harus berjalan tanpa jeda.

Cek!

Blitz kamera kembali menyambar.

Kali ini Yu Liang menundukkan kepala sebentar, menutup mata, lalu membuka kembali dengan tatapan penuh fokus. Ia tahu, ini baru permulaan dari hari yang panjang.

Lampu sorot menyala, mengarah tepat ke posisi Yu Liang. Ia menarik napas panjang, merasakan energi yang sedikit pulih dari gigitan makanan terakhir.

Tubuhnya masih lelah, tapi matanya kini lebih fokus, penuh konsentrasi.

“Kamera satu, aksi!” teriak sutradara dari jauh.

Yu Liang bergerak, mengikuti ritme adegan dengan ketelitian. Setiap gestur, setiap tatapan, ia berikan sepenuh hati.

Blitz kamera menyambar beberapa kali, tapi kali ini ia tidak lagi terganggu. Ia menemukan ritme sendiri, seakan lelahnya sementara lenyap oleh tuntutan profesionalisme.

Para kru mulai berbisik di belakang layar. Mereka kagum pada ketekunan Yu Liang, bagaimana ia mampu tampil memukau meski sepanjang hari belum banyak istirahat.

Bahkan seorang asisten kecil pun menatapnya dengan kekaguman, tanpa sadar memberi senyum kecil pada Yu Liang.

Dalam hati, Yu Liang tersenyum tipis. Energi kecil itu cukup untuk melewati adegan ini. Ia tahu, setelah ini masih ada adegan lain yang menunggu, tapi untuk sesaat, ia membiarkan dirinya tenggelam dalam fokus dan aliran kerja.

Di balik sorot lampu dan kamera, dunia seakan mengecil menjadi satu titik: Yu Liang dan adegannya. Lelah boleh ada, tapi semangat dan ketekunan jauh lebih kuat.

Yu Liang menunduk di depan monitor kecil, mencoba menyamarkan rasa lelahnya. Setiap detik di lokasi syuting seakan menjadi ujian yang tak ada habisnya.

Blitz kamera terus menyambar, kru berlarian, dan suara sutradara menuntut kesempurnaan di setiap adegan.

Di belakangnya, Chen Wei, manajer yang terkenal galak, berdiri mengamati dengan mata dingin. Setiap gerakan Yu Liang seakan diperiksa, setiap jeda dianggap kelalaian.

“Yu Liang! Lagi-lagi kau terlalu lambat!” teriak Chen Wei dari seberang ruangan. Suaranya nyaring, tajam, membuat beberapa kru menahan napas.

Yu Liang menghela napas pelan, menundukkan kepala, mencoba menenangkan diri. Ia tahu, membantah hanya akan menambah masalah. Setiap arahan dari Chen Wei terasa seperti ujian psikologis, tiap komentar menusuk, tiap tatapan menekan.

Saat Yu Liang melangkah untuk mengambil posisi berikutnya, Chen Wei melangkah lebih dekat, menyeringai. “Kau pikir aku tidak tahu kau belum makan? Tubuhmu lemah, aktingmu juga akan lemah. Jangan buatku menyesal memberimu peran ini.”

Jantung Yu Liang berdegup kencang, tapi ia menelan rasa takut dan sakitnya. Dengan napas yang bergetar sedikit, ia tetap melangkah, mengikuti koreografi adegan berikutnya.

Setiap kata dari Chen Wei seperti batu yang menekan pundaknya, tapi ia menahan diri untuk tidak jatuh.

Di sela-sela adegan, Yu Liang mencuri pandang ke meja makanan yang masih terselip di sudut. Nafasnya tercekat, ia ingin sekali mengambil sedikit energi dari situ, tapi Chen Wei seolah tahu dan berdiri di dekat meja, menunggu setiap gerakannya. Tekanan itu membuat Yu Liang semakin sadar: di dunia ini, ia tak boleh lengah sedikit pun.

Setelah hampir dua belas jam berada di lokasi syuting, udara di dalam studio terasa semakin berat. Lampu-lampu panas menyorot tanpa henti, membuat keringat menetes dari pelipis Yu Liang. Namun tak ada jeda.

Chen Wei memastikan itu.

“Ulang!” suara sutradara itu menggema lagi.

“Kau kehilangan emosi di detik dua belas! Aku sudah bilang, ekspresinya harus runtuh, bukan kosong!” Yu Liang memejamkan mata sejenak.

Helaan napasnya tertahan di tenggorokan, tapi ia tersenyum tipis sebelum kamera kembali merekam. Dalam dunia ini, wajah tenang adalah senjata, bukan perlindungan.

Adegan dimulai ulang.

Satu… dua… tiga detik.

Tatapannya jatuh pelan, bahunya menegang, air mata buatan jatuh tepat di waktu yang sama.

Sempurna.

Tepuk tangan kecil terdengar dari kru di belakang layar. Tapi sebelum sempat ia menarik napas lega, suara Chen Wei menimpali dingin,

“Bagus. Tapi jangan pikir kau sudah cukup. Adegan luar masih menunggumu.”

Yu Liang mengangguk pelan, senyum samar yang dipaksakan kembali terukir di wajahnya. Dalam hati, ia menertawakan kejamnya dunia hiburan ini. Ia tahu, rasa sakit dan lelah bukan alasan untuk berhenti, justru bahan bakar agar tetap hidup di bawah sorotan.

Ketika Chen Wei sibuk memeriksa jadwal berikutnya, Yu Liang mencuri kesempatan. Ia berpura-pura mencari naskah yang “hilang,” padahal tangannya menyelip ke balik meja properti. Dari sana, ia menemukan sepotong roti kering yang tadi disimpannya.

Dengan cepat ia menggigit sedikit, mengunyah tanpa suara sambil menunduk di balik kursi sutradara.

Rasa gurihnya hambar, tapi cukup untuk membuat perutnya berhenti protes.

Kau masih bisa bertahan hari ini, Liang, batinnya.

Di kejauhan, Chen Wei masih menatap tajam tanpa menyadari apa yang baru saja terjadi.

..

Malam merayap pelan.

Studio mulai lengang, hanya tersisa beberapa kru yang membereskan peralatan dan lampu-lampu yang mulai dipadamkan satu per satu. Aroma debu bercampur dengan sisa parfum dan keringat, menandai akhir dari hari panjang yang melelahkan.

Yu Liang duduk di ruang ganti, menatap bayangannya di cermin. Cahaya redup dari lampu rias memantul di matanya yang memerah.

Make-up-nya sudah luntur, menyisakan garis lelah di bawah mata dan sisa foundation di rahang yang pecah karena keringat.

Ia menghela napas panjang. Tangannya gemetar saat membuka botol air mineral di meja, seteguk kecil air mengalir melewati tenggorokannya, tapi dinginnya justru menimbulkan rasa perih. Terlalu banyak menahan lapar, terlalu sedikit tidur, terlalu banyak kata-kata tajam dari Chen Wei yang ia telan hari ini.

Suara notifikasi ponsel terdengar, pesan dari Chen Wei.

“Besok pagi jam enam, lokasi baru. Jangan terlambat. Dan kurangi ekspresi lembekmu itu.”

Yu Liang menatap layar tanpa ekspresi, lalu mematikan ponselnya tanpa membalas. Ia bersandar di kursi, menatap ke arah langit-langit ruang ganti yang catnya mulai mengelupas.

Dunia di luar mungkin menganggapnya sempurna. Tampan, sukses, penuh cahaya. Tapi di ruangan ini, hanya ada seorang pria muda yang sedang berjuang menahan diri untuk tidak runtuh.

“Besok… cuma satu hari lagi,” bisiknya, meski ia tahu kata itu sudah ia ucapkan berulang kali setiap malam.

Ia menunduk, menarik napas panjang, lalu menutup mata.

Kesepian terasa akrab, seperti teman lama yang tak pernah benar-benar pergi. Di luar, hujan mulai turun pelan, mengetuk jendela ruang ganti seolah ikut menyanyikan kelelahan yang tak terdengar.

Dan malam itu, untuk pertama kalinya setelah sekian lama, Yu Liang membiarkan dirinya terdiam. Bukan karena kuat, tapi karena terlalu lelah untuk melawan.

..

Yáng Tiansheng Hospital, Hangzhou.

Setelah memeriksa pasien terakhirnya, Yang Xia menarik napas panjang. Lelah terasa menjalar dari ujung jari hingga tengkuk. Di sampingnya, sang asisten perawat tersenyum hangat.

“Dokter Xia, Anda sudah bekerja sangat keras hari ini.”

Yang Xia membalas dengan senyum tipis. “Apakah itu pasien terakhir?” tanyanya pelan.

“Ya, Dokter.”

“Baiklah, kalau begitu pergilah beristirahat,” ucap Xia lembut.

Perawat itu mengangguk cepat. “Terima kasih, Dokter. Anda juga jangan lupa istirahat. Oh ya… apakah Anda ingin saya belikan sesuatu sebelum pulang?”

Xia menggeleng pelan. “Tidak perlu, sebaiknya kau pergi dan isi perutmu. Kau juga pasti lelah.”

Perawat itu tertawa kecil. “Ya, ya, baiklah, Dokter Xia. Kalau begitu saya pamit.”

Yang Xia hanya mengangguk, menatap kepergian perawat itu hingga suara langkahnya menghilang di lorong.

Ruangan menjadi sunyi, hanya terdengar dengung lembut dari mesin monitor di sudut. Ia meregangkan tubuhnya, menatap kosong pada berkas-berkas di meja.

Sesaat, pikirannya melayang.

Lalu suara itu datang lagi.

“Kau… bisa melihatku?”

Suara lemah itu bergema di benaknya, begitu jelas, seolah berasal dari dekat telinganya.

“Tolong aku…” Yang Xia membeku.

Jantungnya berdetak cepat, dingin menjalar di ujung jarinya.

Mimpi itu lagi.

Ia memejamkan mata, mencoba menenangkan diri, tapi pertanyaannya kembali muncul di kepalanya.

Apa maksudnya?

Apakah dia tahu aku bisa melihatnya?

Xia menggigit bibir bawahnya. “Tidak mungkin,” bisiknya. Tapi keraguan itu tetap ada. Kalau begitu… apa yang sebenarnya terjadi padanya?

BAB 3 - PENGLIHATAN YANG XIA

Tok… tok…

“Masuk,” suara Xia terdengar lembut tapi tegas.

Pintu ruangannya terbuka.

Seorang pria muda dengan jas hitam rapi melangkah masuk, membawa setumpuk berkas di tangannya. Wajahnya tampak cemas namun tetap sopan.

“Bos, Anda terlihat sangat kelelahan,” ujarnya hati-hati.

“Sebaiknya Anda pulang dan beristirahat malam ini.” Xia mengangkat kepalanya perlahan.

Tatapan matanya tajam tapi tetap tenang, seolah menyembunyikan ribuan pikiran di balik senyum tipisnya.

“Sebaiknya kau berikan padaku berkas itu, agar bisa segera kutandatangani.” Asisten itu tersenyum kaku, lalu menyerahkan dokumen tersebut.

Xia membuka halaman pertama, membaca sekilas, lalu menandatanganinya dengan gerakan anggun namun cepat. Begitu selesai, ia meletakkan pena peraknya pelan di atas meja.

“Bagaimana perkembangan saat ini?” tanyanya datar.

“Apakah ada sesuatu yang perlu aku tahu?”

Pria muda itu menarik napas dalam, menunduk sedikit sebelum menjawab,

“Sebaiknya Anda lebih fokus pada perusahaan, Nona Xia. Beberapa… tikus, sudah mulai terlihat sangat rakus.”

Xia mengangkat alis tipisnya, tanpa ekspresi.

“Berikan aku daftar nama mereka,” ucapnya tenang.

“Aku ingin tahu siapa yang berani bermain di dalam wilayahku.”

Suasana ruangan mendadak hening.

Lampu kristal di atas meja kerja berpendar lembut, sementara di luar jendela, bayangan kota Hangzhou berkilau di bawah hujan tipis malam itu. Di balik ketenangannya, Yang Xia bukan hanya seorang dokter.

Ia adalah pemilik Yáng Tiansheng Group dan ketika seseorang mencoba menantangnya, dunia korporat akan segera bergetar.

Asisten itu menunduk sedikit, lalu mengeluarkan satu map berwarna hitam dari tasnya. Ia meletakkannya perlahan di atas meja kaca.

“Ini laporan tambahan, Nona Xia. Kami menemukan seseorang yang tampaknya menyelidiki proyek Hanxi Hospital di Hangzhou... dan juga seseorang bernama Yu Liang.”

Xia menatapnya, pupil matanya sedikit menyempit.

“Yu Liang?” suaranya terdengar datar, tapi ada nada halus yang sulit ditangkap di dalamnya.

Asisten itu mengangguk. “Aktor yang sedang melejit saat ini. Kami tidak tahu kenapa namanya muncul di laporan. Tapi orang-orang yang mengikuti gerakannya… sama dengan yang memata-matai proyek rumah sakit Anda.”

Ruangan mendadak terasa lebih sunyi.

Xia menatap berkas di hadapannya, lalu membuka halaman pertama. Foto seorang pria muda muncul, wajah yang samar-samar dikenalnya. Ia menatap lama, seakan matanya tertahan pada pandangan itu.

Senyum tipis Yu Liang di foto promosi terasa berbeda sekarang, ada sesuatu di sana, kesedihan yang sama seperti yang ia lihat beberapa hari yang lalu.

“Siapa yang memerintahkan penyelidikan ini?” tanya Xia, masih menatap foto itu tanpa berkedip.

“Kami belum tahu pasti. Tapi pola pergerakannya sama seperti jaringan yang dulu menyerang cabang rumah sakit kita di Tokyo,” jawab sang asisten, nada suaranya sedikit tegang.

Xia menutup map itu perlahan.

“Jangan lakukan apa pun dulu. Awasi mereka dari jauh. Aku ingin tahu mengapa nama pria ini terlibat.”

“As you wish, Nona Xia.”

Begitu pintu tertutup, Xia bersandar di kursinya. Tangannya mengusap pelipis pelan. Sekilas bayangan wajah Yu Liang muncul di benaknya, tatapan mata itu, luka di balik senyumnya.

Ia menghela napas panjang.

“Apa yang sebenarnya kau sembunyikan, Yu Liang… dan mengapa seakan kita terhubung?” gumamnya lirih.

Hujan di luar jendela mulai deras.

Xia berdiri dan berjalan ke arah kaca besar di belakang meja kerjanya. Dari sana, ia bisa melihat pantulan dirinya dan untuk sesaat, bayangan lain muncul di refleksi itu: sosok Yu Liang yang memandangnya seolah mereka berdiri di ruangan yang sama.

Xia terdiam.

Jantungnya berdegup pelan tapi pasti.

Cahaya di ruangan bergetar lembut, seperti merespons sesuatu yang tak terlihat.

Ia menutup matanya sejenak. Dan ketika membuka mata, pandangannya bukan lagi di ruang kantor...

melainkan di sebuah set film, di mana Yu Liang sedang duduk di bawah cahaya lampu syuting, menatap kosong ke arah langit-langit.

..

Juni, 2014.

Langit berwarna kelabu, dan jalan-jalan licin oleh pantulan lampu toko yang berkilauan. Di salah satu menara kaca milik Tianluo Entertainment, Yu Liang berdiri di depan lift, menatap pantulan dirinya di pintu logam.

Kemeja putih yang ia kenakan terasa terlalu kaku. Jemarinya menggenggam map berisi dokumen panggilan kontrak.

Ia menelan ludah, ini adalah langkah pertama menuju impiannya, tapi entah mengapa, dadanya terasa berat.

Lift berbunyi pelan.

Saat pintu terbuka, aroma parfum mahal bercampur kopi memenuhi udara. Seorang wanita muda berdiri di dalam, mengenakan seragam hitam dengan logo Tianluo di dadanya.

“Yu Liang? Tuan Han Zhiyan sudah menunggu di lantai dua puluh satu,” katanya ramah, tapi tatapannya datar, seperti wajah yang sudah terlalu sering melihat mimpi orang lain menjadi kenyataan, atau hancur di ruangan yang sama.

Di ruangan luas berhias kaca dan marmer putih, Han Zhiyan sedang menatap layar besar yang menampilkan data statistik artis-artisnya.

Tanpa menoleh, ia berkata pelan,

“Duduk. Aku sudah membaca profilmu.”

Yu Liang menuruti, meletakkan map-nya di meja.

Han Zhiyan menekan sesuatu di tablet, lalu menatapnya lurus-lurus.

“Kau punya potensi alami. Tapi potensi saja tidak cukup. Dunia ini tidak menunggu siapa pun yang ragu-ragu.”

Ia mengambil selembar kertas kontrak, mendorongnya ke arah Yu Liang.

“Kontrak eksklusif lima tahun. Semua urusan promosi, jadwal, dan media di bawah kendaliku. Kau hanya perlu satu hal, menurut.”

Yu Liang menatap tulisan kecil di bagian bawah:

‘Segala bentuk pelanggaran akan dikenai sanksi finansial dan pemutusan hak tampil permanen.’

Ia menelan keras. “Lima tahun… bukankah terlalu lama?”

Han Zhiyan tersenyum kecil. “Jika kau ingin menjadi legenda, kau tak bisa berpikir pendek. Lima tahun ini akan menentukan siapa dirimu. Aku hanya butuh satu tanda tangan.”

Sunyi.

Jam di dinding berdetak pelan, seperti menghitung detik menuju keputusan besar.

Yu Liang menggenggam pena. Ia teringat masa-masa di mana ia hampir menyerah mengejar mimpinya, audisi yang gagal, tatapan orang-orang yang meremehkannya.

Lalu ia menatap Han Zhiyan sosok yang seperti tahu segalanya, sekaligus menyembunyikan sesuatu yang tak bisa dijelaskan.

Goresan pena terdengar di udara.

Tanda tangan itu terukir.

Han Zhiyan menatapnya lama, lalu berkata tenang, “Selamat datang di dunia yang sebenarnya, Yu Liang.”

Ia berdiri, menepuk bahu pria muda itu.

“Kau tidak akan bisa mundur sekarang.”

...

Cahaya putih dari lampu sorot menembus tirai tebal studio. Di tengah panggung kosong, seorang pria berdiri diam, tubuhnya tegak, namun matanya tampak kosong.

Yu Liang, bintang baru yang wajahnya mulai sering muncul di papan reklame, baru saja menyelesaikan sesi pemotretan pertamanya untuk sebuah majalah mode internasional.

“Cut!” Suara fotografer terdengar keras.

“Sempurna! Wajahmu luar biasa ekspresif. Tim, beri dia istirahat sepuluh menit!” Yu Liang hanya mengangguk.

Ia menatap pantulan dirinya di cermin besar di sudut ruangan. Di balik cahaya dan riasan, ia masih melihat seseorang yang asing, seorang anak muda yang berusaha terlihat kuat, padahal di dalamnya ada kekosongan yang belum sempat ia pahami.

Pintu studio terbuka pelan.

Seorang pria melangkah masuk dengan gaya santai namun berwibawa. Setelan abu-abu muda, senyum tipis yang tampak penuh perhitungan.

“Jadi ini... Yu Liang yang semua orang bicarakan,” katanya pelan, suaranya tenang tapi menusuk.

Asisten produksi langsung menunduk, memberi jalan. “Chen Wei, manajer eksekutif Tianluo Entertainment,” perkenalannya singkat.

Yu Liang menoleh perlahan. Ia sudah mendengar nama itu, Chen Wei. Orang yang dikenal bisa mengubah aktor amatir menjadi bintang nasional dalam hitungan bulan. Tapi juga pria yang ditakuti karena caranya yang dingin dan tanpa kompromi.

“Aku dengar kau menolak tawaran debut variety show?” tanya Chen Wei tanpa basa-basi.

Yu Liang diam sejenak. “Aku tidak merasa cocok di acara seperti itu. Aku ingin fokus pada akting.”

Chen Wei menatapnya lama. Ada sedikit senyum yang sulit diartikan. “Fokus pada akting? Dunia ini tak sesederhana itu, Liang. Jika kau ingin bertahan, kau harus mengerti... popularitas datang lebih dulu, bakat menyusul belakangan.”

Ia mendekat, menatap mata Yu Liang dengan intens.

“Dan aku bisa memberimu keduanya, jika kau tahu bagaimana cara bermain di dunia ini.” Yu Liang tidak menjawab.

Namun sesuatu di dalam dirinya bergetar, antara rasa takut dan rasa ingin tahu. Ia tahu pria di depannya bukan sekadar manajer biasa. Ada sesuatu di balik ketenangan Chen Wei, sesuatu yang terasa berbahaya… tapi juga menjanjikan jalan yang selama ini ia cari.

“Besok datang ke kantor pusat Tianluo,” ucap Chen Wei sambil berbalik.

“Kau punya potensi besar, tapi potensimu tidak akan berarti apa-apa tanpa arah yang benar.” Langkah kakinya menghilang di koridor.

Yu Liang menatap ke arah pintu yang baru saja tertutup, hatinya berdebar tak karuan. Ia belum tahu bahwa pertemuan singkat itu akan menjadi awal dari segalanya. Ketenaran, pengkhianatan, dan rahasia gelap yang perlahan akan menghancurkan dunia yang sedang ia bangun.

Kilatan itu lenyap secepat datangnya.

Xia kembali di ruangannya, napasnya tersengal pelan.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!