NovelToon NovelToon

Putri Modern Pembawa Keberuntungan

Mei Lan

Plak!

“Dasar anak pembawa sial!”

Suara tamparan itu menggema keras di ruang tunggu, menusuk telinga dan hati gadis berusia 20 tahun itu.

Tubuh Mei Lan bergetar hebat. Napasnya memburu, matanya berkaca-kaca. Tangan kanannya terangkat refleks menyentuh pipi yang kini terasa panas hasil dari tamparan sang ibu.

“I–Ibu ....” suaranya bergetar, nyaris tak terdengar.

“Jangan panggil aku ibu!” Lily sang ibu, wanita paruh baya itu mendengus dengan napas kasar. “Kenapa aku bisa punya anak sepertimu, hah?! Anak sial! Aku menyesal membesarkanmu!”

“Bu, aku cuma—”

“Cukup!” potong suara berat dari belakang.

Suara itu, suara yang dulu selalu membuatnya merasa aman kini terdengar seperti palu hukuman.

Mei Lan menunduk, air matanya jatuh tanpa bisa ditahan. “Ayah ....”

Mei Long menatapnya tajam, penuh amarah yang dingin. “Pergi kau dari sini. Mulai hari ini, aku tidak mau melihat wajahmu lagi. Jangan pernah muncul di hadapan kami lagi.”

Deg!

Kata-kata itu membuat seluruh tubuh Mei Lan terasa lemas. Laki-laki yang seharusnya menjadi cinta pertama bagi anak perempuannya justru Mei Lan tidak mendapatkan itu, kini sang ayah mengusirnya seperti sampah.

Di balik tubuh ayahnya, dua orang berdiri dengan ekspresi jijik, samg kakak dan juga tunangan Mei Lan.

“Harusnya kau yang lahir sakit-sakitan, bukan Mei Lin!” ujar sang kakak tertua dengan nada menyakitkan.

“Benar,” sahut sang tunangan dengan dingin. “Dia selalu bikin masalah. Bahkan membuat ayah dan ibuku malu.”

Mei Lan mengangkat wajahnya perlahan, menatap mereka satu per satu. Tatapannya bukan lagi ketakutan tapi kosong, dingin, seolah sesuatu dalam dirinya baru saja mati.

“Jadi semua ini cuma karena aku terlambat sepuluh menit?” tanyanya lirih.

“Kau bahkan berani membantah?!” Lily memekik lagi. “Kalau saja kau tidak lamban, Mei Lin tidak akan pingsan! Kau ingin adikmu mati, hah?! Kau pasti sengaja ingin mencelakai Mei Lin, kan?” tuduh sang ibu seraya jari telunjuknya mengarah pada Mei Lin.

Mei Lan menggigit bibirnya, menahan air matanya yang jatuh. “Aku bukan sengaja, Bu. Bus-nya penuh, aku—”

“Alasan!” bentak ayahnya. “Kau memang pembawa sial! Sejak kecil selalu membuat masalah! Kami sudah cukup menanggung malu karena punya anak sepertimu.”

“Pergi,” ulangnya, kali ini lebih tajam dan dingin semakin menusuk hati gadis cantik itu.

Suasana semakin sunyi, para pengunjung hanyaa diam, memperhatikan. Mereka tak ingin ikut campur, namun mereka juga merasa iba pada gadis itu.

Hanya suara detak jam dinding yang terdengar di lorong rumah sakit tempat mereka berdiri.

Mei Lan menatap ke arah pintu ruang rawat inap Mei Lin. Di balik pintu itu, adik kembarnya terbaring lemah. Semua cinta keluarga hanya untuk Mei Lin, sementara dirinya selalu menjadi bayangan yang disalahkan.

Tanpa berkata lagi, Mei Lan menundukkan kepala. “Baik,” katanya datar. “Aku pergi.”

“Dan jangan pernah kembali!” seru ibunya lantang.

Mei Lan tak menjawab. Ia berbalik perlahan, melangkah menjauh di sepanjang koridor rumah sakit dengan langkah gontai.

Orang-orang menatapnya, gadis dengan almamater kusut, membawa tas berisi kotak makan yang masih utuh.

Bekal yang seharusnya sudah ia serahkan sepuluh menit lebih awal untuk kembarannya. Hanya karena bus yang ditumpangi Mei Lan sempat mogok, di jalan.

Mei Lan keluar dari rumah sakit, menatap langit mendung. Butiran air hujan pertama jatuh mengenai pipinya, entah hujan, entah air mata.

“Baiklah,” bisiknya pelan, nyaris tak terdengar. “Kalian ingin aku pergi, kan? Aku akan pergi. Selamanya.”

*

*

Suara mesin bus menderu pelan, bergoyang lembut mengikuti jalanan berliku di pinggiran tebing.

Mei Lan duduk di bangku paling belakang, menatap kosong ke luar jendela. Di bawah sana, jurang menganga dengan pepohonan hijau yang tampak kecil dan jauh.

Napasnya berat. Tangannya menggenggam erat sebuah gelang perak tua di pergelangan kiri. Satu-satunya peninggalan dari kakeknya, barang yang selalu dijaga, bahkan saat perutnya kosong sekalipun.

“Ke mana aku harus pergi sekarang?” bisiknya pelan, matanya berkaca-kaca.

Ia baru saja diusir dari rumah sakit. Tidak punya rumah, tidak punya uang, bahkan tidak punya siapa pun lagi di dunia ini.

Bukan sekali Mei Lan diusir hanya karena hal sepele. Bahkan orang tuanya tak tanggung-tanggung menghukumnya hanya karena Mei Lin bersedih ataupun terluka.

Bus kini melaju semakin cepat, menuruni tanjakan panjang. Beberapa penumpang tampak mengantuk, sebagian lagi sibuk dengan ponsel mereka.

Suasana semakin hening. Namun, tiba-tiba sesuatu terjadi.

Brak!

Ckittt!

Tiba-tiba terdengar suara keras dari depan, disusul jeritan histeris.

“Remnya blong!” teriak sopir dari kursinya.

“Apa?!” salah satu penumpang pria langsung berdiri, wajahnya pucat pasi.

Bus oleng ke kiri, lalu ke kanan. Semua orang menjerit. Anak-anak menangis, seorang ibu memeluk bayinya erat.

Mei Lan terpaku sesaat, jantungnya berdetak kencang. Ia menoleh ke jendela dan hatinya mencelos. Bus itu kini meluncur miring ke arah tepi jurang.

“Aaaaa!”

Brak!

Benturan keras terdengar. Tubuh penumpang terhempas ke kursi depan. Bus berhenti tapi posisi miring, bagian depannya menggantung di udara. Hanya sebatang pohon besar yang menahan mereka dari kematian.

Suasana hening sesaat. Lalu terdengar tangis dan doa bersahut-sahutan.

“Ya Tuhan, tolong kami.”

“Aku nggak mau mati! Aku masih punya anak!”

“Bus ini mau jatuh! Tolong!”

Mei Lan memejamkan mata sejenak, berusaha menenangkan diri. Ia bisa merasakan getaran halus dari lantai bus. Jika mereka bergerak sedikit saja, bus itu akan jatuh.

Mei Lan menarik napas panjang. “Tenang semua!” suaranya tegas, memotong kepanikan.

Beberapa penumpang menatapnya dengan mata penuh ketakutan.

“Kita nggak boleh panik,” lanjutnya cepat. “Kalau semua bergerak sembarangan, bus ini bakal jatuh ke jurang!”

“Lalu kita harus gimana?!” teriak seorang pria muda ketakutan.

Mei Lan menatap ke arah belakang bus. “Kaca belakang! Itu satu-satunya jalan keluar!”

Ia bergerak perlahan, memanjat kursi satu per satu dengan hati-hati. Setiap langkah terasa berat bus bergoyang sedikit demi sedikit. Dengan tubuh rampingnya, dan keahlian yang yang Mei Lan pelajari dari sang kakek, membuat Mei Lan terlihat terlatih.

“Jangan bergerak dulu!” serunya lagi.

Begitu sampai di kaca belakang, ia meraba saku jaketnya, lalu menggenggam benda logam kecil kunci bus yang terjatuh tadi. Tanpa ragu, ia menghantamkan benda itu ke kaca.

Prang!

Kaca pecah berhamburan. Angin luar langsung menerpa wajahnya.

“Anak-anak dulu!” kata Mei Lan keras. “Cepat, tapi hati-hati!”

Seorang ibu mendorong putrinya yang masih kecil. “Tolong, tolong bantu anakku keluar!”

Mei Lan mengulurkan tangan. “Pegang tanganku, pelan-pelan.”

Anak kecil itu menangis ketakutan, tapi Mei Lan menenangkannya dengan suara lembut. “Nggak apa-apa, kamu kuat, ayo!”

Kini satu persatu anak-anak di keluarkan, suasana semakin tegang. Dan akhirnya anak-anak berhasil keluar.

Lalu giliran para lansia dan wanita hamil.

Bus terus berderak, pohon yang menopang mereka mulai mengeluarkan bunyi patahan.

“Cepat! Sedikit lagi!” Mei Lan berteriak.

Akhirnya, hampir semua penumpang keluar, termasuk sopir bus yang sudah tua. Ia menatap ke arah Mei Lan yang masih di dalam.

“Nona! Ayo! Bus-nya sudah mau jatuh!” teriak sang sopir, panik.

Mei Lan menatap mereka dari dalam bus, wajahnya basah oleh peluh dan air mata. Ia tersenyum tipis.

“Pergilah dulu. Aku akan menyusul, Paman.”

“Nona! Cepat keluar! Bus ini tidak akan tahan lagi!” jerit seorang pria yang tadi ia selamatkan.

Bus berderak makin keras.

Tapi Mei Lan hanya menatap keluar jendela. Hatinya terasa hampa. Untuk apa ia hidup lagi? Tidak ada rumah untuk pulang, tidak ada yang menunggunya. Bahkan saat ia selamat pun, tidak ada yang akan peduli. Hanya cercaan dan hukuman yang menantinya.

Ia menatap gelang di pergelangan tangannya. “Kakek,” bisiknya lirih, tersenyum getir. “Akhirnya aku bisa menyusul.”

Kraakkk!

Pohon besar itu akhirnya patah.

“Nona!” teriak para penumpang di luar, tangan-tangan mereka terulur ke arah bus.

Mei Lan menutup matanya, menarik napas panjang. “Selamat tinggal ... Ayah, Ibu, Kakak, Dylan.”

Booom!

Duarr!

Bus itu meluncur jatuh ke jurang, diikuti ledakan besar dan kobaran api.

Para penumpang yang selamat menjerit histeris, sebagian berlutut menangis.

“Dia ... dia menyelamatkan kita semua,” ujar seorang ibu sambil memeluk anaknya erat.

Di tengah bau asap dan api yang menjilat langit, terlihat gelang milik Mei Lan bercahaya terang menyelimuti tubuh gadis itu.

Transmigrasi Dan Ruang Ajaib

Suara tangisan pelan menyayat hati terdengar samar seperti seseorang yang sedang kehilangan harapan.

Kelopak mata Mei Lan perlahan terbuka. Pandangannya buram, lalu mulai jelas. Langit-langit kayu tua, lampu minyak redup, dan suara jangkrik malam semuanya terasa asing.

Ia mengerjap bingung. “Di ... mana ini?” gumamnya pelan.

Ruangan itu sederhana. Dinding dari kayu, atap bocor sedikit di sudut ruangan, tikar jerami di bawah tubuhnya, dan aroma obat herbal menyengat hidung. Suara seseorang tiba-tiba memanggilnya.

“Mei’er!”

Seorang wanita paruh baya dengan rambut setengah beruban dan pakaian lusuh menumpahkan air lalu berlari kecil ke arahnya. Wanita itu langsung memeluknya erat, tubuhnya bergetar menahan tangis.

“Syukurlah … syukurlah kamu bangun, Mei’er Ibu sangat takut kehilanganmu.” Suaranya serak, penuh air mata.

Mei Lan membeku di tempat. Ibu? Siapa wanita ini? Pikirnya.

Tangannya terangkat kaku, tidak tahu harus membalas pelukan itu atau tidak. “M–maaf, Nyonya ....” ucapnya pelan dan bingung, “Anda siapa?”

Wanita itu tersentak. Pelukannya terlepas perlahan. Wajahnya yang penuh keriput menegang, matanya membulat tak percaya. “Kamu … kamu tidak mengenali Ibu?”

Mei Lan mengernyit, hatinya berdetak cepat. Ibu? Perasaan wanita ini bukan ibunya?

Tiba-tiba, rasa sakit menusuk kepalanya. “Ahh!” Ia memegangi pelipis, tubuhnya bergetar. Potongan-potongan ingatan asing membanjiri pikirannya.

Seorang gadis berusia 15 tahun bernama Qing Mei, gadis iti tinggal bersama ibu dan kedua kakaknya. Mereka sering dihina dan dikucilkan oleh orang-orang karena miskin. Dan Mei Lan berakhir meninggal karena jatuh saat mencari kayu bakar di hutan.

Aku bertransmigrasi? batinnya membelalak.

Wanita paruh baya di depannya menatapnya dengan mata memerah. “Nak, kamu Qing Mei, anak Ibu. Apa Mei'er benar-benar lupa pada Ibu?”

“Qing … Mei?” bibir Mei Lan bergumam pelan, nama itu keluar begitu saja.

Tangisan wanita itu pecah. Ia meraih tangan Mei Lan dan menekannya ke pipinya. “Maafkan Ibu … maafkan Ibu, Nak. Ibu tidak punya koin untuk memanggil tabib. Ibu kira … Ibu kira Ibu akan kehilanganmu selamanya.”

Mei Lan terdiam, dadanya terasa sesak. Dalam hidup sebelumnya, ibunya bahkan tak pernah menggenggam tangannya apalagi menangisinya seperti ini. Bahkan terakhir ibunya justru mengusir dan mengutuknya anak pembawa sial.

Langkah kaki terburu-buru terdengar dari luar. Dua pemuda masuk tergesa-gesa pakaian mereka tambal-sulam, wajahnya penuh peluh dan debu jalanan.

“Adik!”

Mereka berlutut di sisi tempat tidur, wajah mereka panik. Pemuda tinggi kurus itu menggenggam tangan Mei Lan. “Syukurlah kau bangun, Kakak pikir ....” Suaranya tercekat.

“Kami benar-benar minta maaf, Mei’er.” Pemuda satunya, lebih besar dan tegap, menunduk dalam-dalam. “Kalau saja kami punya koin untuk beli obat, kau tidak akan begini.”

“Jangan bilang begitu,” sahut Qing Rong sambil menyeka air matanya. “Yang penting Mei’er selamat.”

Mei Lan memandangi mereka bertiga, wanita yang dipanggil Ibu dan dua pria yang memanggilnya adik. Mereka miskin, itu jelas. Tapi dari mata mereka terpancar ketulusan dan kasih sayang yang belum pernah ia rasakan seumur hidup.

Perlahan, air mata menetes di sudut mata Mei Lan.

Qing Rong panik. “Nak, kenapa menangis? Apa kau masih sakit?”

Mei Lan menggeleng kecil. Ia tersenyum untuk pertama kalinya sejak lama, senyum lembut yang membuat ibunya tertegun. “Bukan … aku hanya .…” suaranya bergetar, “senang.”

“Senang?” Qing Wei, sang kakak tertua mengernyit bingung.

Mei Lan mengusap air matanya. “Iya … senang kalian ada di sini.”

Qing Dao, kakak kedua menepuk bahu adiknya dengan hati-hati. “Bodoh. Tentu saja kami di sini. Kita kan keluarga.”

Kata keluarga itu terasa hangat, menembus dinding hati Mei Lan yang selama ini beku.

Ia menatap mereka satu per satu. Kalau ini kesempatan kedua bolehkah aku mempertahankannya? Batinnya.

Qing Rong memeluknya lagi, erat. “Mulai sekarang, semuanya akan baik-baik saja, Mei’er. Ibu janji.”

Mei Lan membalas pelukan itu dengan pelan. Bibirnya bergetar, tapi hatinya terasa hangat untuk pertama kalinya dalam hidupnya.

“Terima kasih, Ibu,” bisiknya lirih.

“Baiklah, Mei’er, kau baru saja sadar. Sekarang istirahat dulu, ya,” ujar Qing Rong lembut sambil membetulkan selimut di tubuh putrinya.

“Iya, Ibu,” jawab Qing Mei pelan, tersenyum kecil.

“Kami akan siapkan makan malam,” sahut Qing Wei, sang kakak tertua. “Nanti Kakak panggil kalau sudah siap.”

“Adik, istirahatlah. Jangan banyak bergerak dulu,” tambah Qing Dao, sang kakak kedua, sebelum mereka keluar dari kamar.

Pintu kayu tertutup perlahan, meninggalkan kesunyian yang hanya diiringi suara jangkrik dari luar.

Qing Mei menarik napas panjang, menatap langit-langit bambu di atasnya. Semuanya terasa seperti mimpi tapi rasa hangat di dada dan aroma kayu tua membuatnya sadar ini nyata.

“Zaman kuno,” bisiknya pelan. “Aku benar-benar hidup di tubuh orang lain.”

Ia mengangkat tangannya. Di sana, gelang perak peninggalan kakeknya masih melingkar lembut di pergelangan. Entah bagaimana benda itu ikut bersamanya ke dunia ini.

Tiba-tiba cahaya lembut berwarna perak memancar dari gelang itu, berdenyut pelan seperti detak jantung.

Mata Qing Mei membulat. “Apa-apaan ini?”

Cahaya itu makin terang hingga seluruh ruangan tertelan oleh sinarnya. Lalu, seolah ada kekuatan tak terlihat menarik tubuhnya kuat-kuat.

“Aaaaaaa!”

Ia menjerit pelan, tapi suaranya tenggelam dalam pusaran cahaya.

Seketika semuanya gelap. Ketika ia membuka mata, dunia di sekitarnya sudah berbeda.

Qing Mei erdiri di tengah ruangan luas tanpa dinding, langitnya berwarna lembayung, dan udara terasa hangat. Di depan sana terbentang perkebunan hijau, pohon-pohon kecil dengan buah berkilau, serta kolam air jernih yang memantulkan cahaya seperti kristal.

Qing Mei tertegun. “Di mana aku?”

Tiba-tiba suara lembut bergema dari udara.

“Selamat datang, Tuan, di ruang ajaib ini.”

Suara itu dalam dan tenang, namun terdengar seperti berasal dari segala arah.

Qing Mei menoleh ke sekeliling. “Siapa di sana?!”

Dari udara muncul sesosok roh berbentuk kabut biru, perlahan membentuk wajah lelaki muda berpakaian kuno. Sorot matanya ramah namun penuh wibawa.

“Saya Mailong, penjaga ruang ini,” katanya sambil membungkuk hormat. “Saya sudah menunggu Anda selama ribuan tahun.”

“Ribuan tahun?” Qing Mei melangkah mundur setengah langkah, matanya melebar. “Tunggu! Kau bilang menungguku? Tapi aku baru datang ke sini!”

Mailong tersenyum samar. “Benar, Tuan. Tapi takdir sudah lama menuliskan pertemuan ini. Hanya pewaris gelang warisan yang bisa membuka ruang ajaib ini.”

Qing Mei memandangi gelang di tangannya, yang kini berkilau lembut. “Jadi ini semua karena gelang ini?”

“Betul,” jawab Mailong. “Ruang ini adalah warisan dari garis keturunan kuno keluarga Anda. Dulu, kakek Anda pernah membuka sedikit kekuatannya, tapi baru Anda yang berhasil membangkitkannya sepenuhnya.”

Qing Mei teringat ucapan sang kakek sebelum meninggal. "Gelang ini akan bermanfaat untukmu, Nak."

Hatinya bergetar. Jadi ini yang beliau maksud?

“Mailong,” katanya perlahan, “apa sebenarnya fungsi ruang ini?”

Roh penjaga itu menatapnya dengan penuh hormat. “Ruang ini dapat Anda gunakan untuk banyak hal, Tuan. Untuk berlatih, bertani, dan menyimpan barang. Semakin kuat kultivasi dan kekuatan Anda, ruang ini akan semakin luas dan berkembang.”

Qing Mei melongo. “Jadi seperti dunia kecil milikku sendiri?”

“Tepat sekali,” jawab Mailong. “Dan waktu di sini berjalan berbeda dari dunia luar. Satu hari di luar bisa sama dengan satu minggu di sini.”

Mata Qing Mei bersinar. “Kalau begitu aku bisa menanam makanan di sini!”

Mailong tersenyum. “Anda sangat cerdas, Tuan. Di sana,” ia menunjuk ke arah ladang yang kosong, “sudah tersedia beberapa bibit padi, kentang, dan cabai. Anda bisa mulai menanam sekarang. Tanah di sini penuh energi spiritual pertumbuhan tanaman akan sangat cepat.”

Qing Mei menatap ke arah ladang itu, lalu mengangkat lengan bajunya. “Baiklah, mari kita coba.”

Ia menanam dengan hati-hati menyentuh tanah, menabur bibit, menutupnya kembali. Setiap kali jarinya menyentuh tanah, terasa hangat dan hidup, seolah bumi itu menyambutnya.

Mailong memperhatikan dari samping dengan senyum puas. “Benar, seperti itu. Semakin Anda menanam dengan niat baik, semakin subur tempat ini.”

Qing Mei menatap hasil tanamannya dan tersenyum tipis. “Kakek mungkin inilah takdirku.”

Tapi sebelum ia sempat melanjutkan, suara gaduh terdengar samar dari kejauhan. Suara itu seperti suara orang-orang bertarung.

Perubahan Qing Mei

Qing Mei baru saja keluar dari ruang ajaib yang misterius. Napasnya masih belum teratur setelah pengalaman luar biasa itu. Namun begitu ia melangkah ke luar kamar, suara gaduh dari luar rumah sederhana mereka langsung membuat jantungnya berdegup kencang.

Suara jeritan ibunya terdengar pilu.

“Tolong! Jangan pukul anak-anakku!”

Qing Mei berlari keluar. Begitu ia membuka pintu, pemandangan di depan rumah membuat darahnya mendidih. Sang ibu, Qing Rong, berlutut sambil menangis, sementara kedua kakaknya, Qing Wei dan Qing Dao, tengah dipukuli oleh beberapa pria bertubuh besar.

Di sisi lain, seorang wanita gemuk mengenakan hanfu mahal berdiri sambil tertawa puas.

“Inilah akibatnya kalau berani berutang tanpa bisa membayar!” serunya dengan nada menghina.

“Berhenti!” suara Qing Mei menggema tajam di udara.

Semua orang serentak menoleh. Bahkan Qing Rong yang tengah menangis, mendongak kaget melihat putrinya keluar dari rumah.

“Mei’er! Kenapa kamu keluar, nak? Masuk lagi! Cepat!” seru Qing Rong panik sambil berusaha berdiri.

Qing Mei menatap ibunya yang pucat, lalu melihat luka di wajah kedua kakaknya. Dadanya terasa sesak. “Bu, apa yang terjadi? Siapa mereka?” tanyanya dengan suara gemetar tapi tegas.

Wanita gemuk itu melirik Qing Mei dari atas ke bawah, matanya menyipit penuh niat jahat.

“Ohh … ternyata putrimu ini masih hidup rupanya. Cantik juga.” Ia tertawa pelan, lalu melanjutkan dengan nada keji, “Lumayan untuk dijadikan pekerja di rumah bordil. Setidaknya bisa menutupi sedikit utang kalian.”

“Jangan!” Qing Rong berteriak histeris sambil memeluk kaki wanita itu. “Jangan ambil anakku! Dia tidak tahu apa-apa, tolong!”

“Ambil aku saja!” Qing Wei yang babak belur berseru. “Jangan sentuh adik kami!”

“Benar! Kami akan kerja lembur, akan cari koin, asal jangan ambil adik kami!” tambah Qing Dao, berdiri dengan tubuh gemetar menahan sakit.

Namun wanita gemuk itu hanya mendengus sinis.

“Sampah miskin seperti kalian tak punya pilihan. Bawa gadis itu!” perintahnya pada para pengawal.

Dua pengawal bertubuh besar langsung maju dan meraih lengan Qing Mei. Tapi sekejap kemudian.

Krak!

“Arghhh!!”

Salah satu pengawal menjerit ketika Qing Mei dengan gerakan cepat memutar lengannya hingga terdengar bunyi patah dari sendinya. Tubuh besar itu langsung terpelanting ke tanah.

Semua orang terpaku.

“M–Mei’er?” suara Qing Rong lirih, matanya membelalak tak percaya.

“Adik bisa bela diri?” gumam Qing Wei terkejut sambil mengusap darah di bibirnya.

Qing Mei berdiri tegap, pandangan matanya tajam dan dingin. Ia mengambil posisi kuda-kuda yang pernah ia pelajari di dunia modern. Aura kepercayaan diri terpancar kuat darinya.

Meskipun dia sering dikatakan anak pembawa sial, tanpa diketahui keluarganya, Mei Lan merupakan gadis yang berbakat dan multitalenta.

“Siapa pun yang berani maju selangkah lagi,” katanya dengan suara rendah tapi tajam seperti pisau, “akan kutebas tanpa ampun.”

Wanita gemuk itu melotot geram.

“Dasar sombong! Tangkap dia, hei pengawal bodoh! Dia hanya seorang gadis kecil!” teriaknya panik namun masih berlagak berani.

Kelima pengawal maju bersamaan, menghunus pedang. Qing Mei menghela napas dalam.

Bugh!

Dalam sekejap, ia melompat ke depan, menendang dada salah satu pengawal hingga terjengkang, lalu merebut pedangnya. Pedang berkilat di tangannya, gerakannya cepat, ringan, dan penuh ketepatan.

Setiap ayunan menghasilkan jeritan, pengawal-pengawal itu tumbang satu demi satu, meringis menahan sakit di tanah.

Saat pedang terakhir terayun, hanya suara napas berat Qing Mei yang terdengar.

Wanita gemuk itu mundur dengan wajah pucat pasi.

“Kalian … kalian tidak akan bisa lolos dari ini! Kalian akan menyesal melawanku!” teriaknya sebelum kabur terbirit-birit bersama beberapa pengawalnya yang masih bisa berjalan.

Qing Mei berdiri di tengah halaman, napasnya terengah-engah. Tangannya yang memegang pedang sedikit gemetar. Tubuh ini terlalu lemah. Aku harus melatihnya secepat mungkin.

Ia melempar pedang ke tanah dan segera berlari ke arah keluarganya.

“Bu, Kakak! Kalian tidak apa-apa?” katanya sambil berlutut di depan mereka.

Qing Rong langsung memeluk putrinya erat-erat, menangis di bahunya.

“Nak apa yang kau lakukan? Dari mana kau belajar semua itu?” suaranya serak karena tangis.

Qing Mei mengusap air mata di wajah ibunya dengan lembut.

“Nanti aku jelaskan, Bu. Sekarang yang penting kalian aman dulu.”

Qing Wei menatap adiknya tak percaya.

“Aku … aku tidak pernah tahu adikku yang lemah bisa seperti itu,” katanya setengah bercanda untuk menutupi haru di dadanya.

Qing Dao tersenyum tipis meski bibirnya pecah berdarah.

“Sepertinya adik kecil kita bukan gadis biasa lagi.”

Qing Mei hanya tersenyum kecil, tapi dalam hatinya ia bertekad kuat. Mulai sekarang, aku tidak akan biarkan siapa pun menyakiti keluargaku lagi.

Setelah wanita gemuk itu kabur bersama pengawalnya, suasana rumah kecil keluarga Qing kembali hening. Hanya suara jangkrik dan napas berat Qing Mei yang terdengar. Darah dari luka kedua kakaknya menetes ke tanah, dan wajah sang ibu masih pucat ketakutan.

“Masuk, Bu. Kakak juga. Ayo, kita ke dalam dulu,” ucap Qing Mei lembut, menopang tubuh ibunya yang gemetar.

Mereka bertiga perlahan masuk ke rumah. Di ruang tengah yang sederhana, Qing Wei dan Qing Dao duduk bersandar di dinding, wajah mereka lebam dan tangan mereka penuh luka.

Qing Rong menatap mereka dengan mata berkaca-kaca, sementara Qing Mei bergegas masuk ke kamarnya.

Beberapa saat kemudian, ia kembali membawa sebuah kotak putih kecil.

“Mei’er, itu apa?” tanya Qing Rong heran. “Kotak aneh apa itu?” tambah Qing Dao, menatap benda itu curiga.

Qing Mei tersenyum samar. “Mei'er menemukannya di hutan waktu mencari kayu bakar, Bu. Seorang pengelana memberikannya padaku sebelum pergi.”

Qing Rong tampak ragu, tapi ia terlalu lelah untuk bertanya lebih jauh. “Hati-hati ya, jangan sampai benda itu berbahaya.”

“Tidak apa-apa, Bu. Percayalah padaku.”

Qing Mei membuka kotak P3K yang sebenarnya berasal dari ruang ajaib gelang peraknya. Aroma antiseptik langsung tercium, sesuatu yang belum pernah mereka rasakan sebelumnya. Ia mengeluarkan kapas, alkohol, dan perban steril.

Dengan hati-hati, ia mulai membersihkan luka di pipi Qing Wei.

“Agh … perih!” Qing Wei mengerutkan dahi, tapi tidak bergerak.

“Tahan sedikit, Kak. Ini untuk mencegah infeksi,” kata Qing Mei lembut.

“Infek … apa?” Qing Dao mengernyit heran.

“Hmm … semacam luka yang bisa membusuk kalau tidak dibersihkan,” jawab Qing Mei cepat, mencoba mencari kata sederhana.

Qing Rong memperhatikan setiap gerakan putrinya. Dari mana dia belajar hal-hal seperti ini? pikirnya, tapi ia hanya diam.

Hati seorang ibu tahu, ada sesuatu yang berbeda pada putrinya sejak sang putri sadar, tapi untuk saat ini, ia hanya merasa bersyukur.

Setelah membalut luka-luka mereka, Qing Mei menutup kotaknya dan tersenyum puas.

“Sudah. Besok pasti agak membaik,” katanya sambil mengusap tangan.

Qing Wei menatapnya takjub. “Aneh sekali, tidak terasa sakit lagi,” ucapnya, memandangi perbannya.

“Aku juga,” tambah Qing Dao, menggerak-gerakkan tangannya pelan. “Apa benar ini dari pengelana, Mei’er?”

Qing Mei tersenyum samar. “Ya, sepertinya benda ini memang ajaib.”

Suasana sempat tenang sejenak, sampai akhirnya Qing Mei menatap ibunya serius.

“Bu, siapa sebenarnya orang-orang tadi? Kenapa mereka memukul Kakak dan menagih utang?”

Wajah Qing Rong berubah muram. Ia menunduk, jemarinya saling menggenggam erat.

“Mereka penagih utang, nak.” suaranya bergetar. “Sudah beberapa bulan ini mereka datang ke rumah.”

Qing Mei mengernyit. “Utang? Tapi dari mana asalnya? Dalam ingatan—” Ia terhenti sejenak, lalu mengubah kalimatnya, “Maksud Mei'er, bukankah Ibu tidak pernah berutang pada siapa pun?”

Qing Wei menatap adiknya, lalu menarik napas panjang. “Sebenarnya itu bukan utang Ibu,” katanya dengan nada getir.

Qing Mei menatapnya tajam. “Lalu siapa?”

Qing Dao menjawab dengan wajah penuh amarah.

“Nenek. Dan juga Bibi. Mereka yang berutang, tapi yang dikejar justru kita.”

“Apa?!” suara Qing Mei meninggi tanpa sadar.

“Ya,” sahut Qing Wei. “Beberapa waktu lalu mereka pinjam koin untuk membuka usaha, tapi gagal. Mereka beralasan kalau Ibu bagian dari keluarga, jadi penagih datang ke kita.”

“Tapi kenapa mereka tidak membayar sendiri?” tanya Qing Mei menahan emosi.

“Karena mereka menganggap kita beban,” jawab Qing Dao lirih.

Qing Rong menunduk lebih dalam, matanya mulai berkaca-kaca. “Maafkan Ibu,” katanya pelan.

Dia memang selalu sisihkan oleh keluarganya. Karena menikahi pria miskin yang sekarang keberadaannya entah ke mana.

Hening sejenak, hanya suara api dari tungku dapur kecil terdengar lembut, seolah menyayat ketenangan yang rapuh itu.

Qing Mei menggenggam erat tangannya. Di dalam pikirannya, ingatan Qing Mei asli muncul satu per satu kenangan keluarga yang menindas, ejekan, dan rasa tak berdaya.

Matanya menatap tajam ke luar jendela.

“Jadi begitu,” katanya pelan tapi dingin. “Mereka berani menindas Ibu hanya karena kita miskin.”

Qing Wei menatap adiknya khawatir. “Mei’er, jangan macam-macam. Kita tidak bisa melawan mereka. Mereka punya hubungan dengan pejabat desa.”

Tapi Qing Mei tersenyum tipis, senyum yang tidak pernah dilihat oleh siapa pun sebelumnya.

“Tenang saja, Kak. Aku tidak akan gegabah.”

Ia menatap gelang perak di pergelangan tangannya, yang berkilau samar. “Tapi aku juga tidak akan diam. Orang-orang itu harus belajar apa artinya membayar harga atas perbuatan mereka.”

Qing Rong memegang tangan putrinya, menatapnya lembut tapi penuh kekhawatiran.

“Mei’er, jangan melibatkan diri dalam urusan kotor itu. Ibu tidak ingin kehilanganmu juga.”

Qing Mei menatap ibunya, lalu tersenyum lembut. “Aku janji, Bu. Aku tidak akan meninggalkan Ibu dan Kakak. Tapi kali ini, biarkan aku melindungi kalian.”

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!