Hujan deras mengguyur kota malam itu.
Langit kelam, diselimuti petir yang sesekali memecah langit seolah ikut meraung bersama nasib seorang wanita yang tengah berlutut di lantai rumah megah yang dulu ia banggakan.
Tubuh Aruna bergetar hebat. Gaun putih yang ia kenakan sudah sobek di beberapa bagian, basah oleh da*rah yang merembes dari luka di perutnya. Setiap tarikan napas terasa seperti me*nyayat paru-parunya sendiri.
Dingin.
Sakit.
Tapi yang paling menghancurkan bukan luka itu, melainkan dua sosok yang berdiri di depannya—orang yang selama ini menjadi dunia bagi hidupnya.
Andrian.
Pria yang dulu ia cintai dengan seluruh hatinya.
Dan Naya, sahabat yang ia anggap saudara.
Keduanya kini berdiri berdampingan, menatapnya dengan mata yang kosong dan dingin, seolah tak pernah mengenalnya sama sekali.
“A… Andrian…”
Suara Aruna pecah di antara sesenggukan. “Kau… apa yang kau lakukan padaku?”
Andrian memiringkan kepalanya sedikit, menatapnya tanpa ekspresi. Di tangannya, pi*sau yang tadi baru saja menembus tubuh Aruna masih meneteskan da*rah segar.
Ia menghela napas, seolah menyesali sesuatu—tapi bukan karena rasa bersalah.Melainkan karena kebosanan.
“Aku sudah bilang, Aruna. Jangan berteriak. Ini mengganggu,” ucapnya datar.
Aruna terisak keras. Tangannya meraih perutnya, mencoba menahan da*rah yang terus mengalir. Ia menatap ke arah pintu dengan mata penuh harap.
“Tolong… ada orang… tolong aku…!”
Suara tangisnya menggema di ruangan besar itu.
Namun sebelum sempat ia berteriak lagi, plakkk!!
Sebuah tamparan keras mendarat di pipinya.
Andrian menatapnya tajam, wajahnya mendekat hingga Aruna bisa mencium aroma logam dari darah di tangannya.
“Diam.”
“A-Andrian, aku—”
“Diam, Aruna!!” serunya lebih keras.
“Kau selalu menyebalkan ketika mulai menangis.” lanjut andrian dengan nada rendah,terdengar sangat menakutkan.
Tamparan kedua menyusul, membuat kepala Aruna terhempas ke samping. Sudut bibirnya robek, da*rah bercampur air mata mengalir ke lantai marmer yang licin.
Ia tak lagi berani menatap pria itu, hanya gemetar sambil terisak.
Naya, yang sejak tadi bersandar di dinding dengan tangan terlipat, menatap pemandangan itu dengan tatapan dingin. Sudut bibirnya terangkat dalam senyum puas.
“Akhirnya juga,” gumamnya pelan. “Kau tidak tahu, Aruna, aku sudah menunggu momen ini begitu lama.”
Aruna menoleh lemah ke arahnya, suara seraknya nyaris tak bisa keluar.
“Naya… kenapa kau…” ucap nya tercekat,rasa nya ini seperti mimpi namun semua rasa sakit terasa begitu sangat nyata.
Sahabat yang dulu menemaninya menangis saat orang tuanya meninggal, yang berbagi tawa di setiap momen sulit, kini justru berdiri di sisi pria yang menghancurkan hidupnya.
Naya berjalan mendekat perlahan. Tumit sepatunya memantul di lantai, bunyinya terdengar begitu menusuk di antara suara hujan yang menggila di luar sana.
Ia berjongkok di depan Aruna, menatap wajah sahabatnya yang kini lusuh dan berlumuran darah.
“Kau tahu,” ucapnya lembut, “aku selalu iri padamu. Semua hal yang kuinginkan selalu ada padamu—keluarga hangat, cinta yang manis, bahkan perusahaan besar yang diwariskan padamu.”
“Tapi kau… terlalu bodoh untuk menjaganya.”
Aruna menggeleng pelan, masih tak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya.
“Kau… sahabatku…” aruna masih menyimpan sedikit harapan kecil di hati nya,dan berharap naya memeluk diri nya.
Naya tersenyum. “Itulah masalahnya. Kau mengira semua orang sebaik dirimu.”
Andrian menatap jam di pergelangan tangannya, tampak tak sabar.
“Cukup dramanya. Kita tak punya banyak waktu, Naya.”
“Sabar,” balas Naya lembut sambil mengelus pipi Aruna yang lebam. “Aku hanya ingin memberinya sedikit hadiah sebelum dia pergi.”
Aruna menatapnya dengan ketakutan yang tulus.
“Kau… apa yang kalian lakukan dengan mobil Ayah dan Ibu ku?”
Kata-kata itu membuat Naya tertawa lirih. Ia menatap Andrian, lalu kembali pada Aruna.
“Jadi kau akhirnya sadar juga?” katanya pelan. “Benar. Mobil itu… kami yang mengotak-atiknya.” naya tertawa kecil setelah mengucapkan kalimat tersebut.
Waktu seakan berhenti segala suara menghilang dari telinga Aruna. Yang tersisa hanya detak jantungnya sendiri—lambat, sakit, menolak percaya pada kenyataan yang baru saja diungkapkan.
“Kau bohong…” suaranya pecah. “Kau… bohong!”
Andrian berjongkok di sampingnya, menatapnya dari jarak yang begitu dekat.
“Sayang, kalau kami berbohong, apakah kau pikir mereka masih hidup sampai sekarang?” ucap andrian dengan tertawa seolah sedang mengejek aruna,
“Kecelakaan itu hanya cara agar kau mempercayai aku sepenuhnya. Dan kau melakukannya. Dengan senang hati kau menyerahkan semua saham perusahaan atas namaku. Bahkan setelah mereka mati, kau tetap membelaku.”
Aruna menjerit keras, mencakar lantai hingga kukunya patah.
“Tidak! Kalian iblis! Kalian pembunuh!”
Andrian berdiri dan menendang tubuhnya hingga terjatuh.
Suara benturan tulangnya dengan lantai terdengar begitu nyata.
Ia menggeliat kesakitan, tapi tak ada lagi tenaga untuk melawan.
“Kau membuat segalanya menjadi mudah, Aruna,” kata Andrian dengan nada malas. “Kau jatuh cinta, percaya, dan menyerahkan segalanya tanpa berpikir. Sekarang… waktumu sudah habis.”
Air mata Aruna menetes tanpa henti.
Ia mencoba merangkak ke arah pintu, namun tubuhnya terlalu lemah.
“Tolong…” suaranya nyaris tak terdengar. “Siapa pun… tolong aku…”
Naya menghela napas, lalu menatapnya iba—palsu.
“Tak ada yang akan datang, Aruna. Kau mengusir semua orang dari rumah ini. Kau terlalu sibuk mempercayai kami.”
Suara petir menggema di langit.
Andrian berjalan ke arah jendela besar dan menarik tirai, menatap hujan deras di luar sana.
“Kau tahu, aku nyaris kasihan,” katanya pelan tanpa menoleh. “Kau terlalu murni untuk dunia seperti ini. Tapi uang dan kekuasaan selalu butuh korban, kan?”
Aruna memejamkan mata.
Bayangan ayah dan ibunya menari di kepalanya—senyum lembut mereka, tangan hangat yang dulu sering mengelus rambutnya, dan suara tawa mereka yang kini hanya tinggal kenangan.
“Ayah… Ibu… maaf…” bisiknya lirih.
Andrian menoleh dan menatapnya untuk terakhir kalinya.
“Selamat tinggal, Aruna.”
Langkah kaki keduanya perlahan menjauh. Pintu tertutup dengan bunyi klik yang lembut—terlalu lembut untuk menandai akhir hidup seseorang.
Hujan masih turun.
Udara mulai berbau besi dan debu.
Aruna tergeletak sendirian, tubuhnya dingin, matanya menatap kosong ke langit-langit.
Namun di detik-detik terakhirnya, sesuatu terjadi.
Suara samar terdengar di kepalanya—bukan dari luar, tapi dari dalam pikirannya sendiri.
“Kau tidak seharusnya mati di sini…”
Aruna terperanjat suara itu… lembut, dalam, seperti bisikan yang datang dari tempat jauh. Ia berusaha mencari sumbernya, tapi yang terlihat hanyalah kabut hitam yang mulai menelan pandangannya.
“Siapa… kamu…?” suaranya parau.
Tak ada jawaban.
Hanya keheningan dan gemuruh hujan di luar sana.
Perlahan, pandangannya kabur napasnya melemah dan dalam isak yang nyaris tak terdengar, Aruna memejamkan mata untuk terakhir kalinya—membiarkan kegelapan menelannya, dengan satu doa yang tersisa di hatinya:
Jika aku diberi kesempatan hidup sekali lagi… aku tak akan mempercayai cinta. Aku hanya ingin membalas segalanya.
---
Udara pagi terasa asing di paru-paru Aruna.
Ia membuka matanya perlahan, menatap langit-langit putih dengan pandangan kabur. Untuk sesaat, pikirannya kosong. Tidak ada rasa sakit, tidak ada darah, tidak ada teriakan seperti yang terakhir ia ingat. Hanya keheningan dan aroma bunga melati yang samar.
Beberapa detik kemudian, napasnya tercekat. Ia bangkit duduk, keringat dingin membasahi pelipis. Pandangannya liar menelusuri ruangan yang tidak ia kenali—kamar luas dengan dinding krem, jendela besar tertutup tirai lembut, cahaya matahari menembus masuk dengan tenang.
“Apa ini…?” suaranya serak, nyaris tak keluar.
Ia menatap sekeliling. Tidak ada dinding lembab, tidak ada tikar usang tempatnya mati perlahan karena demam dan kelaparan. Tidak ada luka di tubuhnya. Ia bahkan tidak merasa lemah seperti sebelumnya.
Dengan tangan gemetar, ia menyentuh wajahnya. Kulitnya halus. Tidak ada bekas luka yang dulu ditinggalkan tamparan Andrian malam itu. Tidak ada lebam. Tidak ada darah.
Aruna menatap cermin di seberang tempat tidur, dan tubuhnya membeku. Bayangan di sana… bukan dirinya yang terakhir ia lihat di dunia. Rambutnya hitam terurai, matanya hidup, pipinya penuh warna. Wajah yang belum hancur oleh sakit, pengkhianatan, dan kematian.
Ia bangkit perlahan, berjalan ke arah cermin dengan langkah goyah. Tangannya menyentuh permukaan kaca, mata membulat tak percaya. “Tidak… ini tidak mungkin…” bisiknya, suaranya bergetar hebat.
Matanya menangkap kalender kecil di atas meja rias. Saat ia membaca angka di sana, lututnya langsung lemas.
Tiga tahun sebelum kematiannya.
“Tidak…” bisiknya pelan, napasnya memburu. “Tiga tahun sebelumnya… berarti…”
Tangannya menutup mulutnya. Air mata mengalir tanpa ia sadari. Saat itu berarti… Ayah dan Ibunya masih hidup. Rumah mereka belum hancur. Andrian dan Naya belum menunjukkan wajah asli mereka.
Tiba-tiba pintu kamar terbuka dengan cepat. Seorang wanita paruh baya masuk, wajahnya tampak lega sekaligus khawatir. “Nona Aruna! Syukurlah Anda sudah sadar. Kami semua panik, Anda jatuh di tangga tadi malam setelah acara gala. Dokter bilang Anda hanya pingsan karena kelelahan.”
“Pingsan?” Aruna menatapnya linglung. “Jatuh di tangga?”
“Ya, Nona. Anda sempat tidak sadarkan diri semalaman,” jelas pelayan itu sambil membantu menata bantal. “Oh iya, Nyonya meminta saya memanggil dokter kalau Anda sudah bangun. Dan…” wanita itu ragu sejenak sebelum melanjutkan, “besok keluarga Adikara akan datang ke rumah untuk membicarakan lamaran.”
Semua warna seolah menghilang dari wajah Aruna.
Keluarga Adikara. Lamaran.
Ingatan itu menyeruak begitu kuat, menusuk ke dalam pikirannya. Ia ingat dengan jelas—di kehidupan sebelumnya, ia juga dijodohkan dengan keluarga Adikara. Namun saat itu ia menolak mentah-mentah. Baginya, pernikahan dengan pria yang terbaring koma adalah sebuah lelucon kejam. Ia tidak ingin menghabiskan hidupnya merawat seseorang yang bahkan tidak bisa memanggil namanya.
Andrian-lah yang menasihatinya waktu itu, membisikkan bahwa hidup bersama pria koma sama saja mengubur masa depan. Ia mempercayainya, seperti gadis bodoh yang mempercayai semua kata manis dari pengkhianat.
“Tidak perlu panggil siapa pun,” ujar Aruna pelan, menatap kosong. “Aku… ingin sendiri.”
Pelayan itu tampak bingung, tapi mengangguk sopan sebelum meninggalkan ruangan. Begitu pintu tertutup, Aruna langsung menutup wajahnya dengan kedua tangan. Tangisnya pecah.
Ia ingat semuanya. Malam itu. Saat Andrian menamparnya berkali-kali karena ia menolak menyerahkan dokumen perusahaan. Saat Naya menatapnya dingin dari balik pintu sambil tersenyum puas. Saat tubuhnya jatuh ke lantai dan kepalanya membentur meja. Saat darah mengalir di ujung bibirnya dan ia memohon pertolongan.
“Andrian… Naya…” suaranya bergetar penuh amarah. “Aku mempercayai kalian. Aku mencintai kalian… tapi kalian menghancurkan segalanya.”
Air matanya menetes, jatuh di atas selimut putih.
Namun kali ini, tidak ada rasa putus asa. Yang tersisa hanyalah kebencian.
Aruna menarik napas panjang, menatap keluar jendela di mana cahaya pagi mulai menembus kabut. “Kalau ini kesempatan kedua…” katanya pelan. “Aku akan mengubah segalanya.”
Kali ini ia tidak akan membiarkan siapa pun menyentuh keluarganya. Tidak akan ada yang membuat Ayah dan Ibunya mati sia-sia. Dan satu hal yang ia tahu pasti — ia tidak akan jatuh cinta pada Andrian lagi.
Ia menatap cermin dan melihat pantulan matanya sendiri. Dulu mata itu penuh kepercayaan. Kini, hanya ada dingin dan tekad.
“Baiklah…” katanya, suaranya pelan tapi pasti. “Aku akan menikahi pria koma itu.”
Ucapan itu keluar seperti janji.
Bukan karena cinta, tapi karena alasan yang lebih dalam. Ia tahu keluarga Adikara memiliki kekuatan besar. Di kehidupan lalu, Andrian berhasil menjatuhkan keluarganya karena mereka kehilangan dukungan dari keluarga itu setelah ia menolak perjodohan. Dan dari sanalah segalanya mulai hancur.
Namun kali ini… ia tidak akan membuat kesalahan yang sama.
Ia akan menjadi istri dari Leo Adikara — pria yang bahkan belum pernah ia temui, pria yang kini terbaring koma entah di mana. Tapi justru dari sana, kekuatannya akan dimulai.
----
Sore harinya, rumah besar keluarga Aruna dipenuhi cahaya hangat. Aruna berdiri di balkon, menatap halaman di mana Ayah dan Ibunya berbicara dengan para tamu yang baru datang. Senyum keduanya begitu tulus. Hatinya sesak.
Tiga tahun lalu, wajah itu adalah kenangan terakhir yang ia tangisi.
Dan kini, mereka benar-benar ada di hadapannya. Masih hidup. Masih bisa tersenyum.
“Aruna,” suara lembut Ibunya memanggil dari bawah. “Ayo turun, Sayang. Tamu dari keluarga Adikara sudah datang.”
Aruna menahan air mata yang hampir jatuh lagi. Ia tersenyum samar, lalu turun perlahan. Langkahnya ringan tapi jantungnya berdebar keras.
Di ruang tamu, seorang pria tua berwajah berwibawa duduk dengan tenang, didampingi seorang wanita paruh baya yang tampak anggun. Di samping mereka duduk seorang pria muda — mungkin saudara atau pengurus keluarga Adikara.
Tuan Adikara menatapnya dengan lembut. “Jadi ini Aruna? Putri yang sering diceritakan ayahmu. Cantik dan anggun, seperti yang kami dengar.”
Aruna menunduk sopan. “Terima kasih, Tuan.”
Ibu Aruna tersenyum gugup. “Kami tahu situasinya tidak mudah… tapi keluarga kami percaya pada keajaiban. Kami hanya ingin putri kami bisa bahagia.”
Tuan Adikara mengangguk. “Putra kami, Leo, memang masih belum sadar. Tapi kami percaya, di dunia ini tidak ada yang mustahil. Kami tidak memaksa. Kami hanya ingin tahu… apakah Nona Aruna masih ingin mempertimbangkan lamaran ini?”
Pertanyaan itu membuat seluruh ruangan hening. Semua mata menatapnya. Di kehidupan sebelumnya, ia menolak tanpa pikir panjang. Ia bahkan tertawa sinis dan berkata bahwa hidup bersama orang koma hanyalah penderitaan.
Namun kali ini, Aruna menatap langsung ke arah Tuan Adikara dengan pandangan teguh. “Aku… bersedia.”
Semua orang tampak terkejut. Ibunya menatapnya dengan mata membulat, sementara Tuan Adikara menatapnya lekat-lekat, seolah memastikan ia tidak salah dengar.
Aruna menegakkan punggungnya. “Aku akan menikahi Tuan Leo Adikara,” ucapnya tegas. “Jika aku diberi kesempatan untuk menemaninya, maka biarlah itu menjadi pilihan hidupku.”
Senyum lembut perlahan muncul di wajah Tuan Adikara. “Putraku adalah orang yang beruntung.”
Dan di saat semua orang mulai berbicara bahagia, Aruna hanya memejamkan mata.
Ia tidak tahu apakah pria itu akan sadar suatu hari nanti. Ia bahkan belum pernah melihat wajahnya secara langsung. Tapi entah mengapa, di dalam hatinya yang terluka, ada rasa tenang aneh yang muncul.
Mungkin karena kali ini ia tidak menyerahkan nasibnya pada cinta, melainkan pada tekadnya sendiri.
Malam itu, saat semua orang telah tidur, Aruna berdiri di depan cermin dengan rambut terurai. Di sana, ia menatap pantulan dirinya yang berbeda — bukan lagi gadis lemah yang menangis meminta belas kasihan, tapi wanita yang siap menulis ulang takdirnya.
“Andrian,” suaranya pelan, namun penuh amarah yang dalam. “Kau mungkin mengira aku sudah mati. Tapi kali ini, akulah yang akan menulis akhir cerita.”
Ia menatap keluar jendela, melihat bulan yang menggantung tinggi di langit. “Dan Leo Adikara…” bibirnya bergerak, nada suaranya melunak. “Entah siapa kau sebenarnya, tapi mulai hari ini… aku adalah istrimu.”
Udara pagi terasa lebih nyata dari sebelumnya. Aroma roti panggang dan kopi hitam memenuhi ruang makan keluarga Aruna, berpadu dengan sinar matahari yang menembus tirai renda berwarna putih.
Ayahnya duduk di ujung meja, membaca koran seperti kebiasaannya setiap pagi, sementara ibunya sibuk menuangkan susu ke dalam cangkir Aruna. “Kau tampak lebih segar hari ini, Sayang,” ucap sang ibu sambil tersenyum lembut. “Kupikir setelah kejadian semalam kau akan beristirahat lebih lama.”
Aruna membalas senyuman itu dengan tenang. “Aku tidur cukup, Bu.” Suaranya lembut, tapi di balik ketenangan itu ada sesuatu yang berbeda—ketegasan halus yang membuat ibunya sempat menatap dua kali.
Ayahnya menurunkan koran dan menatap putrinya dengan tatapan penuh kasih. “Kau sudah dengar kabar dari keluarga Adikara? Mereka mengirim pesan tadi pagi. Sepertinya mereka ingin segera membicarakan tanggal lamaran resmi.”
Aruna mengangguk pelan. “Ya, Ayah. Aku sudah siap kapan pun mereka memutuskan.”
Senyum di wajah ayahnya mengembang, sementara ibunya tampak lega. Tidak ada yang menyadari bahwa di balik ketenangan itu, Aruna sedang menyusun strategi baru dalam benaknya—tentang bagaimana ia akan menghadapi masa depan yang kini berubah.
Namun ketenangan itu pecah ketika seorang pelayan berlari kecil memasuki ruang makan. Nafasnya sedikit memburu. “Permisi, Nona Aruna,” katanya sopan tapi gugup. “Tuan Andrian dan Nona Naya… sudah menunggu di depan. Mereka bilang ingin berangkat kerja bersama, seperti biasa.”
Suara kursi yang bergeser pelan terdengar, tapi bukan karena Aruna terkejut—melainkan karena Ayah dan Ibunya menatapnya heran.
“Andrian dan Naya?” tanya ibunya sambil menoleh. “Bukankah mereka teman kantormu, Sayang? Wah, perhatian sekali sampai menjemput pagi-pagi begini.”
Aruna menatap kosong sesaat, sebelum bibirnya melengkung membentuk senyum kecil. “Iya… mereka memang perhatian.”
Namun di balik senyum itu, hatinya bergejolak. Nama-nama itu—dua orang yang dulu menjadi alasan akhir dari hidupnya. Dua orang yang ia percaya sepenuh hati.
Dulu, ia selalu berlari tergesa keluar rumah, menjemput pagi dengan semangat hanya agar bisa satu mobil dengan mereka. Dulu, ia rela duduk di kursi belakang, menahan canggung, dan berpura-pura tidak merasa kecil di hadapan dua orang yang diam-diam menertawakannya.
Ia masih ingat bagaimana setiap hari ia menunduk di kantor, berusaha keras agar dianggap cukup baik oleh senior-seniornya. Semua karena Naya, sahabat yang katanya “membuka jalan” untuknya agar bisa magang di sana.
Padahal, sekarang ia sadar—itu hanyalah permainan halus untuk menekan dirinya perlahan.
Tidak kali ini.
Aruna meletakkan sendok dengan tenang di atas piringnya. “Ayah, Ibu… aku akan berangkat sebentar lagi,” ucapnya lembut sambil berdiri.
Ibunya tersenyum. “Baik, hati-hati di jalan.”
Langkah Aruna terdengar lembut di lantai marmer saat ia berjalan keluar rumah. Setiap detik terasa seperti gema masa lalu yang ingin ia patahkan satu per satu.
Begitu pintu utama terbuka, ia melihat mereka.
Andrian—dengan jas rapi dan senyum menawan yang pernah membuatnya jatuh hati. Dan di sampingnya, Naya—dengan blus putih dan rok pastel, wajah manisnya tersenyum seperti biasa, seolah dunia belum pernah melihat sisi kelamnya.
“Andrian, Naya,” sapa Aruna datar, tanpa senyum seperti dulu. “Kalian sudah datang.”
Andrian tertawa kecil, menatapnya dengan mata penuh pesona. “Kau masih suka terlambat, Ru. Kami hampir berangkat tanpamu.”
Dulu, Aruna akan tertawa kecil, meminta maaf, dan berlari masuk mobil lebih dulu agar tidak menimbulkan suasana canggung. Tapi kali ini ia hanya berdiri diam, menatap Andrian dengan pandangan tenang tapi menusuk.
“Kalau begitu, kalian duluan saja,” ucapnya datar. “Aku ada urusan sebentar dengan Ayah sebelum ke kantor.”
Naya menatapnya bingung, sedikit tersenyum kaku. “Eh, tapi biasanya kita bareng kan, Ru?”
Aruna menoleh perlahan, dan untuk pertama kalinya, Naya melihat sesuatu yang berbeda di mata sahabatnya—bukan kelembutan, bukan kebingungan, tapi dingin yang dalam dan sulit dijelaskan.
“Biasanya,” jawab Aruna singkat. “Tapi mulai hari ini, tidak ada yang ‘biasanya’ lagi.”
Udara pagi yang tadi lembut mendadak terasa tegang. Andrian menatapnya tajam sejenak, seolah mencoba menebak sesuatu. Namun Aruna sudah berbalik, meninggalkan keduanya di depan pintu rumah tanpa memberi kesempatan bicara.
Dari dalam rumah, pelayan menatap ke arah mereka dengan canggung, sementara Naya berusaha menyembunyikan kegelisahan dengan senyum palsu.
Dan di kamar atas, dari balik tirai yang bergerak perlahan karena angin, Aruna berhenti sejenak, menatap bayangan mereka di halaman.
Tangannya mengepal pelan.
Dulu aku menunduk di depan kalian.
Kali ini, kalian yang akan menunduk di depanku.
...----------------...
Suara langkah hak Aruna menggema di lantai marmer koridor lantai sembilan. Cahaya lampu putih memantul di rambut hitamnya yang terurai rapi di atas bahu. Semua mata menoleh tanpa sadar setiap kali ia lewat. Entah kenapa, aura gadis itu kini berbeda—tajam tapi memikat, berwibawa tanpa harus berbicara.
“Pagi, Aruna.”
Beberapa rekan kerja menyapa, nada mereka terdengar hati-hati, seolah takut salah ucap.
Aruna hanya mengangguk tipis. Di dalam matanya, ada ketenangan yang membuat orang lain tak berani menatap terlalu lama. Dulu ia hanyalah pegawai magang biasa, selalu tersenyum sopan bahkan pada orang yang meremehkannya. Kini, senyumnya terasa lain—seperti garis halus dari seseorang yang tahu persis siapa dirinya.
Dan hari ini, mereka semua akan tahu juga.
Rapat besar dijadwalkan pukul sepuluh pagi. Seluruh divisi pemasaran berkumpul di ruang konferensi utama, sebuah ruangan luas berdinding kaca dengan meja oval panjang di tengahnya. Di depan, layar besar menampilkan logo perusahaan: Suryantara Corporation.
Suasana terasa tegang. Bahkan suara bisik-bisik pun terdengar jelas.
“Aku dengar direksi utama akan datang sendiri.”
“Serius? Jarang banget Tuan Surya mau turun tangan langsung.”
“Katanya mau membahas restrukturisasi divisi pemasaran, siapa tahu ada pergantian posisi.”
Nama itu—Tuan Surya—bergaung di kepala Aruna seperti gema masa lalu. Ayahnya. Sosok yang di kehidupan sebelumnya ia sembunyikan dari semua orang atas saran… atau lebih tepatnya, bujukan licik dari Naya.
‘Percayalah, Ru,’ Naya pernah berkata lembut di masa lalu. ‘Kalau mereka tahu kau anak pemilik perusahaan, mereka akan menjauhimu. Lebih baik kau tetap jadi orang biasa, biar aku bantu kau berbaur.’
Dan Aruna, yang polos dan tulus waktu itu, percaya. Ia tidak tahu bahwa alasan sebenarnya sederhana: Naya tidak ingin bayangannya tertutup oleh cahaya Aruna.
Kini, semua akan berubah.
Pintu ruang rapat terbuka perlahan. Naya masuk lebih dulu, diikuti Andrian yang seperti biasa menampakkan senyum profesionalnya. Naya menatap sekeliling, memastikan semua mata tertuju padanya, sebelum duduk di kursi tengah depan—tempat yang biasanya disiapkan untuk orang-orang berpengaruh di divisi itu.
Aruna datang tak lama setelahnya, langkahnya tenang, tanpa menoleh ke arah siapa pun. Namun keheningan mendadak terasa lebih berat ketika ia berjalan melewati Naya tanpa berhenti.
“Pagi,” ucapnya datar.
Naya menatapnya sekilas, tersenyum tipis tapi tegang. “Pagi, Aruna. Duduk di depan, ya? Supaya bisa dengar lebih jelas.”
Aruna hanya menatapnya, lalu berkata pelan namun tajam, “Aku memang berencana duduk di depan.”
Ia kemudian menarik kursi di sisi kanan ruang rapat—persis di samping kursi utama yang masih kosong. Kursi itu biasanya diperuntukkan bagi tamu kehormatan atau anggota direksi. Beberapa orang saling berpandangan, bingung, tapi tak berani berkata apa pun.
Naya tertawa kecil, mencoba menutupi rasa tidak nyamannya. “Sepertinya ada yang salah tempat, Ru. Kursi itu—”
Pintu terbuka lagi, dan suara bariton berwibawa terdengar:
“Tidak ada yang salah tempat, Nona Naya.”
Semua kepala menoleh.
Seorang pria paruh baya berjas abu-abu masuk, langkahnya tegap, matanya tajam. Rambutnya sudah memutih di sisi, tapi auranya memancarkan otoritas yang membuat semua orang berdiri spontan.
“Tuan Surya!” seru Pak Reno, supervisor mereka, segera menunduk memberi salam hormat.
Naya ikut berdiri, wajahnya tampak gugup. “S-selamat pagi, Tuan Surya. Kami tidak tahu Anda akan hadir langsung—”
Namun kalimatnya terputus saat pria itu melangkah ke depan dan berhenti tepat di samping Aruna. Ia menepuk pundak putrinya lembut, lalu berkata dengan suara tenang namun penuh kebanggaan.
“Tidak perlu berdiri terlalu kaku. Kalian semua di sini pasti sudah tahu, mulai minggu ini, Nona Aruna Surya akan menjadi bagian dari dewan evaluasi internal perusahaan. Mulai hari ini, laporan dari divisi pemasaran akan diserahkan langsung padanya.”
Hening.
Suara detik jam di dinding terdengar jelas. Beberapa karyawan menatap satu sama lain, tak percaya dengan apa yang baru saja mereka dengar.
“...Nona siapa, Pak?” bisik salah satu staf dengan wajah pucat.
Tuan Surya tersenyum tipis. “Nona Aruna Surya—putri saya.”
Kata-kata itu seperti petir yang menyambar di tengah ruang rapat.
Naya membeku. Senyum palsunya menghilang seketika.
Andrian, yang biasanya selalu mampu menguasai situasi, kini kehilangan ekspresi sama sekali.
Sementara itu, Aruna hanya duduk diam. Tatapannya tenang, tapi dalam keheningan itu, matanya menatap lurus ke arah Naya. Tidak dengan marah, tapi dengan sorot tajam yang penuh makna—aku tahu semua kebohonganmu.
Pak Reno tergagap. “A-ah, tentu saja! Kami sangat berterima kasih atas kehadiran Tuan Surya dan… Nona Aruna. Sungguh kehormatan bagi kami—”
Tuan Surya mengangguk singkat. “Lanjutkan rapatnya. Saya ingin melihat bagaimana divisi ini bekerja di bawah pengawasan langsung Aruna.”
Sepanjang rapat, suasana menjadi aneh. Setiap kali Aruna berbicara, orang-orang mendengarkan dengan penuh perhatian. Bahkan mereka yang dulu suka memotong kalimatnya kini hanya menunduk, mencatat dengan cepat.
“Bagian promosi media sosial masih memakai metode tahun lalu,” ucap Aruna tenang, menatap grafik di layar. “Saya ingin laporan analitik real-time dikirimkan ke meja saya sore ini.”
“B-baik, Nona,” jawab salah satu staf dengan cepat.
Ia berbicara dengan kejelasan yang sama seperti biasanya, tapi kali ini semua kata-katanya membawa bobot kekuasaan yang nyata. Tidak ada lagi tawa kecil yang menertawakannya dari sudut ruangan. Tidak ada lagi bisikan mengejek seperti dulu.
Naya hanya duduk diam. Tangannya dingin. Pikirannya berputar—kenapa Aruna tidak memberitahunya? Kenapa Tuan Surya sendiri yang datang? Bukankah dulu… dulu ia sudah memastikan Aruna tidak akan pernah mengungkapkan identitasnya?
Ingatan masa lalu berkelebat di kepalanya.
‘Sembunyikan saja, Ru. Aku hanya takut mereka menjauhimu. Kau tahu sendiri dunia kantor seperti apa.’
‘Kau yakin, Naya?’
‘Tentu. Kau percaya padaku kan?’
Dan Aruna memang percaya—hingga akhirnya, semua orang menertawakan dirinya, memperlakukannya seperti asisten pribadi Naya. Semua karena kebohongan yang satu itu.
Kini, kebohongan itu hancur di depan matanya.
Rapat berakhir setengah jam kemudian. Semua orang menunduk hormat saat Tuan Surya berdiri.
“Saya menitipkan divisi ini pada Aruna,” katanya singkat. “Saya yakin kalian semua akan bekerja lebih baik di bawah pengawasan langsungnya.”
Begitu pria itu keluar dari ruangan, suasana menjadi hening untuk beberapa detik. Lalu, perlahan-lahan, suara bisik-bisik mulai terdengar lagi—lebih pelan, lebih berhati-hati.
“Jadi dia anak bos besar itu?”
“Pantas aja… gayanya berubah.”
“Gila, kita selama ini—”
“Dia tahu, nggak, ya… kita suka ngomongin dia di belakang?”
Aruna berdiri. Semua suara langsung terhenti.
Ia menatap mereka satu per satu, bibirnya melengkung kecil. “Kalian tidak perlu khawatir,” katanya lembut. “Saya tidak punya kebiasaan mengungkit masa lalu. Tapi saya juga tidak pernah lupa siapa yang dulu suka mempermainkan saya.”
Senyumnya tetap lembut, tapi dinginnya menusuk. Beberapa orang menelan ludah, lalu cepat-cepat berkemas.
Naya mencoba menenangkan dirinya, lalu melangkah mendekat. “Aruna… maksudku, Nona Aruna… aku—aku tidak tahu kalau kau ingin merahasiakan identitasmu. Aku hanya—”
Aruna menatapnya datar. “Kau tidak perlu berbohong di hadapanku, Naya. Aku tahu semuanya.”
Wajah Naya memucat. “A-apa maksudmu?”
“Dulu kau yang menyuruhku menyembunyikan siapa aku,” ujar Aruna pelan tapi tajam. “Kau bilang itu demi kebaikanku. Tapi nyatanya, itu hanya agar aku tak lebih tinggi darimu.”
Andrian berdiri, mencoba memotong suasana. “Aruna, jangan salah paham. Naya hanya—”
“Diam, Andrian.”
Suara Aruna begitu tenang, tapi tajam seperti pisau.
Untuk pertama kalinya, pria itu menutup mulutnya tanpa berani menatap balik.
Naya menelan ludah, wajahnya benar-benar tegang. “A-Aruna, aku cuma ingin kita tetap seperti dulu. Aku sahabatmu, aku—”
“Tidak, Naya.” Aruna menatap lurus ke matanya. “Sahabat tidak menusuk dari belakang. Sahabat tidak menjatuhkan demi terlihat lebih tinggi. Dan yang paling penting, sahabat tidak mengajarkan kebohongan.”
Udara di ruangan terasa berat.
Naya tidak mampu berkata apa-apa lagi.
Aruna melangkah mendekat, berhenti hanya satu langkah di depan Naya. “Mulai sekarang, jangan panggil aku ‘Ru’ lagi di kantor ini,” bisiknya. “Kau bisa panggil aku sesuai jabatanku.”
Ia lalu berbalik, mengambil map di meja, dan berjalan keluar ruangan tanpa menoleh lagi.
Langkahnya tenang, mantap, seolah seluruh dunia menunduk di bawah iramanya.
Di belakangnya, semua orang masih terpaku—antara kagum dan takut. Naya berdiri kaku di tempat, wajahnya pucat, sementara Andrian menatap punggung Aruna dengan tatapan rumit yang tak bisa dijelaskan.
Sore hari, langit di luar mulai memerah. Aruna berdiri di depan jendela besar ruang kerjanya yang baru—ruangan yang dulunya milik supervisor, kini miliknya. Dari sini, ia bisa melihat seluruh kota terbentang di bawah sana.
Ia menyentuh kaca dengan ujung jarinya, melihat pantulan dirinya sendiri.
Wajah yang sama, tapi bukan gadis yang sama.
“Dulu aku menunduk karena takut,” bisiknya pelan. “Sekarang, mereka akan menunduk karena hormat.”
Suara ketukan pintu terdengar.
“Masuk,” ucapnya tanpa menoleh.
Seorang staf muda masuk, membawakan map laporan. “Ini laporan hari ini, Nona Aruna.”
“Terima kasih,” jawabnya singkat.
Saat pintu menutup lagi, Aruna menatap laporan itu sebentar, lalu tersenyum kecil.
Perjalanan balas dendamnya baru dimulai. Tapi kali ini, ia tidak akan membalas dengan darah atau air mata—melainkan dengan kekuasaan, kecerdasan, dan ketenangan yang membuat musuh-musuhnya hancur tanpa sadar.
Dan di luar sana, di ruangan mereka masing-masing,
Naya dan Andrian mulai merasakan ketakutan pertama dari apa yang akan datang.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!