NovelToon NovelToon

Sengketa Di Balik Digital

Bab 1 Peti Mati Dingin dan Sebuah Panggilan.

"Ini tidak bisa menunggu, Bu Sasha."

Napas Rama terengah-engah, butiran keringat membasahi pelipisnya meski udara pemakaman terasa dingin. Ia menyodorkan sebuah map tebal berwarna cokelat, segel resminya berkilau di bawah cahaya matahari sore yang pucat.

"Apa pun itu, Rama, bisa." Suara Sasha serak, nyaris tak terdengar. Matanya terpaku pada gundukan tanah merah yang masih basah, tempat separuh jiwanya baru saja terkubur. Debu dari tanah itu menempel di ujung sepatu kulitnya, sebuah noda nyata dalam dunia yang terasa kabur.

"Tidak, Bu. Ini… ini dari firma hukum Wibowo & Rekan. Atas nama Pak Hadi Wibowo."

Nama itu, seperti sengatan listrik, memaksa Sasha menoleh. Wajahnya yang pucat pasi menegang. "Hadi? Paman Bara? Untuk apa dia mengirimiku surat melalui pengacara?"

"Ini bukan surat biasa, Bu. Ini surat gugatan. Panggilan sidang." Rama menelan ludah, matanya menghindari tatapan Sasha. "Mereka menuntut pengalihan seluruh saham mayoritas milik almarhum Pak Bara kepada Pak Hadi."

Sasha terdiam sejenak. Angin sore meniup helai rambutnya yang terlepas dari sanggul duka. Ia tidak mengambil map itu. "Dengan alasan apa?"

"Mereka… mereka mendalihkan bahwa Ibu tidak kompeten secara emosional dan manajerial untuk memimpin Digital Raya yang biasa mereka sebut DigiRaya pascatragedi ini. Mereka menyebut Ibu 'pewaris yang sedang berduka dan tidak stabil'."

Tawa kering dan getir lolos dari bibir Sasha. Tawa yang tidak mencapai matanya. "Baru tiga jam jasad Bara di dalam tanah, dan serigala itu sudah melolong di depan pintu." Ia akhirnya mengambil map itu dari tangan Rama yang gemetar. Kertasnya terasa dingin, berat, seperti batu nisan. "Nyalakan mobil. Kita kembali ke kantor."

"Ke kantor, Bu? Bukan ke rumah?"

"Rumah sudah tidak ada lagi, Rama. Yang tersisa hanya benteng yang harus dipertahankan."

*****

Di dalam mobil, keheningan hanya dipecah oleh suara Sasha yang tajam. "Bacakan poin-poin utamanya. Aku tidak mau membaca basa-basi hukum mereka."

Rama membuka map dengan gugup, kacamatanya sedikit melorot. "Poin pertama, Tuan Hadi Wibowo, sebagai kerabat sedarah tertua dan anggota dewan senior, mengajukan permohonan darurat kepada pengadilan niaga untuk mengambil alih hak wali atas aset saham mayoritas yang ditinggalkan oleh almarhum Tuan Bara Adhitama."

"Hak wali," ulang Sasha, nadanya penuh racun. "Dia pikir aku anak kecil yang butuh pengawasan?"

"Poin kedua, gugatan melampirkan testimoni dari dua psikiater—yang tentu saja belum pernah bertemu Ibu—yang menyatakan bahwa kondisi mental seorang tunangan yang baru kehilangan pasangannya secara tragis tidak memungkinkan untuk pengambilan keputusan strategis berskala besar."

"Mereka menyerang mentalku."

"Secara eksplisit, Bu. Poin ketiga, mereka meminta pengadilan mengeluarkan perintah sementara untuk membekukan hak suara Ibu dalam RUPS luar biasa yang mereka minta diadakan dalam tujuh hari ke depan. Mereka mengklaim ini untuk 'melindungi perusahaan dari potensi kerugian akibat keputusan impulsif yang didasari duka'."

Sasha memejamkan mata, kepalanya bersandar pada kaca jendela yang dingin. Wajah Hadi terbayang jelas: senyumnya yang selalu terlalu lebar, matanya yang tidak pernah ikut tersenyum. Paman yang selalu memandang Bara sebagai saingan, bukan keponakan. "Dia sudah merencanakan ini. Jauh sebelum ambulans tiba di lokasi kecelakaan."

"Apa yang harus kita lakukan, Bu?" suara Rama bergetar.

"Telepon tim legal kita. Suruh mereka siap di ruang rapat utama dalam tiga puluh menit. Dan kau, siapkan semua data keuangan Bara. Proyeksi, riset, semua yang ada di server pribadinya. Aku butuh akses penuh."

"Tapi, Bu… akses server pribadi Pak Bara hanya bisa dibuka dengan otorisasi dua faktor dari… dari ponselnya."

Sasha membuka matanya. Tatapannya kini setajam belati. "Kalau begitu, kita ke ruangannya. Sekarang."

*****

Aroma kopi dan kayu mahoni yang khas dari ruangan Bara menyambutnya seperti hantu. Segalanya masih sama. Papan tulis penuh rumus algoritma, foto mereka berdua di Portofino tertawa di atas meja, sebuah jaket kulit tersampir di kursi. Untuk sesaat, pertahanannya nyaris runtuh. Ia menyentuh jaket itu, dingin.

"Sasha? Apa yang kau lakukan di sini?"

Suara itu memecah keheningan. Hadi Wibowo berdiri di ambang pintu, wajahnya memancarkan keprihatinan palsu yang membuat perut Sasha mual. Di belakangnya, dua orang satpam berbadan tegap berdiri kaku.

"Ini kantor saya, Hadi. Seingat saya, jabatan CEO Operasional masih melekat pada nama saya," jawab Sasha, memaksakan suaranya agar tidak bergetar.

"Tentu, tentu, Nak Sasha. Aku hanya khawatir. Seharusnya kau beristirahat, menenangkan diri. Biarkan kami yang mengurus perusahaan untuk sementara." Hadi melangkah masuk, tatapannya menyapu ruangan seolah sudah menjadi miliknya.

"Terima kasih atas perhatiannya, Paman. Tapi duka saya bukan urusan Anda. Dan perusahaan ini, sekarang menjadi tanggung jawab saya." Sasha berjalan menuju kabinet fail di sudut ruangan. "Saya butuh laporan keuangan proyek 'Nusantara-Net'."

Hadi menggeser tubuhnya, dengan santai menghalangi laci kabinet. "Aku rasa itu tidak bijaksana sekarang. Dokumen-dokumen itu sangat sensitif. Mengingat kondisi emosionalmu…"

"Kondisi emosional saya tidak menghalangi kemampuan saya membaca neraca keuangan," potong Sasha dingin. "Minggir."

"Aku tidak bisa membiarkanmu melakukannya." Nada Hadi berubah, keramahannya menguap, menyisakan baja dingin di bawahnya. "Ini demi melindungi warisan Bara. Dia tidak akan mau kau mengambil risiko dengan gegabah."

"Risiko?" Sasha maju selangkah, menatap langsung ke mata pamannya. "Risiko terbesar bagi perusahaan ini adalah keserakahanmu. Kau pikir aku tidak tahu apa yang kau lakukan? Mengirim surat gugatan bahkan sebelum tanah di makam keponakanmu sendiri mengering?"

Wajah Hadi mengeras. "Itu adalah langkah yang diperlukan untuk menyelamatkan DigiRaya dari pemimpin yang sentimental. Kau terikat pada Bara secara emosional. Aku terikat pada perusahaan ini secara rasional. Pengadilan akan melihat perbedaannya."

"Kalau begitu, biarkan pengadilan yang memutuskan." Sasha tidak mundur. "Sekarang, untuk terakhir kalinya, beri saya akses ke fail itu, atau saya akan memanggil satpam untuk menyeret Anda keluar dari ruangan saya."

Hadi tertawa pelan, sebuah suara serak yang mengerikan. "Satpam ini?" Ia melirik ke belakang. "Mereka melapor padaku sekarang, Sasha. Sebagian besar dewan direksi sudah setuju denganku. Ini bukan lagi pertarunganmu. Ini sudah selesai."

Sasha merasakan darahnya mendidih. Dunia menyempit menjadi sosok pria di hadapannya. Ia tidak lagi melihat paman tunangannya. Ia melihat musuh. Ia menarik napas dalam-dalam, menekan semua kesedihan, semua kerinduan, semua rasa sakit ke sudut tergelap di hatinya. Yang tersisa hanyalah es.

"Belum. Ini belum selesai," desisnya. "Kau salah besar jika mengira aku akan menyerahkan visi Bara kepadamu. Aku akan melawanmu. Di ruang rapat, di pengadilan, di setiap sudut perusahaan ini. Aku akan menghancurkanmu dengan warisannya sendiri."

Hadi menatapnya lama, seolah baru pertama kali melihat siapa Sasha sebenarnya. Senyum tipis yang penuh kemenangan tersungging di bibirnya. Ia melangkah mundur dari kabinet, memberinya jalan.

"Baiklah. Jika itu maumu."

Sasha berjalan melewatinya tanpa sepatah kata pun, punggungnya lurus dan kaku. Ia tidak menoleh ke belakang saat meninggalkan ruangan itu, meninggalkan aroma kopi Bara, meninggalkan hantu tawa mereka. Ia berjalan menyusuri koridor panjang menuju lobi utama, setiap langkahnya adalah sebuah deklarasi perang.

Saat ia mencapai pintu kaca lobi yang menjulang tinggi, suara Hadi kembali terdengar dari belakang, bergema di ruangan yang luas dan kosong.

"Keputusan Anda telah dibuat," Hadi menyeringai di lobi, "dan saya pastikan, Anda baru saja menandatangani surat kematian perusahaan ini."

Bab 2 Loyalitas yang Runtuh

Sasha tidak menjawab. Ia hanya menatap Hadi, membiarkan ancaman itu menggantung di udara lobi yang dingin dan steril, seperti gema di dalam mausoleum. Matanya, yang beberapa jam lalu basah oleh air mata, kini kering dan keras seperti obsidian. Ia berbalik, melangkah melewati pintu kaca otomatis yang terbuka tanpa suara, seolah mempersilakan kepergian seorang ratu dari istananya yang terkepung.

Rama tergopoh-gopoh menyusul di belakangnya, nyaris menabrak pintu yang kembali menutup. "Bu Sasha… apa yang harus saya lakukan?"

"Panggil semua kepala divisi. Semua anggota dewan yang bisa dihubungi," kata Sasha tanpa menoleh, suaranya rata dan tanpa emosi. "Ruang rapat utama. Tiga puluh menit dari sekarang. Tidak ada pengecualian."

"Tiga puluh menit? Tapi, Bu… sebagian besar dari mereka masih di rumah duka atau baru saja pulang."

"Kalau begitu, mereka punya alasan lebih untuk datang. Katakan ini rapat darurat mengenai kelangsungan hidup DigiRaya. Gunakan kata-kata itu, Rama. Kelangsungan hidup."

*****

Tiga puluh menit kemudian, ruang rapat utama terasa pengap. Udara dipenuhi aroma kopi basi dan ketegangan yang pekat. Dua belas orang duduk mengelilingi meja mahoni raksasa, wajah-wajah mereka adalah topeng keseriusan profesional yang menyembunyikan rasa ingin tahu dan ketakutan. Sasha duduk di kursi utama, kursi Bara, punggungnya lurus sempurna. Di seberang meja, Hadi Wibowo duduk dengan tenang, jemarinya bertaut di atas meja, seolah ia yang memimpin pertemuan ini.

"Terima kasih sudah datang dalam waktu sesingkat ini," Hadi membuka suara, nadanya penuh simpati palsu. "Saya tahu ini hari yang berat bagi kita semua, terutama bagi Sasha. Itulah mengapa saya mengambil inisiatif untuk mempercepat proses yang tak terhindarkan ini, demi melindungi perusahaan yang kita cintai."

"Inisiatif?" suara Sasha memotong, tajam seperti pecahan kaca. "Anda menyebut gugatan hukum yang licik sebagai sebuah inisiatif, Paman?"

Seorang anggota dewan tua berdeham. "Sasha, mungkin kita bisa menjaga nada bicara tetap profesional."

"Profesional?" Sasha menatap pria itu, Tirtayasa, sekutu tertua Hadi. "Apakah profesional jika surat panggilan sidang tiba sebelum bunga di pusara mengering? Apakah profesional menyerang kondisi mental saya sebagai dasar untuk merebut kendali perusahaan?"

Hadi mengangkat tangannya, menenangkan. "Sasha, Nak, jangan salah paham. Ini bukan serangan pribadi. Ini adalah tindakan perlindungan. Dewan ini, para investor, dan ribuan karyawan kita membutuhkan kepastian. Mereka tidak bisa dipimpin oleh duka. Keputusan yang didasari emosi akan menghancurkan warisan Bara dalam hitungan minggu."

"Anda bicara tentang warisan Bara?" Sasha tertawa sinis. "Warisan Bara ada di layar itu." Ia menunjuk proyektor di belakangnya. Rama, yang berdiri gugup di sudut, menekan sebuah tombol. Grafik dan angka memenuhi layar.

"Ini adalah data kinerja kuartal terakhir di bawah kepemimpinan operasional saya," lanjut Sasha, suaranya kini mantap dan berwibawa. "Peningkatan laba bersih dua belas persen. Efisiensi operasional naik delapan persen. Proyek 'Nusantara-Net' yang saya pimpin secara pribadi, melampaui target akuisisi pengguna sebesar dua puluh persen. Angka-angka ini tidak berduka, Hadi. Angka-angka ini tidak emosional. Angka-angka ini adalah fakta."

"Fakta yang impresif, saya akui," balas Hadi dengan senyum meremehkan. "Tapi itu semua di bawah pengawasan dan visi besar Bara. Siapa yang akan memberikan visi itu sekarang? Seorang wanita muda yang hatinya baru saja hancur?"

"Visi itu tidak mati bersamanya!" Suara Sasha meninggi, menggema di ruangan yang hening. "Visi itu ada di dalam diri saya. Visi itu ada di setiap baris kode yang ia tulis, di setiap strategi yang kami rancang bersama di apartemen kami sampai jam tiga pagi! Anda pikir saya hanya tunangannya? Saya adalah mitranya."

"Seorang mitra junior, mungkin," celetuk Tirtayasa.

"Mitra yang menandatangani kontrak terbesar dalam sejarah perusahaan ini tiga bulan lalu saat Bara berada di Jenewa," sahut Sasha cepat, matanya berkilat menantang. "Mitra yang merestrukturisasi divisi cloud computing kita hingga menjadi yang paling profitabel di Asia Tenggara. Apakah Anda ingin saya melanjutkan, Pak Tirtayasa? Saya punya datanya."

Seorang wanita di ujung meja, Bu Ratna, kepala divisi keuangan, angkat bicara. "Data yang disajikan Bu Sasha memang akurat. Secara operasional, perusahaan berada di tangan yang sangat kompeten."

Hadi tersenyum tipis. "Kompetensi operasional adalah satu hal, Bu Ratna. Kepemimpinan di masa krisis adalah hal lain. Pasar modal bereaksi terhadap sentimen, bukan hanya angka. Berita tentang gugatan ini sudah mulai bocor. Saham kita turun tiga persen dalam satu jam terakhir."

"Itu karena gugatan Anda!" sergah Sasha. "Anda sengaja menciptakan krisis ini untuk membenarkan pengambilalihan Anda!"

"Saya hanya mengantisipasi badai yang akan datang," kata Hadi tenang. "Bayangkan apa kata media besok: 'Pewaris Berduka Memegang Kendali Raksasa Teknologi'. Investor akan lari. Kita butuh wajah yang stabil, wajah yang berpengalaman. Wajah saya."

Keheningan melanda. Beberapa kepala menunduk, menghindari tatapan Sasha. Ia bisa merasakan loyalitas di ruangan itu retak, terbelah antara logika dingin Hadi dan pembelaannya yang penuh gairah. Ia tahu angka saja tidak cukup. Ia harus menyentuh sesuatu yang lebih dalam.

"Pengalaman?" Sasha berdiri perlahan, kedua tangannya menekan meja. "Anda benar. Saya tidak punya pengalaman puluhan tahun seperti Anda. Saya tidak punya pengalaman memanipulasi dewan direksi atau memanfaatkan tragedi keluarga untuk keuntungan pribadi."

Napas Hadi tertahan. Wajahnya mengeras.

"Tapi saya punya sesuatu yang Anda tidak punya," lanjut Sasha, suaranya kini lebih pelan, tetapi setiap katanya berbobot. Ia menatap satu per satu wajah di sekeliling meja. "Saya tahu mengapa DigiRaya didirikan. Bukan untuk memuaskan ego segelintir orang di ruangan ini. Bara membangun perusahaan ini karena ia percaya teknologi bisa menjadi jembatan, bukan tembok. Ia percaya setiap anak di pelosok negeri ini berhak mendapatkan akses internet yang sama dengan anak seorang konglomerat. Itulah janjinya. Itulah visi yang Anda sebut telah mati."

Ia berhenti sejenak, membiarkan kata-katanya meresap.

"Saya tidak akan membiarkan visi itu mati. Saya tidak akan membiarkan DigiRaya menjadi sekadar mesin pencetak uang yang dingin dan tanpa jiwa di bawah kendali Anda. Jika Anda memilih Hadi, Anda memilih stabilitas yang semu. Stabilitas kuburan. Jika Anda berdiri bersama saya, saya tidak menjanjikan jalan yang mudah. Akan ada pertempuran. Tapi saya berjanji kita akan terus memperjuangkan mimpi pendiri kita. Kita akan menghormati warisan Bara dengan cara membangunnya menjadi lebih besar, bukan dengan menjualnya kepada penawar tertinggi."

Ia kembali duduk. Ruangan itu sunyi senyap. Bu Ratna menatap Sasha dengan ekspresi baru, campuran antara kekaguman dan perhitungan. Beberapa manajer muda yang direkrut langsung oleh Bara tampak menegakkan punggung mereka. Retakan loyalitas itu mulai membentuk garis baru.

Hadi bertepuk tangan pelan, sarkasme menetes dari setiap tepukan. "Pidato yang sangat menyentuh. Sangat… emosional. Anda baru saja membuktikan poin saya. Terima kasih, Sasha."

"Poin Anda tidak relevan lagi, Hadi," sahut Bu Ratna tiba-tiba, suaranya tegas. "Saya mengusulkan penundaan RUPS luar biasa. Beri Bu Sasha waktu satu bulan untuk membuktikan kepemimpinannya secara de facto. Biarkan pasar melihat stabilitas, bukan pertikaian internal."

"Saya setuju," kata kepala divisi riset, seorang pemuda brilian bernama Gilang. "Visi Bara adalah napas perusahaan ini. Hanya Bu Sasha yang memahaminya."

Wajah Hadi menggelap saat ia melihat tiga, kemudian empat orang lagi mengangguk setuju. Ia belum kalah, tapi ia juga tidak menang mutlak. Pertarungan ini akan lebih sulit dari yang ia bayangkan.

"Baiklah," desis Hadi, berdiri dari kursinya. "Satu bulan. Tapi setiap kesalahan kecil, setiap penurunan saham, akan menjadi tanggung jawabmu sepenuhnya. Rapat selesai."

Satu per satu anggota dewan meninggalkan ruangan, sebagian menepuk bahu Sasha dengan canggung, sebagian lagi bergegas keluar tanpa kontak mata. Dalam beberapa menit, hanya Sasha dan Rama yang tersisa di ruangan yang terasa luas dan kosong itu. Kelelahan yang luar biasa akhirnya menerpanya, membuatnya bersandar di kursi. Ia berhasil memenangkan pertempuran pertama, tetapi perang baru saja dimulai.

Malam itu, di kantor Bara yang kini menjadi miliknya, Sasha menatap layar monitor yang menampilkan pergerakan saham DigiRaya yang bergejolak seperti grafik detak jantung pasien kritis. Ia sendirian, dikelilingi oleh hantu kenangan dan beban masa depan yang terasa mustahil. Ponselnya, yang tergeletak di meja, tiba-tiba bergetar dan menyala. Sebuah notifikasi pesan dari nomor tak dikenal. Jantungnya berdebar kencang. Dengan tangan sedikit gemetar, ia membuka pesan itu. Hanya ada dua kata singkat

"AWASI HADI!"

Bab 3 Aset Dibekukan.

Dua kata itu membakar retina Sasha, tercetak di benaknya bahkan setelah layar ponselnya kembali gelap. Awasi Hadi. Bukan ancaman, bukan permintaan tolong. Peringatan. Dingin, anonim, dan mutlak. Jantungnya yang sempat tenang setelah memenangkan pertempuran kecil di ruang rapat kembali berpacu. Ia tidak membuang sedetik pun. Tombol panggil ditekan sebelum ia sempat berpikir dua kali.

“Rama, masih di gedung?” tanyanya tanpa basa-basi saat panggilan tersambung.

“Masih, Bu. Di lobi bawah. Ada yang bisa saya bantu?” Suara Rama terdengar lelah.

“Kembali ke lantai saya. Sekarang. Bawa kepala tim siber kita. Siapa pun yang terbaik yang masih terjaga.”

“Baik, Bu. Ada masalah?”

“Ada pesan. Aku ingin kau dan timmu melacaknya. Telusuri sampai ke sumbernya, gali sampai ke akarnya. Aku tidak peduli seberapa dalam kau harus menggali.”

“Nomor tak dikenal, Bu?”

“Tentu saja. Kalau dikenal, aku tidak akan meneleponmu.”

“Bara… almarhum Pak Bara memasang protokol keamanan berlapis, Bu. Terutama untuk komunikasi anonim yang masuk ke jajaran eksekutif. Akan sangat sulit. Mungkin mustahil tanpa memicu alarm di seluruh sistem.”

“Aku tidak bertanya apakah ini sulit, Rama. Aku menyuruhmu melakukannya. Gunakan aksesku, gunakan apa pun yang perlu kau gunakan. Aku ingin tahu siapa yang mengirim ini.”

“Siap, Bu. Kami segera ke atas.”

*****

Tiga hari terasa seperti tiga dekade yang dihabiskan di dalam ruang mesin kapal selam yang bocor. Setiap jam membawa derit baru, setiap pagi membawa ancaman banjir yang lebih besar. Tim siber menemui jalan buntu, melaporkan bahwa pesan itu dipantulkan melalui selusin proksi internasional sebelum menguap seperti hantu digital. Peringatan itu tetap menggantung tanpa wajah, tanpa nama.

Pagi itu, Sasha sedang menatap grafik saham yang perlahan merangkak naik—hasil dari sentimen pasar yang sedikit membaik setelah pidatonya di ruang rapat—ketika Bu Ratna masuk ke ruangannya tanpa mengetuk. Wajah kepala divisi keuangan itu pucat pasi, seperti kertas. Di tangannya tergenggam sebuah tablet yang layarnya menyala dengan pemberitahuan resmi.

“Bu Sasha… mereka melakukannya.”

Sasha menegakkan punggungnya. “Mereka melakukan apa, Bu Ratna?”

“Hadi. Tim hukumnya. Mereka mendapatkan perintah pengadilan sementara.”

“Perintah untuk apa?”

Bu Ratna meletakkan tablet itu di atas meja mahoni dengan tangan sedikit gemetar. “Pembekuan aset. Semua rekening operasional utama kita. Dana likuid perusahaan… dibekukan.”

Rama, yang baru saja masuk membawa kopi, nyaris menjatuhkan nampannya. “Apa? Bagaimana bisa secepat itu?”

“Mereka menggunakan argumen ‘risiko manajemen yang tidak stabil’,” jelas Ratna, suaranya tercekat. “Mereka mengklaim kepemimpinan Bu Sasha yang ‘emosional’ menciptakan risiko pelarian modal dan penyalahgunaan dana perusahaan. Hakim menyetujuinya pagi ini.”

Sasha menatap dokumen digital di layar tablet. Kata-kata hukum yang dingin dan rumit itu pada intinya hanya berarti satu hal: cekikan. “Kapan perintah ini berlaku efektif?”

“Tengah malam nanti. Tepat pukul nol-nol. Kita punya… kurang dari dua belas jam.”

“Gaji karyawan akan dibayarkan lusa,” kata Rama pelan, kengerian merayap dalam suaranya. “Ada dua belas ribu orang yang menunggu, Bu.”

“Dan tagihan dari penyedia server farm kita di Singapura jatuh tempo besok,” tambah Ratna. “Jika kita gagal bayar, mereka berhak memutus layanan. Seluruh infrastruktur Nusantara-Net akan lumpuh.”

Sasha menarik napas dalam-dalam, menenangkan badai yang mulai bergejolak di dadanya. Ini bukan sekadar serangan. Ini adalah eksekusi. “Hadi tidak ingin memenangkan pertarungan di pengadilan. Ia ingin kita mati kehabisan napas bahkan sebelum bel ronde pertama berbunyi.”

“Kita tidak bisa melakukan apa-apa,” desah Ratna, akhirnya duduk di kursi di seberang Sasha. “Secara hukum, tangan kita terikat. Kita harus menunggu sidang pencabutan, yang bisa memakan waktu berminggu-minggu.”

“Kita tidak punya waktu berminggu-minggu. Kita bahkan tidak punya waktu sampai besok pagi,” sahut Sasha tegas. Ia memutar kursinya menghadap jendela raksasa, menatap cakrawala Jakarta yang berkabut. Otaknya bekerja, memindai setiap opsi, setiap celah, setiap kemungkinan. Lalu, sebuah ide terlintas. Berisiko. Gila. Dan mungkin satu-satunya jalan keluar.

Ia berbalik menatap Ratna. “Dana Phoenix.”

Wajah Ratna yang sudah pucat kini kehilangan semua warnanya. “Jangan, Bu. Jangan pernah sebutkan dana itu.”

“Kenapa tidak? Itu adalah dana cadangan strategis kita, kan? Disimpan di rekening offshore untuk keadaan darurat yang absolut,” kata Sasha, suaranya tenang namun penuh intensitas.

“Itu dana untuk skenario kiamat! Perang, bencana alam, keruntuhan ekonomi nasional! Bukan untuk melawan manuver hukum internal!” sergah Ratna, nadanya meninggi. “Menyentuh dana itu tanpa persetujuan RUPS penuh adalah… itu kejahatan kerah putih, Bu Sasha. Itu penggelapan dana perusahaan. Kita bisa dipenjara selama puluhan tahun.”

“Ini adalah kiamat, Bu Ratna. Kiamat DigiRaya,” balas Sasha. “Jika kita tidak membayar gaji karyawan, moral akan hancur. Jika Nusantara-Net lumpuh, kepercayaan publik akan musnah. Dalam tiga hari, perusahaan ini hanya akan menjadi cangkang kosong yang siap diambil alih Hadi dengan harga murah. Bukankah itu definisi kiamat bagi kita?”

“Ada aturan, ada prosedur! Kita tidak bisa begitu saja memindahkan dana lintas negara untuk menutupi rekening operasional! Audit akan menemukan jejaknya dalam sekejap. Tim Hadi akan menjadikan ini peluru emas untuk menjatuhkan Anda selamanya!”

“Jadi kita biarkan saja dua belas ribu keluarga kelaparan karena kita takut pada auditor?” tantang Sasha, matanya mengunci tatapan Ratna. “Kita biarkan visi Bara hancur karena kita terlalu patuh pada aturan yang sengaja digunakan untuk menjerat kita?”

“Ini bukan tentang kepatuhan, ini tentang hukum!” pekik Ratna, frustrasi.

“Hukum yang mana? Hukum yang baru saja dimanipulasi oleh Hadi untuk mencekik kita?” Sasha berdiri, berjalan mengitari meja dan berhenti di samping Ratna. Ia merendahkan suaranya, mengubah nada konfrontasi menjadi permohonan yang mendesak. “Bu Ratna, Anda sudah bersama perusahaan ini sejak awal. Anda kenal Bara. Anda tahu apa arti perusahaan ini baginya. Ini bukan hanya tentang angka di laporan keuangan. Ini tentang orang-orangnya. Tentang Rini di bagian kebersihan yang mengandalkan gajinya untuk menyekolahkan anaknya. Tentang Gilang dan tim risetnya yang bekerja lembur setiap malam untuk membangun masa depan. Apakah kita akan mengkhianati mereka semua?”

Ratna menunduk, bahunya merosot. “Saya punya dua anak, Bu Sasha. Saya tidak bisa masuk penjara.”

“Tidak akan ada yang masuk penjara,” kata Sasha, keyakinan dalam suaranya terdengar begitu nyata hingga nyaris bisa disentuh. “Tanggung jawab ini milik saya. Sepenuhnya. Saya yang akan menandatangani perintah transfer darurat. Saya yang akan menghadap dewan. Saya yang akan menghadapi hukum jika saatnya tiba. Anda… saya hanya butuh keahlian Anda untuk memastikan transfer ini tidak terdeteksi sampai kita punya waktu untuk bernapas. Pindahkan ke rekening sekunder kita di Zurich, lalu pecah menjadi tiga bagian dan salurkan melalui anak perusahaan kita di Hong Kong dan Seoul sebelum akhirnya masuk ke rekening penggajian. Bisakah Anda melakukannya?”

Rama menatap kedua wanita itu dengan napas tertahan. Ia sedang menyaksikan pertaruhan terbesar dalam sejarah DigiRaya.

Ratna diam untuk waktu yang lama. Ia menatap tangannya sendiri, lalu menatap foto Bara yang masih terpajang di sudut meja Sasha. Akhirnya, ia mengangkat wajahnya, matanya basah tetapi tatapannya kini kokoh. “Strukturnya terlalu sederhana. Akan meninggalkan jejak digital yang jelas. Kita harus memantulkannya melalui setidaknya tujuh lapis kustodian di yurisdiksi yang berbeda. Butuh waktu. Dan butuh otorisasi dari tiga kepala divisi berbeda untuk membuka setiap brankas digital.”

Sasha tersenyum tipis, senyum pertama yang tulus dalam tiga hari. “Berapa lama waktu yang Anda butuhkan?”

“Jika kita mulai sekarang, kita bisa menyelesaikannya lima menit sebelum tengah malam.”

“Kalau begitu, mari kita mulai.”

*****

Pukul 23.54.

Ruang kerja Sasha telah berubah menjadi pusat komando darurat. Udara terasa pengap, dipenuhi aroma kopi dan ketegangan listrik. Hanya ada mereka bertiga: Sasha, Ratna, dan Rama yang bertugas mengawasi komunikasi eksternal. Di layar utama, serangkaian baris kode dan jendela konfirmasi berkedip-kedip, melacak perjalanan ratusan miliar rupiah melintasi dunia digital.

“Lapisan terakhir,” bisik Ratna, jemarinya menari di atas keyboard dengan kecepatan yang mengagumkan. “Mentransfer dari Seoul ke rekening penggajian domestik kita. Membutuhkan otorisasi biometrik Anda, Bu.”

Sasha menempelkan ibu jarinya ke pemindai di sisi meja. Lampu hijau menyala.

“Transfer sedang diproses… Enkripsi diterima… Konfirmasi…” Ratna membacakan status dengan suara monoton, berusaha menyembunyikan getaran di dalamnya. “Berhasil. Dana sudah masuk. Tepat tiga menit sebelum pembekuan efektif.”

Hening. Mereka bertiga serentak mengembuskan napas yang sepertinya sudah mereka tahan selama berjam-jam. Rama terkekeh lega, menyandarkan punggungnya di dinding. Ratna menutup matanya, menggumamkan doa syukur yang tak terdengar.

Sasha merasa gelombang kelegaan yang luar biasa, tetapi juga beban dari garis yang baru saja ia lewati. Ia telah menyelamatkan perusahaannya, tetapi dengan cara menjadi penjahat yang diperhitungkan.

“Kita berhasil,” kata Rama, memecah keheningan. “Hadi pasti akan terkejut besok pagi saat semua karyawan menerima gaji mereka tepat waktu.”

Sasha mengangguk, hendak mengatakan sesuatu ketika Rama tiba-tiba menunjuk ke layar televisi yang menyala tanpa suara di sudut ruangan. “Bu… besarkan suaranya.”

Ratna meraih remote dan menaikkan volume. Sebuah program berita bisnis malam sedang berlangsung. Wajah yang familier muncul di layar—pengacara utama Hadi, seorang pria licin bernama Dipo. Ia sedang diwawancarai secara langsung.

“…dan apakah Anda yakin langkah pembekuan aset ini tidak akan melumpuhkan operasional DigiRaya dan merugikan karyawan?” tanya sang pembawa berita.

Dipo tersenyum, senyum seekor ular yang baru saja menelan mangsanya. “Kami justru melindungi para karyawan dari manajemen yang sembrono. Klien kami, Bapak Hadi Wibowo, sudah mengantisipasi manuver ilegal seperti pengalihan dana darurat yang mungkin coba dilakukan oleh Nona Sasha. Tim forensik keuangan kami sudah siap siaga di beberapa negara. Ini hanya akan membuktikan poin kami di pengadilan: bahwa kepemimpinan saat ini tidak hanya tidak stabil secara emosional, tetapi juga secara kriminal tidak kompeten.”

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!