Di dalam kamar terlihat seorang pria dan wanita sedang duduk saling membelakangi, terlihat dari ekspresi wajah si pria sepertinya dia sedang kesal kepada si wanita.
"Kita menikah karena perjodohan, jadi jangan berharap lebih padaku,"ucap Carlo menegaskan dengan raut wajah datar.
"Ini adalah kamarmu, dan itu lemari pakaiannya. Kamu bisa menaruh pakaianmu di dalam lemari itu. Lalu aku akan tidur di kamar sebelah." Carlo beranjak dari tempat duduknya.
Cia tertegun.
"Maksudnya, kamar kita terpisah?"
Carlo hanya mengangguk sekilas. Kemudian membalikkan tubuhnya ingin keluar dari kamar itu.
Dengan cepat Cia meraih tangan kekar milik Carlo. Menghentikan langkah laki-laki itu.
Carlo menoleh. Menatap tajam tangan Cia yang ada di tangannya.
"Jangan berani menyentuhku!" bentaknya, menghempaskan tangan Cia. Membuat gadis itu kaget. Dia pun menatap heran laki-laki di depannya.
"Kalau kau tidak menginginkan pernikahan ini, kenapa dari awal tidak menolak?" tanya Cia merasa heran. Padahal dia berharap apa yang di katakan oleh orang tuanya adalah kenyataan, tapi ternyata Carlo pria yang kasar.
"Aku tidak bisa menolaknya, karena kakek mengancamku. Tapi aku yakin wanita miskin sepertimu pasti bahagia menikah dengan pria tampan dan juga kaya sepertiku," ujar Carlo dengan tatapan dingin. Setelahnya melangkahkan kakinya pergi menuju kamarnya.
Brugh!
Cia kaget mendengar suara pintu yang di banting dengan keras. Namun tidak berusaha keluar untuk melihat yang terjadi. Dia hanya mengusap dadanya yang tadi kaget. Segera mengambil kopernya. Menyeretnya mendekati lemari. Kemudian Cia membereskan baju-bajunya ke dalam lemari.
Selesai membereskan bajunya, Cia berjalan keluar dari kamarnya. Dilihatnya pintu kamar Carlo tertutup. Cia pun tidak memperdulikannya, dia tidak ingin mengganggu pria itu.
Gadis itu berjalan menuruni tangga, dan saat sampai di lantai bawah, matanya melirik mencari pintu lain selain pintu yang di laluinya tadi saat masuk. Cia pun menemukannya.
"Itu pasti pintu menuju dapur. Sebaiknya aku ke sana," gumam Cia lalu melangkah menuju pintu tersebut.
Sesuai perkiraan Cia, ternyata pintu tersebut memang menuju dapur. Cia melihat ibu mertuanya sedang memasak di sana.
"Akhirnya kamu datang juga.Baru saja aku ingin memanggilmu," ucap Meri dengan nada lembut.
"Cia, kebetulan pembantu di rumah ini kemarin berhenti bekerja disini, jadi sekarang di rumah ini tidak ada seorang pembantu. Tapi mama tidak berniat mencari pembantu lagi, karena sekarang mama sudah memiliki seorang menantu, jadi mulai sekarang kamu yang memasak dan membersihkan rumah ini," terang Meri menjelaskan.
Raut wajah Cia tampak terbelalak lebar mendengarnya.
"Kenapa harus aku, ma? Kenapa tidak mencari seorang pembantu?" tanya Cia merasa heran.
"Bukankah aku menantu di rumah ini? Tapi kenapa aku malah di suruh mengerjakan semuanya ? Seolah-olah aku seorang pembantu saja, apalagi di hari pertama aku tinggal di rumah ini," pikir Cia sembari menggaruk kepalanya yang sama sekali tidak gatal.
"Jadi kamu tidak mau melakukannya? Dari pada uangnya di pakai untuk bayar pembantu, lebih baik kita pakai shopping. Carlo juga tidak suka ada pembantu di rumah ini. Lagian kamu itu menantu di rumah ini, sudah seharusnya kamu yang melakukan semuanya. Kamu mau menjadi seorang istri dan menantu durhaka? Kalau bukan kamu yang mengerjakan, lalu siapa? Mama juga sudah tua, kalau penyakit Mama kambuh gimana?"tanya Meri menjelaskan.
"Baiklah,ma. Aku akan melakukannya," jawab Cia terpaksa. Wanita itu lalu memasak, sedangkan mama mertuanya hanya melihatnya saja. Setelah selesai dia langsung menyiapkan makanannya di meja.
"Ma, semuanya sudah selesai. Aku akan pergi memanggil Carlo.
"Pergilah!
Cia beranjak meninggalkan dapur. Menaiki tangga menuju kamar Carlo. Cia berdiri di depan pintu.
Tok tok tok
Cia mengetuk pintu kamar Carlo, namun tidak ada jawaban dari dalam.
Cia sekali lagi mengetuk, bahkan sampai tiga kali, tetapi tetap saja tidak ada jawaban.
Cia memegang ganggang pintu, mencoba membuka pintu kamar Carlo. Ternyata tidak dikunci. Dengan perasaan ragu, Cia memberanikan diri masuk ke dalam kamar Carlo.
Tidak ada siapa-siapa di dalam kamar. Namun terdengar suara gemercik air di dalam kamar mandi. Sepertinya Carlo sedang mandi.
Tadinya Cia ingin kembali pergi. Keluar dari kamar itu. Namun satu bingkai foto dengan ukuran besar menempel di dinding kamar, menyita perhatiannya.
Cia mendekati bingkai foto tersebut. Di dalamnya terdapat gambar seorang pria sedang memegang tangan seorang wanita dengan mesra. Keduanya sedang duduk di sebuah taman. Mata mereka saling memandang penuh cinta dan kebahagiaan.
Cia tersenyum miris kala melihat foto itu. Foto seorang laki-laki yang sekarang sudah sah menjadi suaminya bersama dengan seorang wanita.
Cia tersenyum miris melihat kemesraan foto itu.
'Kenapa mama dan papa begitu tega menikahkan aku dengan orang seperti ini? Walaupun dijodohkan oleh kakek, tidak bisakah mereka menyelidiki latar belakang keluarga ini terlebih dahulu? Sepertinya tidak akan ada orang yang memperlakukanku dengan baik di sini,'batin Cia sedih. Tanpa terasa gadis itu meneteskan air matanya.
"Sedang apa kamu di kamarku? Siapa yang mengizinkanmu masuk ke kamar ini?"bentak Carlo dari arah belakang.
Cia segera mengusap air matanya. Segera membalikkan badan ke arah Carlo. Terlihat laki-laki dengan menggunakan bathrobe di tubuhnya, sedang berdiri dengan tatapan bengisnya.
"Ma-maaf. Cia hanya ingin bilang kalau makanan sudah siap. Sebaiknya kamu makan siang dulu. Karena sudah waktunya." Cia menjawab agak terbata. Wajahnya langsung menunduk selesai berkata. Tidak kuat melawan tatapan Carlo yang penuh amarah.
"Lain kali kalau mau masuk, sebaiknya ketuk pintu dulu. Jangan pernah masuk sebelum aku izinkan,"ucap Carlo penuh penekanan.
"Aku sudah mengetuk pintunya sampai tiga kali, tapi kamu tidak menjawab. Makanya aku memberanikan diri masuk ke kamar ini," jawab Cia, memberikan alasan yang sejujurnya.
"Ah banyak bicara, kamu! Cepat keluar! Aku tidak mau kamarku dan kekasihku di masuki oleh kamu,"bentak Carlo. Pria itu mencengkram tangan Cia dengan kasar. Menariknya ke pintu. Kemudian mendorongnya keluar dari kamar.
"Aww!" Teriak Cia saat terjatuh dan lututnya menyentuh lantai yang keras.
"Mulai sekarang, jangan pernah masuk ke kamarku," bentak Carlo lagi.
Brugh!
Kembali Carlo menutup pintu kamarnya dengan membanting keras di depan Cia.
Cia kaget. Perlahan Dia bangkit dari jatuhnya. Dengan langkah tertatih akibat sakit di lututnya, Cia berjalan ke arah kamarnya.Memasuki kamar itu.
Setelah menutup pintunya, Cia berjalan ke arah kasur. Lalu duduk di atas kasur.
Air mata mengalir di pipinya. Lututnya sakit, apalagi hatinya. Menerima perlakuan yang sangat kasar dari suaminya.
Cia ingin mengadu. Tapi pada siapa? Papa mamanya? Tidak mungkin. Mereka pasti akan menyuruhnya untuk bersabar karena mereka baru saling mengenal.
Mengadu pada Meri? Itu juga tidak mungkin, mertuanya itu terlihat seperti tidak menyukainya.
Cia hanya bisa menangis. Menahan rasa sakit hatinya. Tanpa tahu harus berbuat apa.
Terima kasih ya krn sudah mampir🙏, jangan lupa like dan komentarnya ya kakak2, biar author tambah semangat nulisnya😊
Sudah dua bulan Cia berada di rumah itu, dan hari-hari yang Cia jalani begitu berat semenjak menikah dengan Carlo. Mereka menikah bukan karena cinta, tapi karena perjodohan. Tapi Cia selalu berharap perkataan orang tuanya adalah nyata. Cinta sejati di mulai setelah mengucapkan janji suci pernikahan. Tapi kenapa Cia hanya merasakan dinginnya jarak?
Semenjak kejadian kemarin, Cia tidak pernah masuk ke dalam kamar Carlo. Bahkan kalau sedang bersih-bersih, gadis itu tetap tidak masuk ke kamar Carlo, dan nantinya pria itu sendiri yang membersihkan kamarnya sendiri.
"Cia, cuci baju itu! Ingat, jangan sampai ada yang ketinggalan seperti kemarin! Orang tuamu pasti tidak memberitahumu akan hal ini. Sebenarnya kamu menikah dengan Carlo karena almarhum kakekmu punya hutang banyak pada kakeknya Carlo. Kakekmu tidak bisa membayar hutang-hutangnya itu, jadi dia membuat perjodohan ini. Memang licik sekali kakekmu itu. Sudah nggak bisa bayar hutang, sekarang menyuruh cucunya menikah dengan Carlo untuk mengincar harta keluarga ini. Sekarang mending cuci semua baju itu. Anggap saja kamu mengerjakan semuanya untuk membayar hutang-hutang kakekmu. Kamu itu di sini sudah makan gratis, jangan berharap jadi ratu di sini. Kamu pikir Carlo mau dengan wanita sepertimu," cerca Meri sambil berkacak pinggang.
Cia tersenyum miris mendengarnya. Dulu hidupnya begitu bahagia, tapi kenapa sekarang malah jadi begini? Kalau tau akan seperti ini, dia tidak akan pernah mau menikah dengan Carlo.
Bahkan pria itu tidak pernah memberikan uang untuknya. Tiap bulan pria itu hanya memberi uang pada ibunya, dan semua keperluan di rumah ini di atur oleh ibu mertuanya.
Miris, miris sekali nasib wanita malang itu, jika ingin sesuatu, Cia akan pergi ke restoran di sebelah rumah mertuanya. Wanita itu akan bekerja di sana agar memiliki uang. Barulah Cia bisa membeli sesuatu yang dia inginkan.
"Kenapa? Kamu mau marah ha? Silahkan marah! Mau ngadu sama suamimu? Ngadu saja sana, saya tidak takut sama sekali. Lagian suamimu tidak akan membelamu. Atau mau ngadu sama orang tuamu? Dia tidak akan percaya dengan kata-katamu."
Ya mana mungkin ibu mertuanya takut, karena suaminya juga sama. Jika Cia mengadukan sikap sewenang-wenang ibunya itu, pria itu malah akan memaki Cia.
Cia juga pernah mengadu pada orang tuanya, tapi mereka tidak percaya pada perkataannya. Entah apa yang sudah di dengar dari mulut ibu mertuanya, sampai mereka tidak mempercayai ucapan putrinya sendiri.
Sakit! Itu yang di rasakan Cia saat ini. Rasanya dirinya tidak sanggup lagi menghadapi semua ini, namun apa boleh buat dirinya harus tetap bertahan hingga hutang-hutang almarhum kakeknya lunas, setelah itu dia akan meminta cerai pada Carlo.
"Cepat cuci semua baju itu! Jangan kebanyakan ngelamun."
Wanita paruh baya yang bernama Meri itu dengan sengaja menendang ember besar yang berisi baju-baju kotor milik wanita itu dan anak gadisnya- adik Carlo. Sungguh Cia sampai memejamkan kedua bola matanya.
"Ya Tuhan,"lirih Cia.
Cia meraih baju-baju yang sudah berserakan itu, lalu mengumpulkannya menjadi satu kembali. Wanita itu lalu buru-buru mencucinya.
Setelah mencuci baju dan menjemurnya, Cia sungguh sangat kelelahan, wanita itu bergegas ke dapur untuk mengambil air minum, namun sayang lagi-lagi dirinya harus menghadapi sikap mertuanya.
"Hey! Enak saja mau minum! Sana pergi duduk ke pasar! Beli sayuran. Kamu itu mau enaknya saja. Saya dan Ruri belum makan karena kamu mencuci baju lama sekali." Teriak Meri.
"Ma, Cia mau minum dulu, sebentar saja, nanti Cia bakalan ke pasar kok," ucap Cia dengan sopan.
Meri mendengus kesal mendengarnya. "Enggak ada, enggak ada! Saya sudah lapar, cepat kamu pergi sana! Nanti Ruri bangun belum ada makanan kan kasihan."
Cia menghela nafasnya dengan kasar, mau minum saja susahnya minta ampun. Mau tidak mau gadis itu pun menuruti kemauan ibu mertuanya.
Diraihnya catatan kecil yang ada di meja makan beserta uangnya, lantas Cia membacanya terlebih dulu sebelum dirinya benar-benar pergi.
"Ma, ini nggak cukup uangnya, uangnya kurang. Harga ayam sudah naik, Ma," ucap Cia saat menimbang-nimbang harga harga belanjaan itu.
"Saya enggak mau tahu, pokoknya uang itu harus cukup. Karena hari ini Ruri ingin makan ayam," balas Meri tidak mau di bantah.
"Bagaimana bisa? Sedangkan aku tidak ada uang sama sekali," jawab Cia dengan raut wajah bingung.
Meri tertawa mendengarnya. "Kamu pikir mama bodoh ha? Kamu setiap siang selalu bekerja di restauran. Tapi mama nggak peduli. Yang terpenting kamu pasti punya uang simpanan kan?"
"Ma, uang itu rencananya mau aku pake untuk membayar hutangnya almarhum kakek. Rencananya mau aku cicil biar cepat lunasnya."
Meri sama sekali tidak peduli dengan apa yang Cia katakan. "Saya enggak mau tahu ya! Pokoknya uang itu harus cukup! Lagian kamu juga tidak akan mampu membayar hutang kakekmu dengan gajihmu yang segitu. Kakekmu dulu seperti parasit, apa-apa selalu minta sama kakeknya Carlo."
Mulut ibu mertuanya seperti biasa selalu terdengar sangat pedas. Tidak tahukah dia, kalau ucapannya itu bisa menyakiti perasaan orang lain.
"Ya, Tuhan. Sungguh tega sekali dia," ucap Cia berusaha untuk sabar. Hatinya berdenyut nyeri mendengar perkataan wanita itu.
"Ma, mama kok tega sekali bicara begitu? Walau bagaimanapun aku ini adalah menantumu. Tidak bisakah kau bersikap baik padaku?"tanya Cia dengan mata yang sudah berkaca-kaca.
"Menantu? Saya tidak pernah menganggap wanita miskin sepertimu sebagai menantuku. Carlo juga terpaksa menikahimu."
"Andai bisa menolak, Carlo pasti sudah menolak perjodohan ini," ucap Meri lagi.
Sungguh kejam sekali ibu mertuanya itu. Ucapannya selalu saja menyakiti hati Cia.
"Malah nangis lagi. Udah jangan banyak drama! Nanti anak saya keburu bangun. Saya enggak butuh tangisan kamu. Perut saya enggak akan kenyang kalau melihatmu menangis," kata Meri dengan begitu ketus.
Cia mengurut dadanya, berusaha untuk sabar dan tetap bersikap sopan pada mertuanya itu. Bagaimana pun juga mertuanya tetap orang yang harus dirinya hormati.
Cia menyeka air matanya, lalu meraih catatan itu beserta uang yang entah cukup atau tidak.
"Ma, Cia pamit dulu ya." Cia meraih tangan Mirna lalu mengecup punggung tangan itu.
"Hm," hanya itu yang keluar dari Meri. Wanita itu langsung meraih kain lap, dan mengelap punggung tangannya yang habis dicium oleh Cia.
Cia yang melihatnya hanya bisa tersenyum kecut, sudah biasa bagi Cia saat mendapatkan perlakuan seperti ini dari ibu mertuanya. Bahkan bukan hanya mertuanya saja, tapi hampir seluruh keluarganya Carlo memperlakukan Cia seperti itu.
Alasannya sangat sederhana, karena dirinya bukan berasal dari keluarga kaya. Apapun kebaikan dan pengorban Cia, mereka tidak akan pernah mau menganggap Cia bagian dari keluarganya.
Terima kasih ya krn sudah mampir🙏, jangan lupa like dan komentarnya ya kakak2, biar author tambah semangat nulisnya😊
Cia berjalan menyusuri jalanan yang sempit penuh lobang akibat aspal yang sudah retak, terlebih hujan semalam mengguyur, membuat jalanan berlubang itu di penuhi oleh air.
Sesekali dirinya menyapa tetangga yang melewati dirinya. Cia tersenyum walau mereka terkesan julid pada dirinya.
"Lihat itu Cia! Pasti mau foya-foya ke pasar. Aku tahu banget sifatnya itu. Suaminya setiap hari selalu lembur sampai malam atau kadang tidak pulang ke rumah. Di rumah mertuanya malah di suruh membersihkan rumah dan mencuci bajunya pula. Dasar anak orang miskin tidak tahu di untung," ucap salah satu tetangga Cia.
"Bu Anis kok tahu sih?" Salah satunya tidak percaya dengan perkataan yang dilontarkan oleh Anis, karena mereka lihat Cia ini anaknya baik.
"Aku lihat anaknya kalem begitu, enggak banyak tingkah. Pakai baju juga sederhana, enggak yang berlebihan. Dia juga tidak pernah memakai perhiasan emas, malah aku pernah lihat gelang emasnya Meri banyak loh,"sambungnya yang memang jujur apa adanya dan pernah melihat sendiri Meri memakai perhiasan emas.
Anis mendengus. "Itu Meri memakai emas karena di pinjemin sama Carlo. Kamu nggak tahu aja, Cia itu pelitnya minta ampun. Kata Meri putranya sampai mohon-mohon dulu sama Cia baru di kasi pinjem. Kalian nggak tahu saja bagaimana sifat perempuan itu. Di depan kita saja lagaknya lugu dan polos, di belakang mana tahu kita. Tuh kalian lihat!" Anis menunjuk-nunjuk ke arah Cia yang lewat beberapa meter dari mereka yang sedang bergosip.
"Bawa uang banyak, beli baju mahal, ganti baju, habis itu makan di tempat makan yang mahal, udah gitu jalan-jalan. Baru setelah itu pulang akting lagi deh. Aku berani bicara begini karena Meri sendiri yang cerita," kata Anis lagi.
Anis tersenyum puas saat melihat para ibu-ibu teman gosipnya termakan gosipnya. Mereka semua lalu mengghibah Cia kembali.
Cia yang mendengar suara ibu-ibu itu langsung mengelus dada. 'Ya Tuhan, tinggal di tempat seperti ini harus banyak-banyak punya stok kesabaran. Tuhan benar-benar sedang menguji diriku. Aku bingung bagaimana caranya agar bisa keluar dari keluarganya Carlo. Minta cerai, tapi Carlo tidak setuju. Aku sungguh bingung pada pria itu, katanya tidak mencintaiku tapi tidak mau menceraikanku. Apa dia sengaja menikahiku cuma untuk di jadikan pembantu? Kalau masalah hutang, aku juga bisa bekerja lalu mencicil hutang-hutang kakek sedikit demi sedikit. Bekerja di restauran dengan status masih menjadi menantu Meri sangatlah sulit mengumpulkan uang. Seperti sekarang, uang untuk belanja saja sengaja di kasi kurang agar aku yang menutupi sisanya. Kalau seperti ini terus aku tidak akan bisa mengumpulkan uang. Dia benar-benar licik. Mama dan Papa juga tidak percaya dengan apa yang aku katakan, mereka selalu di hasut oleh Meri. Mama dan Papa juga tidak tahu perihal hutang- hutangnya kakek, karena almarhum kakek tidak pernah menceritakan apapun pada mereka. Cuma Kakek Santoso yang mengetahui semuanya, sayangnya kakek Santoso sedang berobat ke luar negeri. Ya Tuhan, mudah-mudahan kakek Santoso segera pulang,' ucap Cia dalam hatinya.
Kakek Santoso adalah kakek Carlo. Gadis itu sempat mendengar kalau dua minggu sebelum Cia dan Carlo menikah, kakek Santoso tiba-tiba tidak sadarkan diri, karena itu lah beliau tidak hadir saat cucunya menikah
\=\=\=\=\=\=\=\=\=
Cia meregangkan otot-otot tubunya saat sudah sampai di rumah. Perutnya terasa kram, akibat berjalan terlalu jauh menuju ke pasar.
Mau naik ojek, tapi Cia tidak punya uang. Setiap hari dia selalu di suruh menutupi uang belanja yang kurang. Kalau seperti ini kapan dia bisa mengumpulkan uang.
"Sepertinya aku harus mencari pekerjaan lain lagi," batin Cia dengan sedih.
Padahal tubuhnya sudah sangat lelah, dan dia ingin sekali berbaring di atas ranjang, namun semua itu hanya angan-angannya saja. Cia yakin ketika dirinya beristirahat ibu mertuanya akan datang dan langsung memarahi dirinya.
Sudah biasa, dan hal itu sudah menjadi makanan sehari-hari bagi Cia.
Cia mengusap peluh keringat yang ada di dahinya, wanita berambut panjang yang diikat asal itu langsung duduk lesehan di atas lantai, sesaat setelah selesai memasak.
"Wow, enak banget, aromanya wangi banget, dek Cia masak apa nih?" celetuk Ira, istri dari kakaknya Carlo. Jadi Meri memiliki tiga orang anak, yang pertama bernama Dimas, kedua adalah Carlo lalu yang terakhir adalah anak perempuan bernama Ruri.
Cia tersenyum simpul. "Masak ayam kecap kak, silahkan di cicipi."
Ira mengangguk, lalu menarik kursi dan duduk di sana.
"Ra, makanlah yang banyak. Kamu harus makan yang bergizi biar cepat hamil. Mama udah nggak sabar lho ingin menimang cucu," ucap Meri lalu datang sambil membawa sepiring buah-buahan dan diletakkan di depan Ira.
Ira memang belum hamil-hamil. Padahal Ira dan Dimas sudah menikah hampir tujuh tahunan.
Ira tersenyum manis, sambil meraih nasi dan juga lauk pauk yang ada di atas meja. "Iya, Ma. Mama tenang saja, sebentar lagi aku pasti bakalan hamil. Mama doain saja ya, ini juga lagi usaha kok. Tenang saja, nanti mama pasti bisa menimang cucu," sahut Ira tersenyum.
"Senang sekali Mama mendengarnya, Ra. Mama selalu berdoa agar kamu bahagia, dan kamu bisa cepat punya anak." Meri mengusap perut rata milik Ira dengan lembut.
Cia yang melihat pemandangan itu hanya bisa tersenyum kecut. Ira begitu dimanja oleh keluarga suaminya. Cia bahkan tidak pernah mendapatkan kasih sayang sedikit pun dari ibu mertuanya.
Lain dengan Ira yang selalu mendapatkan kasih sayang dan perhatian penuh dari ibu mertuanya.
Miris sekali rasanya nasib Cia. Tiap hari selalu sibuk mengurus rumah dan juga bekerja, namun dia tetap tidak dianggap oleh ibu mertuanya.
"Oh iya, harusnya mama minta cucu juga sama Cia," ucap Ira di sela kunyahan makannya.
Meri berdecak tidak suka saat mendengarnya. "Malas! Kamu nggak tahu apa kalau mama itu tidak suka sama dia. Mama nggak peduli bagaimana dia. Mau dia nantinya punya anak atau tidak, itu bukan urusan mama. Alasannya, Karena dia berasal dari keluarga miskin, sedangkan kamu berasal dari keluarga orang kaya. Mama juga nggak sudi mendapatkan cucu dari wanita miskin seperti dia."
"Andai mama bisa menolak perjodohan itu, sudah pasti mama tolak. Carlo juga ingin menolak, tapi kakek tidak akan memberikan harta yang dia punya pada semua cucu-cucunya jika cucunya tidak menikah dengan wanita miskin itu. Siapapun cucunya yang menikah dengan Cia, maka kakek akan memberikan warisan lebih banyak dari cucunya yang lain. Padahal dia cantik, sayangnya dia berasal dari wanita miskin," ujar Meri lagi lalu menunjuk ke arah Cia yang tengah duduk lesehan di lantai sambil menundukkan kepalanya.
Akhirnya Cia mengerti kenapa Carlo tidak mau menceraikannya, ternyata karena harta warisan.
"Mereka benar-benar jahat," batin Cia.
Terima kasih ya krn sudah mampir🙏, jangan lupa like dan komentarnya ya kakak2, biar author tambah semangat nulisnya😊
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!