Ada yang berkata, apel adalah simbol dari kekayaan dan keburuntungan. Sebab, buah apel sangatlah sulit untuk didapatkan. Oleh karena itu, munculah kepercayaan yang meyakini apel adalah simbol cinta tanpa alasan. Sulitnya mendapatkan satu buah apel, sudah seperti pembuktian atas tekad mereka mencintai seseorang.
"Hei, Miza. Apa kamu tau? Silvia telah diberi apel oleh seorang prajurit. Mereka berdua sudah menjadi sepasang kekasih. Kira-kira, aku kapan akan mendapatkan apel dari Pangeranku?" Suara perbincangan yang terdengar diantara para Pelayan di dapur.
"Ah, benarkah?! Astaga.... Betapa beruntungnya Silvia" suara kikihan kecil memenuhi dapur itu dengan bahagia.
Tak jarang bagi anak-anak juga merasa penasaran terhadap hal-hal unik yang terjadi diantara orang-orang dewasa. Itulah yang dirasakan oleh bocah laki-laki berambut hitam legam, dengan iris merah seperti darah.
Dia berusia 12 tahun, Lucian Beasley namanya.
"Apel? Kenapa harus apel?" tanya anak itu diantara gembiranya para orang dewasa di dapur.
"Ah, Lucian~ Kamu harus tau. Apel adalah simbol kekayaan dan cinta tanpa syarat. Mendapatkan satu apel sangatlah sulit di Kerajaan ini. Dan saat dewasa nanti, kamu harus memberikan sebuah apel pada perempuan yang kamu cintai" begitulah ucapan wanita pelayan di sekitar bocah itu, sembari tertawa kecil.
Hingga suatu ketika, di usianya yang ke-14 tahun....
SYUUUU
Angin malam menyapu anak rambut Lucian.
TOK! TOK!
Dia tersenyum penuh harapan sambil mengetuk jendela kayu dari salah satu kamar di lantai dua istana.
CKLAK!
Jendela kayu dengan ukiran mewah itu terbuka perlahan. Seorang gadis kecil dengan rambut pirang dan irisnya yang sebiru lautan menatapnya.
"Lucian?"
Lucian mengulurkan telapak tangannya yang penuh besetan, di atas telapak tangannya itu ada satu apel merah seukuran telapak tangan orang dewasa. Betapa besarnya ukuran apel itu.
"Putri, ini untuk Anda" Lucian tersenyum malu saat Sang Putri menatap apel itu dan wajahnya bergantian. Putri tidak tau apapun tentang kepercayaan orang kecil (jelata) terhadap buah mewah itu.
...♧♧♧...
Dinding besar muncul di antara Lucian dengan Putri Kerajaan Erundil yang dia cintai. Putri berambut pirang itu, bernama Andralia Raelys. Dia berusia dua tahun lebih muda dari Lucian.
Putri Andralia telah di jodohkan oleh Raja Erundil dengan Pangeran Kedua Kerajaan Zephyr, di usia Andralia yang ke 15 tahun. Perjodohan itu, tidak membuat Lucian patah semangat. Dia tetap menjaga Putri, sekaligus mencintainya.
Namun, Andralia terlihat sangat bahagia saat disanding Pangeran Zephyr.
Hampir semua orang mengatakan jika Putri Andralia dan Pangeran Zephyr adalah pasangan yang paling cocok diantara tetua mereka.
Lucian membenci itu, namun dia tidak bisa melakukannya.
"Ketika Pagi datang, aku akan pergi. Tapi, Malam hari, kamu adalah milikku. Aku akan memelukmu dengan erat, karena kamu adalah milikku, Putri Andralia" ucapnya di malam yang sunyi.
Lucian selalu memberi apel tersebut kepada Andralia, berharap dia dapat mengetahui bagaimana perasaannya.
Tanpa berburuk sangka, Putri Andralia selalu menerima apel itu dengan senyuman.
Di hari perayaan keputrian Andralia, tepat di usianya yang ke 17 tahun. Itu adalah malam perayaan atas patah hatinya Lucian. Dia harus melihat sosok yang dia cintai, berdansa dengan seseorang yang bukan dia.
Lucian frustasi. Dia tidak bisa melihat sosok yang ada di hatinya selama ini, bersama dengan orang lain. Hingga, dia memilih untuk turun di medan pertempuran bersama pasukan Ayah angkatnya, Kyle Beasley.
Selama empat tahun, Lucian selalu mendapatkan kabar perkembangan hubungan antara Andralia dan Pangeran Kedua Kerajaan Zephyr. Mereka berdua telah menikah.
Perayaan besar di gelar atas kemenangan pasukan Kerajaan Erundil.
Namun, kebahagiaan tak akan selalu hadir di kehidupan. Pangeran Kedua, terbunuh oleh penyusup dari Kerajaan yang digulingkan oleh Pasukan Erundil.
Malam itu, Andralia melihat Lucian membiarkan penyusup itu membunuh suaminya. Lucian lebih memilih menyelamatkan Raja Erundil yang juga diserang saat itu.
Api kebencian mulai berkobar di hati Andralia.
"Lucian! Aku membencimu! Pergi dari hadapanku!"
"Yang Mulia, saya membawakan pesan Baginda Raelys"
Sosok wanita berambut keemasan yang kusut menoleh ke belakang. Matanya begitu sayu, seakan dia sudah menyerah akan kehidupannya.
Dada pemuda berseragam pengawal itu, terasa begitu sakit saat melihat wajah perempuan itu yang kini tak tersenyum lagi.
"Baginda, ingin bertemu dengan Anda" jawab pemuda itu menundukkan kepalanya.
Perempuan itu membuang pandangannya, seakan enggan menjawab ataupun menatap pengawal itu terlalu lama. Namun, pengawal itu tidak kunjung pergi, dan membuat kekesalan dari hati perempuan berambut emas itu.
"Apa yang kau tunggu? Pergi dari hadapanku" ucapnya.
Pengawal dengan rambut hitam legam itu, masih menatap punggung Putri Raelys yang enggan menatapnya.
"Baginda, meminta saya untuk mengantarkan Anda" jawabnya.
Tidak ada jawaban.
Putri Andralia Raelys segera berdiri dan berjalan terlebih dahulu melewati Pengawalnya itu.
Rambut keemasannya yang kini kusut, hanya bisa dipandang dari jauh oleh Lucian Beasley, Pengawal Kerajaan Erundil yang dipercaya oleh Raja Alvart Raelys.
...♧♧♧...
Di dalam ruangan luas dengan aroma rempah yang kuat, Alvart Raelys, Raja Kerajaan Erundil harus terbujur di ranjangnya karena kondisinya yang terluka setelah penyerangan di malam itu. Dan di malam yang sama, suami Putri Andralia dan juga Pangeran Kedua Kerajaan Xerl tewas tertikam oleh penyusup itu.
"Putri Andralia sudah tiba, Baginda" Kyle Beasley, tangan kanan Alvart membantu mempapahkan tempat duduknya.
Kyle Beasley adalah tangan kanan Alvart Raelys. Dia adalah Prajurit tipe penyerangan yang terkenal dengan sebutan Iblis pembunuh. Sayangnya, di malam tewasnya suami Andralia, dia telah dilumpuhkan oleh musuh terlebih dahulu dengan racun tipe bius.
Kyle menoleh ke arah Lucian begitu mereka berdua memasuki kamar Alvart. Lucian paham dengan maksud ayahnya. "Yang Mulia, saya akan menunggu di luar" ucap Lucian.
Namun, Alvart berkata lain. "Kamu masuk Lucian. Kyle, tetaplah di sini."
Andralia tidak banyak berbicara, dia segera mendekat ke arah ranjang Ayahnya dan duduk di kursi dekat ranjang itu.
Alvart menatap wajah putri cantiknya yang kini kehilangan sinar mudanya. Kulit pucat itu dulu begitu hangat setiap kali tersenyum padanya. Kini, hanya keheningan yang menatap balik.
"Andralia..." suara Baginda begitu serak dan berat, "kau masih menyalahkan dia?"
Andralia tidak menjawab. Jemarinya meremas ujung gaunnya yang lusuh, menahan gemuruh di dadanya.
Lucian berdiri kaku di sisi pintu, tak berani menatap langsung. Tapi dalam diamnya, dia mendengar bagaimana napas sang putri bergetar.
"Keputusan Lucian itu benar"
Ucapan Alvart membuat mata sayu Andralia terbuka lebar. Dia begitu berani menatap Ayahnya dengan tatapan penuh amarah itu.
"Lucian adalah Pengawal Ayah. Kematian suamimu tidak bisa dihindari malam itu. Jangan menyalahkan Lucian karena dia tidak datang menyelamatkan suamimu"
"TAPI AYAH! DIA SUDAH BERJANJI UNTUK DATANG SETIAP AKU MEMANGGILNYA!" Suara Andralia begitu nyaring. Setiap suara yang keluar, siapapun yang mendengarnya bisa merasakan sakitnya.
"Andralia. Jika tidak ada Lucian, baik Ayah ataupun kamu, kita berdua bahkan petinggi Erundil bisa tewas, nak" Alvart masih bersikap lembut kepada Putri tunggalnya.
Air mata Andralia pecah. Membasahi pipinya. Napasnya tak terkendali, dia sesegukan. "Pernikahan kami, belum genap 3 bulan, Ayah...." suara Andralia melemah. Dia menutup wajahnya dengan tangan kanan, seolah ingin meraupnya dengan kasar.
Andralia begitu marah, namun dia hanya bisa diam dan menangis.
"Aku harus bagaimana lagi, Ayah?"
"Banyak hal yang kami cita-citakan berdua. Tapi, segalanya hancur malam itu, Ayah" ucap Andralia dengan hati yang sangat berat.
Alvart melihat ke arah Lucian yang ada di kejauhan, berdiri disanding pintu kayu besar yang tertutup rapat. Lucian masih berdiri dengan sikap sempurna bagi Pengawal, namun wajahnya masih menatap lantai. Kyle yang ada di sebelah Lucian, tidak mengerti tatapan pilu yang Alvart tunjukkan saat melihat Lucian.
"Aku sangat malu dengan statusku sekarang, Ayah. Akan banyak orang dari kalangan Bangsawan yang menganggapku sebagai aib" Andralia melihat perlahan ke arah Alvart yang masih memandang Lucian.
"Ayah..." panggilan itu, membuat Alvart menoleh dengan cepat.
"Kalau begitu, bagaimana dengan Lucian?"
Kedua mata Andralia kembali terbulat lebar. Begitu juga Lucian yang mendengarnya, langsung melihat ke arah Alvart.
"Ayah tidak bisa terlalu lama di singgahsana. Ayah memanggilmu karena hal ini. Luka Ayah terlalu parah untuk bertahan di kursi Erundil"
Udara dalam ruangan terasa berat, seakan waktu berhenti bersamaan dengan ucapan itu.
Andralia terdiam, matanya bergetar menatap Ayahnya yang kini terlihat jauh lebih tua dari seminggu lalu.
"Ayah... maksud Ayah?" suaranya nyaris berbisik, antara takut dan tak percaya.
Alvart menarik napas dalam-dalam, napas yang disertai rasa sakit di dadanya.
“Lucian…” katanya lirih. “Dia akan menjadi tangan kananmu. Dan… jika takdir mengizinkan, penggantiku.”
Andralia sontak berdiri, kursi di belakangnya terguling. “Ayah!” serunya penuh penolakan. “Dia… dia hanya seorang pengawal! Seorang… orang biasa yang bahkan tak mengerti apa artinya darah Erundil!”
Kyle menunduk, matanya gelap, menahan diri agar tak ikut bereaksi. Lucian, sementara itu, masih terpaku. Seolah jantungnya berhenti berdetak.
Namun, Raja Alvart tetap tenang.
“Lucian bukan orang biasa, Andralia. Seiring waktu berjalan, kamu akan mengetahuinya" Alvart mengulurkan tangannya pada putrinya.
Andralia memandang ayahnya tanpa berkedip, air mata baru kembali jatuh. Tapi kali ini bukan sekadar kesedihan, melainkan kekecewaan.
Angin dari jendela mengusap tirai sutra, menimbulkan suara lirih seperti helaan napas terakhir.
Lucian akhirnya berlutut di sisi lain ranjang Alvart.
“Yang Mulia…,” katanya pelan, “saya mohon, jangan bebankan kehendak ini pada Putri. Saya tidak pantas.”
Namun Alvart mengelengkan kepalanya, kemudian menatap lurus ke arah pemuda itu.
“Takdir tidak menunggu siapa pun, Lucian. Saat malam menelan Erundil, cahaya hanya akan datang dari orang yang berani menanggung kebencian untuk melindunginya”
Kedua mata Lucian terbelalak, seakan dia paham maksud lain dari ucapan Alvart.
Andralia pergi dari kamar Alvart tanpa permisi. Langkahnya begitu kasar, bahkan dia membanting pintu kamar Alvart.
Alvart tersenyum tipis kepada Lucian, saat mata merah itu menatapnya dengan raut kesedihan. "Aku tidak pernah menyesali keputusanku, nak. Aku sudah mengenalmu sejak lama. Kau sudah ku anggap seperti anak sendiri" Alvart melambaikan tangannya pada Lucian untuk mendekat ke arahnya.
Lucian mengikuti perintah Alvart.
"Biarkan aku serakah sedikit lebih banyak padamu. Tolong lindungi Andralia lebih dariku. Darah Erundil mengalir pada nadinya. Maafkan aku karena sudah membuatnya benci padamu" Alvart mengusap rambut hitam legam Lucian.
Lucian hanya menunduk, tidak menjawab 'iya' maupun 'tidak'. Baginya, ini sungguh seperti mimpi. Jantungnya terus berdebar, dia merasa begitu senang bisa mendapatkan sosok yang dia cintai selama ini, meski harus dengan cara yang paling kotor.
Andralia mengunci dirinya di dalam kamar. Dia membanting semua barang yang terlihat di matanya. Dari guci keramik, make-up sampai cermin make-up berantakan.
"AKU MEMBENCIMU! KAU SUDAH MENGAMBIL NYAWA SUAMIKU! SEKARANG.... KEHIDUPANKU!"
Teriakan Andralia itu, terdengar sampai di luar kamarnya. Pelayan dan prajurit yang melewati kamar itu, terdiam tanpa kata dan menundukkan pandangannya. Mereka bukannya tidak peduli, melainkan tidak ingin mencari masalah.
♧♧♧
Berbeda dengan Andralia yang murka, Lucian justru tersenyum setelah keluar dari kamar Raja Alvart. Kyle memukul punggung putra angkatnya yang hanya terpaut empat belas tahun darinya.
"Aduh!" Lucian hampir oleng.
"Kau kenapa sih, Ayah!?" serunya, sambil menggosok punggungnya.
"Aku tau, kita tidak bisa menentang keputusan Raja. Hanya saja, namamu bisa buruk karena hal ini" Kyle berbisik pelan dan membekap bibirnya saat berbicara.
Lucian menghela napas panjang. "Kenapa namaku harus buruk?"
"Ya? Apa kau tidak dengar? Diantara prajurit dan pelayan muda di Kerajaan Xerl, mengatakan jika kau adalah simpanan Putri. Jika begini,-"
"Ssst, Ayah." Lucian menepuk bahu Kyle. Dia berdiri tegap, menatap ayahnya dengan senyum percaya diri.
"Lihat aku. Aku tampan. Aku tinggi. Aku juga prajurit kelas atas."
Dia mengangkat dagunya sedikit. "Putramu ini terlalu sempurna untuk jadi simpanan. Harusnya, aku yang dipamerkan."
Kyle menatap anak angkatnya dengan tatapan datar. "Terserah padamu, Nak. Semoga kau hidup bahagia."
Lucian hanya tertawa kecil, tapi senyum itu menipis perlahan. Dalam hatinya, ada kegelisahan yang tak bisa dia usir. Dia takut jika Andralia benar-benar akan mengacuhkannya selamanya.
♧♧♧
Malam hari, Lucian tidak bisa berfikir tenang. Seakan, ada yang menganjal dipikirannya. Dia keluar dari asrama untuk mencari udara segar, tentunya melewati Mansion milik Putri Andralia.
Lampu kamar Andralia masih menyala. "Apa Putri belum tidur?" batinnya sambil duduk di bawah pohon, menatap jendela kamar itu.
Perasaan asing tiba-tiba terasa menyesakkan di dada Lucian. Sungguh perasaan yang tidak nyaman. Mata Lucian terus menatap ke arah jendela kamar itu. Perlahan, jendela kamar itu terbuka. Sudut bibir Lucian terangkat, dia tersenyum. Namun, senyuman itu pudar dengan cepat.
Andralia masih menggunakan gaun yang sama dengan tadi siang. Rambutnya lebih kusut, lebih berantakan. Kakinya yang tak beralas, perlahan naik ke pagar balkon lobi jendelanya.
Andralia sudah berdiri di atas pagar itu. Dia ingin melompat.
Tubuh Lucian membeku sejenak, suaranya tidak keluar. Matanya menatap tajam Andralia yang berniat bunuh diri.
Lucian membeku. Napasnya tercekat. "Jangan. Jangan lakukan itu."
Rambut Andralia sungguh bersinar keemasan saat terkena cahaya rembulan. Pikiran Andralia sudah buntu. Hanya ini jalan baginya untuk meraih kebebasan. Sayangnya, saat dirinya mulai menutup matanya, dan menyerahkan berat tubuhnya di udara untuk jatuh. Dia mendengar suara derapan kaki yang berlari.
Dunia seakan menjadi diam. Tubuhnya seakan menjadi ringan. Langit berputar di atasnya. Dia sungguh telah tidak peduli dengan suara derapan itu. Air mata menetes dari wajahnya dan-
"TEP!"
Tubuhnya tertangkap sebelum menyentuh tanah. Nafas panas menyentuh kulitnya. Dia menoleh.
Pemuda yang lebih tua dua tahun darinya. Pemuda pemilik rambut hitam legam dengan mata semerah darah. Pemuda yang sangat dia benci. Dia Lucian yang menangkapnya saat bunuh diri dari balkon kamarnya sendiri.
Jantung Lucian berdegup dengan kencang. Kakinya gemetar untuk pertama kali dalam hidupnya. "Yang mulia... Apa yang Anda lakukan?"
Mata Lucian mulai berlinang. "Saya mohon..." hatinya sungguh sakit saat mengetahui Andralia berniat bunuh diri.
Andralia dengan cepat melepaskan dirinya dari Lucian. "PLAK!!" Tamparan keras mendarat di pipi kanan Lucian.
"Menjauh dari pandanganku!" Andralia meninggalkan Lucian begitu saja.
Napas Lucian terasa sesak. Dia menatap kedua telapak tangannya yang gemetar. "Tidak,"
"Aku tidak ingin dia menghilang dari pandanganku lagi"
Lucian mengikuti Andralia, hingga Andralia masuk ke dalam kamarnya. Dia tidak berani mengetuk atau bicara, hanya berdiri di depan pintu, memandangi ukiran emas di gagang pintu itu - satu-satunya penghalang antara dirinya dan perempuan yang baru saja dia selamatkan dari kematian.
Malam semakin larut, tapi Lucian tidak bergerak sedikit pun. Dia bisa mendengar suara isakan, suara benda pecah, kadang hanya diam yang menyayat. Di sela udara dingin, ia menunduk dan berbisik pelan, "Yang Mulia... tolong bertahan sedikit lagi."
Hingga pagi menjelang, Lucian, masih berdiri menjaga di luar pintu kamar Andralia. Bahkan, dia baru bisa pergi setelah melihat pelayan datang untuk mendandani Andralia.
"Lucian? Kenapa kamu di sini? Ah, kamu masih memberikan apel ke Lady Andralia?"
Lucian menoleh pelan, agak bingung mendengar sebutan itu. "Lady?"
Sejak Andralia menikah, tak ada yang memanggilnya Putri, selain Kyle. Tapi bagi Lucian, Andralia tetaplah Yang Mulia, perempuan yang menjadi pusat hidupnya.
Dia berdiri tegap, menahan senyum agar terlihat wajar. "Ah, tidak. Aku hanya beristirahat sebentar di sini. Rasanya... nostalgia."
"lya, nostalgia banget. Dulu kamu ke mana-mana selalu bawa apel dari hutan. Jadi kangen masa itu," sahut salah satu pelayan sambil tertawa kecil.
Lucian ikut tertawa, tapi matanya kosong. "Haha, iya... masa yang indah."
Lalu dia mengetukkan pintu kamar Andralia sekali, pelan, cukup untuk memberi tanda bahwa pelayan telah datang.
Setelah para pelayan masuk, Lucian berbalik, melangkah menjauh sebelum Andralia mengetahui kalau semalaman dia menjaga di depan pintu itu.
...♧♧♧...
Cahaya pagi menembus jendela kamar Andralia, menyoroti kekacauan yang belum sepenuhnya pulih dari malam kelam itu. Kaca cermin retak, serpihan porselen berkilau di lantai seperti potongan kenangan yang tak bisa disatukan lagi.
Empat pelayan yang masuk hanya saling berpandangan sesaat. Mereka menahan napas, tidak ingin menunjukkan keterkejutan di depan sang Lady.
Dua pelayan itu, mulai merapikan kamar Andralia selagi dua pelayan Andralia membantu dandan.
Mata Andralia sangat bengkak, bahkan rambutnya yang selembut sutra itu, kini mulai rontok.
"Apa aku masih terlihat cantik?" Suara lirih itu memecah keheningan di kamar berantakan Andralia.
Mereka tersentak bersama.
"Ya! Anda selalu cantik, Lady. Hanya saja, mata Anda sedikit bengkak, setelah dikompres pasti akan membaik" jawab salah satu pelayan yang mendandani Andralia.
Tiga pelayan lainnya, meng-iyakan ucapan pelayan itu.
"Apa aku bisa kembali membuat ayahku tersenyum dan sembuh jika aku mengikuti semua ucapannya?" Tanya Andralia sekali lagi.
Empat pelayan di sana, saling melihat. Untuk pertama kalinya, mereka terharu karena Andralia membuka suara untuk bercerita kepada mereka.
Pelayan yang tengah merapikan rambut Andralia tersenyum hangat. "Lady, orang tua manapun pasti akan sangat senang jika anak mereka menurut. Namun, semua keputusan ada di tangan Lady. Anda sudah dewasa, Anda pasti sudah bisa melihat apa yang baik dan yang buruk bagi Anda"
Ucapan pelayan itu, membuat Andralia kembali menangis. Dia memeluk pelayan yang ada di sebelahnya.
"Tolong bantu aku. Aku harus bagaimana lagi? Ayahku tak ingin aku berstatus janda terlalu lama. Dia menjodohkanku dengan Lucian karena keadaannya"
"Lu...cian?"
Empat pelayan di sana, dibuat terkejut atas cerita Andralia.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!