"Mas... malam Minggu nanti, Agam minta ke pasar malam." Vina berbicara dengan nada lembut, berharap suaminya meluangkan waktu untuknya dan Agam putra mereka.
Tanpa mengalihkan pandangannya dari ponsel yang dipegang, Dimas menjawab dengan enteng. "Aku enggak bisa, Vina. Sabtu aku lembur, dan sepertinya pulang larut malam lagi."
Mendengar itu tentu Vina kecewa. Selama menjadi istri hampir enam tahun, Dimas tidak pernah bersikap seperti itu. Selalu ada waktu untuk istri dan anaknya. Tatapnya juga penuh cinta. Tapi, sudah hampir satu bulan ini suaminya itu berubah. Pulang selalu telat, jarang ada waktu untuk keluarga. Bahkan, ponselnya lebih menarik daripada mendengarkan ceritanya seperti biasanya.
Vina menghapus airmata yang jatuh dengan pelan, ia langsung melangkah menuju di mana Agam berada. Ingin sekali ia bertanya pada suaminya itu. Kenapa sekarang berubah? Kenapa sekarang tidak ada waktu untuk keluarga? Apakah kamu selingkuh?
Tapi semua itu hanya ada di tenggorokan saja. Vina tidak berani untuk bertanya, Vina takut kalau semuanya itu benar.
***
Sabtu di pagi hari Dimas sudah rapi dengan pakaian kerjanya. Pria itu makan di meja dengan penuh semangat, sesekali bibirnya menyunggingkan senyum tipis. Meskipun sikapnya berubah, Dimas selalu makan makanan yang disediakan istrinya dengan lahap seperti biasanya.
Vina melihat itu penasaran, setelah meletakkan minuman ia memberanikan diri untuk bertanya. "Kamu bahagia sekali deh, Mas."
Dimas mengangguk, menatap wajah istrinya yang lemah lembut. Cantik, iya cantik. Karena Vina emang cantik meskipun tidak pernah memakai riasan. Hanya, Dimas sekarang tidak bahagia karena itu. Melainkan perempuan lain. Perempuan yang sudah satu bulan ini membuatnya berbunga-bunga.
"Hmmm, sangat bahagia," gumamnya, setelah minum kopi yang selalu disediakan istrinya, setelah itu Dimas langsung berdiri dari duduknya. "Aku pergi dulu, mungkin aku akan pulang malam," pamitnya.
Vina mengangguk, ia berinisiatif mengambil tangan suaminya untuk dicium, karena Dimas sejak tadi diam tidak mengulurkan tangannya.
"Hati-hati, Mas."
"Hmmmm," jawab Dimas langsung pergi meninggalkannya.
Dada Vina terasa sesak saat suaminya tidak mencium wajahnya seperti dulu saat berangkat kerja. Padahal Dimas setiap berangkat kerja, akan membuat basah wajahnya. Bahkan, saat ada Agam putranya yang duduk di depan TV pun sama sekali tidak suaminya toleh.
"Bun..."
Vina langsung menoleh mendengar namanya dipanggil. Bibirnya membentuk senyuman, langkahnya pelan tapi pasti menuju di mana putranya yang berusia lima tahun itu. "Kenapa sayang? Agam mau apa?" tanya Vina sambil membelai lembut wajah Agam.
Anak berusia lima tahun itu menggeleng dengan wajah sedih. "Nanti malam berarti enggak jadi ke pasar malam dong."
Vina tidak kuasa melihat wajah sedih putranya, seketika ia langsung tersenyum. "Jadi dong, kata siapa enggak jadi?" jawabnya dengan tersenyum lebar.
"Kan ayah kerja, terus kita pergi sama siapa dong?"
"Sama Bunda, Agam pergi sama Bunda. Kenapa? Apa Agam enggak mau pergi sama Bunda?"
Agam langsung menghambur dalam pelukan ibunya. Anak seusianya tidak memusingkan harus pergi dengan siapa. Karena tujuannya adalah pasar malam, karena teman-teman sekolahnya sudah pada bercerita kalau sudah ketempat hiburan itu.
***
"Pakai jaketnya, biar enggak kedinginan!" Vina membantu memakai jaket berwarna biru pada sang putra yang terlihat tidak suka dengan jaket itu.
Bibir Agam seketika cemberut. "Coba kalau pergi sama ayah, pasti enggak perlu pakai jaket karena naik mobil."
Vina tersenyum, tangannya mencubit pipi anaknya pelan. "Kan ayah kerja. Dari pada enggak pergi lihat pasar malam kan? Mending pergi sama Bunda kan?"
Agam mengangguk dengan terpaksa. Benar dari pada tidak ke pasar malam kan? Agam pun langsung kembali semangat, ia bahkan langsung menarik tangan ibunya untuk segera pergi ke pasar malam.
Motor matic berwarna biru itu sudah sampai di tepat yang Agam inginkan. Bibir Vina membentuk senyuman lebar melihat anaknya yang begitu antusias. Bahkan ia yang masih mengambil kartu parkir tangannya sudah ditarik-tarik.
"Sabar... pasar malamnya enggak akan pergi kok," kekeh Vina dengan tingkah anaknya .
Agam begitu antusiasnya, apalagi saat melihat suara teriakan anak-anak di sana. "Agam mau naik itu Bun!" Agam menunjuk pada permainan yang seperti perahu, yang bergerak dengan bergitu cepat.
Mata Vina membelalak melihat itu, ia saja selama ini tidak pernah berani naik wahana itu. "Kamu serius mau naik itu? Nanti kepala kamu pusing loh. naik kuda-kuda aja ya!"
Kuda-kudaan? Agam seketika langsung menggeleng, meksipun ia masih berusia lima tahun, tapi ia laki-laki. Merasa tidak cocok naik itu, apalagi saat itu yang ada di sana cenderung anak-anak perempuan. "Enggak mau Bun," tolaknya.
Vina pun mengangguk, ia langsung melangkah di mana wahan perahu itu berada.
"Kamu naik sendiri ya! Bunda tunggu sini," ujar Vina setelah membeli tiket.
Agam mengangguk dengan semangat, lalu ikut mengantri dengan yang lain untuk naik wahana yang pernah temannya ceritakan.
Sambil menunggu Agam, Vina mengecek ponselnya. Berharap ada pesan dari suaminya, karena sebelum berangkat Vina sudah berpamitan pergi dengan anaknya sendirian. Tapi, bibir yang membentuk senyuman itu berubah jadi sedih saat tidak ada balasan dari suaminya. bahkan pesannya saja tidak dibalas.
Sampai... saat Vina mengedarkan pandangannya, ia melihat suaminya dengan perempuan lain. Dimas sedang berada di anting-anting dengan seorang perempuan, juga di tengah-tengah mereka ada anak perempuan seusia Agam yang tersenyum bahagia.
"Jadi ini yang namanya lembur, Mas? Jadi, karena perempuan itu kamu sekarang berubah?"
***
Vina baru saja mau melangkah menghampiri suaminya, tapi tangannya sudah ditarik Agam yang ternyata sudah turun dari permainan.
"Bunda mau kemana? Aku mau beli ice cream," tanya Agam, tangannya menarik sang ibu menuju pada kedai ice cream yang sudah ramai dengan pembeli.
Vina mengangguk, dengan berucap pelan. "Iya, tapi tunggu sebentar ya, Bunda mau kesana dulu," Vina terdiam saat sudah tidak mendapati keberadaan suaminya. Anting-anting itu sudah berhenti, dan suaminya sudah tidak terlihat.
Vina menghela nafas berat, tidak mungkin ia mencari suaminya dan mengabaikan keinginan anaknya. Ia di sini karena ingin membahagiakan Agam. Jadi, ia memilih untuk mengikuti langkah Agam alih-alih mencari suaminya.
Mungkin ia akan bertanya nanti? Atau... akan mencari tahu sendiri? Vina belum tahu. Yang jelas, kalau suaminya selingkuh, hidupnya akan benar-benar hancur.
Terus Vina harus kemana? Harus pulang kemana? Ia tidak punya siapa-siapa, ia hanya sebatang kara di dunia ini. Hanya Dimas, suaminya lah rumah untuknya pulang.
***
Vina tersenyum tipis, menjawab setiap pertanyaan yang ditanyakan putranya itu. Walau sebenarnya hatinya sangat gelisah. Bayangan suaminya tertawa dengan perempuan lain. Tawa yang bisanya untuk keluarganya, tapi sekarang untuk perempuan lain.
Vina yang melamun langsung menoleh saat mendengar suara keras anaknya. "Bunda, Bunda kenapa diam saja sih? Bunda dengar tadi aku tanya apa?" Agam terlihat cemberut saat pertanyaan yang terakhir tidak kunjung dijawab ibunya.
Vina tersenyum tapis, air matanya turun tanpa diminta. Jujur, ia tentu sakit melihat tadi, tapi ia tidak ingin memperlihatkan itu pada anaknya. Tapi, nyatanya airmata keluar sendiri.
"Bunda, bunda kenapa menangis? Apa ada yang sakit? Atau, Bunda ingin sesuatu?" tanya Agam dengan khawatir.
Vina menggeleng pelan, berusaha terlihat baik-baik saja. "Bunda enggak apa-apa kok. Tadi, ada binatang yang masuk mata Bunda. Maaf ya, tadi anak Bunda tanya apa?" jawabnya pelan, tidak lupa dengan menyunggingkan senyum.
Agam menghela nafas lega, tangan kecilnya membantun mengusap air mata yang ada di pipi ibunya. "Kita pulang saja ya! Agam juga sudah lelah Bunda."
Vina membawa anaknya dalam pelukannya. Tidak menyangka kalau anaknya sepengertian ini.
Tuhan... tolong kembalikan suamiku seperti sediakala. Aku tidak tega kalau sampai anakku kehilangan ayahnya. Batin Vina.
***
"Kamu mau kemana, Dim?"
Suara itu membuat Dimas mengehentikan langkahnya, menatap perempuan yang dulu pernah menjadi cinta pertamanya. Yang sekarang juga mengisi hatinya kembali setelah pertemuan tidak sengaja itu.
Dimas mengelus pipi Lara dengan lembut. "Maaf, aku harus pulang Ra. Ada istri dan anakku menunggu di rumah."
Mendengar itu Lara tentu marah, tapi ia berusaha untuk menutupi kemarahannya dengan senyumannya. Tubuhnya langsung memeluk pria yang menjadi suami orang itu. "Tapi, aku masih kangen sama kamu Dim. Aku merindukan kamu, kita sudah lama enggak bertemu loh. Dan, sekarang kita ada waktu untuk berduaan, kenapa kamu pulang? Nginep di sini ya."
Dengan pelan Dimas melepaskan tangan Lara, meskipun ia selingkuh, dan tahu itu perbuatan salah. Tapi, ia belum melakukan sampai melewati batas. Hanya, mungkin berpegangan tangan, makan bersama. Apalagi di tenang-tenang mereka ada anak Lara.
Iya anak, Lara adalah seorang janda beranak satu. Anaknya perempuan seusia Agam.
Dengan tatapan lembut, Dimas memberi pengertian untuk pacar gelapnya itu. "Maaf, Ra. Aku sudah seharian sama kamu, kasihan istri dan anakku pasti menungguku pulang. Kapan-kapan aku kesini lagi ya?" bujuk Dimas.
Laras tersenyum tipis dan mengangguk, untuk sekarang ia membiarkan Dimas pulang. Tapi tidak untuk seterusnya, Dimas harus menjadi miliknya. Harus menjadi ayah untuk putrinya. "Baiklah, hati-hati di jalan ya. I love you."
Dimas mengangguk sambil berdehem. "Hmmmm." Dimas tidak bisa menjawab I love you too semudah itu. Karena, ia masih belum tahu apakah ia kembali benar-benar mencintai Lara seperti dulu. Atau hanya rasa suka sesaat saja.
Karena, Dimas tahu kalau ia benar mencintai Lara lagi. Itu akan berpotensi kehilangan Vina dan Agam. Dimas masih belum bisa kalau pergi dari Vina. Vina itu perempuan cantik, lemah lembut. Vina juga masih begitu muda, bahkan kalau ditanya apakah cantikan Vina atau Lara. Dimas tentu akan menjawab dengan lantang kalau istrinya lebih cantik.
Maafkan Mas, Vina. Mas mencintai kamu, tapi mas butuh hiburan.
***
Dimas sampai di rumah pukul setengah sebelas malam, suasana rumahnya sudah terasa sepi. Ia langsung melangkah mencari istrinya. Karena, Vina akan selalu menyambutnya meskipun ia pulang kemalaman. Tapi, malam itu Dimas tidak melihat istrinya, dan di kamarnya juga tidak ada.
Kaki Dimas melangkah ke kamar sang putra, di sana ia melihat istrinya tidur terlelap sambil memeluk Agam.
Perlahan Dimas melangkah keluar, ia tidak ingin menggangu tidur istri dan anaknya. Tanpa Dimas ketahui, kalau sebenarnya Vina tidak tidur. Istrinya itu bahkan masih mengeluarkan air matanya dalam diam.
Vina mendengar mobil suaminya, biasanya ia akan bangun dan berlari untuk menyambut suaminya dengan senyumannya. Tapi, kali ini ia tidak bisa. Vina tidak sanggup untuk tersenyum mengingat suaminya telah membohonginya.
***
"Bunda, buat apa?" tanya Agam, anak berusia lima tahun itu menghampiri ibunya di dapur.
Vina tersenyum melihat anaknya, memintanya untuk menjauh. "Duduk di sana saja, nanti kamu kecipratan minyak!"
Agam mengangguk, duduk di meja makan yang tidak jauh dari dapur. "Bunda masak apa?" tanyanya lagi karena belum mendapatkan jawaban.
Tanpa menoleh Vina menjawab. "Nasi goreng, Agam mau pakai telur ceplok atau pakai sosis, Nak?"
"dua-duanya Bunda..."
Vina terkekeh, karena tanpa ditanya ia akan tahu jawabannya. Sampai ia mendengar suara langkah mendekat, Vina yang tadi tersenyum lebar berubah jadi diam.
"Pagi anak Ayah..." sapa Dimas, mengelus lembut rambut putranya. Setelah itu menatap ke arah istrinya, merasa heran karena istrinya tidak menyapanya, bahkan biasanya Vina akan bertanya mau apa hari ini? Tapi, istrinya itu diam dan tidak menoleh kearahnya.
"Masak apa, Vin?" tanya Dimas, ikut duduk di sebelah anaknya.
"Bunda masak nasi goreng, Ayah!" bukan Vina yang menjawab, melainkan Agam. Pasalnya sejak ayahnya bertanya ibunya tidak kunjung membuka suara.
Dimas tersenyum tipis, jelas ia tahu ada yang tidak beres dengan istrinya itu. Ia ingin langsung bertanya, tapi ia kembali diam saat Agam kembali bersuara.
"Seru banget Ayah, aku naik perahu, naik ayunan yang bisa berputar-putar, terus aku juga main permainan tebak-tebakan, lempar kelereng tapi enggak dapat apa-apa," seru Agam menceritakan apa yang dilakukan semalam dengan ibunya di pasar malam.
Dimas tentu keget mendengar itu, ia tidak tahu kalau istrinya ternyata pergi ke pasar malam semalam. "Vina, kamu pergi ke pasar malam. Kenapa kamu tidak izin sama, Mas?"
Vina berbalik, tidak ada senyuman di matanya untuk suaminya. Hanya ada kekecewaan. "Sudah, aku bahkan sudah mengirim pesan sama kamu, Mas. Aku izin mau pergi bedua dengan Agam, tapi pesannya tidak kamu baca."
Pesan?
Dimas terdiam, karena ia merasa tidak ada pesan yang masuk kedalam ponsel. Atau... jangan-jangan, Lara yang menghapus pesan itu?
"Vina, maaf aku sibuk banget sampai lupa enggak lihat ponsel," bohong Dimas, menatap Vina dengan penuh penyesalan.
Vina tersenyum tipis, dengan tubuh bergetar membuka suaranya pelan. "Hmm, aku tahu kok kalau kamu sibuk, Mas. Sibuk banget sampai tertawa dengan perempuan lain di atas anting-anting."
***
Tubuh Dimas mengeng mendengar itu, jadi itu asalnya istrinya terlihat kecewa padanya?
Dimas berdiri dari duduknya, niat hati ingin menghampiri istrinya. Tapi, Vina lebih dulu memberinya isyarat untuk duduk lagi.
"Duduk saja, Mas! Sarapan dulu, jangan buat suansa pagi tidak nyaman. Makanlah! Biar Agam makan dengan tenang," ujar Vina tenang. Tangannya dengan cekatan meletakkan nasi goreng, ada sosis juga beberapa telur ceplok. Karena perempuan itu tahu, kalau suaminya tidak akan cukup hanya satu telur. Tidak lupa, Vina juga menyediakan kopi kesukaan suaminya. Meksipun suasana hatinya tidak baik-baik saja, tapi Vina tahu tugas istri yang baik itu seperti apa.
Dimas mendadak gugup, kalau saja itu perempuan lain, mungkin sudah marah-marah. Bahkan ada juga yang sampai tidak mempedulikan suaminya. Tapi istrinya ini. Lihatlah, Vina bahkan masih menyiapkan sarapan dan kopi untuknya. Meski tidak ada senyum manis seperti biasanya. Itu lebih dari cukup.
Dimas yang tahu kesalahannya jadi dilanda kegelisahan. Bingung mau melepaskan Lara, atau meninggalkannya?
***
Sejak selesai sarapan, belum ada waktu untuk Dimas berbicara dengan istrinya itu. Setelah makan, Agam memintanya untuk menemaninya bermain. Dimas melakukan dengan senang hati, karena ia tahu satu bulan ini ia telah mengabaikan putranya.
Setelah bermain, Dimas melihat istrinya sedang menggosok baju. Ia ingin mendekat tapi ragu.
Karena tidak mungkin diam-diaman terus, Dimas akhirnya mendekat. tangannya mengambil satu baju yang belum disetrika istrinya. Dengan ragu Dimas membuka suara pelan. "Maaf... mas tahu Mas salah, mas sudah bohongi kamu. Tapi, Mas enggak selingkuh seperti apa yang kamu pikirkan kok."
Vina menghentikan pergerakannya, setrika ia matikan. Menatap wajah suaminya dengan sorot mata kecewa. "Apa? Enggak selingkuh? Terus apa itu namanya, Mas? Kamu pergi dengan perempuan lain, tidak izin sama istri kamu, kamu ketawa sama perempuan lain. Itu apa namanya? Teman, bergitu?" Vina tak habis pikir, bagaimana bisa suaminya bicara seperti itu.
"Iya teman, karena kalau selingkuh itu pasti melakukan perbuatan di luar batas. Tapi... Mas tidak melakukan itu, Mas..."
Vina langsung memotong ucapan Dimas dengan sinis. "Belum, Mas. Kamu belum sampai melakukan itu karena ketahuan aku. Bagaimana kalau aku enggak tahu? Mungkin kamu akan melakukan itu mas!"
Dimas menggenggam tangan Vina, ia merasa bersalah melihat perempuan yang dicintai meneteskan air mata. "Mas cuma kasihan sama dia. Mas, kasihan saat anaknya minta di ajak ke pasar malam, tapi enggak ada yang menemani."
Vina tentu terkekeh mendengar itu. Kasihan katanya? Padahal kemarin Agam juga meminta ditemani ke pasaran malam loh. "Kenapa harus kamu yang menemani? Emang kamu siapanya dia? Terus mana bapaknya? Kenapa enggak mintak bapaknya saja?"
"dia janda..." jawab Dimas dengan menunduk.
Ah jadi karena janda? Vina tidak sanggup menatap suaminya lagi. ia memilih melanjutkan kegiatannya, pikirannya masih kalut. ia tidak ingin sampai kelepasan. Malah mengeluarkan kata-kata kasar untuk suaminya itu.
Dimas diam, ia tahu istrinya itu pasti marah dan kecewa dengannya. tanpa ragu, Dimas langsung memeluknya dari belakang. "Maaf, maaf, Sayang. Mas minta maaf ya! Mas janji tidak akan buat kamu bersedih lagi. Mas janji tidak akan bertemu dengannya lagi."
Vina diam dengan tubuh bergetar, air matanya kembali turun semakin deras. "kamu tahu... kamu adalah rumah buat aku, Mas. cuma kamu dan Agam yang aku punya. kalau ada yang kurang dari aku, kamu bilang, kamu kasih tahu biar aku bisa introspeksi diri. biar aku bisa jadi istri yang baik versi kamu. jangan kamu mencari perempuan lain di luar sana. Aku enggak tahu bagaimana hidupku kalau kamu pergi dariku, Mas." Vina mengeluarkan semua yang ada di hatinya, bagaimana kegelisahannya. Berfikir kalau suaminya sudah bosan terhadapnya.
Dimas ikut menangis, memeluk tubuh istrinya semakin erat. Vina sama sekali tidak punya kekurangan apa-apa. Justru setelah mereka menikah kehidupan mereka jadi bahagia. Dimas yang diangkat jadi karyawan tetap, jadi punya rumah dan mobil.
"kamu enggak kurang apa-apa, maafkan mas ya! Mas janji tidak akan seperti itu lagi."
"Jangan temui dia lagi Mas, aku tidak suka."
"Iya, mas janji."
***
Satu bulan terlah berlalu, Dimas benar-benar kembali seperti sebelumnya. Pulangnya tepat waktu, Sabtu dan Minggu selalu ada di rumah. Mengajak istri dan anaknya jalan-jalan.
Vina tentu bahagia, ia bersyukur akan hal itu. Berharap kalau tidak akan ada godaan lagi dari wanita-wanita penggoda di luar sana.
Sedang tidak dengan Lara, perempuan itu tentunya marah saat diabaikan Dimas. Pesanannya, telponnya tidak pernah direspon. Bahkan, sekarang nomernya diblokir.
"Kamu tidak bisa pergi bergitu saja Dimas, kamu harus jadi milikku lagi. Kamu, sudah masuk dan tidak semudah itu kamu lepas dariku," gumam Lara, tersenyum sinis, merencanakan bagaimana agar bisa mendapatkan Dimas lagi.
Cepat atau lambat, Dimas harus menjadi miliknya.
***
Pagi itu Vina tersenyum dengan ceria, apalagi setelah mendapatkan kado dari suaminya. "Terima kasih ya, Mas."
Dimas mengangguk, tersenyum lembut sambil membelai pipi mulus istrinya itu. "Nanti Mas usahakan pulang tepat waktu, soalnya kamu tahu sendiri kalau akhir bulan bagaimana. Jadi, kalau telat kamu jangan sedih ya?" ujar Dimas, takut istrinya kepikiran lagi.
Vina menggeleng, bibirnya membentuk senyuman lebar. "Enggak apa-apa, kalau emang kamu enggak bisa pulang cepat, Sabtu aja kita makan di luarnya."
"Mana bisa begitu, kan ulang tahun kamu sekarang, Sayang."
"Yah, kan kamu sibuk."
Dimas menarik tubuh istrinya dalam pelukannya, menghujani wajahnya dengan ciuman, terakhir di bibir mereka saling melumat. Senyum terukir di bibir keduanya setelah ciuman mereka terlepas.
"Mas, akan usahakan pulang cepat, sekali lagi selamat ulang tahun dan I Love you..." bisik Dimas.
Vina merasa bahagia mendengar itu, hatinya menghangat. "I love you too..." balas Vina, kemudian mereka melanjutkan saling berpelukan, saat bibir mereka hampir bertemu lagi, suara Agam membuat mereka langsung menoleh.
"Lama sekali sih? Nanti Agam telat loh sekolahannya," keluh Agam, bocah lima tahun itu sudah rapi dengan seragam sekolah TKnya.
Dimas mengangguk, setelah itu kembali menatap istrinya. "Mas pergi dulu ya..." pamitnya.
Vina mengangguk, tangannya saling bertautan untuk mengantar suami dan anaknya pergi pagi ini.
***
Jam sudah menunjukkan pukul depan malam, seharusnya suaminya sudah pulang. Karena suaminya sudah pamit akan pulang telat Vina pun sudah tidak khawatir.
"Bunda, itu kuenya dipotong kapan? Aku sudah ngantuk," rengek Agam, anak itu sejak tadi begitu antusias saat pulang dari sekolah di ajak ibunya membeli kue, tapi sampai malam kue itu tidak kunjung dipotong-potong.
Vina menatap kue berwarna coklat dengan di atasnya ada lilin, dan angka dua puluh tiga, yang menandakan kalau sekarang ia sudah berusia dua puluh tiga tahun.
"Agam kepingin banget ya?" tanya Vina sambil mengelus rambut tebal Agam.
Anak itu mengangguk dengan antusias, siapa yang tidak suka dengan kue. Karena kasihan, Vina memotong ujung untuk putranya. "Sudah malam, makan sedikit saja ya! Habis itu gosok gigi dan tidur."
Agam menerima dengan mata penuh binar. "Iya, Bunda. Terima kasih."
***
Dimas sudah bersiap untuk pulang, tapi tiba-tiba saja ponselnya ada yang menghubungi dengan nomer baru. Awalnya Dimas tidak ingin mengangkatnya, karena ia sudah terburu-buru, ingin segera pulang dan sampai rumah.
Sampai, nomer itu tak henti-hentinya menghubunginya, Dimas pun mulai mengangkatnya.
Dimas begitu terkejut saat panggilannya tersambung, mendengar suara Lara. Perempuan itu juga terisak-isak, membuat Dimas jadi dilema.
"Dim, tolong aku... Dimas, tolong aku... Dimas, apa kamu bisa datang sebentar? Aku butuh kamu Dimas."
Dimas terdiam sesaat, sampai ia menolaknya karena ingat dengan istrinya. "Lara... maaf, aku enggak bisa. Aku..."
Mendengar penolakan, Lara langsung memotong ucapan Dimas. "Sebentar saja, ini yang terakhir Dimas. Anak aku, anak aku sakit. Aku enggak punya siapa-siapa. Tolong aku..."
Dimas diam, bingung harus pergi atau pulang. Satu sisi ia sudah berjanji dengan istrinya. Tapi, sisi kemanusiaannya meminta untuk datang.
***
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!