NovelToon NovelToon

JEDA

1

"Hidupku sempurna. Setidaknya, sampai hari itu datang."

Nathan. 27 tahun, anak tunggal, pewaris tunggal, dan pangeran dari kerajaan bisnis orang tuanya. Setidaknya, begitulah dunia melihatnya. Kenyataannya? Ia lebih sering muncul di pesta-pesta sosialita daripada di ruang rapat perusahaan.

Malam itu, seperti biasa, apartemen mewahnya berubah menjadi tempat pesta. Musik berdentum, minuman beredar, dan tawa berhamburan. Nathan duduk santai di sofa dengan segelas anggur mahal di tangan.

"Bro, liburan ke Eropa minggu depan jadi, kan?" tanya salah satu temannya, Rendy, dengan mata berbinar.

Nathan hanya tertawa kecil. "Lihat nanti, deh. Kalau mood lagi bagus. "

Hidupnya tak pernah sulit. Sejak kecil, ia terbiasa mendapatkan apa pun yang diinginkan. Mobil sport? Tinggal pesan. Jam tangan edisi terbatas? Tinggal telepon. Pekerjaan? Tidak perlu, ayahnya sudah punya segalanya. Ia hanya perlu menikmati hasilnya.

Sebenarnya, kedua orang tua Nathan sudah berulang kali mendorongnya untuk mempelajari bagaimana cara seorang pemilik perusahaan bekerja. Namun, setiap kali topik itu muncul, Nathan selalu punya alasan untuk menghindar. Entah itu alasan sibuk dengan acara sosial, perjalanan liburan yang sudah direncanakan, atau sekedar merasa belum waktunya. Baginya, menghabiskan waktu di ruang rapat jauh lebih membosankan dibandingkan menikmati malam di klub dengan segelas anggur mahal di tangan.

Ia yakin masih punya banyak waktu. Hidupnya sudah nyaman, dan tidak ada alasan untuk terburu-buru mengambil alih tanggung jawab yang tidak diinginkannya. Apalagi menurutnya, usianya masih terlalu muda untuk memimpin sebuah perusahaan.

Namun, di tengah pesta, ponselnya terus bergetar di meja. Ia mengabaikannya. Baru setelah notifikasi bertubi-tubi masuk, ia merasa terganggu dan melirik layar.

[Mas Nathan, tolong segera angkat teleponnya. Ini darurat.]

[Nathan, segera hubungi saya. Ini soal orang tuamu.]

Darahnya langsung berdesir.

Dengan tangan sedikit gemetar, ia menekan tombol panggil balik. Suara di seberang terdengar berat dan serius.

"Ada apa?"

"Mas Nathan... datang ke lokasi yang saya kirim barusan. Tuan dan Nyonya mengalami kecelakaan."

Gelombang panik dan ketidakpercayaan menghantamnya sekaligus. Tidak. Ini pasti salah.

"Apa?! Itu nggak mungkin! Gimana keadannya sekarang?" suaranya meninggi.

Namun, seberapa keras pun ia berteriak, kenyataan tetap sama. Malam yang dimulai dengan tawa berakhir dengan keheningan yang menyesakkan.

Jantungnya berdebar kencang saat ia berlari ke luar apartemen. Mobil yang dikemudikannya melaju tanpa ia pedulikan kecepatan atau lampu merah. Tangannya mencengkeram kemudi dengan erat, napasnya memburu. Semua suara pesta tadi, tawa, musik, percakapan kosong, masih terngiang di kepalanya, tapi kini terasa asing, seolah berasal dari kehidupan yang berbeda.

Saat tiba di rumah sakit, ia berharap semua ini hanya kesalahpahaman. Namun, Begitu masuk ke ruang gawat darurat, pandangannya langsung tertuju pada dua tubuh yang tertutup kain putih di atas ranjang dorong. Kakinya terasa lemas. Tidak, ini pasti mimpi.

"Mas Nathan…" suara seorang wanita terdengar pelan, seolah takut menyampaikan kenyataan yang menyakitkan. "Dokter sudah melakukan yang terbaik, tapi—"

"Nggak." Nathan menggeleng keras. "Pasti ada yang bisa dilakukan. Mereka bisa diselamatkan, kan?"

Tidak ada jawaban. Hanya tatapan penuh simpati dari dokter dan perawat di sekitarnya. Wanita yang merangkul bahu Nathan pun hanya bisa terdiam. Ia adalah Rini, wanita yang bekerja sebagai asisten sang ayah.

Nathan merasakan napasnya memburu, dadanya terasa seperti dihantam palu godam. Ia melangkah mendekat, tangannya gemetar saat menarik kain putih itu. Wajah ayah dan ibunya tampak damai, seolah hanya tidur.

Tapi mereka tidak akan bangun lagi.

Pikirannya kosong. Hatinya berteriak, tapi tidak ada suara yang keluar. Ia ingin menangis, ingin marah, ingin menyangkal kenyataan ini, tapi tubuhnya membeku.

Seseorang menepuk pundaknya dengan lembut. Pak Jatmiko. "Mas Nathan, saya turut berduka cita."

Nathan menelan ludah, mencoba meredam emosi yang bergulung-gulung di dalam dirinya. Tubuhnya terasa dingin, seolah seluruh dunia tiba-tiba kehilangan warna.

Satu jam berlalu tanpa ia sadari. Ia duduk di kursi tunggu rumah sakit, menatap kosong ke lantai. Notifikasi di ponselnya terus berdenting, ucapan belasungkawa dari orang-orang yang selama ini hanya mengenalnya sebagai pewaris kaya yang gemar berpesta.

Untuk pertama kalinya dalam hidupnya, Nathan benar-benar sendirian.

***

Tiga Hari Kemudian

Nathan duduk diam di dalam kantor pengacara keluarga. Ruangan itu luas, dindingnya dipenuhi rak buku tebal, tetapi pikirannya terlalu kacau untuk memerhatikan. Ia menatap kosong ke depan, tapi yang dilihatnya hanyalah bayangan tiga hari terakhir, tiga hari paling panjang dalam hidupnya.

Sejak kecelakaan itu, ia merasa seperti berjalan dalam kabut tebal. Rumahnya yang dulu terasa hidup kini sunyi, hanya dipenuhi suara langkahnya sendiri yang menggema di lantai marmer. Tak ada lagi suara ayahnya yang membicarakan bisnis, tak ada lagi ibunya yang mengingatkan untuk makan dengan benar. Setiap sudut rumah mengingatkannya pada mereka, tapi tak ada yang bisa mengembalikan mereka.

Ia bahkan tidak ingat kapan terakhir kali tidur nyenyak. Setiap kali menutup mata, bayangan tubuh orang tuanya yang tak bernyawa di rumah sakit kembali menghantamnya. Makanan yang disajikan di meja pun hanya disentuh sekedarnya, lebih karena paksaan daripada keinginan.

Ponselnya penuh dengan pesan dan panggilan yang belum dibuka. Belasungkawa dari teman, kenalan bisnis ayahnya, bahkan orang-orang yang hanya sekedar ingin terlihat peduli. Tapi ia tak punya energi untuk membalas. Dunia terasa berjalan terlalu cepat, sementara ia sendiri masih terjebak dalam kenyataan yang tak bisa ia terima.

Hingga kini, duduk di ruangan ini, ia masih berharap ini semua hanya mimpi buruk yang akan segera berakhir. Namun, pengacara keluarga yang duduk di seberangnya menatapnya dengan serius, siap membuka dokumen yang akan mengubah hidupnya selamanya.

Pak Jatmiko, pria paruh baya yang sudah bertahun-tahun menangani urusan hukum keluarganya menarik napas pelan sebelum membuka map di tangannya. Ekspresinya serius, seolah menyadari bahwa apa yang akan ia sampaikan bukanlah sesuatu yang mudah diterima.

"Mas Nathan, berdasarkan wasiat, seluruh aset dan perusahaan sekarang berada di bawah kendalimu."

Kata-kata itu seperti palu godam di kepalanya. "Tunggu… saya?"

"Benar. Mas Nathan adalah pewaris tunggal. Perusahaan ini sekarang milikmu."

Nathan merasa kepalanya berdenyut. Ini pasti mimpi buruk.

"Ada opsi lain?" tanyanya, berharap ada jalan keluar.

Pak Jatmiko menghela napas. "Tentu. Mas Nathan bisa menjual saham atau menyerahkan kendali pada pihak lain. Tapi, jika tidak diurus dengan baik, ada kemungkinan besar perusahaan akan jatuh ke tangan investor asing. Atau lebih buruk… bangkrut."

Bangkrut. Kata itu membuatnya bergidik.

Nathan menelan ludah. Ini bukan sekedar kehilangan uang, ini tentang warisan keluarganya, sesuatu yang dibangun orang tuanya dengan susah payah. Sesuatu yang meski tidak pernah ia pedulikan sebelumnya, tetap berarti.

Ia mengusap wajahnya dengan frustrasi. "Saya tidak tahu cara menjalankan perusahaan."

"Itu bisa dipelajari," kata Pak Jatmiko. "Mas Nathan hanya perlu… berusaha."

Nathan ingin tertawa miris. Berusaha? Seumur hidupnya, ia tak pernah perlu berusaha untuk apa pun. Semuanya bisa ia dapatkan tanpa usaha, bahkan wanita.

Namun, ketika ia memikirkan apa yang akan terjadi jika ia menyerah, perusahaan hancur, ribuan karyawan kehilangan pekerjaan, nama keluarganya lenyap, sesuatu dalam dirinya menolak mundur. Ini adalah pertama kalinya Nathan memikirkan orang lain selain dirinya sendiri.

Ia menarik napas panjang. "Baiklah. Saya akan mencoba."

2

Nathan menatap gedung pencakar langit di depannya. Markas besar Wijaya Group. Dulu, tempat ini hanya latar belakang foto Instagram atau tempat mampir sekedar menyapa ayahnya sebentar. Tapi hari ini? Hari ini ia harus masuk sebagai pemiliknya.

Langkahnya terasa berat saat memasuki lobi. Begitu ia muncul, beberapa karyawan meliriknya dengan ekspresi sulit ditebak. Wajar. Semua orang tahu siapa dirinya. Nathan Wijaya, anak bos yang lebih dikenal sebagai pria begajulan daripada calon pemimpin perusahaan.

Hari ini, untuk pertama kalinya dalam hidupnya, ia mengenakan jas formal yang bukan sekedar gaya. Setelan hitam Armani melekat sempurna di tubuhnya, dasinya terikat rapi, dan rambutnya yang biasanya acak-acakan kini tertata dengan serius. Tidak ada lagi ripped jeans atau jaket kulit mahal, penampilannya hari ini jauh dari image pria bebas yang dulu keluar masuk klub dengan kemeja setengah terbuka.

Namun, meskipun pakaiannya berubah, rasa canggung tetap ada. Setiap langkah terasa seperti beban, seolah sepatu kulit mengkilap yang dikenakannya terlalu berat untuk dipakai berjalan. Ia bukan pria yang terbiasa memakai seragam tanggung jawab ini.

Di sekelilingnya, beberapa karyawan berbisik pelan. Ada yang hanya melirik sekilas sebelum kembali sibuk dengan layar komputer, tapi ada juga yang terang-terangan mengamatinya, seolah menunggu kesalahan pertamanya.

Lalu, di antara hiruk-pikuk kantor yang terasa asing baginya, seorang wanita dengan setelan rapi berjalan mendekat. Dengan langkah percaya diri, ia berhenti tepat di depan Nathan dan mengulurkan tangan.

"Tuan Nathan, saya Alea, asisten pribadi Anda."

Nathan mengerutkan kening. "Asisten pribadi?"

"Benar. Saya ditugaskan untuk membantu Anda beradaptasi."

Nathan memperhatikan wanita itu lebih saksama. Usianya mungkin awal 30-an, lebih tua darinya beberapa tahun. Rambutnya disanggul rapi, setelan kerjanya elegan tanpa cela, dan sikapnya menunjukkan bahwa ia terbiasa menangani masalah tanpa panik.

"Apa sebelumnya kamu juga asisten pribadi ayahku?" tanyanya.

"Tidak," Alea menggeleng. "Saya adalah sekretaris di perusahaan ini."

"Jadi kenapa sekarang jadi asisten pribadiku?"

Alea tersenyum tipis, senyum yang mengandung kesabaran tingkat tinggi. "Karena dewan direksi menganggap Anda butuh seseorang untuk memastikan perusahaan ini tidak hancur dalam waktu seminggu."

Nathan terdiam. Entah harus merasa tersinggung atau berterima kasih. Ia melirik Alea yang tetap tenang, seolah sudah mengantisipasi reaksi itu.

Nathan mendesah. "Baiklah, ayo mulai. Tunjukkan ruang kerjaku."

Alea mengangguk dan memandu Nathan ke lantai atas. Begitu pintu terbuka, ruang kerja CEO menyambutnya dengan kemewahan yang tak terbantahkan. Meja besar dari kayu mahal, kursi kulit ergonomis, rak penuh buku bisnis yang sepertinya belum pernah ia sentuh, serta jendela besar yang memperlihatkan panorama kota.

Kesan pertama? Mengesankan. Hingga matanya jatuh pada sesuatu yang membuat perutnya menciut.

Tumpukan dokumen. Setinggi lutut. Menumpuk dengan angkuhnya di atas meja.

Nathan mengerutkan kening. "Apa ini?" tanyanya, setengah berharap itu hanya properti dekorasi belaka.

Alea melirik sekilas, nadanya tetap tenang. "Laporan keuangan, proposal, kontrak... hal-hal yang harus Anda pelajari."

Nathan menatap kertas-kertas itu seperti melihat monster berkepala tiga. "Aku pikir jadi CEO cuma tinggal tanda tangan dan senyum di depan kamera."

Alea tersenyum tipis, ada sedikit rasa kasihan dalam tatapannya. "Tentu, kalau Anda mau perusahaan ini bangkrut dalam seminggu."

Nathan merasakan dadanya sesak. Selamat datang di dunia nyata.

Nathan mendengus, melipat tangan di dada. "Kenapa dari tadi bahas bangkrut dalam seminggu? Ngeremehin banget."

Alea mengangkat alisnya, sama sekali tidak terintimidasi. "Saya hanya realistis, Tuan Nathan. Anda baru pertama kali masuk ke sini sebagai pemimpin, tanpa pengalaman bisnis, tanpa latar belakang manajerial, dan-" ia melirik Nathan dari ujung kepala sampai ujung kaki, "Sejujurnya, dari cara Anda berdiri saja, saya bisa tahu kalau Anda lebih nyaman di klub malam daripada di ruang rapat."

Nathan menatapnya dengan tidak percaya. "Aku rasa kamu lebih cocok jadi pengkritik fashion daripada asisten pribadi."

Alea hanya tersenyum kecil. "Kalau saya jadi pengkritik fashion, Anda pasti orang pertama yang saya komentari."

Nathan mendesah keras, lalu menyeringai tipis. "Ya udah, aku ganti asisten aja."

Alea tersenyum tipis, sama sekali tak terpengaruh. "Tidak bisa."

Nathan mengerutkan kening. "Kenapa nggak bisa?"

Alea menatapnya dengan sabar. "Karena dewan direksi yang menunjuk saya... dan mereka bilang ini permintaan langsung dari ayah Anda jauh sebelum kecelakaan." Ia memberi jeda sejenak sebelum melanjutkan, suaranya sedikit lebih pelan. "Beliau sudah merencanakan ini sejak lama. Seharusnya, Anda mulai lebih cepat... hanya saja, takdir berkata lain."

"Bagaimana? Siap belajar sekarang? Ah maaf, maksud saya. Mari kita belajar sekarang, siap tidak siap Anda harus siap."

Nathan mengembuskan napas panjang, lalu menjatuhkan diri ke kursi empuk di balik meja. "Ya udah, ayo mulai."

Alea mengangguk, mengambil setumpuk dokumen, dan menyusunnya rapi di depan Nathan. "Kita mulai dari laporan keuangan bulan lalu."

Nathan menatap angka-angka di kertas itu, dahinya langsung berkerut. Angka di sini, angka di sana, tabel panjang berisi istilah yang bahkan tidak pernah ia dengar sebelumnya. Matanya menyipit membaca angka-angka yang seolah menari di atas kertas. Kepalanya mulai berat, dan kalau ini ujian sekolah, ia mungkin sudah menyerah dan membuka contekan di bawah meja.

Alea, yang memperhatikan ekspresinya, menyandarkan diri ke kursi dengan tenang. "Anda sudah membaca apa saja?"

Nathan menggosok pelipisnya. "Aku udah sampai halaman dua."

Alea melirik dokumen di tangan Nathan, lalu mengangkat alis. "Itu baru kata pengantar."

Nathan terdiam, lalu menyandarkan kepala ke kursi dengan putus asa. "Aku bakal mati sebelum seminggu, bukan perusahaan yang bangkrut."

Alea menahan senyum, tapi sorot matanya tetap profesional. "Kalau begitu, sebaiknya kita percepat belajarnya, supaya Anda mati dalam keadaan paham."

"Kamu mau aku pecat?"

Alea tetap tenang, bahkan sempat melirik jam tangannya sebelum kembali menatap Nathan. "Silakan saja, Tuan Nathan. Tapi sebelum itu, Anda harus mencari pengganti saya."

Nathan menyipitkan mata. "Mudah."

Alea tersenyum tipis. "Benarkah? Karena dewan direksi sudah memperingatkan bahwa saya satu-satunya asisten yang mereka percayai untuk menangani Anda."

Nathan menghela napas panjang, menyandarkan kepala ke kursi. "Kenapa semua orang di sini seakan sedang menjebakku?"

Alea hanya tersenyum ramah, seolah tak terganggu sedikit pun. "Mari kita kembali ke pelajaran. Kalau Anda masih ingin jadi CEO lebih dari seminggu, saya sarankan untuk mulai memahami laporan ini."

Nathan mengerang pelan, meraih dokumen itu dengan enggan. "Baiklah, baiklah."

Nathan kembali mempelajari dokumen di depannya, mencoba memahami angka-angka yang terasa seperti bahasa alien. Matanya menelusuri baris demi baris, tapi semakin lama ia membaca, semakin kabur tulisan itu di kepalanya.

Lima menit berlalu.

Sepuluh menit.

Nathan mengusap wajahnya dengan frustasi. "Alea."

"Ya, Tuan Nathan?"

"Kalau saya baca ini lebih lama lagi, kemungkinan besar saya bakal mimisan. Saya hanya paham perusahaan ini menghasilkan uang."

Alea menahan napas dalam-dalam, mencoba tetap tenang. Ini baru hari pertama, ia harus sabar. Harus sabar. Satu... dua... tiga... Oke. Profesional. Ia tidak akan melempar dokumen ke kepala bos barunya.

Dengan senyum yang terlalu manis untuk dianggap tulus, Alea menjawab, "Benar, Tuan Nathan. Perusahaan menghasilkan uang. Sama seperti restoran menjual makanan, atau gym menyediakan tempat olahraga. Bedanya, perusahaan ini bergerak di berbagai sektor, dan kalau Anda tidak paham bagaimana cara uang itu bergerak, dalam sebulan kita bisa berakhir jualan gorengan di pinggir jalan."

Nathan berkedip, menatapnya dengan ekspresi setengah terkejut, setengah bingung. "Aku tidak tahu apakah itu ancaman atau motivasi."

Alea masih tersenyum. "Anggap saja peringatan halus."

Nathan menghela napas, lalu menatap dokumen itu lagi dengan pasrah. "Baiklah, mari kita mulai dari awal."

Alea menutup matanya lagi, kali ini lebih lama. Sabar, Alea. Sabar.

3

Nathan menatap kembali berkas di depannya, berusaha memaksa dirinya fokus. Jika tidak, perusahaan yang dibangun ayahnya mungkin benar-benar akan bangkrut dalam waktu seminggu, seperti yang dikatakan Alea. Ada sedikit penyesalan dalam hatinya. Seharusnya ia sudah mulai belajar sejak dulu, bukan sekarang, ketika situasi memaksanya.

Di usianya yang sudah 27 tahun, teman-temannya sudah mapan, membangun bisnis sendiri, atau setidaknya memiliki karier yang jelas. Sementara dirinya? Ia baru mulai memahami bagaimana cara bekerja, bagaimana membaca angka-angka yang terasa seperti hieroglif di depannya. Selama ini, ia terlalu nyaman dengan kemewahan tanpa perlu memikirkan bagaimana uang itu dihasilkan.

Alea memperhatikannya dari seberang meja, lalu berkata, "Kalau Anda terus menatap angka itu tanpa membaca, mereka tidak akan berubah menjadi lebih mudah dipahami."

Nathan mendesah. "Aku mencoba."

"Bagus. Sekarang coba jelaskan dari laporan yang Anda baca, bagaimana kondisi perusahaan bulan lalu?"

Nathan mengerutkan kening, melirik laporan keuangan di depannya. Ia membaca beberapa baris dengan saksama sebelum menjawab, "Pendapatan naik... eh, tapi di sini ada angka negatif... oh, pengeluaran juga naik..."

Alea menghela napas. "Jadi?"

"Jadi... perusahaan masih untung?" jawab Nathan dengan nada ragu.

Alea menggeleng, ekspresinya tetap tenang. "Coba lihat lebih dalam. Bandingkan dengan bulan sebelumnya."

Nathan membuka halaman lain, menelusuri angka-angka yang terasa asing. "Oh... jadi bulan sebelumnya untungnya lebih besar?"

"Tepat." Alea menautkan jemarinya di atas meja. "Itu artinya ada yang harus diperbaiki. Sekarang coba cari tahu kenapa keuntungan kita menurun bulan ini."

Nathan kembali membaca. Matanya bergerak dari satu kolom ke kolom lain, mencoba mencari pola. Ia mulai menemukan beberapa catatan di bawah laporan. Kenaikan biaya produksi, penurunan penjualan di salah satu divisi, serta peningkatan biaya pemasaran.

"Sepertinya biaya produksi naik," katanya akhirnya.

"Betul," Alea mengangguk. "Dan itu karena?"

Nathan membaca catatan tambahan. "Harga bahan baku naik?"

Alea tersenyum tipis. "Ya. Dan kalau harga bahan baku naik, apa yang bisa kita lakukan?"

Nathan berpikir. "Cari bahan baku lain yang lebih murah?"

"Pilihan, tapi harus hati-hati. Jangan sampai kualitas turun drastis," jelas Alea. "Apa lagi?"

"Kita bisa menaikkan harga jual?"

"Bisa, tapi itu juga berisiko. Pelanggan bisa lari ke kompetitor jika harga kita terlalu mahal."

Nathan mulai mengerti. "Jadi kita harus mencari keseimbangan? Antara biaya produksi, harga jual, dan kualitas produk?"

"Persis." Alea menyandarkan diri ke kursi. "Dan itu baru satu aspek kecil dari pekerjaan Anda sebagai CEO. Masih banyak yang harus Anda pelajari."

"Aku tidak yakin bisa cepat menguasai semua pekerjaan Ayah."

Alea menatap Nathan tanpa ekspresi berlebihan, tetapi nada suaranya tetap tegas. "Tidak ada yang meminta Anda untuk menguasai semuanya dalam sehari, Tuan. Semua butuh proses. Orang-orang di perusahaan ini akan memahami bahwa Anda memerlukan waktu untuk beradaptasi dan belajar. Kami tahu kehidupan Anda sebelum hari ini berbeda jauh dari dunia bisnis, jadi wajar jika Anda merasa terbebani. Yang paling penting sekarang adalah bagaimana Anda berusaha sungguh-sungguh untuk memimpin perusahaan ini dengan baik, seperti pemimpin sebelumnya. Yang Anda butuhkan saat ini adalah belajar, bukan mengeluh atau merasa tidak percaya diri."

Nathan menghela napas panjang. Ia tahu Alea benar, tapi kata-katanya tetap menohok. Tidak percaya diri? Ia bahkan tidak tahu apakah dirinya benar-benar ingin berada di posisi ini. Tapi pilihan apa yang ia miliki?

"Jangan mengalihkan waktu untuk ngobrol, Tuan. Tolong fokuslah dengan apa yang seharusnya Anda pelajari. Semakin Anda cepat belajar, semakin cepat pula Anda memahami."

Nathan meremas pelipisnya, mencoba meredam frustrasi yang mulai merayap. Ia tahu Alea benar, tapi itu tidak membuat segalanya jadi lebih mudah. Bagaimana mungkin ia bisa fokus jika setiap angka di depannya terasa seperti teka-teki yang tidak masuk akal?

Namun, ia tidak punya pilihan. Perusahaan ini bergantung padanya. Ia bisa saja menyerah, tapi bayangan ayahnya, sosok yang selalu tegas dan penuh wibawa dalam memimpin membuatnya merasa bertanggung jawab.

Dengan helaan napas berat, Nathan menegakkan punggungnya dan kembali menatap laporan di depannya. "Oke, aku akan mencoba lebih serius," katanya akhirnya.

Alea mengangguk, matanya masih mengawasi. "Bagus. Supaya lebih cepat, biarkan saya memberikan penjelasan seringkas-seringkasnya."

Alea mulai menjelaskan pelajaran pertama hari ini dengan nada tegas dan tanpa basa-basi. Ia memaparkan secara ringkas dasar-dasar laporan keuangan, menjelaskan bagaimana membaca laporan laba rugi, memahami arus kas, dan mengidentifikasi pengeluaran yang tidak efisien.

Nathan mencoba mengikuti, meskipun setiap angka yang disebutkan Alea terasa seperti kode rahasia yang sulit dipecahkan. Ia mencatat beberapa poin penting, tetapi kepalanya mulai terasa penuh hanya dalam beberapa menit pertama.

Tanpa membuang waktu, Alea beralih ke strategi pemasaran. Ia menjelaskan pentingnya segmentasi pasar, bagaimana menentukan target konsumen, serta cara menganalisis tren industri. Ia juga menyinggung strategi promosi yang sedang berjalan dan mengapa beberapa di antaranya tidak memberikan hasil yang maksimal. Nathan mendengarkan, meskipun pikirannya masih sibuk mencerna materi sebelumnya.

Materi terus berlanjut ke struktur organisasi perusahaan. Alea menunjukkan bagan manajemen, menjelaskan tanggung jawab setiap divisi, serta bagaimana komunikasi internal seharusnya berjalan. Nathan baru menyadari betapa kompleksnya sistem yang selama ini berjalan di bawah kepemimpinan ayahnya. Ia juga menyadari bahwa selama ini ia nyaris tidak mengenal siapa pun di perusahaan selain beberapa orang di lingkaran terdekat ayahnya.

"Tunggu Alea, kamu menjelaskan semuanya padaku. Ada bagian yang mengurusnya, kan?" Nathan akhirnya menyela, mengernyitkan dahi.

Alea menatapnya datar. "Tentu saja ada. Tapi sebagai pemimpin, Anda harus mengerti bagaimana semuanya bekerja. Anda tidak bisa hanya mengandalkan orang lain tanpa memahami dasar-dasarnya."

Nathan menghembuskan napas panjang, menyandarkan punggung ke kursi. "Tapi aku bukan ayahku. Dia punya naluri bisnis sejak lahir. Aku? Aku bahkan butuh waktu lama hanya untuk memahami laporan keuangan."

"Justru karena itu Anda harus belajar lebih keras," Alea membalas tanpa ragu. "Jangan berharap bisa langsung paham dalam sehari. Ini bukan sekedar hafalan, Tuan Nathan. Anda harus mengerti pola, sebab-akibat, dan cara mengambil keputusan dari semua informasi ini."

Beberapa hari berlalu dengan ritme yang sama. Belajar, bertanya, berdebat. Ada saat di mana Nathan benar-benar ingin menyerah, membanting pena, dan pergi. Namun, setiap kali bayangan ayahnya muncul di benaknya, ia bertahan.

Di hari 25, kesabaran Alea hampir habis. "Tuan! Berapa kali saya harus menjelaskan kalau laporan keuangan itu bukan hanya tentang melihat angka di kolom terakhir?" suaranya meninggi, membuat Nathan mendengus kesal.

"Aku sudah berusaha!" Ia membalas dengan nada frustasi. "Kamu pikir aku menikmati ini? Aku tidak pernah peduli soal bisnis, dan sekarang tiba-tiba aku harus memahami semuanya dalam hitungan hari?"

Alea menghela napas, menekan emosinya. "Baik. Kalau begitu, kita berhenti di sini. Jika Anda mau jadi pemimpin tanpa memahami apa yang sedang Anda pimpin, silakan. Saya tidak akan buang-buang waktu lagi."

Nathan terdiam. Ini pertama kalinya Alea benar-benar terlihat ingin menyerah padanya. Ia menatapnya lama sebelum akhirnya berkata, lebih pelan kali ini, "Aku tidak mau gagal."

Alea mendengar ketulusan di balik kata-kata itu. Ia menatap Nathan sejenak, lalu meraih pena dan kembali ke pekerjaannya. "Kalau begitu, fokus. Saya tahu, Anda secerdas orang tua Anda."

Hari-hari berikutnya, sesuatu mulai berubah. Nathan masih kesulitan, masih sering mengeluh, tapi kini ia lebih berusaha. Ia mulai mengajukan pertanyaan sebelum Alea sempat menyudahi penjelasannya. Ia mulai bisa menebak pola di laporan keuangan dan laporan-laproan lainnya. Ia mulai melihat bahwa bisnis bukan hanya soal angka, tetapi juga tentang strategi dan keputusan yang tepat.

Ketika Alea akhirnya melontarkan pertanyaan hari ini, Nathan menegakkan punggungnya. Ia tahu jawabannya. Untuk pertama kalinya, ia tidak hanya menebak, ia benar-benar mengerti.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!