NovelToon NovelToon

(Batas Tipis) CINTA & PROFESI

BAB 1

“kamu gak apa-apa?” suara anak laki-laki yang tadi menolongnya membuat anak perempuan kecil itu menggeleng, menandakan bahwa dirinya tidak apa-apa. “kamu yakin?” tanya anak laki-laki itu lagi yang langsung dijawab dengan anggukkan cepat.

“terima kasih, ka.” Ujar anak perempuan bernama Bianca yang masih menundukkan kepalanya, enggan menatap siapapun yang berada di hadapannya. Kejadian barusan membuatnya tidak ingin melanjutkan interaksi dengan siapapun saat ini.

“sama-sama, kalau begitu aku duluan.” Ujar anak laki-laki itu lagi sambil berdiri meninggalkan gadis kecil yang ditolongnya tadi.

*

Suara isak tangis terdengar memenuhi ruangan tenang bernuansa cream pucat itu, seorang wanita sedang duduk di sebuah sofa panjang yang terasa sangat nyaman bagi siapa saja yang duduk disana, wanita itu tidak berhenti menyeka air matanya yang terus membasahi pipi.

“Engga apa-apa, pelan-pelan saja Bu.” Ujar Bianca lembut masih dengan tatapan teduh yang menenangkan. Ini merupakan klien keduanya untuk hari ini, dan ini sudah memasuki sesi ke-3 tapi setiap kali wanita itu datang ia hanya berbicara sedikit dan menangis, Bianca memahami bahwa membangun hubungan kepercayaan butuh waktu, terkadang klien yang datang kepadanya memang hanya untuk bisa duduk berhadapan dengan seseorang yang mau mendengarkan tanpa perlu menghakimi atau memperbaiki.

Bianca melirik jam yang berada di pergelangan tangan kirinya dengan fokus yang tidak beralih dari wanita yang duduk di hadapannya. 10 menit lagi sesinya dengan wanita itu akan berakhir. Dengan sabar Bianca menunggu kliennya lebih tenang.

Bianca menyodorkan kotak tisu yang terletak di meja kepada wanita itu untuk menutup sesinya hari ini ketika wanita tersebut sudah lebih tenang.

“terima kasih, Mbak Bianca.” Ucapan itu terdengar lirih dan masih ada getaran dalam suara wanita itu. Bianca menganggukkan kepala dengan senyum yang lagi-lagi mampu membuat siapa saja merasa tenang.

“sama-sama, Bu” balas Bianca lembut sambil mengantar kliennya menuju pintu. Bianca meluruhkan tubuhnya di sofa single yang biasa ia gunakan ketika berhadapan dengan kliennya. Menghembuskan nafas perlahan dan mengambil catatan kecil yang biasa ia gunakan untuk menulis hal-hal penting pada sesi yang berlangsung dan akan menjadi bekal untuknya di sesi selanjutnya.

Dering telepon di ruangannya berbunyi ketika tangan Bianca masih menari-nari menulis note di catatannya. Fokusnya terbagi, memaksanya harus berdiri dan mengangkat telepon tersebut.

“halo.” Terdengar suara dari seberang telepon, Bianca mengenali itu adalah suara Jean, asistennya. “Mba Bianca, sesi selanjutnya masih sekitar satu setengah jam lagi, kalau Mba Bianca mau keluar makan siang masih ada waktu.” Ujar Jean lagi sebelum Bianca sempat membalas sapaannya.

“Engga masalah, Jean. Terima kasih remindernya, mau makan siang bersama?” jawab Bianca sambil menawarkan untuk keluar makan bersama.

“Boleh, Mbak. Aku rapikan file klien dulu ya Mbak.” Jawab Jean menerima tawaran Bianca. Bianca Pun mengakhiri panggilan telepon dan melanjutkan mencatat hal-hal yang masih perlu ia catat sebelum akhirnya keluar dari ruangannya dan menghampiri asistennya yang sudah menunggu dirinya di depan.

“lama ya?” tanya Bianca ketika keduanya sedang berjalan menuju lobby tempat prakteknya.

“tidak juga, aku juga baru selesai merapikan file Ibu Miranda.” Jawaban Jean hanya di respon dengan senyum oleh Bianca. Keduanya tengah berjalan menuju sebuah restoran yang tidak jauh dari tempat praktek Bianca sambil berbincang mengenai sisa agenda siang ini.

Waktu makan siang dihabiskan oleh kedua wanita itu dengan mengobrol banyak hal, Jean merupakan asisten yang menjadi teman bagi Bianca. Anindya Bianca Maheswari terkenal dengan pembawaan diri yang tenang, memiliki tutur kata yang lembut dan mampu membuat siapa saja yang dekat dengannya merasa nyaman tidak terkecuali asistennya. Ketika waktu menunjukkan pukul setengah 3, Bianca segera mengajak Jean kembali karena sesi berikutnya akan di mulai setengah jam lagi, Bianca selalu berusaha tepat waktu untuk setiap hal walaupun ia tahu tidak semua kliennya akan tepat waktu.

Bianca kembali mendudukkan dirinya di sofa yang memang ia gunakan untuk dirinya, dengan seksama ia melihat profil kliennya yang tadi diberikan Jean, Profile kliennya kali ini banyak yang tidak diisi, hanya informasi umum yang diisi seperti nama, usia, pekerjaan, dan status. Bianca meletakkan file tersebut di meja yang menjadi pembatas bagi dirinya dan kliennya, dengan sabar Bianca menunggu kliennya datang meski waktu sudah menunjukkan pukul 15.35 yang menandakan bahwa waktu sesi seharusnya sudah berjalan setengah jam dari jadwal. Bianca berjalan menghampiri telepon dan menghubungkannya pada Jean.

“apa orangnya sudah datang?” tanya Bianca begitu panggilan telepon tersebut tersambung.

“Belum, mbak.”

“apa ada kabar dari yang bersangkutan?” tanya Bianca lagi, Bianca merasa sangat di sayangkan kalau ada kliennya yang terlambat lebih dari setengah jam.

“belum ada, mbak. Apa mau saya hubungi saja mbak?” tawar Jean.

“tidak perlu, kita tunggu saja sampai jadwal sesinya berakhir. Terima kasih, Jean.” Ucapan Bianca menjadi akhir dari sambungan telepon itu. Bianca menyadari bahwa tidak semua kliennya bisa tepat waktu, terkadang meskipun mereka yang mengajukan diri untuk terapi atau konsultasi biasanya para kliennya akan merasa dilema untuk tetap datang atau mengundurkan niat mereka.

Pintu yang terbuka setelah ketukan singkat terdengar memunculkan Jean bersama seorang pria, Jean mengantar pria tersebut duduk di sofa panjang dan kemudian menganggukkan kepala sebelum akhirnya meninggalkan ruang konsultasi itu. Bianca tersenyum lembut menyambut kliennya meski kedatangan kliennya kali ini terlambat hampir satu jam dan sesinya hanya tersisa 15 menit.

“Selamat sore, Bapak Marvin. Perkenalkan saya Bianca yang akan menemani sesi Bapak hari ini, terima kasih sudah menyempatkan untuk tetap datang.” Sapaan dan perkenalan diri diberikan oleh Bianca memecah keheningan sesaat tadi. Pria yang dipanggil Marvin itu memerhatikan Bianca sesaat dan menganggukkan kepala sebagai jawaban dari sapaan Bianca barusan. Masih dengan senyum lembutnya Bianca melanjutkan, “apakah sulit menemukan tempat ini, Pak?” tanyanya mulai membangun obrolan untuk sedikit mencairkan suasana yang terasa tidak ramah bagi Bianca. Gelengan didapatkan Bianca sebagai jawaban. Bianca sudah menebak sejak membaca profil pria ini kalau kliennya kali ini mungkin sangat tertutup dan sulit untuk mengutarakan perasaannya.

Bianca memerhatikan pria dihadapannya untuk sesaat, raut wajah pria itu tegas dan penuh wibawa, tidak ada keramahan disana, namun matanya tidak bisa berbohong, sesekali tatapan ria itu seolah menerawang dan Bianca menangkap suatu kerapuhan di dalamnya. Sambil sesekali kembali membaca profil pria tersebut, Bianca melanjutkan obrolan ringan dengan pria dihadapannya untuk membangun bonding dengan kliennya supaya kedepannya kliennya bisa lebih nyaman bercerita dan mengutarakan isi hati dan perasaannya.

“Bagaimana perasaan bapak hari ini?” tanya Bianca setelah ia merasa basa-basi yang ia berikan sudah cukup untuk dilanjutkan dengan perbincangan yang lebih dalam.

Menurut anda, apakah saya disini karena saya baik-baik saja?” bukan mendapatkan jawaban dari pertanyaannya, pria bernama Marvin itu menatap Bianca dan membalas ucapannya dengan tidak ramah bagi pendengaran Bianca. Mendapat respon seperti itu Bianca hanya menatap kliennya dengan lembut dan tersenyum.

“Apakah boleh gambarkan ke saya bagaimana perasaan Bapak saat ini?” masih dengan suara yang lembut dan pembawaan yang tenang Bianca kembali melontarkan pertanyaannya.

“saya tidak tahu.” Jawaban singkat diberikan oleh Marvin. Bianca menyadari ini cukup sulit, tidak ada catatan apapun yang dapat memberikan ia clue untuk menggali dan sikap tertutup pria ini membuat Bianca harus sedikit berpikir dan menguasai dirinya.

“Jadi saat ini Bapa sendiri bingung dengan perasaan Bapak ya. Boleh saya tahu apa yang membawa Bapa untuk akhirnya memilih melakukan konsultasi hari ini?” tanya Bianca lagi dengan tidak merubah suara maupun wajahnya yang teduh.

“saya juga tidak tahu.” Jawaban Marvin kali ini terdengar frustasi, ia juga tidak tahu perasaan apa yang terus mengganggunya, dan kenapa ia akhirnya memutuskan untuk membawa dirinya kesini. Bianca berdiri meninggalkan tempat duduknya mengambil sebotol kecil air mineral dan menyerahkan kepada pria dihadapannya.

“Minum dulu, Pak.” Tawar Bianca sambil menyodorkan air mineral itu yang disambut ragu oleh kliennya. “engga apa-apa kalau Bapak belum bisa menceritakan bagaimana perasaan Bapak, pelan-pelan saja, Pak.” Lanjut Bianca dengan sabar.

“terima kasih.” balas Marvin sambil kemudian meneguk air mineral yang tadi diberikan oleh Bianca. “tapi perlu anda ketahui saya kesini bukan untuk disembuhkan, saya hanya ingin tahu kenapa saya seperti ini.” Lanjut Marvin yang membuat Bianca sedikit melongo mendengar pernyataan tersebut, tapi dengan cepat Bianca kembali memberikan senyumnya.

“terima kasih untuk pengakuan Bapak, tidak apa Pak kita bisa berjalan perlahan untuk mendapatkan jawaban yang Bapak cari.” Jawaban itu menjadi perkataan Bianca sebelum akhirnya mengakhiri sesi dengan pria bernama Marvin tersebut. Belum sempat Bianca mengantarkan kliennya ke pintu, Marvin sudah beranjak dan menghilang di balik ruang konsultasi.

BAB 2

Bianca masih sibuk dengan pikirannya, suara klien terakhirnya terasa sangat familiar, suara yang tidak ia temukan dalam ingatan tapi terasa dikenalinya. Tanpa Bianca sadari kedatangan klien terakhirnya mampu membuka banyak pintu yang tertutup, ini bukan hanya bermakna untuk pintu ruangannya tapi ini tentang banyak pintu yang sudah berusaha ia tutup.

Ketukan pintu membuyarkan Bianca dari semua pikiran yang menghinggapi kepalanya, memunculkan Jean disana yang sudah rapi dengan jaket dan tasnya. Bianca melirik jam, memang sudah waktunya untuk pulang terlebih Marvin adalah klien terakhirnya.

“Mbak Bianca belum mau pulang?” tanya Jean ketika melihat Bianca masih duduk dengan catatan dan bolpoin di tangannya.

“Ah iya sebentar lagi, aku harus menyelesaikan ini dulu.” Jawab Bianca sambil sedikit mengangkat catatannya. Bianca kembali memfokuskan dirinya untuk mencatat hal penting yang ia dapatkan ketika konsultasi tadi, kata-kata terakhir Marvin tentang ia tidak ingin disembuhkan juga dicatat oleh Bianca. Selesai dengan catatannya Bianca menyadari bahwa Jean sudah duduk di sofa panjang, sibuk dengan ponselnya sambil menunggu Bianca selesai dengan pekerjaannya. Meski Bianca sering mengatakan agar asistennya itu tidak perlu menunggu dirinya selesai, ia bisa pulang duluan tapi Jean selalu memilih menunggu atasannya itu selesai dan meninggalkan gedung itu bersama.

“Yuk pulang.” Ajak Bianca setelah dirinya siap. Bianca mengunci ruang konsultasinya dan keduanya menuju ke parkiran dimana kendaraan mereka terparkir.

*

Marvin masih belum beranjak dari gedung tiga lantai itu, sudah setengah jam lalu ia meninggalkan ruangan Bianca tapi ia masih enggan melajukan mobilnya untuk pulang. Ia melihat Bianca berjalan menuju mobilnya, dengan seksama ia kembali memerhatikan wajah teduh milik wanita itu. wajah itu terasa familiar baginya meski ada sedikit perubahan tapi Marvin seolah mengenali wanita itu.

Lamunannya buyar ketika wanita itu menghilang di balik pintu mobil yang kemudian meninggalkan parkiran. Marvin tersadar bahwa sebaiknya ia juga pulang atau mungkin kembali ke kantor menghabiskan waktu untuk bekerja sampai pikiran dan perasaannya dapat teralihkan.

Kedatangan Marvin kembali ke kantor berhasil membuat Sabrina mengurungkan niatnya untuk pulang, waktu memang sudah menunjukkan waktu pulang kantor, Sabrina segera berdiri dari duduknya begitu menyadari Marvin melangkah menghampirinya.

“Kamu pulang saja, Na.” Belum sempat Sabrina membalas ucapan bosnya itu, pria dengan tubuh tegap itu sudah melangkah menuju ruangannya, meninggalkan Sabrina yang masih berdiri di tempatnya. Sabrina masih memerhatikan tubuh tegap Marvin yang mulai menghilang di balik pintu, selama bekerja sebagai sekretaris dari seorang Marvin, Sabrina menyadari bahwa bosnya memang bukan pria yang suka berbicara, bisa dibilang Marvin merupakan sosok yang tegas dan dingin.

Marvin menjatuhkan tubuhnya di kursi kebesarannya setelah berada di ruangannya. Ini adalah perusahaan keluarga yang akhirnya diwariskan oleh ayahnya karena ayahnya memilih untuk pensiun. Berulang kali Marvin menolak tapi penolakkan yang ia berikan malah membuatnya kembali dilukai oleh setiap perkataan dan tuduhan ibu kepadanya.

Tidak ingin terus memikirkan hal yang akan membuatnya kacau, Marvin berusaha mengalihkan pikirannya dengan mulai menyibukkan diri dengan dokumen- dokumen di mejanya yang ia tinggalkan siang tadi, Marvin membaca satu persatu dokumen tersebut, mulai dari laporan harian, segala bentuk pengajuan yang memang membutuhkan persetujuannya dan mereview beberapa proposal kerjasama yang diserahkan oleh bawahannya.

Dering ponsel memaksanya meninggalkan dokumen yang sedari tadi ia pelajari, melirik sekilas pemilik nama yang menghubunginya. Nama Saka muncul dari layar yang berkedip itu. Marvin mengambil benda pipih itu dan menggeser tombol jawab panggilan.

“Masih belum pulang, Vin?” pertanyaan itu langsung terdengar oleh telinga Marvin begitu benda pipih itu menempel pada telinganya.

“belum, lu dimana?” tanya Marvin kepada sahabatnya itu.

“di apartemen nih.” Jawab pemilik suara bernama Saka itu. “Masih lama di kantor?” tanya Saka kemudian.

“hmm, kerjaan bisa ditinggal sih.” Suara Marvin terdengar mengambang, sesungguhnya ia enggan pulang karena suasana hatinya baru saja tenang.

“Yaudah gue tunggu disini.” Sambungan telepon terputus begitu Saka mengatakan akan menunggunya. Marvin menyelesaikan dokumen yang sudah terlanjur ia pelajari dan membubuhkan tanda tanganya disana, setidaknya pekerjaannya sudah sedikit berkurang. Pria berwajah datar itu merapikan mejanya, mengantongi benda pipih yang tadi ia letakkan di meja, mengambil kunci mobil dan meninggalkan ruangannya. Suasana kantor sudah sepi, seluruh karyawan sepertinya sudah pulang mengingat saat ini sudah hampir pukul 11 malam.

Marvin mengemudikan mobilnya dengan santai meskipun ia tahu ada yang menunggunya, jarak kantor dan apartemennya memang tidak begitu jauh hanya membutuhkan waktu 15 menit jika jalanan senggang seperti malam ini.

Marvin memasuki lift yang akan membawanya ke lantai teratas gedung apartemen, ia menempati penthouse yang ia beli beberapa tahun lalu. Sejak diminta meneruskan perusahaan keluarga Dirgantara ia memutuskan keluar dari rumah yang baginya sangat menyesakkan, memilih tinggal sendirian dan tanpa tekanan atau tuduhan yang terus terarah kepadanya.

Setibanya di lantai paling atas gedung itu, Marvin menemukan Saka tengah menuangkan red wine yang memang disediakan Marvin disana. Saka menyerahkan satu gelas untuk Marvin dan membawa satu gelas lain untuk dirinya sendiri. Marvin tidak pernah mempermasalahkan apapun yang Saka lakukan di dalam penthousenya.

“gimana ketemu psikolog hari ini?” tanya Saka ketika keduanya sudah duduk di sofa ruang tamu. Marvin melepaskan dua kancing teratas kemejanya seolah memberikan ruang pada tubuhnya untuk bernafas.

“tidak banyak membantu, mungkin memang seharusnya gak usah datang.” Jawab Marvin sambil menyandarkan tubuhnya ke sofa sambil menghembuskan nafas.

“udah coba ceritain masalahnya?” tanya Saka lagi, Marvin memejamkan matanya mengingat sesi sore tadi ketika ia bertemu terapis bernama Bianca itu, kemudian menggeleng sebagai jawaban untuk pertanyaan Saka. Saka merupakan sepupu yang seumur dengannya dan menjadi sahabat paling dekat bagi Marvin. Selama ini hanya Saka yang mau mendengar dan mengerti kondisinya, dia pulalah yang memaksa dirinya untuk menemui seorang profesional setelah keluar dari rumah sakit akibat percobaan bunuh diri yang ia lakukan satu bulan lalu.

“gimana bisa terapinya akan berguna kalau lu terus menutup diri.” Respon Saka sambil menyesap wine di tangannya. “perlahan Vin, tapi cobalah membuka diri supaya lu bisa keluar dari kondisi ini.” Tambah Saka lagi.

Marvin tidak merespon sepupunya itu, jika dilanjutkan perbincangan mereka hanya akan mengacaukan pikiran yang sudah susah payah ia alihkan dengan tumpukan kerjaan. Ia memilih beranjak meninggalkan Saka menuju kamarnya untuk membersihkan diri dan istirahat. Hari ini tubuh, pikiran, dan perasaannya benar-benar menguras seluruh tenaganya.

Saka hanya memandangi Marvin yang menghilang di balik pintu kamar, menghela nafas kemudian kembali menyesap wine-nya. Saka adalah saksi dari semua luka dan kerusakan yang dialami Marvin atas kematian adiknya 21 tahun lalu. Lukanya semakin menganga dari waktu ke waktu ditambah tekanan harus meneruskan perusahaan keluarga Dirgantara sebagai anak dan cucu pertama laki-laki di keluarga mereka. Saka sendiri diminta ibunya untuk menemani saudara sepupunya itu sesering mungkin takut percobaan bunuh diri yang selalu dilakukan Marvin sewaktu-waktu akan berhasil.

BAB 3

“hari ini kamu akan pulang jam berapa, sayang?” pertanyaan wanita paruh baya yang memiliki status mama membuat Bianca menghentikan aktivitas sarapannya.

“Belum tau, hari ini ada 4 jadwal.” Jawab Bianca menanggapi mamanya itu. “ada apa, ma?” tanya Bianca kemudian.

“Papa hari ini akan di rumah, pulanglah tepat waktu agar bisa makan malam bersama.” Jawaban wanita bernama Vivi itu berhasil membuat Bianca berdebar. Pria yang ia panggil papa itu memang sering berada di belahan bumi lain untuk urusan bisnis, dan Bianca tidak terlalu suka duduk bersama papanya yang ia kenal sebagai pria dingin dan galak itu. Mengetahui informasi itu malah membuat Bianca berniat pulang terlambat atau tidak usah pulang sekalian.

“jangan menghindari papa mu terus, Ca. Ia juga menyayangimu.” Ucapan mama Vivi selanjutnya seolah mengerti niat yang dimiliki putri semata wayangnya itu.

Bianca menghela nafas pelan kemudian mengangguk merespon permintaan mamanya. Sesegera mungkin ia menghabiskan sarapannya dan berpamitan untuk berangkat. Tidak ada memori menyenangkan dengan papanya, hal yang selalu ia hindari adalah jika papanya pulang dari urusan bisnisnya dan harus menghabiskan waktu bersamanya. Kalau menurut kebanyakan orang cinta pertama anak perempuan adalah papa mereka, tidak demikian bagi Bianca. Sempat terlintas untuk tinggal sendiri jika ia tidak memikirkan mamanya yang juga sering ditinggal sendirian oleh suaminya, mungkin ini juga alasan kenapa ia tidak memiliki adik.

“Pagi, Mba Bianca.” Sapaan terdengar dari Jean ketika Bianca sudah ada di area sekitar ruangannya. Jean sedang berkutat dengan beberapa file dan catatannya.

“Pagi, Jean.” Balas Bianca sambil tersenyum ramah, setiap memasuki gedung tempatnya praktek sebisa mungkin Bianca meninggalkan segala pikiran pribadinya agar tidak mengganggu profesionalitasnya dan tidak merusak suasana siapapun.

“Bagaimana jadwalku hari ini?” tanya Bianca sambil duduk di hadapan Jean.

“Tidak ada perubahan, Mba. Hari ini ada 4 klien, klien pertama jam 9, terus lanjut jam 11, selanjutnya jam setengah 3, dan terakhir jam setengah 5.” Jawab Jean menjelaskan jadwal sesi yang harus dihadapi Bianca hari ini. Bianca memang selalu menjeda satu jam setiap sesinya untuk ia bisa mereview sesi yang telah berlangsung dan mempelajari sesi yang akan berlangsung.

“oke, terima kasih Jean. Aku masuk dulu ya.” Ucap Bianca sambil meninggalkan tempat Jean dan memasuki ruang konsultasi pribadinya.

Bianca melakukan rutinitasnya setiap pagi, mempersiapkan dirinya sendiri untuk bisa menghadapi klien-kliennya dan membaca file serta catatan yang akan membantunya untuk sesi yang akan berlangsung. Ditengah fokusnya dalam mempelajari profil dan catatan klien pertamanya tiba-tiba pikiran Bianca memaksanya mengingatkan sesi terakhirnya kemarin dengan seorang pria bernama Marvin. Suara pria itu masih terus memaksa dirinya untuk mengingat akan hal yang bahkan tidak terlintas dalam benak Bianca, ditambah perkataan terakhir pria itu yang mengatakan tidak ingin disembuhkan membuat Bianca menyadari luka pria itu sangat dalam.

Bianca dipaksa kembali dari lamunannya ketika ketukan dan pintu ruangannya terbuka memunculkan Jean dengan seorang perempuan yang baru beranjak dewasa yang diingat Bianca sebagai klien yang lumayan bisa mengenali dirinya sendiri tapi menolak untuk menerima kondisi.

*

Wajah Bianca yang tidak lepas dari pikiran Marvin membuat pria itu mencari tahu sedikit tentang wanita yang ia temui kemarin sebagai terapisnya itu. Tapi pencariannya tidak begitu mulus, informasi tentang wanita itu sangat sedikit, sepertinya wanita itu tidak memiliki hobi berselancar di dunia maya. Ketika sedang asik mencari, pesan masuk mengalihkan fokusnya.

Selamat Pagi Bapak Marvin, ini merupakan pesan pengingat untuk pertemuan konsultasi sesi kedua yang terjadwal sebagai berikut:

Hari/tanggal : Jumat, 4 Oktober 2024

Waktu: 15.00 WIB

Terapis: Anindya Bianca Maheswari S.Psi. M.Psi. Psikolog.

Mohon konfirmasi kehadiran dengan membalas pesan ini.

Terima kasih

Salam,

Anastasya Jean S.Psi

Asisten Psikolog

Marvin menutup pesan tersebut masih belum memiliki niat untuk memberi konfirmasi atau menghadiri sesi selanjutnya, ia malah berpikir untuk tidak melanjutkan apapun bentuk terapi atau konsultasi yang akan ia jalani. Tapi semenit kemudian Marvin kembali membuka pesan tersebut untuk memastikan nama lengkap terapisnya itu. Hal ini dapat membantunya untuk kembali mencari tentang terapis muda yang memiliki wajah teduh dan senyum menenangkan hati itu, tapi tetap saja informasi yang di dapatkan hanyalah informasi umum. Menyadari tidak mendapatkan informasi apapun ia meletakkan benda pipih itu dan memutuskan untuk kembali melanjutkan pekerjaan yang sempat ia tunda.

Saka muncul di ruangan Marvin ketika waktu sudah cukup sore dan waktu kerja sudah hampir selesai.

“Vin.” Panggilan Saka berhasil mengejutkan Marvin yang masih fokus dengan laporan-laporan di mejanya. Marvin mendongak dan memberikan tatapan bertanya ada apa pada sepupunya itu.

“nyokap gue ngabarin, bokap lu sakit dan di rawat, tengokinlah Vin.” Ucapan Saka membuat Marvin menyandarkan tubuhnya di kursi kebesarannya dan menatap sepupunya serius.

“Apa yang terjadi?” tidak menanggapi saran Saka, Marvin malah mengajukan pertanyaan agar dia mengetahui keadaan yang terjadi.

“Mungkin Om Anton kangen sama lu.” Jawabn Saka sambil mendudukkan dirinya di kursi yang memang tersedia di hadapan Marvin. Marvin menatap sepupunya tajam menuntut jawaban yang lebih masuk akal dari Saka. “Om Anton mengalami serangan jantung, Vin. Jelas Saka akhirnya, kali ini lebih serius. Marvin mengangguk-anggukkan kepalanya tapi masih belum memberikan keputusan apakah ia akan menemui ayahnya itu atau membiarkan dirinya mendapat kabar secara berkala dari Saka.

“jadi?” tanya Saka yang merasa belum mendapat respon dari sepupunya itu. Saka tahu kemungkinannya kecil untuk Marvin mau menemui ayah dan ibunya, itu hanya akan membuat luka pria itu kembali menganga. “gue temenin.” Tambah Saka lagi.

“Kehadiran lu tidak akan merubah sikap nyokap gue jadi baik sama gue, Ka.” Balas Marvin yang dibenarkan oleh Saka dalam hati. Perilaku ibunya Marvin memang tidak akan berubah meskipun ada Saka disana terlebih Saka sudah menyaksikannya sejak kecil.

“Yaudah, pikirin dulu aja, Gue akan kasih update terus kalau ada kabar.” Ujar Saka akhirnya, tidak ingin memaksa sepupunya dan membuat saudaranya itu tertekan semakin dalam.

Saka memutuskan menghabiskan sisa jam kerjanya di ruangan Marvin sambil memainkan ponselnya, sambil sesekali memerhatikan sepupunya yang sudah kembali fokus dengan kerjaannya. itu adalah cara Marvin untuk mengalihkan pikiran yang menyesakkan dirinya, Marvin menjadi orang yang gila kerja sejak ia memimpin perusahaan keluarga Dirgantara.

“Pulang yu, bro.” Ajak Saka setelah menyadari bahwa waktu sudah menunjukkan pukul 6, jam pulang kerja sudah berakhir satu jam lalu. Marvin mengangguk dan merapikan dokumen yang cukup berantakan di mejanya.

Sabrina berdiri dan memberi hormat ketika melihat pintu ruangan Marvin terbuka dan memunculkan Marvin dan Saka disana yang menandakan bahwa dirinya sudah dapat meninggalkan kantor karena bos nya sudah akan pulang.

“kosongkan jadwal saya tanggal 4 oktober mulai dari jam 2 siang.” Perintah Marvin sebelum akhirnya melanjutkan langkahnya menuju lift. Sabrina kembali mendudukkan dirinya, menyelesaikan perintah terakhir bosnya sebelum akhirnya melangkah meninggalkan meja kerjanya.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!