NovelToon NovelToon

Dikira MONTIR Ternyata SULTAN

01. Kenyataan menyakitkan

"Sorry, Ren. Aku nggak bisa menerima cintamu," tolak Nancy tanpa basa-basi. Suaranya begitu dingin dan tatapan matanya sangat tajam, seakan menghujam hati Darren.

"Lalu selama ini... apa artinya?" Suara Darren bergetar menahan sakit. "Katakan padaku, Nan, apa alasannya?"

Darren baru saja mengungkapkan perasaan cintanya pada gadis yang dicintainya. Namun, penolakan yang diterimanya sungguh meremukkan hatinya menjadi serpihan tak berarti.

"Aku mencintai Darrel sejak lama," desis Nancy, tanpa sedikit pun rasa iba. "Selama ini, kamu hanya alat bagiku... agar aku bisa mendekatinya."

"Kenapa, Nan? Mengapa kamu tega melakukan ini padaku?" Darren terhuyung, seolah baru saja menerima pukulan telak.

"Kenapa?" Nancy mencibir, matanya menyiratkan penghinaan. "Lihat dirimu! Kamu hanya lah seorang montir, Ren! Sangat jauh di bawah level Darrel, sang pewaris perusahaan!"

"Dan seolah semesta merestui, malam ini aku dengan Darrel akan bertunangan, karena para orangtua telah sepakat untuk menjodohkan kami!"

Nancy menunjuk dada Darren, lalu pergi begitu saja tanpa peduli pada perasaannya.

Sakit... Lebih dari sekedar luka, meski tak berdarah tetapi sakitnya sungguh luar biasa. Darren merasa harga dirinya diinjak-injak. Bersaing dengan Dariel, kembarannya yang sempurna, adalah mimpi buruk yang selalu menghantuinya. Dan kini, mimpi itu menjadi kenyataan.

Buket bunga di tangan Darren seakan layu dalam sekejap, seiring hatinya yang hancur berkeping-keping. Dia hanya bisa menatapnya nanar, merasakan kepedihan yang begitu perih dan mendalam.

Drrrttt...drrttt...

Darren tersentak kecil lalu mengusap butiran bening yang menetes di pipinya. Sejenak dia berusaha menetralkan napasnya, kemudian melihat panggilan yang tertera layar ponselnya lalu mengangkatnya.

"Iya, Mi?"

"Abang... Abang di mana? Cepat datang ke mari, ya. Acara pertunangan Bang Rel, akan segera dimulai."

"Mami sudah kirimkan lokasinya lewat pesan. Cepat ya, Bang. Jangan sampai Abang ketinggalan momen bahagia mereka. Oke."

"Hmmm..." Lalu panggilan terputus, menyisakan Darren yang masih termangu di tempatnya berdiri.

Darren tidak langsung pergi, dia mendudukkan dirinya di bangku taman dengan kedua siku bertumpu pada pahanya. Kepalanya tertunduk dalam. Berulang kali dia menarik napas panjang, mencoba melepaskan rasa sesak yang seakan menghimpit dadanya.

"Kenapa harus kamu, Rel. Sampai kapan aku harus berdiri di balik bayang-bayangmu?" Darren meraup mukanya kasar. Tak sanggup rasanya jika harus bertemu dengan keluarganya dalam keadaan menyedihkan seperti ini.

*

Di sebuah hotel mewah Al Gha Group.

Lampu-lampu temaram menghiasi rooftop hotel mewah tersebut, menciptakan suasana romantis dan elegan. Pemandangan kota yang gemerlap menjadi latar belakang pesta pertunangan Darrel dan Nancy. Tamu-tamu berbusana elegan memenuhi area rooftop, bersenda gurau sambil menikmati minuman dan hidangan lezat.

Di tengah kemeriahan, Mami Mia, wanita anggun dengan senyum yang dipaksakan, berdiri gelisah di dekat pagar pembatas. Matanya sesekali melirik ke arah lift.

Seorang pelayan menghampirinya dengan nampan berisi minuman di tangan. Mami Mia mengambil segelas, tetapi tidak segera meminumnya. Kegelisahannya semakin kentara.

"Ada apa, Mi?" tanya Papi Baim yang sejak tadi memperhatikan tingkah istrinya

"Ke mana sebenarnya Bang Ren sih, Pi? Acara sepenting ini malah belum datang? Padahal sudah dikasih tahu jauh-jauh hari. Apa dia tidak bahagia saudaranya akan bertunangan?" tanya Mami Mia dengan raut wajah cemas.

"Sabarlah, Mi. Nanti Abang pasti juga datang, mungkin dia masih ada urusan yang lebih penting." Papi Baim mencoba menghibur.

"Memangnya tidak bisa ditunda, apa?"

Papi Baim mengangkat bahunya lalu merangkul pundak sang istri dan mengusapnya dengan lembut, berusaha memberi pengertian.

"Mami tahu kan, Bang Ren itu gila kerja? Atau mungkin terjebak macet di jalan. Jadi, Mami tenang saja ya, oke."

Mami Mia tampak menghela napas dalam dan panjang. Ia mencoba untuk tetap tenang dan tersenyum. Namun, di balik senyumnya, tersimpan kekhawatiran mendalam. Putra kedua mereka belum juga menampakkan diri. Padahal, malam ini adalah malam yang membahagiakan bagi Darrel, saudara kembarnya.

"Para hadirin yang terhormat, mari kita mulai acara ini dengan penuh sukacita dan harapan baik untuk pasangan yang berbahagia!" Dengan suaranya yang lantang, pembawa acara membuka acara tersebut.

"Dan sekarang, saatnya kita saksikan momen yang paling ditunggu-tunggu, yaitu penyematan cincin pertunangan!"

Darrel dan Nancy telah berdiri di depan meja kecil yang dihias bunga-bunga. Darrel lantas mengambil kotak cincin dari atas meja. Dengan gerakan lembut, ia membuka kotak tersebut, memperlihatkan dua cincin berlian yang berkilauan.

Darrel meraih tangan Nancy dan memasangkan cincin ke jari manisnya. Nancy tersenyum bahagia, lalu membalas memasangkan cincin ke jari Darrel.

Tamu-tamu bertepuk tangan meriah. Kilatan lampu kamera mengabadikan momen tersebut.

Setelah bertukar cincin, Darrel dan Nancy berdansa dengan diiringi musik yang mengalun lembut. Nancy tampak anggun dalam balutan gaun putih yang berkibar lembut tertiup angin malam, sementara Dariel gagah dengan setelan jasnya. Mereka terlihat serasi dan sangat bahagia di bawah gemerlapnya bintang-bintang yang menghiasi langit Jakarta menambah kesan romantis dan spesial pada malam ini.

Di antara kerumunan tamu, sosok Darren terlihat berdiri mematung di dekat pintu masuk rooftop. Tersembunyi dalam remang cahaya tanpa seorang pun yang menyadari kehadirannya.

Matanya terpaku pada Nancy yang baru saja bertukar cincin. Gadis yang beberapa waktu lalu menolaknya, kini telah bertunangan dengan Darrel saudara kembarnya. Kenyataan menyakitkan yang tersaji di depan mata, seakan menghantamnya lebih keras dari yang dia bayangkan.

Darren mengepalkan tangannya kuat-kuat. Rasa sakit dan pengkhianatan bercampur aduk menjadi satu. Dia pun tidak sanggup lebih lama lagi berada di tempat itu, kemudian berbalik dan pergi dengan membawa luka yang mendalam di hatinya

Dia berjalan menyusuri trotoar jalanan. Setiap langkah yang diambilnya terasa berat, seperti memikul beban dipundaknya. Lampu-lampu kota yang berpendar di sisi jalan yang laluinya seolah mengejek kesedihannya. Darren membiarkan dirinya tenggelam dalam pikiran dan perasaan yang campur aduk.

Tiba-tiba sebuah mobil berhenti menghadang langkah Darren. Kemudian keluarlah seorang pria muda. Dia mendekati Darren dan menariknya dengan paksa masuk ke dalam mobil tersebut.

.

.

.

Sekilas info, BAGI KALIAN YANG TIDAK SUKA DENGAN CERITA INI, SAYA MOHON JANGAN MEMBACA, DAN JANGAN MENINGGALKAN JEJAK APAPUN ⚠️ SILAKAN PERGI DENGAN SENYAP.

02. Aku ingin menjadi diriku sendiri

Sebelumnya....

Setelah Darren meninggalkan pesta pertunangan Darrel dan Nancy, Daniel secara tak sengaja melihat bayangan Darren dan berbisik pada Zeya. "Aku lihat Bang Ren, tapi sepertinya dia sudah pergi. Aku rasa kita harus mencarinya. Aku takut dia ada masalah."

Zeya mengangguk paham. "Ya sudah, ayo kita cari dia."

Mereka meminta izin pada Mami Mia untuk menitipkan anak-anak. "Mi, Kakak antar Zeya ke toilet ya, titip anak-anak dulu," pinta Daniel. Mami Mia tersenyum. "Ya sudah, sana. Biar mereka sama Mami saja."

Daniel pun pergi sambil menggandeng Zeya sang istri meninggalkan kemeriahan pesta yang belum selesai. Dengan mengendarai mobilnya, Daniel dan Zeya menyusuri jalanan sambil memperhatikan sekelilingnya berharap bisa menemukan kakaknya. Hingga akhirnya mereka melihat sosok Darren berjalan di trotoar sambil menundukkan kepala.

"Itu dia," seru Zeya sambil menunjuk ke arah Darren.

Daniel langsung menghentikan mobilnya dan menghadang langkah Darren. Dia keluar dari mobil lalu menarik tangan Darren meski kakaknya itu berusaha memberontak, tetapi dia tidak memberi kesempatan. Tubuhnya didorong masuk ke dalam mobil, hingga dengan terpaksa dia duduk di kursi belakang. Keheningan pekat menyelimuti ruang sempit dalam mobil. Sesaat ketiganya membisu, hanya deru mesin dan tarikan napas tertahan yang terdengar.

Darren memalingkan wajah, menatap jalanan dengan pandangan hampa. Hingga kemudian suaranya memecah kebisuan. "Apa kalian membawaku untuk menertawaiku, atau memakiku karena aku seperti seorang pecundang yang hanya bisa berdiri di balik bayang-bayang Darrel?" Wajahnya dingin, penuh kekecewaan juga kemarahan.

Daniel mencuri pandang lewat kaca spion, mengamati raut wajah sang kakak yang tampak penuh amarah yang terpendam.

"Seburuk itukah penilaianmu terhadapku, Ren?" Suara Daniel terdengar berat.

Di antara lima bersaudara, ikatan batin antara Darren dan Daniel memang terasa paling kuat dan istimewa. Dengan selisih usia hanya satu tahun, mereka tumbuh bersama dan saling melengkapi. Mereka bukan hanya sekedar saudara, melainkan sahabat karib yang tak terpisahkan, tempat pertama bagi satu sama lain untuk berbagi cerita, baik suka maupun duka. Memahami isyarat dan tatapan mata tanpa perlu banyak kata.

Meskipun begitu, hubungan mereka dengan ketiga saudara lainnya pun tetap hangat, tetapi dengan dinamika yang berbeda. Namun, mereka tetap saling menghargai dan saling peduli.

Darren kembali diam, matanya memerah. Ia menghela napas dalam-dalam, lalu menunduk sambil memejamkan mata, berusaha menahan emosinya.

"Inilah yang aku tidak suka darimu, Ren," celetuk Daniel. "Kamu selalu sok kuat dan berpura-pura bahagia, padahal sebenarnya sangat rapuh," katanya dengan nada lebih tegas, menyingkapkan kekesalannya.

"Menangislah, jika kamu memang tak sanggup menahannya. Lepaskan semua beban di hatimu." Suara Daniel terdengar lembut, tetapi menyentuh hati, membuat Darren semakin terpuruk dalam kesedihannya.

Dua puluh menit kemudian, Daniel menghentikan mobilnya di depan sebuah hunian mewah di kawasan elit. Darren melompat keluar tanpa sepatah kata pun, diikuti Daniel yang bergegas membukakan pintu sebelah untuk Zeya, istrinya.

Darren langsung menuju kamarnya, begitu pun dengan Daniel dan Zeya. Di dalam kamarnya, Darren mengeluarkan koper lalu diisi dengan beberapa pakaian dan keperluan lainnya.

Daniel masuk ke kamar Darren, dia tampak terkejut dengan apa yang dilakukan kakaknya itu.

"Apa-apaan ini, Ren? Kamu mau ke mana?" Daniel bertanya sambil mendekat ke arah Darren.

Namun, Darren tidak menanggapi dan terus mengemas barang-barangnya tanpa menjawab pertanyaan Daniel.

"Ren, sampai kapan kamu akan terus diam seperti ini? Apa kamu pikir dengan hanya diam bisa menyelesaikan masalah? Mana Darren abangku, yang aku kenal selama ini?" lanjutnya bertanya dengan penuh kekhawatiran. Dia mencoba menghentikan tangan Darren yang terus memasukkan pakaian ke dalam koper.

"Bang, tolong bicara padaku. Apa yang sebenarnya terjadi?" ulang Daniel, kali ini dengan nada yang lebih lembut dan penuh perhatian.

Akan tetapi, Darren masih tetap diam, seolah tidak ingin membahas apa pun. Lalu tanpa diduga Daniel langsung meninju lengan Darren dengan kuat, membuat abangnya itu jatuh terjengkang.

Darren menatap dingin ke arah Daniel yang terlihat menantangnya. "Pukul, Ren! Ayo, pukul aku, jika itu bisa membuatmu merasa lega dan bisa melepaskan bebanmu!"

Darren yang sejak tadi berusaha menahan dirinya pun, tanpa pikir panjang langsung menyerang Daniel dengan pukulannya yang bertubi-tubi. Hingga mereka bergulat di lantai.

"Stop...! Apa-apa sih, kalian ini!" Zeya datang memisahkan mereka. Namun, yang terjadi malah membuatnya tercengang. Darren dan Daniel justru berpelukan sambil tertawa bersama.

"Kalian kekanakan, nggak lucu!" Zeya langsung keluar begitu saja dari kamar dengan ekspresi kesal.

Setelahnya mereka berdua duduk di lantai, dengan tangan di belakang sebagai penyangga badan. Wajah mereka terangkat menatap ke atas.

"Sudah lega, kan? Sekarang ceritakan padaku apa yang sebenarnya terjadi. Kenapa kamu tadi hanya berdiri di belakang dan tidak bergabung bersama kami?" Daniel menegakkan tubuhnya sambil menoleh ke arah Darren.

"Tanpa aku katakan, seharusnya kamu sudah paham apa yang terjadi denganku, Niel." Darren menoleh ke arah Daniel sambil tersenyum tipis.

"Lagipula, aku merasa tidak pantas berada di antara kalian dengan penampilanku yang berantakan dan pikiran kacau begini. Aku juga tidak ingin ia tahu siapa aku dan Darrel..."

"Meskipun hatimu tersakiti dan terluka? Sampai kapan kamu akan seperti ini, Ren? Sampai kapan kamu akan terus..."

"Entahlah..." potong Darren cepat seraya bangkit dari duduknya. "Sekarang antarkan aku ke stasiun. Sepertinya aku harus keluar dari rumah ini. Aku ingin menjadi diriku sendiri tanpa embel-embel nama besar keluarga kita."

"Kamu yakin?" tanya Daniel.

"Ya," jawab Darren singkat.

Daniel menatap kakaknya dengan tatapan serius, lalu mengangguk pelan. "Baiklah, aku akan mengantarmu." Dia pun membantu Darren menyelesaikan packing, lalu keduanya meninggalkan rumah.

"Sayang, kamu di rumah saja, ya. Nanti kalau mereka pulang, bilang aku mengantar Bang Ren." Daniel mencium kening istrinya dengan sayang. Zeya hanya mengangguk tanpa banyak bertanya.

Di mobil, Darren kembali diam, memandang keluar jendela sambil memikirkan langkah selanjutnya. Daniel sesekali meliriknya, tetapi tidak bertanya lebih lanjut. Setelah beberapa saat berkendara, mereka tiba di stasiun.

"Kamu hati-hati ya, Bang. Jaga dirimu baik-baik." Daniel memeluk Darren dengan erat. "Aku akan selalu ada untukmu. Jangan ragu untuk meminta bantuanku jika membutuhkan sesuatu."

Darren membalas pelukan adiknya, perasaanya sedikit lebih lega. "Terima kasih, Niel." Darren melepaskan pelukan, lalu naik ke dalam kereta dan melambaikan tangan pada Daniel yang masih berdiri di peron, menatap kereta yang membawa kakaknya pergi.

*

Mami Mia beserta rombongan akhirnya tiba di rumah. Sebelum memutuskan pulang ke rumah, ia meminta Papi Baim untuk mampir ke bengkel Darren. Akan tetapi, tidak ditemukan keberadaan putra keduanya itu di sana. Terpaksa ia pulang dengan membawa kekecewaan.

Zeya menyambut mertuanya dengan tersenyum hangat. Kedua anaknya pun langsung menghambur memeluknya. "Mama... Na, ngantuk," rengek Adzana sambil mengucek matanya.

"Loh, kamu sendiri di rumah? Kakak, mana?" tanya Mami Mia sambil mengedarkan pandangannya ke seluruh ruangan.

"Daniel mengantar Bang Ren ke stasiun, Mi. Bang Ren bilang...."

Semua mata tertuju pada Zeya dengan pandangan serius terutama Darrel.

.

.

.

Jangan lupa like nya ya...

03. Kekhawatiran Mami Mia

Sebelum pulang.

Seiring malam yang semakin larut, acara pertunangan pun berakhir dengan lancar dan tamu-tamu mulai berpamitan. Kedua keluarga mengucapkan terima kasih kepada tamu yang sudah hadir.

Keluarga Nancy akhirnya berpamitan. "Jeng Mia, terima kasih banyak, ya. Akhirnya rencana kita menjodohkan mereka berjalan lancar," ucap Nyonya Rachel-ibunda Nancy tampak bahagia sambil memeluk Mama Mia.

"Sama-sama, Jeng." Mami Mia tersenyum hangat seraya membalas pelukan calon besannya.

Sementara Ayah Nancy, Tuan Feriawan melakukan hal yang sama dengan Papi Baim.

Nancy yang bergelayut manja di lengan Darrel itupun dengan terpaksa melepaskan tangannya, "Aku pulang dulu, ya, Rel," ucapnya lirih seolah enggan untuk berpisah.

"Hu'um..." Darrel tersenyum sembari menganggukkan kepala, tangannya menggenggam erat tangan Nancy, dan mengusapnya lembut.

Setelah mobil keluarga Nancy berlalu, Mami Mia menghela napas lega. Ia lalu memandang Darrel berharap semoga kebahagiaan selalu menyertai putra sulungnya itu.

Namun, ketidakhadiran Darren, masih menyisakan teka-teki besar baginya. Mami Mia, terlihat sangat khawatir. "Aneh sekali, kenapa Bang Ren tidak hadir bahkan sampai acara selesai?" Pertanyaan itu terus berputar di kepalanya.

"Pi, mami takut terjadi sesuatu sama Bang Ren?" bisik Mami Mia pada Papi Baim.

Papi Baim hanya menggelengkan kepala, berusaha menenangkan istrinya. "Mami tenang saja ya, nanti kita mampir ke bengkel Bang Ren. Mungkin ada sesuatu yang urgent, sehingga dia tidak bisa datang."

Akhirnya mereka sekeluarga meninggalkan hotel. Darren dan Danish ikut dengan mobil orangtuanya, sementara Davin si bungsu mengendari motor sport-nya.

Sesampai di depan bengkel Darren, ruko dua lantai itu tertutup rapat. Bahkan lampu di lantai atas yang biasa digunakan Darren untuk beristirahat atau menginap, sudah padam. Berarti Darren tidak ada di tempat tersebut.

"Sepertinya Bang Ren nggak ada di sini deh, Mi. Buktinya lampunya udah nggak nyala di lantai dua," ujar Danish.

Mami Mia menghela napas panjang, sambil memandangi ruko yang tampak sepi itu.

"Sebaiknya kita segera pulang, barangkali Bang Ren sudah ada di rumah," pungkas Papi Baim.

*

*

"

Kembali di rumah

Semua mata tertuju pada Zeya, termasuk Darrel yang juga menatapnya serius, menunggu kelanjutan ucapannya. Mami Mia, yang sudah tidak sabar, mendekati sang menantu dan mengguncang kedua bahunya. "Apa kata Bang Ren, Sayang? Katakan, cepat!"

Zeya mengerjapkan mata, ia terkejut dengan reaksi ibu mertuanya itu.

Papi Baim segera menarik tangan istrinya dari pundak Zeya. "Mi, kendalikan dirimu."

"Ze, coba katakan dengan jelas, Bang Ren bilang apa?" tanya Papi Baim dengan lembut seraya menatap menantunya.

Zeya menghela napas lalu menjawab, "Bang Ren bilang akan keluar kota karena ada pekerjaan yang harus diselesaikan."

Zeya meniupkan napasnya lega. "Ya Tuhan, maafkan hamba yang sedikit berbohong," gumamnya dalam hati.

"Maaf, Ze harus ke kamar. Sepertinya Zana dan Zando sudah ngantuk sekali. Permisi." Zeya lalu membawa kedua anaknya ke lantai atas menuju ke kamarnya.

Mami Mia tampak tidak puas dengan jawaban Zeya. Ia merasa aneh, seperti ada sesuatu yang disembunyikan. Tidak biasanya putra keduanya itu bersikap seperti itu.

Papi Baim berusaha menenangkan sang istri dengan mengusap lembut punggungnya. "Kita ke kamar yuk, Mi. Ini sudah malam, sebaiknya kita tidur. Besok kita bisa bertanya pada Kakak, apa yang terjadi dengan Bang Ren."

Mami Mia pun menurut, tetapi sebelum masuk ke kamarnya, ia menoleh ke arah Darrel yang sejak tadi hanya berdiri diam mendengarkan, tanpa sedikitpun mengeluarkan suara. Namun, sebagai seorang ibu, ia tahu putra sulungnya itu merasakan kekecewaan dan kekhawatiran yang sama dengannya.

"Sebaiknya Abang tidur, ya. Pasti sangat capek, kita bisa bicarakan ini besok lagi," ucapnya lembut sambil tersenyum.

"Iya, Mi." Darrel mengangguk, lalu naik ke lantai atas di mana kamarnya berada.

*

Daniel baru saja tiba di rumah dan langsung masuk setelah melihat mobil Papi Baim sudah ada di garasi. Mami Mia, yang sedang menuju ke kamar, mengurungkan niatnya, lalu bergegas menghampiri putra ketiganya itu dengan mata berbinar penuh harapan.

"Sayang, apa benar Bang Ren pergi keluar kota karena ada pekerjaan?" tanyanya dengan nada penasaran, berharap mendapatkan jawaban yang pasti dari Daniel.

"Kakak baru datang, Mi. Biarkan dia duduk dulu," tegur Papi Baim, mencoba meredakan situasi.

"Mami hanya khawatir, Pi," sahut Mami Mia berusaha membela diri

"Katakan, Kak. Jangan membuat mami penasaran," desak Mami Mia.

Daniel menggaruk kepalanya, tampak bingung. Sesaat kemudian menatap ke lantai atas, lalu kembali menatap orangtuanya dengan pandangan yang ambigu. "Mami, Papi... Lebih baik kita bicara di tempat lain, karena ini mengenai Bang Ren," kata Daniel, suaranya pelan seakan tak ingin yang lain mendengarnya.

Mami Mia dan Papi Baim saling pandang dengan tatapan tak mengerti. Namun, Papi Baim kemudian mengangguk. " Baiklah, kita ngobrol di ruang kerja papi saja," katanya, lalu membimbing sang istri masuk ke ruang kerjanya, diikuti oleh Daniel di belakangnya.

Suasana menjadi sangat tegang, dan rasa penasaran Mami Mia semakin memuncak. Daniel menatap kedua orangtuanya dengan serius, lalu mengambil napas dalam sebelum berbicara. "Sejujurnya, Bang Ren memang ada masalah, Mi, Pi. Tapi kakak tidak bisa mengatakan apa-apa tanpa izin darinya..."

"Apa-apaan ini, Kak?" sambar Mami Mia cepat. "Kenapa tidak mau bilang? Apa yang sebenarnya kalian sembunyikan?" suaranya mulai meninggi.

Papi Baim meletakkan tangan pada bahu istrinya, memberi isyarat untuk menahan diri. "Kakak, tolong beritahu kami apa yang sebenarnya terjadi."

Daniel memijat pelipisnya, dia merasa lelah, tetapi tidak tega melihat wajah kedua orangtuanya yang tampak khawatir. Dia lalu melanjutkan ucapannya.

"Sebenarnya... Bang Ren pergi bukan karena pekerjaan. Tapi dia bilang, butuh waktu sendiri untuk menata hatinya."

Mami Mia tersentak kaget sambil mengernyit bingung, sementara Papi Baim meminta klarifikasi. "Apa maksudnya, Kak? Bicaralah yang jelas biar kami paham."

"Bang Ren, dia...." Daniel tampak ragu.

.

Tolong, jangan lompat bab, ya gaes.

Jangan lupa like 🤗

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!