..." Kau selalu menyisipkan doa tentang kita saat hujan turun, tapi kini kau pergi bersama hujan meninggalkan aku yang didera rindu tak berkesudahan"...
^^^-Alina Maharani-^^^
***
Alina Maharani, gadis cantik itu harus mengubur kisah bahagianya bersama hujan, karena hujan kali ini membawa kabar yang sangat memilukan.
Begitu mendapat telepon dari sebuah rumah sakit, Alina lansung memacu kencang mobilnya, dia tak peduli dengan jalanan licin setelah hujan deras yang melanda ibukota sore tadi. Pikirannya berkecamuk hebat.
Bryan Delano Pratama, sosok yang beberapa jam lagi akan dinobatkan menjadi suaminya justru terbaring kaku didalam ruang jenazah.
Antara rasa percaya dan tidak percaya, dengan perlahan gadis itu membuka kain putih yang menutupi jasad didepannya, masih dengan satu harapan bahwa sosok itu bukanlah Bryan-nya.
Sayangnya,
Takdir berkata lain, Alina merasa sesak saat dia melihat jelas wajah pucat itu adalah orang yang dua tahun belakangan mengisi hari hari indah bersamanya.
Tak pelak bulir bening yang sedari tadi dia tahan, mengalir deras.
" Tidaaaaaaaaaak!"
Alina jatuh terduduk, kakinya tak lagi mampu menopang tubuh nya, dia merasa lemas dan dalam sekejap semuanya menjadi gelap.
***
Tak ada yang menyangka, hari yang seharusnya menjadi hari pernikahan justru berganti menjadi pemakaman.
Semua terjadi begitu cepat, bahkan kemaren Bryan masih bersamanya.
Ditengah tatapan kosong pada gundukan tanah merah didepannya, pikiran gadis itu kembali melayang.
Bryan memastikan semua keperluan untuk akad dan resepsi yang diadakan disalah satu hotel bintang di Jakarta sudah rampung.
" Kita harus segera pulang sayang, ibu pasti marah kalau tau aku gak ada dikamar," ucap Alina begitu Bryan masih sibuk dengan aktifitasnya.
Bryan terkekeh, sebenarnya alasan untuk mengecek persiapan ini hanyalah akal akalan pria itu saja. Wedding Organizer yang mereka tunjuk telah melaksanakan tugas dengan baik. Manager WO tersebut juga selalu memberikan laporan setiap hari.
Tapi kerinduannya pada Alina sudah tidak bisa dibendung lagi, masa pingitan yang mereka jalani selama seminggu ini sungguh menyiksanya.
Kalau dia jujur, pasti Alina tidak akan mau diajak ketemuan, maklumlah Alina termasuk anak yang patuh pada wejangan orangtua. Alhasil terciptalah kebohongan hari ini.
" Udah siap kok sayang, habis ini makan dulu ya, tadi pagi aku gak sempat sarapan," ujar Bryan dengan pandangan memelas, Alina pun tak bisa menolak.
Setelah dari Ballroom Hotel mereka lansung menuju Resto dan Cafe yang ada di lokasi yang sama, tepatnya di Rooftop. Karena kalau harus keluar lagi akan memakan waktu dijalan apalagi cuaca sedang tidak bersahabat, sebentar lagi akan turun hujan.
" Aku udah gak sabar menunggu hari esok sayang, aku gak sanggup jauh dari kamu, seminggu berasa setahun," ujar Bryan sambil menggenggam tangan Alina dan mengecupnya lembut.
" Aku juga sayang, tapi mau gimana lagi gak mungkin kita membantah tradisi, " jawab Alina dengan senyum manis, semanis gula.
" Sayang, jujur sebenarnya aku kangen kamu, dari semalam aku gak bisa tidur karena terus mikirin kamu, makanya aku ngajak kamu ketemuan hari ini, " ungkap Bryan nelangsa, dia memang tak bisa berlama-lama bohong pada Alina.
Alina kembali menerbitkan senyum yang selalu memabukkan siapapun yang memandangnya, setiap kali bibir itu terangkat kesamping atau tertawa selalu menampilkan dua lesung yang sangat indah, pantas saja Bryan sangat menggilainya.
" Aku sudah tau sayang, kamu gak perlu minta maaf, lagipula bukan kamu saja yang kangen, aku juga," ucap Alina dengan pipi yang blushing.
Bryan tersenyum bahagia, kembali dia mengecup tangan Alina penuh perasaan, kalau bukan sedang berada ditempat umum tentu dia akan menghambur dan memeluk Alina dengan erat, menciumi wajah Alina yang sudah menjadi candunya.
Alina tersentak dari lamunan saat sebuah tangan merengkuh bahunya, dia menoleh, Ranti, ibunya menatap dengan pandangan iba.
" Sudah gerimis nak, sebaiknya kita pulang, " ucap wanita paruh baya itu lembut.
" Aku masih mau disini bu, kalian pulang aja dulu, nanti aku pulang dengan taxi aja," tolak gadis itu dengan suara lirih.
Ranti menggeleng tidak setuju, bagaimana mungkin dia meninggalkan putrinya dalam keadaan seperti ini
" Kamu harus tabah nak, biarkan Bryan istirahat dengan tenang" ucap Ranti menguatkan.
Alina tak menjawab, bagaimana dia bisa tabah sementara dia sendiri masih belum percaya dengan kenyataan yang mengoyak semua mimpi yang sudah mereka bangun, masih terngiang jelas di telinganya ucapan cinta Bryan saat pria itu mengantarnya pulang kemaren, masih terasa di bibirnya kecupan mereka yang panjang seolah tak ingin berpisah dan dibawah hujan kembali mereka mengucap janji kalau mereka akan bersama selamanya.
Dia masih belum bisa menerima keadaan, dan entah bagaimana dia akan bangkit, dia belum bisa merelakan kepergian orang yang dikasihinya itu.
Terlebih cara kepergian Bryan meninggalkan tanda tanya besar dalam benaknya, selama ini Bryan tidak pernah mempunyai musuh. Kepribadian Bryan yang humble membuat dia disukai dalam pergaulan. Bryan tidak pernah terlibat pertikaian dengan siapapun.
Lalu siapa orang yang sudah begitu tega menghabisi nyawa Bryan sekejam itu, tanpa memberi kesempatan untuknya membela diri.
Menurut keterangan saksi yang berada disekitar lokasi kejadian, mobil Bryan dipepet oleh dua orang yang mengendarai sepeda motor, memaksa pria tampan itu menghentikan kendaraannya.
Dia turun hendak menghadapi dua orang yang memakai helm itu, tapi dia terdiam begitu salah satu dari mereka mengacungkan revolver dan belum sempat Bryan membaca keadaan, timah panas sudah menghujam bagian kiri dadanya, dia roboh seketika, pelaku penembakan lansung tancap gas dari sana.
Setelah para pelaku kabur baru lah ada warga yang berani membantu dan membawa Bryan ke rumah sakit tapi sayang karena kehilangan banyak darah, nyawa Bryan tidak bisa diselamatkan.
Berdasarkan keterangan dari polisi, kasus ini berkemungkinan pembunuhan berencana karena tak ada barang barang yang hilang.
Pembunuhan berencana? mengingat kejadian penembakan terjadi beberapa jam setelah mengantar Alina, itu berarti Bryan tidak lansung pulang, karena jarak dari rumah Alina ke rumah Bryan hanya memakan waktu tiga puluh menit.
Artinya ada sesuatu yang terjadi dalam rentang waktu sebelum peristiwa naas itu.
Alina menghapus airmatanya yang terus mengalir, satu tekad telah mengumpul dalam dadanya, dia harus mengungkap tabir Kematian Bryan, dia tidak akan tenang sebelum pembunuh kejam itu ditemukan.
Alina mengenggam tanah kuburan Bryan
" Aku bersumpah dihadapan kamu sayang , aku tidak akan pernah melanjutkan hidup sampai aku menemukan siapa yang membunuh kamu, itulah janji seorang Alina Maharani," ucap Alina lirih.
Bersamaan dengan itu hujan turun semakin deras memaksa mereka semua yang ada disana untuk beranjak termasuk Alina dengan segenap kesedihan yang tak bertepi.
***
Hallo, salam kenal ya, ini tulisan pertamaku di Noveltoon, semoga kalian suka, mohon maaf jika masih banyak kekurangan
Jangan lupa like, komen dan follow ya
with love
Dik@
Sudah seminggu sejak kepergian Bryan, Alina tetap belum bisa menerima kenyataan, hari-harinya hanya diisi dengan tangisan, mengenang kisah yang pernah mereka ukir bersama. Tidak mudah baginya melupakan begitu saja, terlalu banyak momen indah yang sudah mereka lalui.
Andai saja kejadian buruk itu tidak datang, mungkin saat ini dia sudah bahagia, menikmati perannya sebagai seorang istri, menyiapkan sarapan pagi, memasangkan dasi dan mengantar ke pintu depan, menikmati kecupan hangat dikening sebelum suaminya berangkat kerja.
Seindah itu harapan yang mereka bayangkan, tapi sayang semuanya menguap begitu saja tanpa sempat mereka rasakan. Tak ada lagi yang bisa dilakukan saat takdir kehidupan memisahkan mereka.
Alina menghela napas dalam, kembali dia mengusap figura foto Bryan dan mendekapnya dengan erat.
" Apa yang sedang kamu lakukan disana sayang, apa kamu baik baik saja?" gumamnya seorang diri, satu bulir bening lolos lagi dari matanya.
" Alina, ada tamu menunggumu didepan nak," ucap Ranti memberitahu sambil mengetuk pintu.
" Sebentar bu," ucap Alina sambil bergegas meletakkan figura diatas nakas, lalu menyeka wajahnya yang sembab.
Jika dia menurutkan ego dan hasutan dikepala yang terus membuntuti beberapa hari ini, ingin rasanya dia menyusul Bryan, untung saja masih ada setitik akal jernihnya yang menolak, terlebih melihat dukungan dari keluarga yang tak pernah putus, dia sendiri juga gak tega jika harus melihat ibu sedih karena memikirkan keadaannya. Makanya sebisa mungkin didepan orang orang dia berusaha tegar meskipun disaat sendiri hatinya remuk redam.
" Maaf kalau aku datang sepagi ini, " sapa Morgan, sahabat Bryan dikantornya.
Alina menyunggingkan senyum tipis.
" Gak papa Gan, " ucapnya pelan seraya duduk di sofa yang bersebrangan.
" Aku kesini mau mengantar barang barang Bryan, maaf baru sempat sekarang, " lagi lagi Morgan meminta maaf, dia sadar gadis didepannya ini masih begitu rapuh, bahkan dia terlihat lebih kurus dibanding beberapa waktu lalu.
" Makasih udah repot mengantar, " jawab Alina sambil menerima kotak yang disodorkan pria itu dan menaruh disebelah tempat duduknya.
" Ngomong ngomong apa rencana kamu kedepan?" tanya Morgan basa basi.
Alina menggeleng.
" Belum tau, aku juga masih bingung mau bagaimana," jawab Alina getir.
"Kalau aku boleh memberi saran, sebaiknya kamu kembali bekerja Alin, masa depan kamu masih panjang," ucap Morgan dengan hati-hati, tidak ada maksud apa-apa dia hanya ingin membantu Alina dari keterpurukannya. Dia adalah saksi hidup perjalanan cinta mendiang sahabatnya, jadi tidak salah jika dia memberikan perhatian pada Alina.
Alina sendiri pernah bekerja pada salah satu perusahaan ternama, dan karirnya cukup bagus ketika itu, tapi karena permintaan Bryan yang menginginkan Alina dirumah saja setelah menikah, Alina pun resign dan fokus mengurus persiapan pernikahan mereka.
" Makasih Gan, akan aku pikirkan,"
" Kalau kamu butuh bantuan, jangan sungkan menghubungiku,"
Alina mengangguk.
" Kalau gitu aku pamit dulu, kamu yang kuat ya, Bryan sudah bahagia disana," ujarnya sembari beranjak dari duduk.
Alina tak menjawab, rasa sesak yang tadi sempat hilang kembali mengumpul didadanya begitu mendengar ucapan barusan.
" Tunggu," cegahnya begitu Morgan hendak pergi.
Pria itu menghentikan langkah dan membalikkan badan.
" Boleh aku bertanya sesuatu?" tanya Alina sedikit ragu.
Morgan mengerutkan kening heran tapi tak urung dia mengangguk.
" Apa Bryan punya musuh?"
" Sejauh aku mengenal Bryan, dia tidak memiliki musuh, karena kamu tau sendiri gimana sikap Bryan kan? " tegas Morgan.
Bryan itu pribadi yang humble, humoris dan selalu memberikan aura positif pada orang orang yang mengenalnya, bahkan tidak ada yang menyangka kalau jalan hidup Bryan berakhir seperti ini.
" Atau mungkin ada relasi yang tidak senang dengan kinerjanya?" desak Alina lagi seolah sedang mengintrogasi, berharap ada sesuatu yang bisa dia temukan.
Morgan tersenyum.
" Sampai detik ini tidak ada yang bisa kita curigai Alina, tapi kamu tenang aja, aku dan Pak Leo sudah mengerahkan orang-orang untuk mencari tahu siapa pelakunya, lagipula pihak kepolisian masih terus menyelidiki, aku harap kamu bersabar menunggu hasilnya," jelas Morgan.
Pak Leo, adalah atasan Bryan, Direktur Utama PT. Mega Buana Property & Construction.
Alina kembali menghembuskan napas panjang.
" Makasih Gan, aku harap pelakunya segera tertangkap, aku tidak bisa tenang, sebelum mereka mendapatkan balasan atas kekejaman mereka,"
" Aku mengerti perasaan kamu Alin, aku akan segera mengabari kamu jika sudah ada perkembangan"
***
Alina mengambil buket bunga yang sudah layu dan menggantinya dengan buket baru, bunga Lily putih, kemudian dia menabur rampai bunga mawar merah segar diatas pusara yang masih baru itu.
Kegiatan yang kini menjadi rutinitasnya, tak satu hari pun Alina lewatkan, dengan mengunjungi makam Bryan dia bisa menumpahkan kerinduan yang teramat sangat.
Dia bahkan betah berjam-jam duduk disana sehingga kehadirannya sudah menjadi pemandangan biasa bagi penjaga makam. Pria paruh baya itu tak segan memastikan keadaan Alina baik-baik saja.
Melihat kesedihan Alina, dia tidak tega meninggalkan gadis itu sendirian, terlebih sejak gadis itu sering datang kesini, ada seorang pria misterius yang selalu memakai jaket hitam berdiri memperhatikan Alina dari kejauhan.
Lelaki paruh baya yang selalu dipanggil Mang Udin itu khawatir kalau pria itu melakukan hal buruk pada Alina, nalurinya terpanggil untuk menjaga gadis itu.
Tapi sejauh ini pria itu tidak berbuat apa-apa, hanya diam dan ikut beranjak pergi begitu Alina sudah meninggalkan pemakaman.
Mang Udin tidak berani mengatakan karena melihat kesedihan gadis itu, dia tidak ingin menambah pikiran Alina.
Setelah berpikir cukup lama, akhirnya Mang Udin memutuskan untuk memberitahukan sekarang. Setidaknya gadis itu bisa berjaga-jaga ataupun meminta bantuan yang berwenang untuk melindunginya.
Sambil menunggu Alina selesai Mang Udin beristirahat di pondok yang ada disana.
Tak selang berapa lama Alina sudah berdiri dan menghampiri Mang Udin seperti yang selalu dia lakukan untuk sekedar memberi uang rokok dan menitipkan makam Bryan.
" Lagi sepi mang," sapa Alina sambil ikut duduk.
" Begitulah neng," jawab mang Udin dengan sedikit kekehan. Merasa lucu mengingat profesinya sebagai penjaga makam dan juga penggali kuburan justru mengharap rezeki dari kemalangan orang lain.
" Mang Udin udah makan?"
" Udah neng, nomor satu kalau itu," guraunya lagi, Alina sedikit terhibur dengan sikap Mang Udin yang humoris.
" Minggu depan saya agak sibuk mang, mungkin saya juga jarang kemari karena banyak hal yang harus saya urus dulu, saya titip ya mang, " pinta Alina lagi.
" Neng tenang aja, saya akan rawat baik baik makam Den Bryan"
Alina membuka dompet dan menyerahkan beberapa lembar uang ratusan ribu.
"Bunganya diganti terus ya mang, apa segini cukup?" tanya Alina memastikan, meskipun dia tahu anggaran bunga, tetap dia meminta kesediaan Mang Udin, dia tidak ingin lelaki itu kerepotan nantinya.
" Ini mah lebih dari cukup neng, kebanyakan malah,"
" Gak papa mang, sisanya buat bantu bantu beli makanan," ucap Alina tulus.
" Makasih banyak neng, semoga rezeki neng Alina makin melimpah Ya Allah," ucap Mang Udin sambil menengadahkan tangan.
" Amiin" timpal Alina ikut mengusapkan tangan kewajah.
" Ngomong-ngomong, Neng Alina menyadari sesuatu gak,"ucap Mang Udin sedikit berbisik.
Alina mengerutkan kening.
" Mamang harap neng jangan panik, sejak seminggu yang lalu, ada seorang pria yang selalu mengikuti neng, dia selalu berdiri didekat pohon besar ujung sana,"
Alina melirikkan mata kearah yang dimaksud dan benar saja, seseorang yang tidak terlihat wajahnya karena tertutup hoodie dan kacamata hitam berdiri sambil memperhatikan mereka, perawakan orang itu tinggi.
Sepertinya pria itu menyadari kalau Alina juga sedang memperhatikannya, dengan gerakan cepat dia memasang helm dan naik keatas motor sport yang diparkir tak jauh dari tempatnya berdiri, dia menstarter kendaraannya dan lansung tancap gas.
" Kenapa mamang baru kasih tau sekarang,"
" Mamang pikir selagi dia gak menganggu neng, gak masalah apalagi mamang gak mau membebani pikiran neng Alina,"
" Apa dia pernah menanyakan sesuatu pada mamang?"
lelaki itu menggeleng.
" Gak pernah neng, yang mamang tau dia selalu ada saat neng kesini,"
Apa mungkin itu orang yang sudah menembak Bryan, tapi kenapa dia berani menampakkan diri disini, kalau dia pelaku otomatis dia berusaha agar identitasnya tidak diketahui, atau dia punya kepentingan lain yang tidak Alina tau.
Alina setuju dengan mamang kalau pria itu orang jahat pasti dia sudah melakukan sesuatu padanya apalagi disini sangat sepi.
***
Semoga kalian suka ya, jangan lupa berikan dukungan untuk cerita ini, biar author semangat buat update.
with love
Dik@
Setelah memikirkan matang-matang , akhirnya Alina memutuskan untuk kembali bekerja dan dia menerima tawaran Pak Leo untuk bergabung dalam tim arsitek diperusahaanya.
Hari ini adalah hari pertamanya, dan sebagai seorang yang professional, Alina datang lebih awal, meskipun memiliki hubungan yang baik dengan Pak Leo dan juga perusahaan ini, gadis itu tetap ingin memberikan kesan yang baik, apalagi dia pendatang baru.
Saking awalnya dia bahkan datang saat kantor masih sangat sepi, hanya ada Security yang berjaga.
" Selamat pagi Mbak Alina, pagi sekali datangnya mbak," sapa security yang bernama Andi itu dengan ramah, Alina memang cukup dikenal, karna sewaktu Bryan masih ada, dia sering berkunjung untuk mengantar makan siang ataupun sekedar menemaninya lembur.
" Gak pa-pa pak, biar gak kejebak macet, " jawab Alina ramah.
Gadis itu terus melangkah dengan santai, sambil memandangi lokasi kantor yang akan menjadi rutinitasnya, kembali ada rasa sesak yang menghimpit, biasanya dia kesini bersama Bryan tapi sekarang dia melangkah sendiri.
Buru buru Alina menepis perasaannya, dia sudah bertekad akan semangat lagi, bagaimanapun hidupnya harus terus berjalan, benar yang dikatakan ibu, Bryan akan sedih kalau dia terus terpuruk selain itu ada janji yang harus dia tepati. Dan demi itu semua terwujud dia menyimpan kesedihannya rapat-rapat, mulai hari ini Alina terlahir kembali sebagai sosok yang kuat.
Alina naik kelantai sepuluh menuju ruangan dimana dia akan ditempatkan, karena belum ada orang, Alina memutuskan untuk melihat-lihat ruangan yang dulu ditempati Bryan.
Sebagai salah satu orang yang berperan besar dalam memajukan perusahaan ini, Bryan mendapat fasilitas khusus, suasana ruangannya tak beda jauh dari ruangan Pak Leo, luas dan mewah. Sudah rahasia umum juga kalau Bryan adalah anak emas, bahkan Pak Leo rela mencukupi semua keperluan Bryan, wajar saja karna setimpal dengan dedikasi yang Bryan berikan.
Alina menghela napas, sekarang entah siapa yang menggantikan posisi kekasihnya itu,
menurut kabar yang dia dapat dari Morgan, sosok yang menggantikan Bryan tak kalah hebat, belum beberapa hari bekerja dia sudah menghandle mega project, luar biasa memang.
" Ngapain kamu di sini," sontak Alina membalikkan badan begitu mendengar suara bariton barusan.
Alina memandang pada sosok jangkung yang berdiri diambang pintu, entah sejak kapan dia ada disana dan sialnya Alina tidak menyadari kedatangan orang tersebut karena sibuk bergelut dengan pikirannya.
" Oh maaf, saya hanya melihat lihat" balas Alina sambil menerbitkan senyuman ramah,
bukannya membalas senyuman , sosok itu malah mengeraskan rahangnya.
" Siapa yang izinkan kamu masuk, ini bukan mal dimana kamu bisa cuci mata seenak hati," ucapnya tajam.
Alina meringis mendengarnya, ada ya laki laki yang mulutnya tajam melebihi emak-emak komplek.
" Ih yang bilang ini mal siapa mas, judes banget, "
"KELUAR!!!"
" Hei gak usah teriak-teriak, saya gak budek,"sergah Alina tak mau kalah.
"KELUAR!!!" ulangnya lagi.
Alina menggelengkan kepala tak percaya, baru kali ini dia mendapat perlakuan sekasar ini dari seorang pria yang tidak dia kenal, sebenarnya dia tidak terima diperlakukan seperti itu, tapi mengingat statusnya sebagai anak baru, tidak mungkin dia melawan.
Alina memperhatikan dengan seksama, dia tidak mengenali wajah pria itu, dari sikapnya yang arogan, Alina menebak kalau pria itulah yang menggantikan Bryan. Seketika Alina bergidik, ngeri juga jadi bawahan orang kejam kayak begini, yang ada jantungan saban hari.
"Apalagi yang kamu tunggu," lanjut pria itu sarkas.
Alina melangkah perlahan.
" Ok sekarang aku ngalah, tapi lihat aja setelah ini kamu yang bakal baik-baikin aku," batin Alina percaya diri
Sampai didekat pria itu, Alina memberanikan diri menatap kedalam bola matanya mengisyaratkan kalau dia tidak akan terintimidasi lalu melengos meninggalkan ruangan sambil membanting pintu dengan cukup keras.
Huft,
" Songong banget jadi orang, dia siapa sih sama-sama karyawan juga" gerutu Alina seorang diri.
" Hei, pagi pagi kok ngomel ngomel sih mbak, ntar cantiknya hilang loh," sapa seseorang.
Alina membalikkan tubuhnya.
" Tasya,"
" Kamu apa kabar Al," ucap Tasya riang, mereka saling berpelukan melepas rindu, terakhir mereka bertemu saat pemakaman Bryan tiga bulan yang lalu.
" Seperti yang kamu lihat Sya," jawab Alina sumringah, ada kelegaan saat bertemu sahabat kekasihnya itu, setidaknya dia tidak sendiri disini.
"Morgan udah kasih tau kalau kamu bakal gabung dengan tim kita, so mari aku tunjukkan meja kamu," ajak Tasya penuh semangat.
Alina pun mengangguk antusias.
" Tadaaa!" Tasya mengembangkan tangan seolah sedang memberi surprise, letak meja ini sangat sesuai dengan keinginannya.
Tapi,
Tasya menyadari perubahan raut wajah Alina.
"Kamu gak suka ya, padahal aku dan Morgan sengaja nyiapin biar kamu nyaman, kamu kan selalu suka duduk dekat jendela,"
Alina tidak menampik, dia sangat suka tapi masalahnya posisi ini sangat jelas kalau diperhatikan dari dalam ruangan yang pernah Bryan tempati. Meskipun dari luar gelap tapi Alina tau persis dari dalam ruangan itu bisa mengakses semua kegiatan diluar karna penyekat yang digunakan adalah kaca one way dan parahnya yang sekarang duduk didalam sana adalah seorang yang baru saja merusak moodnya.
"Suka banget Sya, tapi terlalu dekat dari ruangan itu," kilah Alina jujur.
Tasya menautkan alis.
" Emang apa salahnya, dari dulu kan memang begitu Al," ungkapnya heran.
" Ya bedalah, sekarang yang duduk didalam bukan Bryan melainkan monster," ujarnya sinis
Tasya tidak mengerti maksud Alina barusan.
"Monster?"
" Iya itu, apalagi sebutan yang pas buat orang yang kasar kayak begitu, ya monster lah!"
Tasya berusaha mencerna, dan akhirnya dia malah terbahak-bahak, gantian Alina yang memasang tampang kebingungan.
"Oalah, aku pikir apa, maksud kamu monster itu Pak Max, yang gantiin Bryan disini," terang Tasya begitu tawanya reda.
Oh jadi namanya Max.
" Siapapun namanya, yang jelas dia itu MONSTER, titik!" seru Alina dengan keras, sengaja biar Max mendengar, buru-buru Tasya membekap mulut gadis itu.
"Ssssst, jangan keras keras,dia bisa dengar, malah berabe urusannya,"
Alina melepaskan tangan Tasya.
" Biarin, emang dia siapa sih, kalau dia macam macam aku bisa laporkan dia pada Pak Leo, biar tahu rasa, kita kan sama-sama bekerja disini, lain cerita kalau dia yang punya" Alina makin mengencangkan suaranya.
" Ssst, plis plis, bisa ribet urusannya nih," keluh Tasya memohon agar Alina tenang, Alina pun berusaha meredam emosinya.
" Emang kenapa sih,kayaknya takut banget, sama monster," bisik Alina kemudian.
Tasya bingung bagaimana menjelaskannya
"Pokoknya dia itu orang penting, jadi kalau didepan dia cobalah bersikap baik,"
" Ya udah deh, terserah kamu aja," Alina menyerah, percuma berdebat, pasti Tasya akan terus membela si monster.
Tasya menarik napas lega.
"Kenapa kamu manggil dia monster? mana ada monster secakep itu," ujar Tasya penasaran.
Hoek,
Alina membuat expresi mual, bisa gede hidung itu orang kalau dibilang ganteng.
" Ganteng apaan, gak ada akhlak sih iya," ucap Alina sengit.
" Kok nyolot, wah pasti ada yang gak beres ini ayo cerita , tapi gak disini," tandas Tasya sambil menarik lengan Alina dan berlalu dari sana, masih ada beberapa menit sebelum waktu masuk kantor.
Tanpa sepengetahuan kedua gadis itu, sosok yang ada dalam ruangan tersebut tersenyum sinis.
" Alina Maharani," desisnya sambil menggelengkan kepala.
***
Tasya manggut-manggut, sekarang dia baru paham kenapa Alina membenci Max, tapi wajar saja sih, karena dari pertama kali menginjakkan kaki di Mega Buana, Max yang punya nama lengkap Maxime Arlingga Yogatama itu memang lansung dikenal dengan sebutan "pria gunung es".
Tak pernah sekalipun pria itu menampakan keramahan pada siapa pun tapi karena kemahirannya dalam memenangkan semua tender yang dihandle perusahaan, Maxime lansung menempati posisi teratas menggantikan Bryan, bahkan para petinggi perusahaan besar ini mempercayakan Max untuk mendampingi Pak Leo selaku CEO, secara tidak lansung apa yang diputuskan oleh Max, juga menjadi keputusan Pak Leo.
Mendengar penuturan Tasya tentang Max, Alina membekap mulutnya sendiri, jadi yang dia hadapi tadi salah satu orang penting di perusahaan ini, waduh gawat kalau begini. Bagaimana kalau Max meminta Pak Leo untuk memecatnya.
Akh biarkan saja kalau memang rezekinya bukan disini, dia akan mencari pekerjaan diluar. Alina berusaha menguatkan hatinya sendiri, tapi detik kemudian dia meragu tujuannya kesini kan bukan hanya bekerja melainkan mencari tahu apa yang terjadi dengan Bryan, nalurinya mengatakan kematian Bryan ada hubungannya dengan pekerjaan meski dia sendiri tidak tau harus mulai dari mana, setidaknya dengan berada disini dia akan mendapatkan petunjuk.
Semoga saja "sigunung es" memaafkannya, dengan begitu rencananya akan terwujud.
Alina dan Tasya kembali keruangan, semua karyawan sudah datang, beberapa dari mereka yang mengenal Alina menyapa gadis itu dan mengucapkan selamat datang.
Setelah itu Alina duduk di mejanya, karena masih hari pertama dan dia belum tau job desknya jadi dia hanya mengotak atik komputer gak jelas, dia benar-benar bosan, semua orang sudah disibukkan dengan kerjaan masing masing sementara dia sendiri masih melongo, hingga telepon dimejanya berdering, kalau dari notes yang ada dimeja Alina bisa membaca panggilan tersebut dari ruangan Max, dengan gugup dia mengangkat panggilan itu.
" Ha,,hallo,"
" Ke ruangan saya sekarang!"
Mampus.
***
Bantu voment dan jangan lupa follow ya makasih sebelumnya
with love
Dik@
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!