Perkenalan..
—————————
Tingkatan Ranah Kultivasi Dunia Shen Hao
(Setiap ranah dibagi jadi empat tingkat: Awal – Menengah – Akhir – Puncak
Qi Refining (Pemurnian Qi)
Foundation Establishment (Pembentukan Pondasi)
Golden Core (Inti Emas)
Nascent Soul (Jiwa Bayi)
Divine Transformation (Transformasi Ilahi)
Body Integration (Penyatuan Tubuh & Jiwa)
Dao Fusion (Penyatuan Dao)
Mahayana (Pencerahan Agung)
Tribulation (Ujian Langit)
True Immortal (Abadi Sejati)
Heavenly Immortal (Abadi Surgawi)
Mysterious Immortal (Abadi Misterius)
Immortal King (Raja Abadi)
Heavenly Demon (Iblis Surgawi)
Immortal Emperor (Kaisar Abadi)
Immortal Lord / Venerable (Penguasa Abadi)
Supreme Immortal (Abadi Tertinggi)
Heavenly Emperor (Kaisar Surgawi)
Heavenly Ancestor (Leluhur Surgawi)
21 Saint (Suci Agung)
True God (Dewa Sejati)
—————————
Sudah dua tahun sejak aku terlempar ke dunia ini.
Sebuah dunia yang rasanya lebih mirip mimpi buruk daripada kenyataan.
Dulu, aku hidup di tempat yang modern — listrik, kendaraan, gedung tinggi, segala hal yang membuat hidup terasa “nyata.” Tapi di sini... segalanya berbeda. Terlalu berbeda.
Langitnya sering tampak kelabu meski tanpa awan. Hutan tempat aku tinggal seakan tak pernah benar-benar tidur; selalu ada suara—dari serangga, burung, atau kadang... sesuatu yang tak seharusnya ada.
Aku menempati sebuah rumah kecil di tengah hutan. Bukan karena aku ingin hidup menyendiri, tapi karena tak ada tempat lain yang bisa disebut “aman.”
Setiap hari aku harus berburu—kelinci, burung, atau hewan kecil lain yang bisa kumakan. Kadang aku merasa beruntung jika bisa kembali sebelum matahari turun. Kadang, tidak.
Monster... mereka berkeliaran di sini seperti anjing liar di kota dulu. Tubuh mereka seringkali aneh—mutasi dari binatang yang mungkin dulu pernah kukenal.
Aku sudah beberapa kali dikejar, bahkan beberapa kali hampir mati. Tapi entah bagaimana, aku selalu berhasil lolos.
Mungkin hanya karena keberuntungan.
Atau mungkin dunia ini masih belum selesai bermain denganku.
Sudah dua tahun sejak aku membuka mataku di dunia ini—Tianxu Realm, begitu orang-orang menyebutnya.
Dua tahun… rasanya cepat sekaligus lambat. Cepat, karena setiap hari diisi dengan hal-hal yang tak pernah kupahami sebelumnya; lambat, karena di balik semua itu, ada perasaan asing yang tak kunjung hilang dari dadaku.
Namaku Shen Hao. Setidaknya, begitulah aku memanggil diriku sekarang. Nama yang kuberi sendiri, karena nama asliku... entah masih punya arti atau tidak di dunia yang bahkan tak mengenal listrik, mobil, atau internet. Dunia tempat sihir bukanlah dongeng, dan kekuatan spiritual adalah dasar dari segalanya.
Aku masih ingat hari pertama aku tiba di sini. Langitnya berwarna ungu senja, tapi mataharinya—atau apa pun yang memancarkan cahaya itu—terasa terlalu besar di cakrawala. Udara yang kuhirup membawa aroma tanah dan kabut spiritual yang asing, seolah setiap napas bisa menumbuhkan sesuatu di dalam diriku.
Namun tak ada yang lebih aneh dari kenyataan bahwa aku hidup.
Tak ada petunjuk bagaimana aku sampai ke sini. Tak ada cahaya yang menelan tubuhku, tak ada kecelakaan, tak ada mimpi aneh sebelum aku terbangun. Aku hanya... berpindah. Dari dunia yang modern, dingin, penuh kesibukan dan cahaya buatan—ke dunia yang sunyi namun hidup, liar namun murni.
Dua tahun telah berlalu, dan kini aku tinggal di sebuah desa kecil di lembah barat Wilayah Qinghe. Desa itu bernama Muqing, tempat para petani, pemburu, dan perajin hidup sederhana di bawah bayang-bayang pegunungan Tianxu yang menjulang. Aku membantu seorang tabib tua bernama Tuan Bao, orang pertama yang menolongku ketika aku ditemukan tak sadarkan diri di tepi sungai.
Awalnya, aku tidak mengerti bahasa mereka. Tapi entah bagaimana, dalam waktu beberapa minggu, aku mulai memahami arti kata demi kata. Seolah ada sesuatu di dalam pikiranku yang menyesuaikan diri. Mungkin karena dunia ini memiliki semacam energi spiritual yang juga mengubah manusia di dalamnya.
Kini, setiap pagi aku membuka pintu rumah kayu kecilku, menghirup udara segar yang membawa embun dan aroma dedaunan, lalu menatap kabut yang menari di kaki gunung. Kadang aku berpikir, mungkin aku bisa terbiasa hidup di sini. Tapi di malam hari—saat semua hening dan hanya suara serangga yang menemani—aku masih teringat wajah-wajah dari dunia lamaku.
Teman. Keluarga. Cahaya lampu kota. Suara mesin yang berderu di jalan raya.
Semuanya terasa seperti mimpi yang perlahan memudar.
Orang-orang di desa sering bercerita tentang “jalan menuju kekekalan”, tentang para kultivator yang bisa menembus langit, menguasai unsur alam, bahkan menentang takdir. Bagiku, itu masih seperti legenda... tapi mungkin di sinilah letak keajaiban dunia ini: bahkan hal yang mustahil pun bisa menjadi nyata.
Dan mungkin, suatu hari nanti... aku akan menemukan alasan mengapa aku dibawa ke sini.
Untuk sekarang, aku hanya Shen Hao—seorang pendatang tanpa masa lalu, yang berusaha hidup di dunia yang menolak logika dunia lamanya.
Kalau dipikir lagi, mungkin takdirku memang bercanda.
Aku mati dengan cara yang… terlalu klise. Ya, tertabrak truk.
Aku masih ingat momen itu. Malam itu hujan, jalanan licin, dan aku menunduk sambil menatap layar ponsel. Sebuah lampu besar tiba-tiba muncul dari sisi kanan jalan, diikuti suara klakson panjang yang memekakkan telinga. Refleks tubuhku terlambat—dan semuanya gelap begitu saja.
Tidak ada rasa sakit.
Tidak ada cahaya putih seperti dalam film-film spiritual.
Aku hanya merasa... ringan. Seolah tubuhku menghilang, dan aku menjadi debu yang dihembuskan angin.
Lalu—
Angin itu semakin kencang.
Sangat dingin.
Terasa seperti badai yang menelan seluruh tubuhku. Aku tidak tahu apakah itu bagian dari proses “mati” atau sesuatu yang lain. Tapi yang jelas, saat aku membuka mataku… aku menyesalinya.
Langit.
Langit biru muda yang terlalu dekat.
Dan aku—aku sedang jatuh.
“APA—?!?!”
Udara berdesir kencang di telingaku. Angin mencambuk wajahku tanpa ampun. Aku bahkan belum sempat berpikir bagaimana aku bisa jatuh dari langit sebelum panik meraih apa pun yang bisa kusentuh. Tapi tak ada—hanya kosong.
Dalam sepersekian detik itu, aku sempat berpikir:
Jadi, aku mati... dua kali?
Namun sebelum aku sempat berdoa pada siapa pun, mataku menangkap sesuatu di bawah sana—sebatang pohon tumbang, dan... seseorang!
Seorang pria tengah berdiri di bawahnya, mungkin sedang memeriksa ranting atau entah apa, tapi yang jelas—aku jatuh tepat ke arahnya.
“HEY! MINGGIR!” teriakku sekencang mungkin.
Namun pria itu tak bereaksi sama sekali.
Suara angin mungkin menelan teriakanku.
Aku bahkan tak sempat menutup mata ketika tubuhku menghantam sesuatu yang keras dan berat. Ada suara benturan tumpul, lalu semuanya gelap lagi.
Ketika kesadaranku perlahan kembali, yang pertama kurasakan adalah rasa sakit di kepala dan punggung. Seolah seluruh tulangku berdebat satu sama lain. Aku berbaring di tanah, memandang langit yang sama—tapi kini pohon tumbang itu benar-benar di sampingku, dan pria yang tadi kulihat... terbaring tak sadarkan diri di bawah.
“Jangan bilang… aku jatuh di atas dia?” gumamku pelan.
Kalau iya, maka aku benar-benar makhluk paling sial di dua dunia.
Sebelum aku sempat memeriksa keadaannya, sebuah suara lembut tapi serak terdengar di belakangku.
“Terima kasih…”
Aku menoleh.
Seorang wanita muda berdiri beberapa langkah dariku. Wajahnya pucat, rambut hitam panjangnya berantakan, dan di beberapa bagian tubuhnya tampak luka—seolah baru keluar dari pertempuran atau dikejar sesuatu. Pakaian yang ia kenakan berbeda—berlapis kain tipis dengan sabuk lebar di pinggang, bergaya kuno, tapi anggun dalam caranya sendiri.
Aku masih bingung setengah sadar, tapi matanya... penuh ketulusan saat menatapku.
“Terima kasih... sudah menyelamatkannya.” katanya lagi dengan suara yang hampir seperti bisikan.
Sebelum aku sempat menjawab, ia berbalik dan berjalan pergi ke arah pepohonan, meninggalkan aku yang masih terduduk di tanah, menatap punggungnya yang perlahan menghilang di balik kabut.
“Apa... yang barusan terjadi?” bisikku sendiri.
Pria pingsan di bawah, wanita misterius, pakaian aneh, dan aku—seorang manusia modern yang baru saja respawn di dunia tanpa sinyal.
Tidak ada petunjuk, tidak ada penjelasan. Hanya rasa sakit di kepala, debu di wajah, dan satu pikiran yang terus mengganggu:
Dunia ini... bukan duniaku.
Setelah beberapa lama duduk di samping pria yang masih pingsan, aku akhirnya memutuskan untuk mencari tahu di mana sebenarnya aku berada. Tidak ada jalan, tidak ada tanda kehidupan selain pepohonan yang menjulang dan kabut yang menutupi pandangan.
Udara di sini aneh.
Setiap kali aku menarik napas, ada semacam rasa dingin yang merambat dari dada hingga ke ujung jari—seperti hawa halus yang mengalir di dalam tubuhku.
Bukan oksigen… bukan udara biasa.
Entah apa, tapi rasanya hidup.
Aku berjalan perlahan menyusuri hutan, masih mengenakan jubah pinjaman itu. Semakin jauh aku melangkah, semakin aku sadar betapa anehnya tempat ini.
Cahaya samar berpendar di antara semak-semak.
Ketika kudekati, ternyata berasal dari tanaman kecil yang tumbuh di tanah lembap—batangnya transparan, daunnya berkilau seperti kaca, dan di ujungnya memancarkan cahaya biru lembut.
Bukan lampu. Bukan jamur fosfor. Tapi sesuatu yang... memancarkan energi sendiri.
“Kalau ini mimpi, tolong jangan bangunkan aku,” gumamku, antara kagum dan takut.
Seekor burung melintas di atasku, tapi bentuknya lebih mirip campuran antara rajawali dan ular. Sayapnya panjang, tubuhnya bersisik halus, dan di lehernya berdenyut cahaya hijau.
Aku terpaku menatapnya terbang di antara kabut, meninggalkan jejak cahaya seperti bintang jatuh.
“Ya ampun… ini bukan Bumi.”
Kata-kata itu akhirnya keluar dari mulutku, lirih tapi pasti.
Aku terus berjalan, mengikuti suara air mengalir. Hutan ini tampak begitu indah sekaligus berbahaya. Setiap langkah seperti memasuki lukisan hidup yang bernafas. Tapi semakin dalam aku melangkah, semakin berat udara yang kuhirup, seolah tekanan di sekitarku meningkat.
Sampai akhirnya—
Aku melihatnya.
Seekor kadal raksasa.
Tubuhnya setinggi dua manusia dewasa, kulitnya hijau kelam dengan duri di sepanjang punggungnya. Matanya berwarna kuning, berkilat tajam seperti bara.
Makhluk itu tengah melahap sesuatu—seekor rusa besar, atau mungkin makhluk setempat yang serupa. Suara daging disobek dan tulang retak terdengar jelas di udara.
Aku berdiri mematung di balik semak, menahan napas.
“Jangan lihat aku… jangan lihat aku…” bisikku pelan.
Namun nasib lagi-lagi menertawakanku.
Kakiku menginjak ranting kering.
Crack!
Kadal itu berhenti makan.
Kepalanya berputar perlahan ke arahku.
Tatapan matanya menembus kabut—dan tepat mengenai mataku.
“Oh tidak…”
Aku langsung berbalik dan berlari sekencang mungkin.
Tanah bergetar di belakangku, ranting patah, dan suara langkah berat mengikuti. Setiap kali aku menoleh, aku melihat mulut raksasa itu terbuka, lidahnya menjulur, air liur menetes dari taringnya yang panjang.
“Aku cuma manusia biasa! Aku nggak enak, sumpah!!” teriakku tanpa sadar.
Angin menghantam wajahku, napasku memburu, dadaku panas terbakar kelelahan. Tapi makhluk itu terus mengejar, tanpa tanda akan berhenti. Sampai akhirnya—di sela pepohonan, aku melihat sebuah rumah kecil di kejauhan.
Rumah kayu tua, berdiri miring tapi utuh, dengan atap berlumut dan pintu yang setengah terbuka.
Tanpa pikir panjang, aku langsung berlari ke sana, hampir tersandung akar, dan menerobos masuk sambil membanting pintu.
BRAK!
Aku bersandar di dinding, napas tersengal-sengal. Jantungku berdebar kencang, keringat menetes deras.
Dari jendela kecil di samping, aku bisa melihat bayangan kadal raksasa itu mendekat… langkahnya berat, suaranya seperti gemuruh.
Tapi anehnya, ketika jaraknya tinggal beberapa meter—makhluk itu berhenti.
Ia menatap rumah itu beberapa detik. Kepalanya miring ke satu sisi, mengeluarkan suara rendah seperti geraman… lalu perlahan, berbalik dan pergi.
Hanya itu.
Aku masih berdiri terpaku, tidak berani bergerak.
Butuh waktu beberapa menit sebelum aku yakin makhluk itu benar-benar sudah hilang.
Aku menatap sekeliling rumah itu. Debu tebal di mana-mana, sarang laba-laba di sudut, tapi… ada sesuatu yang aneh.
Udara di sini berbeda. Lebih hangat, lebih tenang, dan anehnya... terasa seperti melindungi.
Seolah rumah ini bukan sekadar bangunan tua—tapi tempat yang dijaga oleh sesuatu yang tidak terlihat.
Aku menghembuskan napas panjang, tubuhku masih gemetar.
Baru dua jam sejak aku tiba di dunia ini, dan aku sudah hampir mati dua kali.
Aku tersenyum pahit, menatap langit di luar jendela yang kini mulai gelap.
“Selamat datang di dunia baru, Shen Hao,” bisikku pelan.
“Semoga besok aku masih hidup.”
Hari demi hari berlalu.
Aku tidak tahu pasti berapa lama aku bertahan di hutan itu — mungkin tiga, mungkin lima hari. Di dunia ini, siang dan malam tidak selalu terasa sama seperti di Bumi. Kadang malam datang terlalu cepat, kadang pagi terasa terlalu lama.
Aku bertahan dengan hal-hal sederhana: air dari sungai kecil di belakang rumah tua itu, buah-buahan yang kukumpulkan dari pohon, dan… beberapa umbi yang kupikir bisa dimakan. (Catatan penting: dua di antaranya tidak bisa. Aku tahu setelah perutku menolak keras dan memaksaku bertapa di belakang rumah seharian.)
Rumah tua itu menjadi tempat perlindunganku.
Entah kenapa, tidak ada makhluk besar yang berani mendekat. Bahkan burung-burung aneh yang suka teriak di malam hari pun tak pernah hinggap di atapnya. Setiap kali aku menyalakan api kecil di dalam, udara hangatnya seolah menyelimuti tubuhku dengan lembut — tidak seperti api biasa.
Ada saat di mana aku hanya duduk di depan rumah itu, menatap hutan yang diselimuti kabut keperakan. Cahaya di antara pepohonan kadang membentuk pola aneh, seperti pusaran kecil yang menari pelan di udara. Kalau aku fokus, aku bisa melihat debu cahaya mengalir seperti arus sungai — seolah dunia ini bernapas.
“Jadi begini rasanya hidup di dunia fantasi…”
Aku terkekeh kecil, setengah tidak percaya.
Malam keempat, aku mulai mencoba berbicara pada diri sendiri hanya agar tidak gila.
“Shen Hao, kamu hebat juga. Lima hari di dunia lain, belum mati, belum jadi santapan kadal.”
Lalu, setelah jeda panjang, aku menatap ke atas dan menambahkan lirih,
“Tapi… kalau kamu bisa makan mie instan sekarang, kamu pasti menangis bahagia.”
Tawa kecilku terputus saat terdengar suara dari luar.
Sebuah langkah kaki, berat tapi tenang, mendekat perlahan dari arah hutan.
Refleks, aku meraih sebatang kayu di samping perapian. Satu-satunya “senjata” yang kupunya — sekaligus alat pengaduk api. Aku menahan napas.
Suara ranting patah.
Lalu… bayangan seseorang muncul di depan rumah.
Seorang pria tua, dengan rambut abu-abu yang diikat ke belakang, janggut pendek, dan pakaian sederhana berwarna cokelat kusam. Di pundaknya tergantung keranjang anyaman penuh tanaman obat. Tatapannya tenang tapi tajam, seperti orang yang sudah lama hidup di alam liar.
Ketika matanya bertemu denganku, aku refleks berujar:
“Jangan makan aku! Aku… manusia!”
Pria tua itu memiringkan kepala, seolah berusaha memahami. Lalu, dengan nada datar, ia menjawab dalam bahasa yang asing — namun anehnya, aku bisa merasa maknanya.
“Kalau aku mau makan manusia, sudah dari dulu.”
Aku membeku.
Bukan karena takut, tapi karena sadar: aku mengerti kata-katanya. Padahal aku yakin itu bukan bahasa Bumi mana pun.
Ia menatapku dari ujung kaki sampai kepala, lalu menunjuk jubah biru yang kupakai.
“Itu pakaian murid sekte… dari mana kau dapatkan?”
“Uh… pinjam,” jawabku jujur. “Sementara.”
Ia menghela napas panjang, lalu menatap langit sebentar. “Anak muda bodoh yang tersesat, rupanya. Ayo, ikut aku sebelum malam datang.”
Tanpa banyak bicara lagi, ia berbalik, berjalan perlahan menyusuri jalan kecil di antara pepohonan. Entah kenapa, kakiku bergerak sendiri mengikuti.
Mungkin karena aku sudah terlalu lelah sendirian.
Atau mungkin, naluriku tahu — pria tua itu bukan orang biasa.
Begitulah aku bertemu Tuan Bao.
Pria tua aneh yang kemudian menjadi guruku, pelindungku… dan orang pertama yang memberiku alasan untuk tetap hidup di dunia yang menolak logika ini.
Perjalanan menuju desa memakan waktu hampir setengah hari.
Tuan Bao berjalan tanpa banyak bicara. Setiap langkahnya tenang, mantap, dan entah bagaimana… tidak meninggalkan jejak.
Aku berusaha mengimbangi, tapi jalannya penuh akar dan bebatuan. Beberapa kali aku hampir jatuh, tapi pria tua itu tak sekalipun menoleh.
Di sepanjang jalan, aku melihat hal-hal yang sebelumnya hanya kubaca di novel atau game.
Pepohonan tinggi menjulang, beberapa mengeluarkan cahaya samar di batangnya. Serangga berukuran sebesar kepalan tangan melintas di udara, membawa butiran cahaya dari bunga ke bunga.
Dan di kejauhan, gunung-gunung raksasa berdiri dengan kabut berputar di puncaknya — seolah dunia ini tak pernah tidur.
Sesekali aku bertanya, tapi jawabannya selalu singkat.
> “Apa itu tadi, yang terbang di atas?”
“Burung Roh. Jangan dekati.”
> “Tanaman yang menyala itu bisa dimakan?”
“Kalau kau ingin perutmu meledak, silakan.”
Aku mulai mengerti: pria ini tidak banyak bicara, tapi tahu banyak hal.
Dan meski wajahnya tampak keras, ada sesuatu di balik matanya yang terasa… tenang.
Menjelang sore, kami keluar dari hutan dan menuruni lereng yang terbuka.
Dari atas bukit, aku melihatnya — desa kecil di lembah, diapit sungai yang mengalir jernih dan sawah hijau berundak. Asap tipis mengepul dari cerobong-cerobong kecil, dan di kejauhan, anak-anak berlari di jalan tanah sambil tertawa.
“Selamat datang di Muqing,” kata Tuan Bao datar.
“Kalau kau ingin hidup, mulai dari sini.”
Aku menatap pemandangan itu lama, mencoba memahami bahwa semua ini nyata.
Dunia baru. Orang baru. Hidup baru.
Dan untuk pertama kalinya sejak truk itu menabrakku — aku merasa… mungkin, aku diberi kesempatan kedua.
Awal di Desa Muqing
Hari-hari pertamaku di Desa Muqing berjalan lambat tapi damai.
Tuan Bao memberiku tempat di rumahnya — rumah kayu sederhana di pinggir desa, penuh dengan rak berisi ramuan, botol kaca, dan gulungan bambu.
Pekerjaannya adalah tabib, tapi dari cara orang-orang menghormatinya, aku tahu dia bukan sembarang tabib.
Setiap pagi, kami berjalan keluar untuk mencari tanaman obat di sekitar hutan.
Aku membawa keranjang, dia membawa pisau kecil dan pengetahuan yang seolah tak ada habisnya.
Kadang ia menjelaskan sesuatu, dan entah kenapa aku bisa mengerti walau banyak istilah yang terdengar asing.
“Setiap tumbuhan di sini hidup dari qi dunia,” katanya suatu hari sambil menunjuk daun yang berkilau halus.
“Tanah, udara, dan langit—semuanya bernafas. Kau akan tahu, kalau mulai mendengarnya.”
Aku tidak benar-benar paham, tapi aku mulai merasakannya.
Setiap kali aku diam, aku bisa mendengar bunyi halus, seperti dengungan yang datang dari jauh — dari dalam bumi, mungkin dari dalam diriku juga.
Malam-malam di Muqing sunyi tapi indah. Langit penuh bintang besar yang berputar pelan, seolah alam semesta di sini punya ritme sendiri. Kadang aku duduk di depan rumah, menatap cahaya itu sambil memikirkan kehidupanku yang dulu… dan betapa jauhnya aku telah pergi.
Sudah hampir seminggu aku tinggal di Muqing.
Penduduknya ramah, sederhana, dan tidak banyak bertanya tentang masa laluku. Mereka hanya tahu aku “diselamatkan oleh Tuan Bao di hutan”, dan itu sudah cukup bagi mereka.
Namun entah kenapa, setiap malam saat angin berembus di antara pepohonan, aku merasa ada sesuatu yang memanggil dari kejauhan.
Bukan suara, bukan bisikan—lebih seperti perasaan.
Sebuah tarikan halus yang membuat dadaku sesak setiap kali aku menatap arah hutan itu.
Rumah tua tempat aku pertama kali terbangun…
Tempat di mana aku hampir mati, tapi juga tempat pertama kali aku merasa hidup di dunia ini.
Suatu malam, setelah makan malam bersama Tuan Bao, aku memberanikan diri untuk bicara.
“Tuan Bao… kalau boleh, aku ingin tinggal di rumah itu saja. Yang di hutan.”
Ia menatapku lama, tanpa berkata apa pun.
Matanya tajam seperti sedang membaca pikiranku. Akhirnya ia menarik napas panjang dan berkata,
“Tempat itu… bukan rumah biasa. Tapi kalau kau merasa tenang di sana, pergilah. Dunia ini akan mengajarkanmu dengan caranya sendiri.”
Aku membungkuk dalam-dalam sebagai tanda hormat, lalu keesokan paginya, aku kembali ke hutan.
Rumah itu masih sama.
Atapnya miring, dindingnya kusam, tapi ada sesuatu di dalamnya yang terasa… hangat, seperti menyambutku pulang.
Burung-burung aneh kembali berkicau di kejauhan, dan cahaya matahari pagi menembus celah dedaunan, menciptakan garis-garis emas di lantai kayu yang berdebu.
Aku tersenyum kecil.
“Yah… sepertinya, mulai hari ini ini rumahku.”
Hari-hari berikutnya berjalan perlahan.
Aku membantu Tuan Bao di desa saat siang, lalu kembali ke hutan saat sore.
Kadang aku duduk di beranda, memandangi kabut yang menari di antara pepohonan.
Kadang aku berbicara sendiri, atau mencatat hal-hal kecil tentang dunia ini di potongan kayu, seolah menulis jurnal yang tak akan dibaca siapa pun.
Namun setiap malam, ketika langit Tianxu memancarkan cahaya ungu lembutnya, aku selalu merasa dunia ini… menyimpan sesuatu yang besar.
Seolah menungguku untuk menemukan jawabannya.
Dan di sanalah, di tengah hutan yang tenang dan penuh misteri itu—
seorang pemuda dari dunia lain mulai menulis kisah barunya, perlahan tapi pasti.
(Narasi bergeser perlahan menjadi orang ketiga.)
Di lembah sunyi Tianxu, di antara kabut dan cahaya spiritual yang mengalir lembut di udara,
hidup seorang pemuda bernama Shen Hao, yang memilih kesunyian di tengah hutan sebagai tempat tinggalnya.
Ia belum tahu bahwa pilihan sederhana itu—untuk tetap di rumah tua yang “memanggil” dirinya—
akan menjadi awal dari sesuatu yang jauh lebih besar dari sekadar takdir seorang pendatang.
---
Di sebuah danau tenang di lembah barat Muqing, seorang pria duduk santai di atas batu besar yang menjorok ke air.
Ia mengenakan topi jerami usang, dagunya bersandar di telapak tangan kiri, sementara tangan kanannya memegang sebatang pancing bambu sederhana.
Tali pancingnya menembus permukaan air yang jernih, memantulkan langit biru pucat Tianxu yang berhiaskan kabut tipis.
Di sebelahnya, sebuah ember kayu berisi tiga ekor ikan kecil yang masih menggeliat lemah.
Shen Hao menatap mereka dengan pandangan datar, lalu mendesah pelan.
“Haaah… tiga ekor ikan setelah dua jam. Dunia ini sungguh luar biasa, tapi hasil pancingannya tetap menyedihkan.”
Angin lembut berembus, membuat permukaan danau beriak kecil.
Rambut hitamnya yang sedikit panjang bergerak mengikuti arah angin, sementara mata ungunya — aneh dan tidak umum di antara penduduk Muqing — menatap jauh ke air.
Sudah dua tahun ia tinggal di dunia ini.
Dua tahun sejak “truk klasik” itu menabrak dan mengirimnya ke tempat yang bahkan tak bisa ia bayangkan.
Sekarang, di usia dua puluh dua tahun, Shen Hao sudah terbiasa dengan kesunyian ini.
Ia menepuk-nepuk batu di bawahnya pelan.
“Dulu aku cuma ingin hidup tenang, gak nyangka benar-benar bisa tenang sampai begini…” gumamnya dengan nada setengah malas.
Seekor ikan besar tiba-tiba melompat dari air, percikan beningnya membasahi wajah Shen Hao.
Ia hanya berkedip sekali, lalu menatap ikan itu yang kembali menghilang ke dalam air.
“…Tapi bukan berarti aku minta hiburan kayak gitu.”
Ia menyandarkan pancingnya di samping batu, lalu berbaring telentang, menatap langit Tianxu yang perlahan berubah warna karena kabut spiritual sore.
Awan-awan tipis tampak berkilau samar, seperti butiran perak yang mengambang di udara.
Setiap kali melihat pemandangan itu, Shen Hao selalu diingatkan bahwa dunia ini bukan Bumi.
Udara di sini terlalu bersih, warna-warnanya terlalu hidup, dan semuanya terasa… terlalu nyata untuk disebut mimpi.
Seekor kupu-kupu bercahaya melintas di atas wajahnya.
Shen Hao menatapnya sebentar, lalu tersenyum tipis.
“Kalau dunia ini memang nyata… mungkin aku harus mulai hidup beneran di sini.”
Ia bangkit perlahan, meraih pancingnya, dan menatap air yang memantulkan bayangan dirinya.
Di permukaan itu, ia melihat bukan lagi pemuda bumi yang biasa, tapi seseorang dengan mata ungu yang dalam — seperti menyimpan sesuatu yang lama tertidur.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!