NovelToon NovelToon

Aku Yang Diabaikan

Bagian Pertama

Sekar Hanum, 26 tahun, mengambil keputusan gegabah 5 tahun lalu. Ia menerima lamaran dan pinangan dari pria yang dikenalnya saat bekerja menjadi pegawai toko cemilan. Sekar menikah dengan Reno ketika pria itu meyakinkan dirinya bahwa akan membahagiakannya.

Keluarga besar ayah kandung Sekar sempat tak menyetujui dirinya menikah dengan Reno karena menurut mereka Reno sepertinya bukan pria yang baik. Tetapi, Sekar berhasil meyakinkan orang-orang yang merawat dan menjaganya sejak kecil bahwa Reno adalah pria yang bertanggung jawab dan menyayanginya.

Perkenalan selama setahun membuat Sekar mantap menerima Reno menjadi suaminya. Kala itu Reno selalu membelikan makanan dan pakaian untuk Sekar sehingga dirinya sangat percaya jika Reno adalah pria tulus.

"Sekar....!!!" teriak Reno memanggil istrinya.

Sekar yang sedang mencuci pakaian berjalan tergopoh-gopoh menghampiri suaminya yang berada di depan televisi.

"Ambilkan sarapan untukku!" perintah Reno.

"Mas Reno 'kan bisa ambil sendiri, aku sudah memasaknya dan meletakkannya di meja," kata Sekar.

"Aku mau kamu yang mengambilnya, aku masih capek!" ucap Reno beralasan karena memang semalam dirinya pulang jam 12 malam.

"Ya sudah, tunggu sebentar!" Sekar kemudian melangkah ke ruang makan mengambil sarapan buat suaminya.

Sekar kemudian kembali ke ruang tengah dengan membawa sepiring nasi dengan lauk telur balado dan segelas air putih.

"Cuma ini saja?" Reno melihat ke arah piring lalu mengarahkan pandangannya kepada Sekar.

"Iya, Mas. Uangnya cuma cukup beli telur, cabe dan bawang merah," jelas Sekar mengenai masakannya hari ini.

"Kemarin sore aku memberikan kamu uang dua puluh ribu, kemana saja uang itu kamu pakai?" tanya Reno dengan nada marah.

"Uangnya buat beli beras dan gula juga, Mas. Jadi, sisanya cuma dapat lauk sarapan pagi ini," jawab Sekar.

"Boros sekali kamu sebagai istri, uang segitu banyak tidak bisa mengaturnya!" kesal Reno sembari menyantap sarapannya.

Menurut Reno uang tersebut sangat besar, tetapi bagi Sekar membuat otaknya terus berputar agar cukup memenuhi kebutuhan rumah tangganya. Di dalam rumah peninggalan ayah mertuanya bukan hanya Sekar, suami dan anaknya saja yang tinggal tetapi ada ibu mertua dan 2 adik iparnya juga.

Setelah melihat suaminya makan, Sekar kembali melanjutkan pekerjaannya mencuci pakaiannya.

Selang 1 jam kemudian, ibu mertua dan 2 adik iparnya Sekar pulang dari luar kota. Ketiganya menghampiri Sekar yang baru saja akan menikmati sarapannya.

"Sekar, buatkan teh hangat!" perintah Lastri, 50 tahun.

"Iya, nanti aku buatkan, Bu!" kata Sekar.

"Pakaian kami sudah dimasukkan ke ember!" ucap Lala, 18 tahun, adik bungsunya Reno.

"Kak Sekar, nanti sore aku mau pergi dengan temanku. Tolong, setrika 'kan pakaian aku yang warna biru!" perintah Lulu, 22 tahun, anak keduanya Lastri.

Sekar mengangguk mengiyakan mendapatkan perintah dari ibu mertuanya dan adik iparnya.

"Reno, ini buat kamu!" Lastri memberikan sebuah kaos dengan nama sebuah kota kepada putranya.

Lastri dan 2 anaknya selama 3 hari pergi ke luar kota dalam rangka acara keluarga. Jadi, selama di sana mereka menyempatkan waktu buat berbelanja oleh-oleh.

"Keripik buat orang tuanya pacar aku mana, Bu?" Lulu membongkar kantong plastik.

"Ada di situ, cari saja!" kata Lastri.

"Buat aku mana, Bu?" tanya Sekar memberanikan diri.

"Ibu lupa membelinya," jawab Lastri seraya membongkar isi tas dan plastik berukuran besar.

"Keripik pedasnya aku mau, Bu!" pinta Sekar ketika melihat Lulu memegang 2 plastik berisi keripik singkong pedas.

"Tidak ada lagi, Kak Sekar. Ibu cuma belinya sedikit!" kata Lulu beralasan.

"Oleh-oleh untuk Arya ada 'kan?" tanya Sekar berharap ada sesuatu yang dihadiahkan buat putra semata wayangnya.

"Sekar, apa kamu tidak tahu kalau uang Ibu sudah habis??" bentak Lastri ketika ditanyain oleh-oleh buat cucunya. "Tidak ada untuk kamu dan Arya, lain waktu saja!" lanjutnya.

"Ya sudah, tidak apa-apa, Bu!" kata Sekar dengan menahan rasa sakit hatinya.

"Lebih baik kamu ke dapur, kerjakan apa yang diperintahkan Ibu!" usir Reno kepada istrinya.

Sekar pun ke dapur, ia memasak air panas dan juga ke kamar mandi untuk merendam pakaian kotor yang dibawa ibu mertua dan iparnya sehabis liburan dengan deterjen.

Sekar membawa 3 gelas teh hangat kepada keluarga suaminya dan menyajikannya dihadapan mereka. Tampak Lastri dan 2 anaknya sedang menyantap nasi uduk dengan lauk ayam goreng.

"Nenek, mau ayam gorengnya!" rengek Arya, bocah 4 tahun, menarik ujung baju yang dikenakan Lastri.

"Sekar, bawa anakmu sana. Mengganggu makan kami saja!" Lastri melepaskan tangan cucunya secara kasar.

"Iya, Kak Sekar. Kami ini sangat lapar, jadi jangan ganggu!" sahut Lala sembari mengunyah makanannya.

"Aku berangkat kerja dulu, Bu!" pamit Reno menyalim tangan ibunya.

Sekar dan putranya juga menyalim tangan Reno.

Reno bekerja sebagai buruh di sebuah pabrik, gajinya 1 bulan memang cukup buat Sekar dan anaknya tetapi Reno hanya memberikan separuhnya itupun buat makan 1 rumah.

Selepas suaminya berangkat kerja, Sekar membawa putranya bermain diluar rumah agar tak mengganggu sarapan mertua dan iparnya.

"Ibu, aku mau makan ayam goreng!" kata Arya dengan wajah sendu.

"Jika Ibu punya uang, nanti Ibu belikan ayam goreng untuk kamu!" ucap Sekar dengan lembut dan tersenyum meskipun hatinya perih anaknya diusir oleh nenek kandungnya sendiri saat sedang menikmati makanan.

"Ibu enggak bohong, 'kan?" tanya Arya tak yakin karena ibunya sering berjanji.

"Kamu bantu Ibu dengan doa, ya!" jawab Sekar agar putranya tak menganggapnya pembohong.

"Iya, Bu!" kata Arya.

"Sekarang kita jalan-jalan saja menikmati matahari pagi!" kata Sekar menggenggam tangan putranya dan berjalan berkeliling jalanan kampung tempat tinggal.

"Ayo, Bu!" ajak Arya semangat.

Sejam kemudian, Sekar kembali ke rumah. Tampak ibu mertuanya dan 2 iparnya sedang menikmati siaran televisi sembari rebahan di karpet.

Sekar memilih tak menyapa ketiganya dan membiarkannya karena semua pekerjaan di rumah ini adalah tugasnya.

Sekar membawa putranya ke dapur, supaya tidak mengganggu waktu santai ibu mertua dan kedua iparnya. Arya diberikan mainan mobil-mobilan biar Sekar melakukan pekerjaannya dengan tenang.

Sekar kembali ke kamar mandi mencuci pakaian Lastri dan 2 putrinya. Lalu kemudian lanjut mencuci piring.

"Assalamualaikum....!!"

Sekar yang telah selesai mencuci piring dan mengajak putranya bermain mengarahkan pandangannya ke arah ruang tamu.

"Waalaikumussalam!" sahut Lastri membalas salam seseorang dari luar rumahnya.

Sekar yang penasaran sosok tamunya lantas berdiri dan berjalan ke arah ruang tamu. Ia melihat seorang wanita yang ditaksir sebaya dengannya tersenyum kepada ibu mertuanya dan 2 iparnya.

"Ayu, apa kabar?" sapa Lastri dengan wajah senang.

"Aku baik. Bagaimana kabar Bibi?" tanya Ayu.

"Kami baik dan sehat," jawab Lastri.

Ayu lalu mengarahkan pandangannya kepada Sekar dan bertanya, "Dia siapa, Bi?"

Bagian Kedua

Sekar tak dapat mendengar jawaban yang diberikan ibu mertuanya karena ia sudah diperintahkan membuat minuman untuk tamu mereka.

Lastri menarik tangan Ayu dan mempersilakan duduk. Ia lalu menjawab pertanyaan wanita itu, "Dia itu istrinya Reno. Tapi, Ibu tidak menyukainya dari dulu."

"Lalu kenapa mereka menikah kalau Bibi tidak menyukainya?" tanya Ayu.

"Reno mencintainya, jadi Ibu tidak dapat menolaknya," jawab Lastri.

Ayu mengangguk mengiyakan.

"Seandainya Reno waktu itu tidak pindah ke luar kota pasti kalian sudah menikah," kata Lastri berharap Ayu adalah menantunya.

Ayu hanya tersenyum tipis mendengarnya.

"Benar, Kak Ayu. Seandainya Kak Reno menikah dengan Kak Ayu pasti Ibu sangat bangga. Apalagi Kak Ayu pekerjaannya sangat bagus," sahut Lulu.

"Semua juga karena dukungan Mas Reno, Lu. Dia memilih pindah ke luar kota agar aku bisa mengambil kesempatan di perusahaan," kata Ayu sebab waktu itu dirinya enggan dipindahkan ke luar kota untuk kenaikan jabatan tetapi Reno mengatakan bahwa dirinya juga akan pindah. Seiring berjalannya waktu, keduanya pun mengakhiri hubungan.

Ditengah obrolan keduanya, Sekar membawa segelas teh hangat bersama Arya yang tak lepas memegang ujung pakaian ibunya.

"Silahkan diminum, Mbak!" ucap Sekar tersenyum.

Ayu melihat penampilan Sekar dari ujung kepala hingga kaki yang tampak kucel dengan daster pudar dan setengah basah.

"Sekar, ngapain di sini. Cepat sana cuci pakaian dan jangan lupa masak buat makan siang!" usir Lastri.

"Pakaian sudah aku cuci," kata Sekar.

"Kalau begitu masak!" kata Lastri.

"Iya, Bu!" Sekar kemudian berlalu dan mengajak putranya.

"Dia melakukan pekerjaan itu semua?" tanya Ayu kepada Lastri.

"Dia itu tidak memiliki penghasilan, daripada dia cuma numpang makan dan tidur lebih baik dia mengerjakan pekerjaan rumah ini," jawab Lastri.

"Oh, begitu." Ayu manggut-manggut paham.

"Tapi, kalau kamu yang menjadi menantu di rumah ini tidak mungkin kami memperlakukan kamu seperti itu!" kata Lastri.

Sekar kembali menghampiri ibu mertuanya yang asyik mengobrol dengan tamunya.

"Ada apa lagi?" tanya Lastri dengan nada dan wajah ketus.

"Bu, cabai merahnya habis. Aku pinjam uangnya boleh?" pinta Sekar.

"Tidak usah pinjam, beli saja sana!" Lastri menyerahkan selembar uang 10 ribu.

Sekar menerimanya dan tersenyum kecil, ia merasa senang karena uangnya yang diterimanya bukan merupakan pinjaman.

"Ganggu saja!" Lastri menggerutu.

Sekar melangkah ke warung sembako dan sayuran, ia membeli 250 gram cabai merah dan setengah kilo beras.

"Sekar, ibu mertua kamu sudah pulang, ya?" tanya seorang ibu-ibu paruh baya berkacamata bernama Lilis.

"Sudah, Bi. Tadi pagi," jawab Sekar.

"Saya mau bertemu dengannya," kata Bu Lilis.

"Silahkan saja, Bi. Tapi, ibu lagi ada tamu," ucap Sekar.

"Oh, jadi tamu yang menumpang parkir mobil dihalaman Bu Doni itu tamunya Bu Lastri," sahut pemilik warung.

"Saya juga tidak tahu dia naik kendaraan apa ke sini," kata Sekar.

"Memangnya siapa tamu kalian?" tanya Bu Lilis penasaran.

"Mbak Ayu," jawab Sekar.

"Saudara kamu, ya?" tebak Bu Lilis.

"Bukan, Bi. Saya juga tidak kenal dengannya," kata Sekar.

"Berarti tamunya Bu Lastri," ucap Bu Lilis.

"Itu orangnya, Bi!" Sekar mengarahkan pandangannya kepada Ayu dan Lastri begitu juga Lala dan Lulu yang baru saja keluar dari rumah mengantarkan Ayu ke depan pagar.

"Itu Ayu mantannya Reno!" sahut Windi, tetangga Reno sekaligus teman semasa kecil pria itu.

"Oh, jadi itu Ayu yang selalu dibilang Bu Lastri!" ceplos Bu Lilis.

"Kenapa dia datang ke rumah kamu?" tanya Windi kepada Sekar.

"Mungkin mau bersilaturahmi," jawab Sekar asal.

"Oh, mungkin saja. Seingat aku, dia kerja di luar kota," kata Windi.

"Dia juga aneh, kenapa harus datang ke rumah Reno. Padahal, Reno 'kan sudah berumah tangga," ujar Bu Lilis.

"Bu, Kak, saya duluan, ya!" Sekar bergegas balik ke rumahnya, ia tak mau berlama-lama mendengar cerita masa lalu suaminya. Meskipun, selama ini Reno tak pernah bercerita.

Begitu sampai rumah, Sekar ke dapur dan mulai memasak buat makan siang.

Setelah kepulangan tamunya, Lastri menemui menantunya yang berada di dapur. "Uang tadi jangan lupa dibayar kalau kamu diberikan Reno uang!"

"Bukannya Ibu bilang enggak usah dibayar?" Sekar mengingatkan ucapan mertuanya.

"Ibu malulah bilang harus bayar. Bagaimana nanti tanggapan Ayu," kata Lastri.

"Aku pikir Ibu tadi benar-benar serius memberikan uang cuma-cuma!" ucap Sekar.

"Rugi dong Ibu beri kamu cuma-cuma. Uang Reno sudah banyak kamu makan!" kata Lastri menuding.

"Astaghfirullah, Bu. Uang Mas Reno buat kebutuhan orang-orang di rumah ini bukan aku nikmati sendiri!" Sekar membantah tuduhan ibu mertuanya.

"Andai saja Ayu jadi menantu di rumah ini, pasti kehidupan kami sedikit lebih baik. Secara dia sekarang penghasilannya sangat tinggi. Bukan seperti kamu yang tidak mempunyai penghasilan!" sindir Lastri.

"Jika aku bekerja di luar, siapa yang akan menjaga Arya? Apa Ibu mau menjaganya?" tanya Sekar.

"Ogah. Ibu jaga anakmu itu. Lebih baik Ibu bekerja, dapat uang dan bisa belanja pakaian!" jawab Lastri.

"Makanya, aku tidak mau bekerja di luar. Pekerjaan rumah aku juga yang akan kerjakan!" Sekar bala menyindir.

"Oh, jadi kamu hitung-hitungan sekarang?" Lastri tampak tak senang.

"Aku mau lanjut memasak, Ibu ke depan saja nonton TV!" kata Sekar tak mau berlama-lama berdebat dengan ibu mertuanya.

Lastri dengan wajah kesal meninggalkan dapur.

Sekar menghela napas panjang, matanya berkaca-kaca. Ia tak sanggup lagi bertahan dengan pernikahannya. Namun, ia bingung harus mengadu kepada siapa. Dirinya cuma sendirian di kota suaminya. Sejak menikah Sekar sudah tinggal di kota ini, tetapi mereka sempat mengontrak rumah selama 2 tahun. Hingga akhirnya, ayah mertuanya wafat dan Reno disuruh balik ke rumah orang tuanya untuk menjaga ibu dan kedua adiknya yang perempuan.

Sejam kemudian, Sekar telah selesai memasak. Ia menyajikan masakannya di meja makan. Ia kemudian melangkah ke kamar bersama Arya. Setelah anggota keluarga suaminya makan siang, barulah dirinya mendapatkan jatah makan.

"Ibu, bibi tadi berikan aku uang!" kata Arya menatap wajah ibunya disampingnya.

"Uang? Mana uangnya?" tanya Sekar.

"Sudah diambil nenek," jawab Arya karena saat Ayu menyodorkan selembar uang 5 ribu ke tangan Arya, Lastri dengan cepat mengambilnya. Wanita paruh baya itu beralasan kalau anak kecil tak boleh pegang uang.

Sekar yang mendengarnya pasrah.Tak mungkin uang di tangan ibu mertuanya dapat diambil lagi.

"Uang pemberian bibi tadi bukan rejeki kamu. Ibu doakan, semoga suatu hari nanti kamu mendapatkan uang lebih dari itu!" kata Sekar menghibur dirinya sendiri dan putranya.

Arya mengangguk mengiyakan.

"Sekarang kamu tidur siang!" kata Sekar dengan lembut.

"Aku lapar, Bu!" Arya memegang perutnya.

"Nenek dan bibi kamu belum makan. Tunggu mereka selesai makan, kamu tidur dulu saja. Nanti Ibu bangunkan!" ucap Sekar dengan senyuman terpaksa padahal perutnya juga sudah lapar.

Bagian ketiga

Malam harinya di kamar tidur, Sekar merebahkan tubuhnya di samping suaminya. Ia kemudian bertanya mengenai sosok Ayu kepada pria itu.

"Dia memang mantan kekasihku," Reno memberikan jawaban.

"Sepertinya dari dulu kalian memang sudah akrab?" sindir Sekar.

"Apa 'sih, kamu? Itu 'kan masa lalu, memang Ayu sangat akrab dengan keluargaku. Jadi, kamu tidak usah cemburu," kata Reno kesal diungkit cerita masa lalunya.

"Ibu dan kedua adikmu membanggakan dia," ucap Sekar.

"Jelas mereka bangga, Ayu yang hidupnya mapan masih ingat dengan keluarga kami," kata Reno yang tak memikirkan perasaan istrinya.

"Apa Mas Reno masih mencintainya?" tanya Sekar.

"Kamu bicara apa, sih?" Reno balik bertanya.

"Aku 'kan cuma tanya saja. Siapa tahu Mas Reno masih menyimpan perasaan kepada Ayu," jawab Sekar.

"Aku juga belum pernah bertemu dengannya lagi," kata Reno.

"Mbak Ayu sangat cantik," ucap Sekar memuji kecantikan mantan kekasih suaminya.

"Aku capek mau tidur!" kata Reno kemudian memejamkan matanya begitu juga dengan istrinya.

Baru saja mata terpejam, terdengar suara ketukan pintu yang memanggil nama Sekar. Wanita itu pun terbangun dan membuka pintu kamarnya.

"Lala dan Lulu lapar. Buatkan mie instan rebus!" titah Lastri.

"Aku sangat ngantuk, Bu!" tolak Sekar karena memang dirinya begitu lelah.

"Jangan banyak alasan, cepat kerjakan!" paksa Lastri.

"Iya, Bu!" kata Sekar malas. Ia pun keluar kamar dengan langkah malas.

"Ini uangnya, Kak!" Lulu yang menghampiri Sekar lantas menyerahkan uang lima ribu.

"Kalian saja yang membelinya, biar aku siapkan air rebusannya!" kata Sekar.

"Sekar, ini sudah larut malam. Jangan suruh mereka ke warung, kamu saja yang membelinya!" ucap Lastri karena jarum jam sudah menunjukkan pukul 10 malam.

"Kalau mereka yang beli, masakannya jadi cepat selesai!" Sekar beralasan.

"Kamu aja yang membelinya!" Lastri tetap memaksa menantunya.

"Baiklah!" kata Sekar dengan terpaksa.

Sekar pun berangkat ke warung yang lebih jauh dari rumah mertuanya dengan berjalan kaki karena warung yang biasa ia belanja sayuran dan sembako sudah tutup.

Sesampainya di warung tujuan, Sekar pun membeli 3 bungkus mie instan sesuai pesanan. Setelah itu, ia kembali ke rumah dengan berjalan kaki.

Ditengah perjalanan, langkahnya terhenti ketika ada seorang pria yang menggunakan sepeda motor mendekatinya. Sekar tampak ketakutan apalagi jalanan sangat sepi.

"Maaf, Mbak. Saya mau menumpang tanya," kata pria yang ditaksir usianya hampir sama dengan Reno.

"Ya, mau tanya apa?" Sekar berkata dengan berusaha menahan rasa ketakutannya.

"Saya mau tanya rumahnya Pak Karman," ucap pria itu yang masih memakai helm.

"Pak Karman yang penjual nasi uduk?" Sekar memastikan bahwa yang dicari adalah tetangganya pedagang makanan.

"Iya, Mbak."

"Mas, lurus saja dari sini terus ketemu perempatan jalan. Tak jauh dari perempatan jalan, di sebelah kiri ada tenda dagangan warna hijau. Di situlah rumahnya Pak Karman," jelas Sekar.

"Kalau begitu, terima kasih, Mbak!" ucap pria itu tersenyum.

"Sama-sama!" Sekar membalasnya dengan senyuman singkat. Ia kemudian berjalan terburu-buru.

Sesampainya di rumah, Sekar bergegas ke dapur memasak pesanan mertua dan iparnya. Selang 10 menit kemudian, ia lalu menghidangkan kepada ketiganya. Perut Sekar mulai terasa lapar lagi, apalagi mencium aroma khas mie instan. Namun, ia tak berani memintanya.

"Jangan tidur dulu, cuci mangkok kami!" kata Lastri sebelum Sekar meninggalkan ruang televisi.

"Besok saja aku cuci piringnya, Bu!" ucap Sekar karena ia tak mungkin menunggu ketiga selesai makan. Mata dan perutnya tak dapat diajak kompromi. Ia sangat mengantuk dan juga lapar tetapi ia memilih tidur.

"Malam ini saja!" kata Lastri.

"Biarkan saja Kak Sekar tidur, Bu. Mangkok bisa dicuci besok pagi!" kata Lulu.

"Ah, ya, sudahlah. Pergilah kamu tidur!" Lastri menggoyang tangan kirinya mengusir menantunya itu.

***

Keesokan harinya, seperti biasanya Sekar lebih awal bangun dari tidurnya daripada penghuni lainnya yang ada di rumah. Ia sudah sibuk di dapur menyiapkan sarapan pagi.

Sebelum memasak Sekar mencuci mangkok dan panci bekas memasak mie rebus. Setelah itu ia menggiling cabe merah dan bawang. Ia akan memasak tempe dan tahu sambal.

Selesai memasak, Sekar menyajikannya di meja makan begitu juga dengan nasi putih. Setelah itu lanjut mencuci pakaian sebelum putranya bangun tidur.

"Sekar!!!" panggil Lastri 1 jam kemudian saat menantunya sedang menjemur pakaian.

Sekar menghampirinya dengan tergopoh-gopoh, "Iya, Bu. Ada apa?"

"Ibu tidak selera makan lauk hari ini. Kamu belikan nasi uduk tempat Pak Karman!" perintah Lastri menyodorkan uang 10 ribu.

"Beli berapa, Bu?" tanya Sekar.

"Dua bungkus saja dengan lauk perkedel kentang dan semur ayam," jawab Lastri.

"Arya enggak dibelikan juga, Bu?" tanya Sekar karena ia juga mau anaknya dapat menikmati sepotong ayam.

"Dia makan pakai tempe goreng saja!" jawab Lastri.

"Ya sudah, Bu!" kata Sekar kemudian berlalu.

Sekar berjalan kaki menuju warung Pak Karman yang berjarak 300 meter. Di sana, ia harus menunggu karena banyaknya pembeli. Warung sarapan Pak Karman termasuk paling ramai di lingkungan tempat tinggal mertuanya.

"Beli apa, Mbak?"

Sekar yang sedang melamun, terperanjat dan menoleh ke arah suara. "Beli nasi uduk!"

"Beli berapa?" tanya pria yang sepertinya baru dilihat Sekar.

Sekar menjawab jumlah pesanannya serta lauk pauknya.

"Tunggu sebentar, ya!" kata pria itu kemudian menghampiri Pak Karman.

Selang 5 menit, pria itu kembali menghampiri Sekar lalu menyodorkan kantong plastik dan menyebutkan total harga belanjaannya.

Sekar menyerahkan uangnya dan mendapatkan kembalian lalu melangkah pergi.

"Tunggu, Mbak!"

Sekar menghentikan langkahnya dan bertanya, "Ada apa, ya?"

"Apa Mbak yang semalam saya temui?"

Sekar mengernyitkan keningnya, ia berusaha mengingat wajah pria yang ada dihadapannya.

"Saya yang bertanya rumahnya Pak Karman."

"Oh," ucap Sekar baru ingat.

"Kita bertemu lagi, ya!" kata pria itu tersenyum.

Sekar membalasnya dengan senyuman tipis dan singkat.

"Rumah Mbak di mana?"

"Hmm, saya buru-buru. Permisi!" kata Sekar dengan langkah cepat meninggalkan tempat. Ia tak mau terjadi salah paham, apalagi dirinya sudah memiliki suami.

"Dia sudah menikah dan punya anak, Ryan!" kata Pak Karman kepada keponakannya yang terus memandangi Sekar dari kejauhan.

"Masa, sih, Paman?" tanya Ryan yang tak yakin.

"Jadi, kamu pikir Paman berbohong," jawab Pak Karman.

"Bukan begitu, Paman. Tapi, dia tak seperti wanita yang sudah menikah," kata Ryan.

"Mungkin karena tubuhnya kurus," ucap Pak Karman asal.

Ryan yang mendengarnya manggut-manggut.

"Jangan ganggu dia, cari wanita lain saja yang belum bersuami!" kata istri Pak Karman menasehati.

"Aku tidak mungkin mengganggu istri orang, kok, Bi!" ucap Ryan.

"Bagus kalau begitu!" kata istri Pak Karman lagi.

Sementara itu, Sekar sudah tiba di rumah. Ia menyerahkan kantong berisi nasi uduk kepada mertuanya sekaligus uang kembalian.

"Kenapa lama sekali?" tanya Lastri protes.

"Ramai yang beli, Bu. Jadi, aku harus ngantri," jawab Sekar.

"Ya sudah sana, lanjutkan pekerjaanmu!" kata Lastri sembari membuka bungkusan makanannya.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!