Hari itu cerah, langit musim semi di ibu kota kerajaan Skandinavia berkilau biru, dengan awan tipis yang berarak seperti kapas. Istana megah berdiri dengan menara-menaranya yang menjulang, dinding batu pualamnya memantulkan sinar matahari pagi.
Putri Daniella, yang baru berusia 19 tahun, tampak memukau seperti biasa. Glam team pribadinya telah meriasnya dengan sempurna, jaket kardigan tweed krem dengan keliman hitam yang elegan, dipadukan dengan rok lipit flowy yang menari lembut saat dia berjalan, heels hitam yang ramping, dan clutch hitam yang menambah kesan anggun.
Sarung tangan hitam melengkapi penampilannya, memberi sentuhan bangsawan yang tak bisa disangkal.
Dia melangkah keluar dari kamarnya, rambut pirangnya yang bergelombang tergerai indah, menuju tempat parkir di mana Rolls-Royce warna beige menantinya untuk membawanya ke acara peresmian museum seni.
Namun, langkahnya terhenti di depan mobil. Di sana, seorang pria muda yang asing berdiri, tampan dengan postur tegap, mengenakan jas hitam rapi dengan kemeja putih dan dasi hitam yang terikat sempurna. Sepatu kulitnya mengilap, dan matanya yang teduh menatapnya dengan sopan, penuh hormat.
Dia tersenyum ramah, tapi Putri Daniella justru mengerutkan dahi, matanya menyipit penuh curiga.
"Siapa kamu? Kenapa ada di dekat mobilku?!" bentaknya, suaranya tajam seperti angin musim gugur yang menggigit.
Pria itu tetap tenang, meski ada sedikit keterkejutan di wajahnya.
"Maaf, Tuan Putri, nama saya Erik. Saya sopir Tuan Putri. Paman Tuan Putri yang meminta saya menjadi sopir Putri Daniella menggantikan Pak Jannick," jawabnya dengan suara lembut tapi tegas, berusaha menenangkan situasi.
"Lancang sekali kamu memanggil namaku! Panggil aku Tuan Putri saja. Paham!" bentak Daniella lagi, wajahnya memerah karena kesal.
"Aku gak peduli siapa yang memintamu jadi sopirku. Aku gak mau dan gak akan mau disopiri kamu!" Dia berbalik, langkahnya cepat menjauh dari mobil, meninggalkan Erik yang hanya bisa menghela napas panjang.
Pria itu tetap berdiri di tempatnya, tangannya masih memegang gagang pintu mobil, matanya menatap ke arah gadis yang pergi dengan perasaan campur aduk.
Putri Daniella langsung meraih ponselnya, menelpon Pangeran Gustav, pamannya yang selalu jadi tempatnya mengadu.
"Paman Gustav di mana?" tanyanya, nada suaranya penuh kemarahan yang diselimuti manja.
"Lagi di istal, mengecek kondisi Rosie yang kurang sehat. Ada apa? Pasti masalah sopir baru, kan?" jawab Pangeran Gustav, suaranya tenang tapi penuh pengertian.
Dia tahu betul sifat keponakannya yang keras kepala namun manja.
Selama ini, Daniella memang sangat dekat dengan pamannya. Pangeran Gustav, pria berusia 46 tahun yang hangat dan penuh kasih, memperlakukannya seperti anak sendiri.
Dengan hanya satu putra, Pangeran Andrian, Gustav menganggap Daniella sebagai putri yang tak pernah dia miliki.
"Iya, sopir baru itu! Aku gak mau dia jadi sopirku. Kembalikan Jannick sebagai sopirku!" pintanya, suaranya penuh protes.
"Kita bicara itu nanti saja, bukannya kamu mesti ke pembukaan museum? Nanti telat," bujuk Gustav, mencoba mengalihkan.
"Aku gak akan pergi kemana-mana kalau dia yang nyopirin! Biarin aja gak usah pergi sekalian!" tegas Daniella, nada suaranya kian meninggi.
"Jangan seperti itu. Tunggu di situ, Paman menuju ke sana," kata Gustav, suaranya tetap sabar.
Tak lama kemudian, Pangeran Gustav tiba di garasi istana, kemejanya sedikit berdebu dari istal, tapi wajahnya tetap ramah. Daniella langsung menyambutnya dengan ekspresi cemberut.
"Paman gak bisa seenaknya ganti sopirku tanpa pemberitahuan! Aku gak mau sopir baru. Gak ada tawar-menawar. Titik!" katanya, tangannya disilangkan di dada.
"Paman rasa dia pantas jadi sopir kamu menggantikan Jannick," kata Gustav tenang.
"Pihak keamanan istana sudah menyelidiki secara dekat kualifikasi dan riwayat masa lalunya, orang tua dan kakek-neneknya. Tidak ada masalah apapun dengan dia."
"Aku gak mau tahu riwayat masa lalunya! Yang jelas aku gak suka dia jadi sopirku!" protes Daniella, suaranya mulai merajuk.
"Sopir itu juga selama setahun telah menjalani pelatihan, termasuk mengatasi penculik dan pembajakan, serta situasi darurat. Dia lulusan terbaik dalam pelatihan itu. Dia sudah menandatangani undang-undang rahasia resmi juga, jadi siap bekerja di lingkungan istana," jelas Gustav, berusaha meyakinkan.
"Kalau dia lulusan terbaik, kenapa gak jadi sopir Ayah, Ibu, atau kakak-kakakku, atau sopir Paman saja?" Daniella tak mau kalah, alisnya terangkat.
"Paman yang bertanggung jawab di lingkungan istana untuk merekrut sopir dan pengawal. Bukannya kamu sering minta gak dikawal banyak bodyguard lagi? Setiap bulan selalu merengek dan marah-marah karena mereka selalu ikuti kamu. Dia solusinya," kata Gustav, suaranya penuh keyakinan.
"Paman sengaja melatih khusus dia untuk jadi pengawal juga. Jadi, dia cocok untuk jadi sopir sekaligus pengawal kamu. Begini saja, beri dia kesempatan seminggu. Kalau memang tidak cocok, Paman akan ganti. Janji."
"Aku tetap gak sreg dia jadi sopirku," gumam Daniella, masih cemberut.
"Jangan suka ngambekan, marah-marah, ngomel-ngomel terus, nanti cepat keriput!" candain Gustav, mencoba mencairkan suasana.
"Ntar benar lagi ulasan si editor itu, siapa namanya? Mariela. Masak gadis 19 tahun tampak lebih tua dari kakaknya, Putri Dania, yang 25 tahun. Gak mau, kan?"
Daniella akhirnya tersenyum kecil, meski masih kesal. "Iya, ya. Maunya sih gak marah-marah terus setiap hari. Tapi selalu aja ada yang bikin emosi. Kalau tentang sopir itu, aku tetap gak mau dia jadi sopirku," katanya, bersikeras.
"Silakan pilih: mau tetap Jannick yang jadi sopir, ditambah dua pengawal, atau cukup Erik saja, sopir sekaligus pengawalmu," tantang Gustav.
Daniella menghela napas panjang. "Paman nemu tuh orang di mana sih?"
"Setahun lalu, saat Paman liburan musim dingin di kastil dekat Vilkrad. Dia nolong Paman saat mobil yang disopiri Markus terjebak lumpur. Erik berhasil dengan mudah melewatinya," cerita Gustav, matanya berbinar mengenang.
"Paman kagum kemampuannya. Dia sudah berpengalaman mengemudi truk untuk mengantar sayur, sapi, dan susu ke kota. Keluarganya petani dan peternak sapi di Desa Vilkrad. Dia punya lisensi mengemudi, dan pengalaman mengemudi secara profesional. Dia teruji sebagai sopir yang terampil, akurat, presisi, tepat, serta aman sesuai prosedur keselamatan. Jadi, dia lulus terbaik dari segala segi."
Gustav mengelus rambut Daniella dengan penuh kasih.
"Kamu gak perlu meragukan kemampuannya. Ok, ponakan Paman yang cantik?"
Daniella mengangguk pelan, meski hatinya masih ragu.
"Baiklah, dia harus lulus uji coba selama seminggu. Kalau tidak sesuai seperti yang Paman katakan, aku bisa memecatnya dan meminta Jannick kembali, kan?"
"Baik, deal ya," kata Gustav, tersenyum lebar.
**********
Daniella kembali ke mobil, diantar pamannya. Gustav menoleh pada Erik, yang masih berdiri sopan di samping Rolls-Royce.
"Erik, aku percayakan ponakanku di tanganmu. Hati-hati, bawa dia ke tujuannya dan kembalikan dia dengan baik dan utuh. Good luck," pesannya, suaranya penuh kepercayaan.
"Siap, Yang Mulia Pangeran. Saya akan laksanakan tugas ini dengan sebaik-baiknya," jawab Erik, membungkuk hormat.
Daniella masuk ke mobil, wajahnya masih jutek.
"Pokoknya aku gak mau tahu, harus tiba di sana dalam waktu setengah jam! Jangan sampai mereka menungguku, dan datang telat, sampai acaranya dimundurin. Acara dimulai 50 menit lagi. Ayo, cepatan jalan!" perintahnya, suaranya penuh otoritas.
Daniella tahu betul, perjalanan dari istana ke museum biasanya makan waktu hampir satu jam, bahkan jika mobil melaju kencang di atas 150 km/jam.
Tapi dia tak peduli, dia harus tiba paling lambat 40 menit lagi agar tak jadi bahan gunjingan media, terutama Mariela, editor yang selalu kritis.
"Habislah aku jadi bulan-bulanan media kalau tiba di sana tidak tepat waktu. Meski mereka menungguku, tapi kalau aku datang telat, pasti ada komentar gak mengenakan," batinnya, jantungan sedikit.
"Maaf, Tuan Putri, mau lewat jalan pintas biar sampai dalam waktu 30 menit dan tepat waktu? Atau lewat jalan biasa?" tawar Erik, suaranya tetap tenang meski ada sedikit ketegangan di nadanya.
"Memangnya kamu tahu jalan pintas? Kalau bisa, lewat jalan pintas, ayo kita lewat sana!" kata Daniella, alisnya terangkat, setengah tak percaya.
Erik tersenyum kecil, tak terlihat oleh Daniella. Dia tahu semua jalan dan lorong rahasia di kota ini, berkat pelatihan khusus dari Pangeran Gustav.
Adipati Vilkrad itu secara pribadi membawanya menjelajahi tempat-tempat tersembunyi, termasuk lorong rahasia di belakang katedral tua di sisi utara kota.
Erik tak yakin apakah sopir lain yang menjalani pelatihan setahun itu juga mendapat keistimewaan ini, tapi dia merasa terhormat atas kepercayaan Gustav.
"Sudah tahu telat, pakai banyak tanya lagi! Jalan aja, terserah mau lewat mana. Kalau bisa, terbang saja sekalian. Ngerti!" ketus Daniella, menatap ke luar jendela, tangannya memegang clutch dengan erat.
"Baik, Tuan Putri," sahut Erik lembut, tak terpengaruh oleh nada ketus itu.
Mobil melaju mulus, dan Erik membawa Rolls-Royce menuju pintu rahasia di samping katedral tua. Dia menghentikan mobil di depan gerbang terkunci, turun sejenak, dan membuka pintu dengan kunci yang diberikan Gustav.
Setelah gerbang terbuka, dia kembali masuk dan membawa mobil melewati lorong sempit yang hanya muat satu kendaraan.
Putri Daniella, yang awalnya cemberut, tiba-tiba terpana. Lorong sepanjang lima kilometer itu dihiasi mural-mural kuno di dinding batu, menggambarkan sejarah kerajaan Skandinavia dengan warna-warna pudar namun memesona.
Cahaya lampu mobil memantul, membuat lukisan itu seolah hidup.
"Wow, keren banget," batin Daniella, matanya melebar, tak bisa menyembunyikan kagum. "Kenapa aku gak tahu ada lorong rahasia sekeren ini ya?"
Dia ingin sekali berhenti untuk mengambil foto, tapi waktu tak memungkinkan. Sekilas, dia melirik kaca spion dan menangkap Erik yang tersenyum kecil, seolah tahu apa yang ada di pikirannya.
Tiba-tiba, ponselnya berbunyi. Notifikasi pesan dari Pangeran Felix, Putra Mahkota kerajaan Nordik.
"Bagaimana kabarmu? Lagi sibuk apa sekarang?" tulisnya.
Daniella tersenyum lebar, hatinya berbunga-bunga.
"Aku sehat, biasalah aktivitas rutin. Sekarang lagi mau ke acara peresmian museum seni," balasnya cepat.
"Oh, keren. Aku akan berkunjung ke tempatmu Minggu depan. Ayo kita jalan-jalan," tulis Felix lagi, disertai emotikon senyum.
"Ok, aku gak sabar bertemu kamu," balas Daniella, jari-jarinya mengetik dengan semangat.
"Sampai ketemu Minggu depan," balas Felix.
"Baik. Sampai ketemu," kirim Daniella, wajahnya berseri-seri. Pikirannya melayang ke Pangeran Felix, pemuda tampan bermata elang, tinggi 187 cm, yang terakhir dia temui tiga bulan lalu.
Sepanjang perjalanan, dia tersenyum sendiri, tak menyadari Erik sesekali meliriknya melalui kaca spion, wajahnya penuh perhatian tapi hati mulai terasa perih.
Mereka tiba di museum dalam waktu 20 menit, tepat seperti janji Erik.
"Benar apa yang dikatakan si sopir itu, lewat lorong rahasia cepat sampai di lokasi," gumam Daniella dalam hati, setengah kagum, setengah kesal karena harus mengakui kemampuan pria itu.
Daniella turun dari mobil, disambut walikota dan pejabat kerajaan dengan hormat. Erik, yang juga bertugas sebagai pengawal, berdiri tak jauh, mengawasi dengan mata waspada.
Meski Daniella tetap memasang wajah jutek padanya, acara peresmian berjalan lancar hingga sore.
Saat kembali, Daniella meminta pulang lewat lorong rahasia lagi, diam-diam menikmati petualangan kecil itu, meski egonya tak mau mengakui bahwa Erik telah membuktikan dirinya.
********
Di bawah langit senja yang mulai memerah, museum seni yang baru diresmikan terasa seperti mimpi yang memudar, dengan kerumunan pejabat dan tamu kerajaan yang mulai berpencar.
Udara musim semi masih hangat, membawa aroma bunga sakura yang mekar di taman sekitar, tapi hati Putri Daniella sudah gelisah, campuran antara kelelahan acara formal dan kegembiraan pesan dari Pangeran Felix.
Dia melangkah keluar dari gedung museum, rok lipitnya menari lembut ditiup angin, heels hitamnya mengetuk lantai marmer dengan irama tegas.
Erik sudah menunggu di samping Rolls-Royce beige, pintu belakang terbuka, wajahnya tetap tenang meski tahu hari pertama kerjanya ini penuh ujian.
"Kita pulang lewat katedral tadi ya," perintah Daniella saat masuk ke mobil, suaranya penuh otoritas tapi ada nada antusias yang tak bisa disembunyikan.
"Aku mau lihat mural di dinding sepanjang lorong itu."
Matanya berbinar mengingat lukisan-lukisan kuno yang tadi sekilas dilihatnya, seperti portal ke dunia dongeng yang jarang dia sentuh di balik tembok istana.
Erik menutup pintu dengan hati-hati, lalu duduk di kursi pengemudi. Melalui kaca spion, dia melihat wajah Daniella yang masih jutek tapi penuh rasa ingin tahu.
"Maaf, Tuan Putri," jawabnya pelan, suaranya lembut tapi tegas, seperti angin yang tak ingin menyakiti.
"Kita gak bisa pulang melewati jalan itu lagi. Khusus untuk berangkat saja. Karena nanti akan tembus ke arah jalan yang salah."
Putri Daniella mengerutkan dahi, matanya menyipit penuh kemarahan yang mendadak membara.
"Aku perintahkan kamu lewat situ, ya harus nurut!" geramnya, suaranya naik oktaf, membuat udara di dalam mobil terasa lebih pengap.
Hatinya panas, bagaimana bisa sopir baru ini berani menentang? Dia terbiasa dengan ketaatan mutlak, bukan perdebatan.
"Tuan Putri, saya ini harus mengikuti aturan," jelas Erik, tangannya memegang kemudi dengan mantap, tapi hatinya mulai berdegup lebih kencang.
Dia tahu resikonya, tapi pelatihan dari Pangeran Gustav mengajarkannya untuk prioritaskan keselamatan dan aturan.
"Itu jalan darurat. Kita kan bisa pulang melewati jalan biasa, dengan waktu normal. Bukan sesuatu yang mendesak, tidak memburu waktu."
"Eh, berani kamu menentang perintahku?" bentak Daniella, wajahnya memerah seperti daun musim gugur yang jatuh.
"Kamu itu cuma sopir, pekerja rendahan, yang harus nurutin semua yang diperintahkan!"
Kata-katanya seperti cambuk, penuh rasa superioritas yang dia pelihara sejak kecil, tapi di balik itu ada sedikit ketakutan, takut kehilangan kendali atas dunia kecilnya.
"Maaf, Tuan Putri, tapi prosedur..." Erik belum selesai bicara, suaranya tetap tenang, tapi Daniella sudah menyela dengan tajam.
"Masa bodoh dengan prosedur! Hentikan mobil sekarang, aku mau turun saja!" teriaknya, melempar sarung tangan hitamnya ke arah Erik, mengenai bahu pria itu dengan lembut tapi penuh kemarahan.
Sarung tangan itu jatuh ke lantai mobil, simbol dari amarahnya yang meluap.
Erik menghela napas pelan, hatinya terasa berat, dia tak ingin memulai hari pertama dengan konflik, tapi dia juga tak bisa melanggar aturan yang bisa membahayakan mereka.
Dengan hati-hati, dia menepi di pinggir jalan yang ramai dengan lalu lintas sore hari, suara klakson kendaraan lain seperti latar belakang kekacauan hati mereka.
"Aku turun di sini atau kamu antar aku pulang lewat jalan tadi. Kamu pilih mana?" tantang Daniella, matanya menyala penuh tekad.
Erik menatapnya melalui kaca spion, melihat campuran antara kemarahan dan kerapuhan di mata gadis itu. Akhirnya, dengan suara yang lelah tapi patuh, dia mengalah.
"Baik, Tuan Putri, kita pulang lewat jalan tadi."
Hatinya berat, ini pelanggaran pertama, tapi dia tak ingin gadis itu benar-benar turun dan membahayakan diri.
"Heran, baru kali ini aku berdebat panjang sama sopir yang gak tahu diri, gak tahu posisinya siapa, membantah saja kerjanya," gerutu Daniella, suaranya masih meradang saat mobil kembali melaju.
"Benar-benar bikin dongkol. Awas aja nanti aku akan pertimbangkan posisimu sebagai sopirku. Tau!"
Dia menyandar di jok, tangannya memegang clutch dengan erat, hati campur antara kesal dan sedikit kemenangan kecil.
Erik hanya diam, fokus pada jalan, tapi pikirannya berputar, dia tahu ini ujian, dan dia harus sabar.
*******
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!