Pagi itu seperti biasa dimulai dengan kehebohan di rumah kecil keluarga Arshanti. Suara ayam tetangga bersahutan, aroma tumisan bawang putih memenuhi udara, dan suara ibu Nadin sudah terdengar bahkan sebelum matahari menampakkan diri.
“Nadin! Jangan kamu aduk telur itu kayak lagi balas dendam ke mantan!”
Teriakan Rani menggema dari dapur. Nadin yang masih pakai daster bermotif alpukat langsung mendesah panjang.
“Bu, ini bukan balas dendam. Ini bentuk perjuangan!” katanya sambil mencoba menyelamatkan telur gosong di wajan. Tak lama, Dimas, ayahnya, muncul dari halaman belakang sambil membawa sekeranjang bayam segar.
“Nah, Nad, nanti sekalian kamu antar ini ke rumah sebelah, ya. Bu Araya minta sayur dari kebun kita lagi.”
Nadin spontan menatap ayahnya penuh curiga. “Bu Araya ... minta sayur lagi?”
Senyum licik terbit di bibirnya.
“Pak, kok kayaknya Ibu Marvin itu sering banget minta sayur dari kebun Bapak, ya? Jangan-jangan...”
“Nadin!” potong Rani cepat, nada suaranya berubah setajam pisau dapur. “Jangan mulai gosip pagi-pagi.”
“Tapi Bu, aku cuma bilang ‘jangan-jangan’, belum sempat lanjut!” protes Nadin sambil terkekeh. Rani menatap tajam anaknya.
“Bu Araya itu teman lama ayahmu. Dulu satu sekolah, satu organisasi. Jadi biasa aja kalau mereka masih saling bantu.”
“Hmm,” Nadin mendengus kecil. “Sahabat masa muda, ya. Tapi tiap kali Bu Araya datang, Ibu langsung sibuk nyapu halaman padahal rumputnya aja belum tumbuh.”
Sendok kayu melayang ke udara, nyaris mengenai kepala Nadin yang buru-buru menunduk.
“Na-din!” teriak ibunya geram.
Tawa gadis itu pecah lagi, dia tahu, meskipun ibunya cerewet, hatinya lembut dan mudah cemburu. Apalagi soal Araya Alexander tetangga depan rumah yang terkenal elegan dan terlalu sempurna untuk ukuran manusia biasa. Rumah keluarga Alexander berdiri megah tepat lima langkah dari rumah Nadin.
Cat dinding putih gading, taman bunga rapi, dan mobil mahal di garasi. Sementara rumah keluarga Arshanti, hangat, sederhana, tapi penuh tawa. Yang membuat dua rumah itu terhubung lebih dari sekadar pagar, adalah hubungan lama di antara orang tua mereka.
Tuan Alexander, pria tinggi berambut perak dan selalu berpenampilan rapi, adalah sahabat baik sekaligus rekan lama Dimas. Dia sangat menghargai keluarga Arshanti, bahkan sering bilang bahwa Nadin adalah anak perempuan yang selalu ia inginkan.
“Sayang sekali aku cuma punya satu anak laki-laki,” kata Tuan Alexander dulu dengan nada bercanda. Anak laki-laki itu tak lain adalah Marvin Alexander, pria perfeksionis, dingin, dan luar biasa teratur. Marvin dan Nadin tumbuh bersama. Dulu, mereka sering main petak umpet di halaman, atau berantem cuma gara-gara rebutan bola.
Nadin masih ingat jelas betapa cueknya Marvin bahkan saat kecil, kalem, rapi, dan selalu tampak seperti bocah yang sudah punya jadwal hidup sendiri.
Sementara dia, berantakan tapi penuh semangat. Namun seiring waktu, mereka jarang bicara. Marvin sibuk kuliah di luar negeri, dan Nadin fokus menyelesaikan studinya di universitas lokal.
Hari ini, Nadin resmi akan memulai pekerjaan pertamanya. Dan entah kenapa, semesta punya selera humor yang aneh.
“Bu, doain ya. Aku kerja di perusahaan besar hari ini. Semoga bosnya baik dan ganteng.”
Rani menatapnya dari meja makan, sambil mengelap piring. “Bos baik itu langka, Nad. Kalau ganteng tapi galak, sabar aja. Jangan bikin masalah.”
“Tenang, Bu. Aku profesional kok,” katanya percaya diri.
'Semoga aja,' batinnya.
Tiga jam kemudian, di depan gedung kaca menjulang bertuliskan ALEXANDER GROUP, Nadin terdiam. Nama itu terasa familiar, dan bukan dalam arti baik.
“Alexander ... jangan bilang ini...” gumamnya pelan, sebelum napasnya tertahan. Di depan pintu lift, berdiri seorang pria berjas abu-abu. Postur tegap, wajah tampan tapi dingin, dan mata yang memancarkan aura serius. Senyumnya tipis, bisa dibilang tak ada sama sekali. Wangi parfumnya bahkan seperti intimidasi kelas atas.
“Marvin?” suara Nadin tercekat. Pria itu menatapnya datar.
“Miss Nadin Arshanti. Karyawan baru divisi marketing?”
“I—Iya, Pak,” jawabnya cepat, setengah gugup.
Marvin menatap jam tangannya, lalu kembali menatap Nadin.
“Masih sama, datang di menit terakhir.”
Nadin mengerjap. “Eh? Masih sama apanya, Pak?”
“Selalu ceroboh soal waktu ... tapi setidaknya tidak terlambat.”
Nada suaranya datar, tapi di mata Nadin, itu sudah terdengar seperti sindiran manis bercampur teguran dingin.
“Bapak ... masih ingat aku?” tanyanya ragu.
Marvin menaikkan satu alis. “Sulit melupakan seseorang yang pernah menempelkan surat cinta bohongan di meja saya waktu SMP.”
Wajah Nadin langsung merah padam. “Itu kan cuma ... eksperimen sosial, Pak."
“Eksperimen yang gagal,” balas Marvin tenang, sebelum melangkah masuk ke lift.
Nadin terpaku, tapi tepat sebelum pintu tertutup, ia mendengar suara rendahnya lagi.
“Selamat datang di Alexander Group, Nadin. Semoga kamu bertahan di sini.”
'Ya Tuhan, kenapa nadanya kayak ancaman lembut?'
Sesampainya di lantai kantor, Nadin menatap sekeliling kagum. Interior kantor itu modern dan elegan, dinding kaca, meja putih bersih, suasana tenang. Semua orang tampak sibuk dan berpakaian rapi.
Seorang wanita cantik berpenampilan anggun menghampirinya. “Kamu Nadin, karyawan baru, kan? Aku Aulia, sekretaris pribadi Pak Marvin.”
“Oh! Halo, Kak Aulia,” sahut Nadin ramah.
Aulia tersenyum, tapi tatapannya cepat berubah saat melihat Marvin keluar dari ruangannya. Wajahnya seketika berseri seperti bunga yang baru disiram hujan.
Sementara Nadin hanya bisa melongo, menyadari satu hal, sekretaris bosnya sepertinya jatuh cinta pada bosnya. Marvin melintas di depan mereka tanpa banyak bicara.
“Meeting jam sepuluh, jangan terlambat!"
Aulia mengangguk cepat, sementara Nadin hanya bisa tersenyum kaku.
“Dia memang seperti itu,” bisik Aulia setengah berbisik. “Dingin, tapi kalau sudah kenal ... bisa hangat kok.”
Nadin menatapnya dengan ekspresi polos. “Hangat kayak radiator atau kayak oven?”
Aulia terdiam, wajahnya kaku.
“Oh ... kamu lucu juga, ya.”
Nada suaranya manis, tapi senyumnya seperti mengandung sesuatu yang tidak bisa disebut ramah.
Sore hari, setelah semua kesibukan hari pertama, Nadin duduk di ruang pantry, menatap kopi yang sudah dingin. Hari pertamanya berjalan lumayan selamat, tapi pikirannya masih belum bisa tenang.
“Kenapa harus Marvin, sih? Dari sekian banyak perusahaan, semesta malah kirim aku ke tempat anak tetangga yang dinginnya kayak kulkas 10 pintu?” gumamnya sambil menyeruput kopi.
“Karena mungkin semesta ingin kamu belajar menyeduh kopi yang lebih manis.” Suara itu datang dari belakang.
Nadin hampir tersedak. “Pa ... Pak Marvin?!”
Marvin berdiri di sana, satu tangan memegang berkas, satu tangan di saku. Tatapannya tenang, tapi bibirnya sedikit terangkat. Sedikit saja, tapi cukup bikin jantung Nadin berdebar.
“Besok rapat pagi jam delapan,” katanya pelan. “Dan tolong ... jangan tumpahkan kopi di ruang rapat.”
“Eh, saya belum pernah...”
“Tapi kamu kelihatan seperti tipe orang yang akan melakukannya,” balasnya datar, lalu pergi meninggalkan Nadin yang hanya bisa bengong.
Nadin memandangi cangkirnya dan mendesah panjang.
“Hari pertama kerja, dan bosku sudah tahu bakat alaminya aku, pembuat masalah.”
Namun entah kenapa, di balik semua ketegangan itu ada sesuatu dalam nada suaranya yang membuat Nadin ingin tersenyum. Dingin, tapi anehnya menenangkan, galak, tapi menarik. Dan tanpa sadar, dari ruang rapat kaca, Marvin menatap Nadin diam-diam dengan ekspresi sulit dibaca. Sudut bibirnya nyaris membentuk senyum kecil yang tak pernah muncul di hadapan siapa pun.
“Kenapa aku merasa hidupku kayak drama romantis yang rating-nya rendah banget?” gumam Nadin sambil memandangi layar komputer yang belum disentuh sejak satu jam lalu. Hari pertama di Alexander Group benar-benar menguras tenaga. Bukan karena kerjaannya, tapi karena bosnya.
Ini semua karena Marvin, pria yang baru melihat wajahnya saja sudah membuat Nadin ingin menggali lubang di lantai dan menanam diri sendiri di situ.
Setelah insiden “eksperimen sosial gagal” pagi tadi, Nadin berusaha keras menghindari segala hal berbau Marvin termasuk bayangannya yang sering lewat di otaknya, sayangnya, itu mustahil.
“Miss Nadin, Pak Marvin minta kamu bawakan laporan marketing bulan ini ke ruangannya,” ujar Aulia, sekretaris Marvin yang rambutnya selalu terikat rapi seperti iklan sampo mahal, suaranya lembut tapi sinis.
“Oh, tentu, Mbak Lia,” jawab Nadin dengan senyum dipaksakan. “Sekalian mau saya buatin kopi juga? Biar makin manis kayak ... eh, salah, kayak profesional maksudnya.”
Aulia hanya mengangkat alis tipisnya. “Tak usah, Bos saya tidak suka kopi buatan sembarangan orang.”
‘Bos saya,’ katanya dengus Nadin kesal. Nada Aulia seperti ingin menekankan bahwa ia satu-satunya yang boleh menyentuh sendok di cangkir Marvin.
Nadin pura-pura tak peduli. “Tenang aja, Mbak. Saya bukan fans klubnya Pak Marvin. Saya cuma pekerja keras yang cinta gaji.”
Begitu Aulia pergi, Nadin menghela napas panjang, lalu mengambil map laporan dan satu cangkir kopi yang baru diseduh oleh rekan sekantor.
“Lumayan, sekalian kasih bonus aroma harum ke ruangan es kutub itu,” gumamnya.
Ruangan Marvin berada di ujung koridor. Pintu kayu berwarna hitam elegan, dengan nama “Marvin Alexander, CEO” tertulis di plat logam. Nadin mengetuk tiga kali, mencoba menenangkan jantung yang seolah menabuh drum di dada.
“Masuk,” suara berat itu terdengar dari dalam.
Nadin melangkah pelan, tapi baru dua langkah masuk tragedi pun dimulai. Seseorang tiba-tiba muncul dari sisi ruangan, menabrak lengannya.
'Cesshhh!' kedua mata Nadin melotot sempurna. Kopi panas tumpah tepat ke kemeja putih milik Marvin Alexander. Seluruh ruangan seketika sunyi.
“Astaga!” jerit Nadin spontan, panik. “Pak Marvin! Aduh, maaf banget ... saya nggak sengaja! Itu, tadi Mbak Aulia...”
“Miss Nadin.” Suara Marvin pelan, tapi cukup untuk membuat Nadin ingin pensiun dini. Dia menatap noda kopi di kemejanya, lalu menatap wajah Nadin dengan ekspresi datar penuh tekanan.
“Apakah setiap kali kita bertemu, Anda harus membuat kekacauan?”
“Aku … eh, saya ... tidak selalu, cuma … sering,” jawab Nadin gugup. Beberapa staf yang kebetulan lewat di koridor mulai mengintip dari pintu kaca.
Aulia berdiri di dekat meja, menatap sinis. “Tadi saya sudah bilang, jangan macam-macam di ruang Pak Marvin.”
“Lia,” potong Marvin dengan nada tegas. “Kau boleh keluar dulu.”
Wajah Aulia menegang. “Tapi...”
“Sekarang.”
Aulia akhirnya keluar, tapi sebelum pergi sempat melempar tatapan penuh racun ke arah Nadin. Begitu pintu tertutup, Marvin menghela napas panjang dan mulai membuka tiga kancing di atas kemejanya.
“Pa ... Pak Marvin!” Nadin langsung memalingkan wajah, “Bapak mau ngapain?! Ini kantor, bukan gym!”
“Tenang, saya tidak berniat pamer dada. Saya hanya mau ganti baju.”
Nada suaranya dingin, tapi di mata Nadin, setiap gerakan itu terasa seperti adegan slow motion yang tidak perlu. Kemeja putih yang kini menempel separuh di tubuhnya membuat Nadin ingin mengutuk dirinya karena menatap terlalu lama.
“Kalau kamu terus berdiri di situ, Miss Nadin, saya anggap kamu sengaja menonton,” ujarnya tanpa menoleh.
“Enggak!” seru Nadin buru-buru, lalu berbalik dan menatap meja, “Saya cuma ... melindungi integritas visual saya.”
Marvin tidak menanggapi, dia berjalan ke arah lemari pakaian kecil di sudut ruangan, mengganti kemejanya dengan satu yang baru. Suasana hening beberapa detik, lalu suara lembut tapi tegas itu kembali terdengar.
“Nadin, lain kali berhati-hatilah. Di perusahaan ini, semua mata memperhatikan.”
Nada itu membuat Nadin menunduk.
“Iya, Pak. Saya sungguh nggak bermaksud...”
“Saya tahu,” potong Marvin cepat.
“Saya cuma tidak ingin orang lain salah paham. Mereka bisa berpikir kamu dapat perlakuan khusus karena ... kita bertetangga.”
Nadin tertegun. “Oh ... jadi Bapak khawatir reputasi saya?”
Marvin menatapnya sesaat. “Reputasi perusahaan.”
“Wah, keren banget prioritasnya,” gumam Nadin lirih, tapi cukup keras untuk didengar. Marvin hampir tersenyum, tapi menahan diri.
“Pergilah, sebelum kau menumpahkan sesuatu lagi.”
“Siap, Tuan CEO Dingin.”
Nadin keluar dengan muka ditekuk, tak sadar bahwa di belakangnya, Marvin justru menatap punggung gadis itu dengan ekspresi yang jauh lebih lembut daripada kata-katanya.
Sore harinya, kabar soal “insiden kopi” sudah menyebar ke seluruh kantor. Beberapa karyawan bergosip di pantry, sebagian mengaitkannya dengan rumor lama, bos mereka punya hubungan spesial dengan karyawan baru dari rumah sebelah.
“Eh, katanya Nadin tetangga Pak Marvin, ya?” bisik salah satu staf.
“Iya, katanya mereka dekat banget waktu kecil. Siapa tahu tuh ... cinta lama bersemi di kantor,” timpal yang lain.
Nadin menatap mereka dengan ekspresi antara malu dan kesal. “Boleh nggak sih, hidup saya bebas dari gosip minimal sehari aja?”
“Sulit,” jawab rekan sekantornya sambil tertawa. “Kamu lucu, dan bos kita terlalu ganteng buat nggak digosipin.”
Nadin mengangkat bahu. “Kalau ganteng bikin susah, aku mending pindah divisi kebun aja.”
Belum sempat tawa mereka reda, suara berat familiar terdengar di belakangnya.
“Kebun? Kami tidak memiliki divisi itu, Miss Nadin.”
Semua karyawan sontak diam. Marvin berdiri di ambang pintu pantry, tangan di saku, ekspresinya datar tapi mata tajamnya menatap lurus ke arah Nadin.
“Pulang bersama saya. Mama saya menitipkan sesuatu untuk keluarga kamu.”
“Pa ... Pak Marvin?”
“Sekarang.”
Seluruh ruangan hening, tapi Nadin tahu satu hal, kalau selama ini orang-orang di kantor belum punya alasan untuk bergosip, maka mulai hari ini mereka pasti punya.
Sore itu, mobil hitam Marvin berhenti di depan rumah Nadin. Dari luar pagar, suara ibu-ibu terdengar, entah kenapa semua menatap ke arah mereka.
“Bu Rani!” salah satu dari mereka berteriak. “Itu, itu anakmu pulang diantar bos tampan, ya ampun!”
Rani keluar dengan tangan masih memegang selang air. Begitu melihat Marvin, senyumnya langsung melebar.
“Marvin, nak! Wah, makin gagah aja kamu! Nih, bawa sayur dulu buat mamamu!”
“Iya, Tante. Terima kasih,” jawab Marvin sopan.
Sementara itu Nadin berdiri di sisi mobil, ingin lenyap ditelan bumi. Begitu Marvin pergi, Rani langsung memelototinya.
“Nadin! Kamu ngapain bisa satu mobil sama dia?!”
“Bu, ini cuma nebeng!” seru Nadin. “Lagipula, Bu Araya nitipin sesuatu buat Bapak!”
“Tuh kan, keluarga Alexander emang baik banget...” Rani tersenyum hangat, tapi lirih menambahkan, “Tapi jangan sampai kamu kebanyakan senyum sama Marvin, ya. Nanti Bu Araya salah paham.”
Nadin mengerjap. “Salah paham gimana?”
Bu Rani mendesah pelan. “Ayahmu dulu pernah suka Bu Araya waktu SMA.”
Nadin membeku. “Apa?!”
“Udah, masuk sana. Bantu Ayahmu. Jangan sampai Bu Araya keburu nostalgia,” jawab Bu Rani ringan sambil berjalan pergi.
Nadin hanya bisa berdiri di halaman, memandangi rumah tetangga di sebelah, rumah keluarga Alexander dan tanpa sadar bergumam,
“Dunia ini kecil banget … dan penuh jebakan cinta yang aneh.”
Sore itu, rumah keluarga Arshanti ramai tak biasa. Aroma masakan memenuhi udara, tawa orang-orang terdengar dari ruang tamu, dan entah kenapa, ibu Nadin terlihat terlalu sibuk dandan.
“Bu, ini acara apa sih? Kayak mau lamaran aja,” tanya Nadin sambil memandangi ibunya yang mengenakan kebaya hijau pastel dan lipstik merah muda.
Rani tersenyum misterius. “Ya siapa tahu memang lamaran.”
“Hah?” Nadin hampir menjatuhkan gelas jus yang baru dia tuang. “Siapa yang mau dilamar? Jangan bilang aku, Bu. Aku baru kerja tiga hari!”
“Ya, kalau rezeki datang cepat, kenapa ditolak?” jawab ibunya santai.
Ayah Nadin, Damar, muncul dari belakang dengan senyum lebar. “Sudah siap, Nad? Nanti Tuan Alexander dan keluarganya datang.”
Nadin membelalak. “Tuan Alexander? Maksudnya ... tetangga sebelah?”
“Iya,” jawab Rani ringan sambil merapikan antingnya.
“Katanya mau ngobrol soal kerjaan Marvin dan rencana perusahaan mereka buka cabang baru. Eh, siapa tahu sambil silaturahmi.”
“Tapi kenapa Ibu dandannya kayak mau resepsi?”
Rani cuma tersenyum penuh rahasia. “Perempuan harus selalu siap untuk kejutan.”
Setengah jam kemudian, suara mobil hitam berhenti di depan rumah. Tuan Alexander keluar lebih dulu, tinggi, karismatik, dengan senyum yang selalu ramah. Di sampingnya, Araya, anggun dalam balutan dress biru muda. Dan tentu saja, Marvin ikut di belakang dengan wajah datar seperti biasa. Begitu pintu dibuka, suasana langsung berubah hangat.
“Wah, keluarga Arshanti! Sudah lama sekali!” seru Tuan Alexander sambil menyalami Damar. “Sayur dari kebunmu masih segar seperti dulu, saya selalu suka.”
“Terima kasih, Tuan. Kalau butuh, tinggal bilang saja,” jawab Damar sopan. “Kami juga senang sekali bisa bertemu lagi.”
Rani datang membawa teh dan kue, sementara Nadin berdiri di tangga, memperhatikan semuanya. Dia bisa melihat bagaimana ibunya tersenyum canggung setiap kali menatap Araya, cemburu kecil yang belum benar-benar padam meski sudah bertahun-tahun berlalu.
“Silakan duduk, Araya,” kata Rani dengan nada setengah ramah, setengah penuh kontrol emosi. Araya membalas senyum lembut.
“Terima kasih, Rani. Aku senang sekali akhirnya bisa main ke sini lagi.”
Marvin duduk bersebelahan dengan ayahnya, menatap lurus ke depan tanpa ekspresi. Namun matanya sempat menatap Nadin sekilas di tangga, pandangan singkat yang entah kenapa membuat jantung Nadin berdebar.
Setelah basa-basi yang terlalu panjang tentang sayur, cuaca, dan kinerja perusahaan, tiba-tiba Tuan Alexander menatap Nadin dengan senyum serius.
“Ngomong-ngomong, Nadin sudah bekerja di perusahaan kami sekarang, ya?”
“Iya, Om,” jawab Nadin sopan. “Masih belajar banyak.”
“Marvin bilang kamu cepat tanggap,” lanjutnya. “Jarang anak muda seperti itu.”
Marvin tersedak pelan. “Saya ... tidak bilang begitu, Pa.”
Tuan Alexander tertawa. “Kau terlalu malu mengakuinya.”
Araya menimpali lembut, “Sebenarnya, kami datang bukan cuma ingin silaturahmi, tapi ... ingin membicarakan sesuatu yang penting.”
Semua orang langsung menatapnya, Damar mengernyit. “Penting seperti apa, Bu Araya?”
Araya saling berpandangan dengan suaminya, lalu tersenyum hangat. “Kami ingin menjodohkan Marvin dengan Nadin.”
Seketika suasana hening, suara jangkrik mungkin terdengar kalau tak ada Nadin yang spontan berteriak, “APA?!”
Rani menjatuhkan sendok, sementara Marvin langsung menegakkan punggungnya.
“Ma!” serunya pelan tapi tegas. “Kita belum bicara soal...”
Tuan Alexander menepuk bahu putranya dengan lembut.
“Anakku, aku tahu kamu tidak suka kejutan, tapi ini kesempatan bagus. Dua keluarga sudah saling mengenal sejak lama, dan Papa selalu ingin punya anak perempuan. Kalau Nadin jadi bagian keluarga kita, Papa akan senang sekali.”
Rani yang dari tadi menahan diri akhirnya ikut bicara. “Eh, tunggu dulu. Jangan mendadak begini, Tuan. Nadin itu masih muda, baru kerja. Lagian ... masa iya Marvin mau dijodohkan begitu saja?”
Araya tersenyum lembut. “Kami sudah bicara panjang lebar. Marvin tidak keberatan, bukan?”
Semua mata menatap pria itu. Marvin terdiam lama. Tatapannya beralih pada Nadin yang masih melongo dengan wajah merah padam. Ada perasaan campur aduk di matanya, kaget, bingung, tapi juga ada sesuatu yang tak bisa disembunyikan. Akhirnya, Marvin berkata pelan, “Kalau itu yang terbaik untuk keluarga.”
Nadin menatapnya tajam. “Kamu serius?!”
Marvin menatap balik tanpa ekspresi. “Aku selalu serius dalam hal keputusan.”
Nadin mendengus, menatap orang tuanya satu per satu.
“Bu, Pak, aku nggak setuju. Aku nggak mau menikah tiba-tiba kayak ini drama China yang viral itu! Aku baru kerja, baru adaptasi, baru...”
“Baru ketumpahan kopi di baju calon suami,” sela Rani sinis.
“Bu!”
Semua tertawa kecil, termasuk Tuan Alexander. “Nadin, ini bukan paksaan. Tapi kami berharap kalian bisa saling mengenal lebih dekat. Kalau ternyata cocok, kita lanjutkan ke pernikahan.”
Seminggu kemudian, dua keluarga kembali berkumpul. Kali ini tanpa basa-basi. Tuan Alexander tampak bahagia, sementara Araya tersenyum lega.
Rani masih sedikit ragu, tapi melihat bagaimana suaminya setuju, ia tak kuasa menolak.
“Nadin, Marvin,” ucap Tuan Alexander pelan, “kalau kalian berdua siap, kita bisa buat pernikahan kecil dulu. Sederhana saja, hanya keluarga.”
Nadin menatap Marvin. “Kamu beneran mau ini?”
Marvin menatap balik, tenang tapi tegas. “Aku tidak pernah melakukan sesuatu setengah hati.”
Dan dengan itu tanpa pesta mewah, tanpa foto viral, hanya dua keluarga dan beberapa saksi, pernikahan itu berlangsung diam-diam.
Nadin mengenakan dress putih sederhana, sementara Marvin mengenakan jas abu-abu muda yang membuatnya terlihat seperti versi ‘bos cool tapi lembut’. Semua berjalan cepat terlalu cepat untuk dicerna
Begitu cincin melingkar di jari manisnya, Nadin masih belum yakin apakah ini nyata.
Malam itu, di luar rumah, setelah semua orang pulang, Nadin bersandar di pagar rumah sambil memegang cincin itu. Marvin berdiri di sampingnya, diam seperti biasa.
“Marvin,” katanya pelan, “aku cuma mau satu hal.”
“Apa?”
“Pernikahan ini ... jangan ada yang tahu dulu. Aku nggak mau jadi bahan gosip di kantor.”
Marvin menatapnya lama. “Kamu malu jadi istriku?”
“Bukan gitu, aku cuma … mau waktu. Kita bahkan nggak sempat saling tanya warna kesukaan satu sama lain!”
Hening beberapa detik, lalu Marvin tersenyum tipis senyum yang jarang sekali muncul.
“Baik, ini akan jadi rahasia kita.”
Dan malam itu, untuk pertama kalinya, Nadin melihat sisi Marvin yang berbeda. Tidak sekaku yang ia kira. Tidak sedingin yang semua orang bilang. Hanya pria yang diam-diam, selama ini, menyimpan rasa jauh sebelum kopi itu tumpah.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!