"Pernikahan ini batal!" ujar Andrian tegas tanpa memikirkan perasaan Aisya dan keluarganya.
Aisya Humaira gadis cantik berjilbab itu, sudah di lamar oleh pria bernama lengkap Adriansyah. Seorang camat muda yang lumayan tampan jika di bandingkan sama pemuda-pemuda yang ada di desanya.
Semua persiapan sudah selesai. Termasuk tenda, pelaminan, bahkan undangan sudah tersebar, tinggal menunggu hari H saja.
Namun beberapa hari yang lalu Riska, teman masa kecilnya Adrian sekaligus asistennya, mengusulkan untuk melakukan tes kesuburan pada calon istri sahabatnya itu.
Dan tanpa curiga Aisya mengiyakan usulan itu tanpa ragu. Namun, tidak ada yang tahu saat hasil tesnya keluar, Riska dengan sengaja menukarnya dengan yang palsu, di mana Aisya di nyatakan mandul alias tidak subur.
Hal itulah yang membuat keluarga Adrian yang awalnya menyukai sosok Aisya kini berubah drastis ketika tahu jika calon menantu mereka ternyata mandul.
Aisya dan kedua orang tuannya juga ikut terkejut saat membuka hasil tes tersebut, tapi mereka tak bisa membela diri karena kertas yang mereka pegang tertera nama Aisya Humaira di atasnya.
"Apa?" seru kedua orang tua Aisya yang terkejut dengan keputusan sepihak dari Adrian.
"Batal!" hanya karena kertas ini," timpal Aisya yang tak terima begitu saja keputusan Andrian sambil menggenggam erat kertas di tangannya.
Aisya dan Adrian memang baru saling kenal beberapa minggu ini setelah perjodohan antara keduanya. Tepat beberapa hari sebelum acara lamaran. Aisya disuruh pulang ke desa karana Adrian mau meminangnya.
Namun hari ini apa yang terjadi? Aisyah tak menyangka sedikitpun, pria yang penuh semangat ingin meminangnya jadi istri, kini tiba-tiba dengan mudah membatalkan pernikahan yang sudah di depan mata.
"Hanya karena kertas katamu, Aisya? Hay! kertas itu sangat berpengaruh bagi masa depan putraku. Kasian Adrian jika harus menikah dengan wanita mandul sepertimu, mending Adrian menikah dengan Riska. Saudara Riska banyak, sudah pasti dia subur. Bisa melahirkan anak untuk Adrian," cibir Bu Sari ibunya Adrian.
Riska melambung tinggi mendengar pujian dari Bu Sari Senyum kemenangan tersungging lebar di wajahnya.
"Mas Adrian, boleh kita bicara empat mata?" pinta Aisya yang merasa perlu meluruskan masalah ini berdua saja tanpa ikut campur orang lain.
"Buat apa? Kamu pasti ingin mempengaruhi Adrian, kan?" cetus Bu Sari cepat, sambil menatap sinis Aisya.
"Bu, disini yang mau menikah itu aku dan mas Adrian, jadi wajar kalau kami perlu bicara," tegas Aisya yang mulai kehilangan kesabarannya menghadapi sikap Bu Sari.
"Alah! Ngeles terus kamu ya! Udah jelas anak saya membatalkan pernikahan ini, apa kamu tuli hah!" lanjutnya.
"Hm! Sabar dan tenang dulu, kita bisa bicarakan baik-baik, lagian pernikahan sudah di depan mata, apa kata orang-orang jika pernikahan ini batal," tegur Ruslan Abi-nya Aisya yang sedari hanya diam memantau situasi.
"Ya, Sari, pernikahan mereka tinggal 2 hari lagi," timpal Ella Umi-nya Aisya membenarkan ucapan suaminya.
Adrian terdiam sejenak dengan ekspresi terlihat gusar, matanya menoleh ke arah lapangan yang tak jauh dari rumahnya Aisya dimana tenda-tenda dan pelamin sudah berdiri dengan megah di sana.
Riska yang menangkap gelagat keraguan di wajah Adrian. Wanita itu dengan cepat mendekat sambil menyelipkan lengannya di lengan Adrian dengan manja. Membuat Aisya yang melihatnya memutar matanya jengah dengan kelakuan Riska yang sok akrab.
"Adrian? Aku prihatin sama kamu, bagaimana masa depan Kamu nanti? Jika menikah dengan Aisyah, selain mandul ...," ujarnya berusaha mempengaruhi Adrian.
"Aisya umurnya sudah 25 tahun, udah tua," lanjutnya memelankan suaranya saat mengatakan kata tua.
"Eh! siapa yang kamu sebut tua hah! Aku tak se jompo itu ya! Lagian kamu dan aku cuman beda 2 bulan doang!" amuk Aisya tak terima saat mendengar bisikan Riska yang mengatakan dirinya tua.
"Tuh Adrian, lihat belum apa-apa udah ngamuk nggak jelas," cibir Riska semakin semangat mengompori Adrian.
Umi-nya Aisya langsung menarik putrinya saat melihat Aisya bergerak maju ingin menghajar Riska. "Tenang Aisya," ujarnya lembut menenangkan putri satu-satunya itu.
"Tidak bisa Umi, tuh cewek udah kelewatan, ia perlu di beri pelajaran. Mas Adrian ngomong dong! Jangan diam aja, masak kamu percaya begitu aja ucapan Riska." ujar Aisya sambil memberontak dalam dekapan Umi-nya.
Riska langsung memainkan dramanya, dengan memasang wajah menyedihkan, seolah ia sangat terluka dengan ucapan Aisya.
Adrian menatap keduanya bergantian lalu menarik nafas dalam. "Keputusanku sudah bulat Aisya. Aku tidak ada masa depan jika menikahimu!" ujar Adrian tegas membuang mukanya ke arah lain.
Aisya membeku di tempat dengan mata melotot sempurna, ia tak menyangka jika ia akan di campakkan begitu aja oleh Adrian. Rasanya seperti mimpi buruk yang tak kunjung usai.
"Satu lagi, kami minta semua biaya di kembalikan, termasuk hantaran yang telah kami berikan pada, Aisya," tambah Bu Sari tanpa perasaan.
"Loh! Kok gitu? Kalian yang batalkan pernikahan? Kenapa kami yang harus ganti rugi?" protes Umi-nya Aisya, tak terima dengan permintaan mantan besannya itu.
"Adrian yang membatalkan, tapi semua ini juga karena Aisya, coba kalau Aisya tidak ada masalah dengan kesehatannya, pasti pernikahan ini tidak akan batal," elak Bu Sari seperti bajai lewat.
"Gak bisa gitu dong! Bu Sari! Mas Adrian! Keluargaku pasti malu dengan pembatalan pernikahan ini, terus kalian minta ganti rugi, enak aja kalian!" geram Aisya yang sudah melupakan rasa hormat dan santunnya sama yang lebih tua.
"Kata siapa pernikahan ini batal? Andrian akan tetap menikah, tapi bukan sama kamu! Tapi sama Riska," ujar Bu Sari sambil melirik Adrian dan Riska dengan senyum penuh kemenangan.
Adrian terlihat sedikit terkejut dengan ucapan ibunya, namun ia tak punya pilihan lain selain mengangguk setuju. Menurutnya Riska juga cantik yang penting bisa memberikan ia keturunan pikirnya.
"Ia, aku akan menikah dengan Riska!" ujarnya tegas dengan nada terdengar pasrah.
Mendengar itu emosi Aisya semakin memuncak, tangannya mengepal kuat di sisi badannya, ingin rasanya ia menggantung Adrian di menara Eiffel sekarang juga sangking geramnya ia sama pria itu.
"Mas Adrian! Disini tak hanya kamu yang mengeluarkan biaya! Aku juga menguras tabunganku untuk melaksanakan pesta ini sesuai keinginan kedua keluarga!" tegas Aisya, sambil mengadahkan tangannya meminta uangnya di kembalikan.
Aisya lebih memilih tegar dari pada harus menangisi nasibnya, minimal ia tak mau rugi lah!
"Enak saja, udah kamu yang mandul malah minta ganti rugi! Gak, gak ada! Cepat kalian ambil semua ambil hantaran itu," perintah Bu Sari tegas pada pelayan yang ikut bersamanya untuk mengambil kotak-kotak hantaran yang masih tersusun rapi di sudut ruang tamu rumah Aisya.
"Apa-apaan ini?" Protes Aisya yang melihat seorang pelayan sedang mengangkat kotak yang berisi baju kebaya pengantin untuk akad nikahnya.
Keduanya saling tarik menarik, tak ada yang mau mengalah antara Aisya dan pelayan Bu sari.
"Adrian, baju kebayanya indah, ya? Pasti sangat bagus jika aku yang pakai," cetus Riska dengan tak tahu malunya.
"Ambil aja!" jawab Adria singkat.
"Enak aja! Kebaya ini aku membelinya dengan uangku sendiri. Aku membelinya di Jakarta, sana jauh-jauh kalian!" teriak Aisya tak terima.
Aisya dengan sekuat tenaga ia mempertahankan kebayanya, untung ikut latihan beladiri sejak kecil. Kini ia terpaksa menggunakan beberapa jurusnya, hingga membuat para pelayan yang menghadangnya sampai ketar ketir di buatnya.
"Ayo siapa lagi yang ingin maju?" tantang Aisya dengan memasang kuda-kudanya siap membantai lawannya.
Kedua orang tua Aisya berdiri di belakang Aisya, mereka terlihat panik, karena diluar rumahnya kini sudah banyak warga yang berdatangan karena mendengar suara ribut-ribut di dalam rumahnya.
Bu Sari langsung menarik Riska hingga mereka mundur beberapa kebelakang. "Lihat Adrian, bar-bar sekali dia, tak ada lembut-lembutnya! Untung kita sudah membatalkan pernikahan ini."
Aisya memutar bola matanya jengah, tak habis pikir sama ucapan mantan calon ibu mertuanya itu. Ada aja alasannya seolah ia bernafas saja salah di depan matanya.
"Ayo kita pergi dari sini!" titah Adrian, ia sudah sangat pusing dengan situasi ini.
"Ayo Riska," ajak Bu Sari pada Riska yang tengah tersenyum penuh kemenangan pada Aisya.
Para pelayan Bu Sari dengan cepat mengambil hantaran lamaran, memasukan kembali kedalam mobil. Adrian, Riska dan Bu Sari cepat-cepat masuk kedalam mobil lalu langsung pergi meninggalkan halaman rumahnya Aisya.
Sedangkan Aisya dan kedua orang tuanya hanya menatap nanar kepergiaan mobil hitam mantan calon suaminya itu.
"Sabar ya Aisya," ujar umi Ella sambil mengelus punggung sang putri dengan penuh kasih.
Beberapa warga mulai berkerumun dengan bisik-bisik ingin tahu, namun Abi-nya Aisyah langsung membubarkan para warga dan menutup pintu rumahnya rapat-rapat.
Bersambung ....
Di dalam kamar Aisya berbaring di atas kasur, menatap langit-langit kamarnya dengan tatapan kosong, di sampingnya tergeletak kebaya pengantin yang berhasil ia selamatkan dari rampasan Bu sari.
Ia mendengar desas desus warga dari jendela kamarnya, jika pernikahan itu tetap berlangsung besok. Namun bukan dirinya yang duduk di pelaminan, melainkan wanita lain yang menggantikan posisinya.
Aisya merasa sudah tak tahan, dengan semua ini, diam-diam ia memasukkan beberapa pasang pakaiannya kedalam tas ranselnya. Jujur ia malu, kecewa dan sakit hati berbaur jadi satu, yang ia inginkan saat ini adalah menghilang dari desa ini.
Aisya berencana akan kembali ke kota hari ini juga. Ia ingin segera menjauh dari tatapan sinis orang-orang yang menganggap dirinya wanita mandul. Aisya menarik tasnya yang tergeletak di atas tempat tidur, keluar dari dalam kamar menuju pintu belakang rumah. Ia tak ingin menemui siapapun, lewat jalan setapak yang sepi ia berjalan pasti melewati kebun-kebun warga tanpa menoleh ke belakang lagi.
Ia terus menarik langkahnya tanpa menghiraukan hujan yang kini turun membasahi seluruh badannya. Seolah alam pun ikut menangis nasibnya yang malang. Ia memanfaatkan hujan turun, untuk menangis sepuasnya, air matanya bercampur dengan air hujan menemani setiap langkahnya.
Perjalanan panjang itu membawanya sampai ke jalan raya di desanya, ia gegas mencari ojek untuk mengantarkan dirinya ke terminal.
Hujan telah berhenti beberapa menit lalu, bersamaan dengan air mata Aisya yang juga ikut berhenti mengalir, ia merasa sedikit lega setelah puas menangis.
Setelah mendapatkan ojek, ia langsung meninggalkan desanya menuju ke terminal. Di mana ia bisa naik bus menuju ibu kota. Namun di tengah perjalanan ia melihat seorang pria lansia yang hendak melompat ke sungai, bahkan satu kaki kakek itu sudah menginjak salah satu besi pembatas jembatan.
"Kang! Stop!" pinta Aisha sambil menepuk-nepuk pundak kang ojek agar segera menghentikan motornya.
Begitu kang ojek menghentikan motornya, Aisya gegas turun dan berlari cepat kearah sang Kakek bertubuh tegap, tinggi dengan rambut sudah memutih seluruhnya.
"Kakek jangan!" teriak Aisya dengan nada tinggi, karena ia mengira Kakek itu sudah kurang pendengarannya, sambil menarik kuat lengan sang Kakek hingga Kakek kembali turun ke atas jembatan.
Kakek mengerutkan keningnya, ia terkejut dengan kehadiran Aisya yang tiba-tiba menariknya, sekilas Kakek bisa melihat mata Aisya yang sembab karena habis menangis.
Aisya menarik nafas lega karena berhasil menyelamatkan sang Kakek yang hendak terjun bebas ke dalam sungai yang arusnya deras. Dengan nafas yang masih memburu ia menatap wajah sang Kakek dengan penuh perhatian.
"Kenapa harus bunuh diri sih kek! Kakek ada masalah? Sebesar apa masalah Kakek? Hingga Kakek nekat bunuh diri, semua orang punya masalah Kek, tapi bunuh diri bukan solusi yang tepat," cerocos Aisya panjang lebar.
Sang Kakek hanya diam dengan wajah datarnya, tanpa merespon ocehan Aisya.
"Kakek kenapa diam aja? Kakek sakit?" lanjut Aisya semakin khawatir.
"Kakek jawab napa? Apa kakek lagi sakit gigi, ya?" Tebak Aisya.
Sang Kakek menggeleng pelan, "Terus kenapa Kakek di sini, disini bahaya Kek!"
Kakek itu kembali menoleh ke bawah jembatan membuat jantung kembali berdegup kencang, Aisya semakin panik.
"Kakek, dengerin Aisya ya, bunuh diri itu dosa besar Kek! jangan ya, lagian Aisyah takut nanti Kakek gentayangan di jembatan ini, emang Kakek mau jadi penunggu jembatan ini?" tanya Aisya semakin ngawur.
Sang Kekek tak lagi menghiraukan ucapan Aisya, ia kembali memegang besi pembatas dan memijaknya lagi.
"Kek! Setidaknya masih ada bakso, somai, seblak, nasi Padang dan teman-temannya yang lain yang jadi alasan kita untuk bertahan hidup kan, Kek?" lanjut Aisya berusaha membujuk sang kakak, dengan segala jenis makanan kesukaannya sendiri.
Kakek itu menggeleng samar lalu tersenyum tipis, mendengar ocehan Aisya yang random. Setelahnya ia langsung melompat cepat ke dalam sungai.
"Gawat, Kakek!!" teriak Aisyah schok dengan aksi si kakek yang cepat, ia semakin panik saat menatap dari atas jembatan melihat arus sungai yang deras.
"Tolong ...! teriak Aisya cemas. Namun tidak ada siapapun yang melintas hanya ada kang ojek yang sebelumnya ia tumpangi.
Karena tidak ada siapapun akhirnya Aisya dan kang ojek memutuskan untuk turun melalui tangga yang ada di samping jembatan, memastikan keadaan si Kakek.
Begitu mereka sampai di bawah jembatan mulut Aisya menganga lebar, melihat pemandangan di depannya, bagaimana tidak ternyata sang Kakek jago berenang, ia dengan mudah berenang ke tepian sungai dengan mengendong seekor kelinci yang basah di pelukannya.
Kang ojek yang melihat si Kakek selamat memutuskan untuk pergi dari situ meninggalkan Aisya dan sang Kakek begitu aja.
"Kakek nekat terjun, karena ingin menolong kelinci, ini?" tebak Aisya mengerti, lalu meraih hewan berbulu putih itu dari gendongan si kakek.
Kakek hanya mengangguk, diam-diam Aisya menatap kagum dengan stamina sang Kakek yang bisa terjun dari jembatan tanpa cedera sedikitpun.
Aisya mengambil kebaya pengantin dari dalam tasnya lalu mengeringkan badan kelinci itu dengan lembut mengunakan kebayanya.
Si Kakek berdehem pelan berusaha menyamarkan suaranya. Aisya tak tahu jika di balik wajah tua sang Kakek adalah Satria Pratama Dirgantara, seorang Komandan elite yang sedang menyamar karena sebuah alasan.
Sang Kakek menatap heran pada kebaya putih di tangan Aisya. "Kenapa kamu menggunakan kebaya itu?" tanya pria tampan di balik wajah topeng kakek-kakek.
"Hm! Ceritanya panjang, tapi yang jelas kebaya ini sudah tak berarti lagi, pernikahan kami batal."
"Sama, saya juga baru saja membatalkan rencana pernikahan saya, ternyata dia tak tulus," gumam Satria sambil menatap jauh ke seberang sungai.
"CK! Nenek gayung mana yang membuat Kakek patah hati?" Aisya sampai menggelengkan kepalanya merasa geli, mendengar curhatan kakek-kakek yang sedang galau di sampingnya.
"Kamu gak kenal saya?" tanya Satria tiba-tiba, ia tersenyum samar di balik riasan make-up ala Kakek-kakek.
"Enggak? Kakek Artis?" tebak Aisya memperhatikan postur tubuh si Kakek yang atletis, gagah dengan sorot matanya yang tajam, meskipun kulit wajahnya terlihat keriput dan rambutnya ubanan.
"Bukan," jawab Kakek singkat.
"Terus Kakek emangnya siapa? Mantan Model atau CEO?" Aisya terus menebak-nebak.
"Bagaimana kalau kamu menikah dengan saya saja?" usulnya tanpa menjawab pertanyaan Aisya sebelumnya.
Aisyah terkekeh pelan, sambil menggelengkan kepalanya cepat.
"Uang saya banyak!" tambah Kakek yang berusaha meyakinkan Aisya.
"Terima kasih atas tawarannya, Kek! Tapi aku sukanya Oppa-oppa! Bukan aki-aki!" ceplos Aisya yang merasa geli di taksir kakek-kakek.
"Kalau saya bukan aki-aki?" tantang Satria dengan tatapan serius.
"Berarti kakek-kakek dong!" kekeh Aisya lalu tertawa lepas. Ia merasa sedikit terhibur dengan hadirnya si Kakek.
Satria memicingkan matanya, "Apa bedanya, artinya tetap sama," balas Satria datar.
"He he! Iya maaf Kek!"
"Bagaimana kamu mau kan, menikah dengan saya?" tanya si Kakek penuh harap.
Bersambung ....
Aisya yang merasa ngeri jika harus berlama-lama berduaan dengan si Kakek yang terkesan memaksa menikah dengannya.
Aisya yang kesal akhirnya memutuskan untuk pergi dari sana, tanpa menjawab lamaran dari sang Kakek. Lagian ia harus melanjutkan perjalanannya ke kota. Sang Kakek menatap punggung Aisya yang menjauh dengan tatapan penuh arti.
Kembali ke atas jembatan, Aisya celingukan mencari kang ojek yang tadi mengantarnya. Saat ia terlalu fokus pada si kakek sampai tak menyadari kang ojek sudah pergi entah ke mana.
"Ya ampun, gini amat dah nasibku. Dicampakkan camat, sekarang kang ojek ikut-ikutan ninggalin lagi," gumam Aisya, meratapi nasibnya.
Dengan perasaan kesal karena lamaran mendadak dari kakek-kakek di bawah jembatan, ia kembali menggerutu.
"Dasar aki-aki! Emangnya aku se-jompo itu apa? Sampai dilamar? Si Rani aja nikah sama satpol Hendra yang tampan, Dewi sama Dimas, dosen incaran kaum hawa. Trus … aku sama opa-opa? Huaaa!! Gini banget sih nasib jomblo dari lahir!" seru Aisya frustrasi. Kepalanya terasa berasap sekarang.
Tak lama kemudian, sebuah mobil angkutan berhenti di depannya.
"Aisya, ngapain kamu di sini?" tanya seorang pria dari balik kemudi. Rupanya Bang Tatan, supir angkot yang dikenalnya.
"Eh, Bang Tatan. Mau ke terminal, tapi dari tadi nggak ada angkutan yang lewat," jawab Aisya dengan wajah lesu. Bahunya merosot lemas.
"Jam segini mana ada lagi angkutan ke sana, ini sudah jamnya angkutan balik," jawab Bang Tatan, Ia menggeleng prihatin.
"Terus gimana dong! Masa balik lagi sih!" keluhnya. Ia enggan membayangkan harus kembali ke desa, menghadapi tatapan sinis dan bisik-bisik tetangga.
"Jadi gimana, mau nunggu di sini, atau ikut balik ke desa," tanya Bang Tatan lagi.
Merasa tak punya pilihan lain, Aisya akhirnya mengangguk pasrah. Tidak mungkin juga ia menginap di bawah jembatan seorang diri.
"Ya udah deh, Bang. Balik aja," putusnya lesu.
Ia segera naik ke dalam angkutan dengan perasaan campur aduk. Sambil menatap keluar jendela, ia kembali mengenang kejadian yang menimpanya dalam dua hari ini.
Setelah satu jam, akhirnya ia sampai di persimpangan jalan menuju rumahnya. Aisya langsung turun setelah membayar ongkosnya, dengan langkah gotai, ia kembali mengenang nasibnya, saat menatap kearah tenda pengantin yang masih berdiri kokoh di sana, tapi sayang pengantinnya pasti bukan lagi dirinya.
hatinya kembali berdenyut nyeri, Aisya terus membawa langkahnya menuju rumahnya, tatapan sinis dan bisikan para warga yang mencibirnya terdengar samar.
Andai aku menguasai tiga elemen: air, udara dan tanah, tak perlu pikir dua kali pasti akan aku tiup tuh tenda sampai ke laut samudera, biarin aja tuh si Riska sama Adrian akad nikah di tegah laut, kalau bisa mereka menetap di sana sampai beranak cucu," gerutunya dalam hati sambil melangkah pulang.
"Hay! Aisya," sapa Riska yang tiba-tiba muncul mengangetkan Aisya yang lagi megerutu kesal.
"Eh! Buset dah! Cobaan apa lagi ini, sudah menghindar juga. Curiga nih! Riska pasti salah satu saudaranya jelangkung, datang tak di undang, balik naik odong-odong pasti," gerutu Aisya dalam hati. Ia berusaha menyembunyikan kekesalannya di balik tatapan dingin.
"Hm! Mau apa lagi?" ketus Aisya. Nada bicaranya terdengar tak bersahabat.
"Biasa aja dong! Mukanya!" sindir Riska sinis. Ia menyeringai puas melihat ekspresi kesal di wajah Aisya.
"Nggak bisa. Muka aku udah cantik dari lahir! Jadi nggak bisa biasa aja. Kenapa emangnya, masalah buat lo?" tantang Aisya. Ia berusaha bersikap cuek, meskipun hatinya terasa perih.
"Ih! PD-nya! Di rumah nggak ada kaca besar pasti! Ngaca dong! Mending cepet balik gih! Di rumah ada kakek-kakek yang aku denger-denger sih, mau ngelamar kamu!" ujar Riska dengan tawa meremehkan. Ia merasa diatas angin karena berhasil merebut Adrian yang tampan dari Aisya. Sekarang, ia bahkan mengejek Aisya yang akan dilamar oleh seorang kakek-kakek.
"Apa?" Aisya tersentak kaget. Jantungnya berdebar semakin kencang. Jadi, kakek-kakek itu ada di rumahnya sekarang?
"Dasar kakek-kakek! Gara-gara dia, aku jadi diketawain si Riska. Ketawanya renyah banget lagi, kayak kerupuk baru keluar dari penggorengan," geram Aisya dalam hati. Ia mempercepat langkahnya menuju rumah.
"Selamat ya, Aisya! Semoga langgeng sama kakek-kakek!" teriak Riska, lalu tertawa penuh kemenangan. Tawanya menggema di sepanjang jalan.
Sepanjang jalan menuju rumah, Aisya mendengar bisikan-bisikan tetangga yang membicarakannya. Beberapa dari mereka bahkan tertawa mengejek.
"Duh! Malu, banget aku! Masak sih! Aku di lamar Kakek-kakek bukannya oppa-oppa? Minimal oppa versi lite gitu! yang ngelamar? Masak sama opa-opa, aki-aki, mbah-mbah atau apalah namanya itu, bisa-bisa nanti aku viral kayak drama film yang sempat ramai di mensos, 'Walid nak Aisya boleh?' Huaaa!! Suram bangat sih nasib aku! Apa nggak ada pangeran bertopeng gitu! Yang muncul tiba-tiba nyelamatkan gadis malang ini?" Ia terus menggerutu dalam hatinya.
Mata Aisya terasa panas, air mata mulai menggenang di pelupuk mata. Hatinya merasa sesak saat orang-orang mencibir dirinya tanpa perasaan. Ia merasa begitu malu, sedih, dan putus asa. Nasibnya benar-benar terasa seperti lelucon yang pahit.
Aisya terus berjalan, melewati orang-orang yang sedang berbisik membicarakan tentang dirinya. Gagalnya pernikahan dirinya dan Adrian sudah menjadi buah bibir di desanya.
Aisya mempercepat langkahnya berharap segera sampai di rumah dan bersembunyi dari semua tatapan sinis dan bisikan mengejek itu.
Di tenda sendiri pesta rakyat sudah di mulai sejak tadi, banyak para warga yang berdatangan untuk menonton, atau sekedar mencari hiburan. Siapa saja boleh datang dan bernyanyi sesuka hati di atas panggung sana.
"Eh! Aisya, selamat ya. Akhirnya kamu nggak batal nikah! Seenggaknya masih ada yang ngelamar kamu, meskipun udah kakek-kakek sih! Kapan nih, acaranya?" sindir Bu Nining, yang terkenal sebagai ratu gosip di desanya.
Aisya terpaksa menghentikan langkahnya, ia menarik nafas dalam-dalam sebelum mulai mengeluarkan kata-kata mutiaranya.
"Kapan acaranya? Bu Nining juga kapan nih! Botaknya? Tuh rambut rontok mulu!" ceplos Aisya sewot.
Senyum sinis Bu Nining seketika memudar, kaget dengan keberanian Aisya.
"Orang cuman nanya juga!" sungut Bu Nining yang hanya berani mengomel dengan suara pelan.
Namun kekesalannya tak berhenti di situ, beberapa langkah kemudian ia kembali menghentikan langkahnya.
Bersambung ....
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!