Tiga bulan yang lalu terasa begitu membahagiakan, bukan?
Tiga pernikahan berlangsung di waktu dan tempat yang sama.
Tiga? Entahlah … apakah masih bisa disebut pernikahan kedua bagi Alex dan Eve?
Tapi siapa peduli—malam itu, semua orang benar-benar bahagia. Seolah-olah itu adalah kali pertama mereka menyaksikan Direktur Ace menikah.
Terlebih lagi, Eve sedang mengandung. Malam itu penuh tawa dan haru, kebahagiaan tumpah ruah di setiap area.
Bahkan sampai sekarang, foto-foto pernikahan mereka masih beredar luas di media sosial—menjadi topik hangat yang tak kunjung basi.
Setelah malam itu, Scott City seakan diguyur kebahagiaan. Banyak pasangan yang justru menemukan cinta mereka di acara itu.
Termasuk Noah, yang kabarnya kini semakin dekat dengan Celline.
Sayangnya, hal itu tidak berlaku untuk Darren.
Leana begitu sulit untuk didekati, membuat Darren kelimpungan hanya demi mendapatkan hatinya.
Apa dia tidak tahu, kalau hasrat Darren untuk segera menikah sedang membara? Seperti bara api yang kian menyala setiap kali Leana menjauh.
“Darren, kau sangat payah!”
Daisy menutup album foto pernikahan orang tuanya dengan wajah kesal.
Setelah melihat semua teman ayah dan ibunya punya pasangan, hanya Darren yang masih sendirian.
Bagian mana dari pria itu yang tidak disukai wanita?
Kenapa dia tidak bisa juga menaklukkan Leana?
Jika semua yang melekat di tubuh Darren adalah kesempurnaan, bukankah berarti masalahnya ada di dalam dirinya? Pasti dia benar-benar payah dalam menghadapi wanita!
Umpatan Daisy terdengar jelas ke telinga Darren, membuat mata pria itu selebar piring. “Apa yang kau katakan barusan? Ulangi!”
“Kau, payah!” Daisy benar-benar mengulanginya—dengan nada lebih tegas. “Apa kau masih tidak bisa mendengar? Kalau begitu aku akan berteriak!”
Daisy menarik napas dalam, bersiap menaikkan suaranya. “Darren, kau pa—!”
Sebelum kata itu keluar sempurna, Darren berlari dan langsung membekap mulut Daisy. “Anak kecil tidak boleh bicara sembarangan. Mengerti?” ujarnya dengan wajah masam.
Mau marah rasanya, tapi … sepertinya Daisy benar juga. Ia memang payah.
Apa yang kurang darinya? Apa yang salah? Kenapa Leana selalu menolak ajakannya?
Kenapa semua temannya begitu mudah mendapatkan cinta mereka, sementara dirinya tidak?
“Kenapa?” tanya Daisy, menatap Darren yang sedang termenung. “Apa kau baru sadar kalau kau memang payah?”
Darren menekuk lutut, berjongkok di depan Daisy. “Katakan padaku, hal apa yang disukai wanita?”
“Permen.”
“Ah, sudahlah.” Darren mengibaskan tangannya pasrah. “Percuma saja bertanya padamu. Aku kira pikiranmu sudah cukup dewasa, ternyata kepalamu masih penuh dengan lolipop.”
“Tentu saja!” Daisy menatapnya serius. “Memangnya ada hal lain yang disukai wanita selain sesuatu yang manis? Kalau kau tidak percaya, kenapa tidak tanya langsung saja pada Leana? Aku heran kenapa orang dewasa selalu mempersulit sesuatu. Bukankah akan lebih mudah kalau bertanya pada orangnya langsung? Kenapa harus berputar-putar begitu? Kalian, para orang dewasa, benar-benar membingungkan.”
“Kecilkan suaramu! Nanti Leana bisa dengar.” Darren mendengus kesal sambil duduk di sofa tunggal di seberang Daisy.
“Sebenarnya aku sudah tanya padanya,” lanjutnya, menghela napas panjang. “Tapi dia malah bilang kalau hal yang dia sukai adalah aku tidak memperlambat pekerjaannya dan tidak menghalangi dia bekerja. Menyebalkan, kan?”
Daisy justru terbahak. “Darren, kau benar-benar menyedihkan! Sepertinya kau harus belajar bagaimana caranya mendekati wanita. Tapi ... jangan tanya pada Ayahku.”
“Kenapa?” Darren menatap curiga.
“Ayah itu kasar!” Daisy menyilangkan tangan, wajahnya penuh keyakinan. “Sekarang aku tahu kenapa Ibu dulu sempat lari dari Ayah.”
“Memang kenapa?”
“Ayah mengikat Ibu dengan borg0l. Pantas saja Ibu kabur.”
Bola mata Darren langsung membesar. Ia cepat memajukan tubuhnya, menoleh kanan-kiri memastikan tidak ada orang lain di sekitar mereka. “Hei ... dari mana kau tahu soal itu?” tanyanya dengan nada hati-hati.
“Aku dan Damien menemukannya di gudang,” jawab Daisy polos.
“Oh … itu, itu pasti milik petugas kepolisian yang tidak sengaja terbawa. Ya, itu pasti punya mereka.” Darren tergagap, wajahnya mulai pucat.
Dalam hati, ia mengumpat, “Sialan, Alex … bagaimana bisa benda seperti itu lolos dari rumah?”
Daisy menatapnya takjub. “Sungguh? Wah, sekarang polisi pakai borgol beludru dengan bulu-bulu halus warna merah dan pink, ya? Itu bagus sekali! Mereka jadi tidak menakutkan lagi.”
“Ah, iya ... betul sekali.” Darren mengusap tengkuknya, merasa punggungnya merinding. “Baiklah, sudah sore. Aku antar kau pulang sekarang.”
Dengan cepat, Darren berdiri, membereskan tas sekolah Daisy, lalu menarik tangan gadis kecil itu agar segera pergi.
Saat mereka melintasi lorong, mereka melewati ruangan Leana yang letaknya tepat di depan ruang Darren.
Daisy melambai ceria. “Hai, Leana!”
Leana mengangkat kepala dan tersenyum hangat. “Hai, Daisy.”
“Lea, aku pulang lebih awal. Kalau kau butuh sesuatu, kirimkan saja padaku nanti,” ujar Darren cepat-cepat, hanya menatap sekilas sebelum menarik Daisy keluar dari ruangan.
“Baik, Pak,” jawab Leana singkat.
Kini, setelah Kakek Liam membagi perusahaan secara adil, Darren mendapat bagian sesuai hak warisnya.
Dan tentu saja, Leana bukan tanpa alasan ditempatkan di sana — dialah “mata kedua” Kakek Liam, yang ditugaskan diam-diam untuk memastikan Darren tidak keluar jalur.
Leana menatap punggung mereka yang menjauh, alisnya berkerut bingung. Biasanya Darren akan berusaha mencari-cari alasan agar bisa berbicara lebih lama dengannya, tapi kali ini pria itu pergi terburu-buru, seolah sedang mengejar waktu.
“Kenapa kau datang ke kantorku, hah?” gumam Darren pelan setelah beberapa langkah keluar ruangan.
“Kenapa? Kau tidak suka bertemu denganku?” Daisy menengadah menatapnya polos.
“Aku jadi tidak bisa menggoda Leana dengan bebas. Harusnya aku bisa makan malam dengannya malam ini.”
Daisy mendengus. “Bahkan kalau aku tidak datang sampai tahun depan pun, kau tetap tidak akan berhasil mendapat Leana. Jangan cari-cari alasan pakai aku! Kau payah. Kau tidak bisa merayu wanita dengan baik, kau—”
“Baik, baik! Itu cukup, oke?” potong Darren cepat, mendengus kesal sambil mengangkat tubuh kecil itu lalu menggendongnya. Kalau dibiarkan, ocehan Daisy bisa terdengar seisi gedung.
“Ngomong-ngomong, di mana Damien? Kenapa dia tidak bersamamu?”
“Damien membosankan,” jawab Daisy santai. “Dia langsung pulang dan tidak mau aku ajak main.”
Darren membawa Daisy turun ke lobi. Edgar sudah menunggu di bawah.
“Dia pulang bersamaku. Kau bisa jalan lebih dulu, Ed,” kata Darren.
Edgar mengangguk, tapi tetap menyalakan mobil dan mengikuti dari belakang, seperti biasa — waspada tanpa diperintah.
Mobil Darren melaju sedikit lebih cepat dari biasanya. Wajahnya serius, pikirannya dipenuhi kekhawatiran.
Ia harus bicara dengan Alex sesegera mungkin — tentang apa yang diketahui Daisy tadi. Anak itu mungkin mudah dibujuk dengan alasan sederhana, tapi Damien? Tidak. Bocah itu punya pemahaman yang jauh lebih tajam dari usianya.
Saat tiba di rumah keluarga Ace, kebetulan Alex dan Eve juga baru pulang. Begitu melihat Darren bersama Daisy, mereka berdua langsung turun dari mobil.
“Hai, Sayang ... kau pergi dengan Darren hari ini?” tanya Eve lembut, merentangkan tangan dan memeluk putrinya.
“Aku pergi ke perusahaannya,” jawab Daisy riang. “Aku sempat ajak Damien, tapi dia tidak mau.”
“Kalau begitu ayo masuk. Kita lihat apa yang sedang Kakakmu lakukan,” ajak Eve sambil menggandeng Daisy masuk ke rumah.
Alex hampir ikut masuk, tapi langkahnya terhenti saat melihat tatapan Darren — tajam, gelisah, seolah memintanya untuk tetap di tempat. Ada sesuatu yang jelas ingin ia bicarakan, dan itu bukan hal sepele.
“Ada apa?” tanya Alex dengan dahi berkerut, menatap Darren yang terlihat gelisah.
Darren melirik ke arah rumah, memastikan Daisy sudah cukup jauh sebelum menurunkan suaranya. “Alex, kau benar-benar ceroboh! Bagaimana bisa kau membiarkan anak-anakmu menemukan ... barang-barang seperti itu?”
Alis Alex berkerut lebih dalam. “Apa maksudmu?”
“Daisy baru saja mengatakan padaku kenapa ibunya dulu sempat pergi darimu,” ucap Darren cepat. “Dia bilang, itu karena kau mengikat Eve dengan borg0l. Kau tahu, dari mana dia tahu itu? Dari gudang! Dia dan Damien menemukannya di sana!”
Alex mendesah panjang, berdecak kesal sambil meninju udara. “Sial!” umpatnya pelan.
“Apa yang kau pikirkan, hah? Menyimpan itu dan membiarkan anak-anakmu menemukannya?” Darren mengomel tanpa jeda.
“Diamlah!” potong Alex dengan nada frustrasi. “Aku bahkan tidak tahu kenapa itu masih di sana. Aku sudah menyuruh Frans membuang semuanya.”
“Kalau begitu kau sebaiknya bicara langsung padanya. Dan kau juga harus hati-hati, Alex. Untung saja Daisy masih bisa percaya dengan alasan sederhanaku tadi. Tapi Damien? Aku tidak yakin kau bisa menipunya. Anak itu terlalu pintar untuk usianya. Kalau dia sudah tahu, aku harap dia tidak meniru ... hal-hal yang pernah kau lakukan dulu.”
Wajah Alex langsung menegang. “Damien ... dia ada di rumah sejak tadi?”
“Ya. Dan kalau dugaanku benar, dia pasti sudah—”
Belum sempat Darren menyelesaikan kalimatnya, Alex langsung berlari masuk ke dalam rumah.
Begitu Alex naik ke lantai dua dan muncul di kamar Damien, semua orang menatapnya dengan ekspresi bingung — terutama Eve.
“Alex, ada apa?” tanyanya, melihat wajah suaminya yang pucat dan cemas.
Tapi Alex tidak menjawab. Ia langsung melangkah ke arah Damien yang sedang fokus menatap layar laptopnya.
Tanpa banyak bicara, dia mengambil laptop itu begitu saja. “Aku perlu memeriksa milikmu hari ini.”
Damien hanya sempat memandang ayahnya dengan wajah bingung ketika laptop itu sudah berpindah tangan.
“Alex?” Eve menatap suaminya tak mengerti.
“Tenang saja, aku hanya perlu memastikan sesuatu,” ujar Alex cepat, lalu berjalan keluar dengan langkah besar.
Eve menoleh ke anaknya. “Ada apa? Kau tidak melakukan sesuatu yang membuat Ayahmu panik seperti itu, kan?”
Damien mengangkat bahu santai. “Aku juga tidak tahu, bu. Kalau tahu, aku pasti cerita. Mungkin kau bisa tanya langsung pada Ayah — aku sendiri penasaran.”
Eve menghela napas dan menyusul Alex ke kamar mereka.
Di sana, Alex tampak duduk di tepi ranjang dengan ekspresi tegang, matanya terpaku pada layar laptop Damien. Jemarinya bergerak cepat, membuka folder demi folder.
“Alex, ada apa sebenarnya?” tanya Eve dengan nada cemas. “Kenapa kau panik seperti ini?”
“Darren bilang Daisy dan Damien menemukan borgol di gudang,” ujar Alex serius, menatap layar laptop Damien yang kini terbuka di depannya. “Eve, kalau Frans menyimpan semua itu di sana, aku yakin itu bukan cuma borgol. Aku khawatir Damien sudah mencoba mencaritahunya.”
Wajah Eve menegang seketika. Ia menghampiri Alex dengan cepat, ikut menatap layar. “Alex … kenapa kau masih menyimpannya? Kau bilang sudah membuang semuanya waktu itu.”
“Mungkin ….” Alex berucap ringan, tanpa menoleh. “Kalau aku rindu bermain denganmu.”
Eve terdiam. “Alex—”
Ia melirik sekilas, menyunggingkan senyum tipis yang membuat Eve makin salah tingkah.
“Jangan menatapku seperti itu!” sergahnya, menahan nada suaranya agar tetap tenang. “Fokuslah! Periksa riwayat laptop anakmu!”
Alih-alih menurut, Alex justru menutup layar laptop itu dan menarik pinggang Eve agar lebih dekat. Tatapannya menancap dalam. “Lalu bagaimana kalau aku memang merindukannya?”
Bola mata Eve bergerak gelisah. Ada sesuatu dalam tatapan Alex yang dulu pernah membuatnya gentar — dan kini, masih sama.
Melihat ekspresi itu, Alex tersenyum kecil. Tangannya membelai lembut pipi Eve, menyelipkan helai rambut ke belakang telinganya. “Aku hanya bercanda,” bisiknya lembut. “Aku tidak ingin mengulang itu lagi.”
Tidak setelah apa yang terjadi di kapal pesiar waktu itu.
Eve menarik napas lega. “Baiklah … lalu Damien?”
“Riwayatnya bersih,” jawab Alex. “Tapi aku tidak bisa yakin. Mungkin dia sudah menghapus jejaknya. Aku akan menyuruh Edgar menyelidikinya lebih dalam. Untuk sementara, aku akan membatasi akses internet mereka. Terutama Damien. Aku akan mengawasinya dari jauh.”
Eve mengangguk pelan. “Katakan pada Pak Frans untuk segera membuang semuanya. Anak-anak selalu penasaran pada hal-hal yang tak seharusnya mereka tahu.”
Alex mengangkat satu alis, nada menggoda kembali muncul. “Semuanya?”
“Ya, semuanya! Apalagi yang ingin kau sisakan?”
“Hmm ….” Alex menatapnya tajam, senyum tipis muncul di bibirnya. “Apa kau sedang mencoba membuat penawaran denganku?”
Ia mencubit lembut dagu Eve, mengangkat wajahnya agar menatapnya. Dan di sana — di balik sorot mata itu — rindu yang ia tahan selama ini menyala lagi.
Seribu malam bulan madu pun tak akan cukup untuk menebus lamanya mereka berpisah.
Semakin lama ia menatap, semakin kuat dorongan itu tumbuh. Ia ingin menelan wanita ini bulat-bulat.
“Eve, aku—”
Suara ketukan pintu menghentikannya.
“Tuan, boleh saya masuk?” Terdengar suara Frans dari luar.
Alex mendengus pelan, lalu menjawab tanpa melepas Eve sedikit pun. “Masuk.”
Pintu terbuka, dan pria tua itu melangkah masuk sambil menunduk dalam-dalam. “Tuan, mengenai anak-anak … saya mohon maaf. Saya benar-benar teledor hingga melupakan bagian itu dan membiarkan mereka masuk. Saya sudah membuat kesalahan besar.”
“Ya, kau memang sudah membuat kesalahan fatal, Frans,” ujar Alex tajam. “Aku sudah memerintahkanmu untuk membuangnya.”
“Saya sangat menyesal, Tuan,” ucap Frans, menunduk lebih dalam. “Saya akan membuangnya sekarang juga. Semuanya, jika Anda sudah benar-benar tidak menginginkannya lagi.”
Alex melirik ke arah Eve. Tatapannya berubah — ada sinar aneh di sana, samar tapi berbahaya.
***
Hai, semuanya … terima kasih dan selamat datang kembali di cerita ini.
Untuk pembaca baru, selamat datang dan semoga betah. Cerita ini adalah season 2 dari cerita “60 Hari Untuk Hamil”.
Kalian bisa memilih untuk membaca season 1, atau melewatinya. Di season 2 ini, cerita akan lebih fokus ke Damien dan Daisy, hingga mereka tumbuh ke remaja sampai dewasa.
Sama seperti di season 1 sebelumnya, cerita ini juga menggunakan teknik naratif dengan multi-layered conflict atau dalam istilah lain sering disebut juga “konflik berlapis” (layered conflict structure).
Jika kalian ingin cerita dengan nuansa lebih ringan, mungkin kalian bisa singgah di judul saya yang lain, “Tuan Foster, Angkat Aku Jadi Anakmu” dengan sentuhan romansa dan humor.
Terima kasih, dan selamat membaca ….
Memang apa yang bisa Damien lakukan?
Dia hanya bisa menghela napas panjang, pasrah melihat laptopnya disita oleh Ayahnya. Bibir kecilnya menekan, membentuk garis lurus yang nyaris tak bergerak.
Sementara Daisy, yang tidak tahu apa-apa, menatap kakaknya dengan wajah polos. “Apa yang salah? Kenapa Ayah bertingkah aneh begitu?”
“Seharusnya aku yang bertanya padamu.” Damien menoleh dengan tatapan datar. “Apa yang sudah kau bicarakan dengan Darren?”
Daisy memiringkan kepala, bingung. “Apa hubungannya dengan Darren?”
“Kau bersamanya tadi, kan?”
“Iya.”
“Dan apa yang kalian bicarakan?”
“Tidak ada. Aku hanya bilang kalau dia payah, dan … oh! Borg0l beludru Ayah!” Daisy tersenyum kecil seolah baru ingat. “Tapi Darren bilang itu milik kepolisian. Lalu … tidak ada lagi.” Ia mengedikkan bahunya. “Apa itu penting buat Ayah?”
Damien menatap adiknya lekat-lekat. Wajahnya mengeras.
Pantas saja Ayahnya datang tiba-tiba dan langsung menyita laptopnya. Rupanya karena itu ….
“Damien, apa itu berpengaruh pada Ayah?”
Dia terdiam. Mau dijelaskan pun hanya akan membuat keadaan semakin jelas. Tidak mungkin dia membiarkan Daisy tahu lebih jauh.
“Aku rasa tidak. Mungkin Ayah cuma tidak mau aku bermain laptop terlalu lama,” ujarnya datar.
Dalam hati, Damien mendesah kesal.
Setelah ini pasti dia mulai membatasi dan mengawasiku. Ah, sial.
Dia melompat turun dari kasur dan berjalan keluar kamar.
“Kau mau ke mana?” tanya Daisy cepat.
“Mencari makanan,” jawabnya singkat tanpa menoleh.
Daisy hampir saja menyusul, tapi pandangannya tertumbuk pada tas ibunya yang tergeletak di kursi. Ia memungutnya dan membawanya keluar menuju kamar orangtuanya.
Di ruang tengah, Pak Frans berdiri tegak di sisi sofa — diam, seperti menunggu sesuatu.
“Anda mau ke mana, Nona?” tanyanya sopan.
“Ibu meninggalkan tasnya di kamar Damien. Aku mau mengembalikannya,” jawab Daisy sambil melangkah.
“Biarkan saya yang mengembalikannya, Nona,” kata Pak Frans cepat. “Ibu Anda sedang … ah, sedang sedikit tidak sehat. Beliau perlu beristirahat, dan Ayah Anda sedang merawatnya sekarang.”
“Sungguh?” Mata Daisy membulat. “Kalau begitu, aku harus menengok Ibu!”
“Nona, Nona!” Pak Frans buru-buru menahan langkah Daisy. “Ibu Anda sedang beristirahat, jadi biarkan beliau tidur, oke? Sebentar lagi juga pasti membaik. Jika Nona memerlukan sesuatu, katakan saja pada saya. Kalau Ibu Anda terbangun sekarang, beliau tidak akan bisa istirahat lagi nanti.”
Bibir Daisy langsung mengerucut. Wajahnya memelas, cemberut kecil terlihat di pipinya. Namun akhirnya, ia menyerahkan tas itu juga pada Pak Frans.
“Baiklah,” gumamnya lirih. “Aku tidak akan mengganggunya. Aku akan menunggunya sampai makan malam nanti.”
Pak Frans mengusap dahinya yang mulai berkeringat.
Dalam hati ia mengumpat dirinya sendiri — ini semua karena kebodohannya tadi. Kenapa juga ia sempat bertanya pada Alex apakah masih membutuhkan alat-alatnya itu?
Sekarang, ia harus memastikan anak-anak tidak sampai mendekat, apalagi mengetuk-ngetuk pintu kamar.
Itu kebiasaan Daisy.
“Damien ….”
Anak laki-laki itu berdiri di depan lemari es, menggenggam segelas jus di tangannya. Saat Daisy memanggil, ia tidak menoleh sedikit pun.
“Damien,” ulang Daisy, “Apa kau tahu Ibu kita sedang tidak sehat?”
Alis Damien berkerut.
Belum sempat ia menjawab, Daisy sudah menimpali sendiri, “Iya, Pak Frans bilang kita tidak boleh mengganggu Ibu dan harus membiarkan Ayah merawatnya. Tapi kenapa ya, Ibu bisa tiba-tiba sakit?”
Damien menoleh pelan, matanya menyipit sedikit menatap Pak Frans yang masih berdiri di ruang tengah. Tatapan itu tajam, penuh curiga.
Pria tua itu buru-buru mengalihkan pandangan — dia tahu anak laki-laki itu terlalu cerdas untuk dibelokkan dengan alasan sepele.
“Apa Ibu akan keluar untuk makan malam? Padahal aku ingin bersamanya,” gumam Daisy lagi.
“Dia tidak akan keluar untuk makan malam.” Damien meletakkan gelasnya di meja, lalu menarik tangan adiknya. “Ayo ikut. Aku mau menemui Nely.”
“Dia sudah kembali?” Daisy menatapnya dengan mata berbinar.
Damien mengangguk kecil.
Dari semua yang pergi berbulan madu, hanya Nely dan Nic yang belum juga pulang. Mereka bukan sekadar berbulan madu — Nely membawa Nic ke kampung halamannya, tinggal di sana selama hampir sebulan.
Dan karena Nely-lah yang selama ini merawat Damien, wajar jika ia merindukannya.
Sudah sejak kemarin Damien terus menghubungi Nely, menanyakan kapan mereka akan kembali.
Edgar mengantar mereka berdua ke apartemen Nic, dan bahkan menunggu sampai mereka sampai di depan pintu.
Pintu terbuka, memperlihatkan Nic yang tampak sedikit terkejut melihat kedatangan mereka. “Kalian di sini?” katanya, menaikkan alis. “Kami baru saja berencana datang ke rumah kalian.”
“Ibu dan Ayah tidak akan keluar dari kamar sampai urusannya selesai,” jawab Damien datar sambil melangkah masuk.
“Di mana Nely?” tanyanya lagi.
“Masih di kamar mandi. Kalian ada perlu dengannya?” Nic menoleh.
“Kami datang untuk makan malam,” sahut Daisy, lalu duduk santai di sofa.
“Makan malam? Tentu. Kalian bisa makan di sini. Atau mau ke luar? Aku tanya dulu ke Nely.” Nic berbalik menuju kamar mandi—tepat saat itu Nely keluar.
Wajahnya syok; tangannya menggenggam sebuah test kehamilan. “Nic … aku hamil! Bagaimana bisa ini terjadi?”
“Sungguh? Padahal aku sudah ‘mengeluarkannya’ di luar,” jawab Nic kikuk.
“Apa yang dikeluarkan di luar?” Daisy mendongak, penasaran, menatap Nely yang terlihat memerah di samping Nic.
“Kalian … di sini?” Nely mendadak gugup.
“Nic, apa yang kau maksud tadi, dikeluarkan di luar apa?” Daisy meneruskan, tak sabar ingin tahu.
Nely menatap suaminya tajam — sekarang giliran Nic yang harus bertanggung jawab atas ucapannya sendiri.
Otak Nic berputar cepat. “Itu … maksudku sampah. Ya, benar, sampahnya, kan, Nell?”
“Aku … ke kamar dulu.” Nely buru-buru melarikan diri, menutup pintu kamar rapat-rapat.
“Aa … kalian tunggu di sini. Kami akan siap-siap.” Nic pergi dengan panik sambil mengejar istrinya, takut Daisy akan terus menggali keterangan.
Setelah pintu tertutup, Nely menegur, “Kau tahu mereka di sana. Kenapa kau tidak bisa jaga mulutmu tadi?”
“Aku tidak sengaja,” jawabnya. Nic lalu beringsut mendekat dan menarik pinggul istrinya agar tak jauh. “Kau benar-benar hamil, Nell?”
Nely menatapnya, napasnya bergeser—seolah masih meraba kenyataan itu sendiri. “Ah, iya … aku hampir lupa. Jadi bagaimana ini bisa positif? Kita kan berencana punya anak tahun depan.”
“Kalau kau hamil sekarang, anak kita juga akan lahir tahun depan. Bukankah aku sudah menepati janji?” Nic tersenyum canggung.
“Jadi kau sengaja?” Nely menuding, setengah bercanda setengah marah.
“Sengaja atau tidak—kelihatannya kau juga tidak bisa membedakannya, kan? Kau hanya tahu, ah, eh, ah, eh, Nic, stop! Ah—“ Lalu tiba-tiba dia menjerit kesakitan, “Ah—Nell! Ah—sakit!”
Cubitan Nely benar-benar keras; Nic meringis sambil memegangi pinggangnya.
“Jangan coba-coba mengulanginya, atau aku akan cubit sampai kulitmu mengelupas.”
Nic nyengir, memamerkan gigi ratanya. “Jadi, apa kau setuju? Sebenarnya aku sudah tidak sabar memiliki bayi kita. Kalau bisa tiga sekaligus juga tidak apa-apa. Akan jauh lebih baik dari Alex. Atau empat.”
“Berhenti memikirkan hal yang tidak-tidak, Nic! Tapi … ya, kau benar. Kita akan memiliki bayi tahun depan, dan aku … sangat bahagia.” Nelly merentangkan tangan, memeluk pinggang suaminya erat-erat.
“Terima kasih karena sudah mengandung calon anak kita. Mulai sekarang, biarkan aku yang merawat kalian berdua. Kau hanya boleh kuperiksa jika aku sendiri yang menanganinya.”
Nic mengusap lembut kepala Nelly, lalu mengecupnya ringan di kening.
Karena mereka sudah berjanji akan membawa anak-anak makan di luar, malam itu mereka pergi ke restoran pilihan Nic. Tidak jauh—hanya sekitar dua puluh menit dari rumah.
Nely yang sedang hamil tidak dibiarkan memilih; Nic sendiri yang menentukan menu untuknya. Sedangkan Damien dan Daisy, seperti biasa, hanya duduk diam menunggu tanpa banyak protes.
Tak lama kemudian, hidangan yang mereka pesan disajikan.
Di saat yang sama, dua wanita masuk dan menempati meja kosong di sebelah mereka. Salah satunya langsung menarik perhatian mereka, dan salah satu dari mereka memakai jaket hitam, topi, sampai masker, dan semua itu hampir menutup wajahnya hingga tidak terlihat.
“Celline?” Nelly dan Nic memanggil bersamaan.
Celline baru saja hendak duduk. Tatapannya sempat terkejut, tapi segera berubah saat pandangannya jatuh pada Damien.
“Hai, Celline …,” sapa Damien, mengira Celline hanya kaget melihatnya di tempat itu.
Namun Celline tidak segera menjawab. Matanya bergerak cepat ke arah wanita yang bersamanya—terlihat panik.
“Kalian … di sini? Ah, maaf. Sepertinya aku harus pergi dulu. Kalian nikmati saja makan malam kalian, ya. Aku—aku ada urusan sedikit.”
Tak ada yang sempat menahannya. Dalam sekejap, Celline sudah menarik wanita itu dan berjalan cepat keluar dari restoran.
Nely memandang bingung. “Nic, kenapa dengannya? Kenapa dia panik begitu?”
Nic tidak langsung menjawab. Tatapannya masih mengikuti punggung Celline yang menjauh.
“Nic ….” Damien memanggilnya lebih keras kali ini. Dia sepertinya mengenali wanita bertopi tadi, tapi dia tidak bisa memastikan karena tidak melihat wajahnya dengan jelas.
Namun sepertinya Nic mengetahui itu, tapi dia malah bengong.
“Ah, tidak ada apa-apa. Mungkin Celline memang sedang terburu-buru. Ayo makan. Bukankah kita ke sini untuk menikmati malam ini? Tidak perlu mencampuri urusan orang lain.”
Meski begitu, Nic tidak benar-benar melepas hal itu begitu saja.
Sambil semua orang sibuk dengan makanan masing-masing, dia merogoh ponselnya diam-diam dan mengetik pesan singkat.
“Aku perlu menemuimu.”
***
Lost Night Bar.
Noah sudah ada di sini sejak sore sesuai atas kemauan Darren. Pria itu yang mengundangnya ke bar sore tadi, berkata kalau ada sesuatu yang ingin dia bicarakan.
Dia pikir itu mengenai apa, ternyata selama hampir setengah jam Darren hanya mengeluh mengenai Leana saja.
“Pantas dia tidak mau. Dia akan berpikir jika kau hanya mendekatinya karena kau yang tidak sabar kawin saja.” Noah menghentikan ucapan Darren dengan kesimpulan yang cepat.
“Ya memang. Maksudnya, ya, memang awalnya seperti itu, tapi semakin ke sini aku memang serius ingin mendapatkannya.” Darren menghembuskan napas lelah. “Aku sudah terang-terangan mendekatinya, memberikan dia bunga, mengajak dia makan malam, tapi dia tetap saja menolakku.”
“Sudah mengatakan kalau kau mencintainya?” Kedua alis Noah naik menatapnya.
“Itu … ayolah, apakah itu harus? Bukankah tanpa mengatakannya seharusnya dia sudah tahu itu?”
“Leana itu wanita, normal. Dia bukan cenayang yang bisa membaca pikiranmu. Pantas saja dia seperti menjaga jarak denganmu. Dia pasti berpikir kalau kau hanya ingin menikahinya saja tanpa mencintainya.”
“Jadi … aku harus mengatakan itu?”
Noah mendengus, “Menurutmu?”
“Bagaimana caranya?”
Noah menghela napas lagi, mengambil minumannya dan meneguknya sekali.
Jika saja Darren bukan temannya sejak lama, pasti dia sudah mendorong kepala pria ini ke tembok sekeras mungkin. Mungkin saja otaknya sudah bergeser.
Bagaimana ada seorang pria sebodoh ini dalam masalah percintaan? Bukankah para lelaki selalu memiliki insting sendiri dalam menghadapi wanita? Bahkan bagaimana cara mengatakan cinta saja harus dia pertanyakan.
“Katakan saja, ‘Leana, aku mencintamu’, apa yang susah?”
“Jika itu saja, kenapa aku harus bertanya padamu?”
“Lalu kenapa kau bertanya padaku?”
“Shit! Kau mempermainkanku? Kenapa kau pelit sekali? Kau sudah mendapatkan Eve dan Celline sekaligus, tapi kau bahkan tidak mau memberitahuku apa pun mengenai itu.” Darren mendengus kesal.
Tapi Noah menjawab dengan lebih datar, “Aku gagal dalam menjadi seorang pria di masa lalu. Apa kau mau mengikutiku juga?”
“Tapi kau sudah mendapatkan Celline lagi sekarang. Katakan padaku, bagaimana kalian bisa bersama lagi? Setidaknya ceritakan padaku sesuatu yang indah-indah.”
“Kau tahu, Darren? Aku benar-benar ingin membuka isi kepalamu sekarang. Apa hal sesederhana itu saja tidak bisa kau pikirkan sendiri? Apakah selama ini kau tidak pernah mendekati seorang wanita?”
“Pernah,” jawab Darren santai. “Aku pernah mendekati seorang wanita, tetapi dia justru menikah denganmu.”
Noah terdiam sesaat. Pikirannya perlahan bergulir kembali ke masa lalu.
Dulu, memang dia yang menikahi Eve—namun juga dia yang paling banyak menyakitinya. Akhirnya, pernikahan mereka berakhir dengan perceraian.
Sekarang, Eve telah menjalani kehidupan yang lebih baik bersama Alex, bahkan telah memiliki dua anak sekaligus. Hal itu luar biasa bagi Noah, dan ia menerima kenyataan tersebut dengan tulus.
Noah menggeleng pelan, mencoba mengembalikan fokus pembicaraan.
“Baiklah, lupakan hal itu. Kita sedang membahas Leana, bukan Eve. Jika Leana benar-benar tidak ingin kau dekati, maka satu-satunya cara hanyalah … beri dia alkohol.”
“Alkohol? Yang benar saja!” Mata Darren membulat, menatapnya tidak percaya.
“Sedikit alkohol dapat menimbulkan kekacauan,” sahut Noah dengan senyum tipis—seolah sedang menantang.
Darren masih mencerna ucapan itu, lalu wajahnya berubah kesal. “Brengsek! Tidak. Aku tidak akan melakukan hal semacam itu untuk mendapatkannya.”
“Bukankah itu cara yang lebih mudah?” balas Noah datar. “Satu malam yang keliru dapat mengubah segalanya. Jika dia hamil, dia tidak akan memiliki pilihan selain menikahimu.”
“Diam!” seru Darren, melempar kacang tepat ke arah wajah Noah. “Semakin banyak kau berbicara, semakin aku ingin menyumpal mulutmu.”
“Kau sendiri yang meminta saran, dan aku memberimu solusi yang paling cepat sekaligus menyenangkan,” balas Noah santai. “Lagipula, di zaman sekarang, mana ada pria yang masih bertanya bagaimana cara mendekati wanita? Remaja sekolah menengah pun sudah tahu lebih banyak darimu, dan kau masih saja berdiskusi dengan pria lain.”
“Teruskan saja meledekku! Aku akan memasukkan seluruh tagihan minumanmu ke dalam daftar pembayaran,” ancam Darren jengkel.
“Kau pikir aku peduli?” Noah menaikkan alisnya acuh tak acuh.
“Ck, kau ini benar-benar ….” Darren hendak melempar segenggam kacang lagi, namun Noah lebih dulu menahannya dengan satu gerakan tangan.
“Tunggu,” ucap Noah pelan, seraya mengambil ponselnya. Sebuah notifikasi baru muncul di layar—pesan dari Nic.
Ekspresi Noah perlahan berubah.
“Ada apa?” tanya Darren, menangkap perubahan itu.
“Nic ingin bertemu denganku,” jawab Noah singkat. “Nomor berapa ruang VIP ini?”
“Sepuluh. Kenapa? Sepertinya hal itu cukup serius,” sahut Darren, menatapnya penuh tanya.
“Aku juga ingin tahu tentang itu.”
Namun, satu jam setelah Nic mengirim pesan, pria itu tidak juga muncul. Noah dan Darren sudah mulai kehilangan kesabaran.
Lebih dari satu jam berlalu, barulah pintu ruangan mereka terbuka. Nic muncul di ambang pintu dengan ekspresi serius.
“Kau di sini juga, Darren?” tanyanya setelah duduk di sisi Noah, di atas sofa panjang.
“Tentu saja. Ini barku,” jawab Darren ringan.
Ah, Nic hampir melupakan hal itu.
“Apa aku perlu pergi?” lanjut Darren santai. “Tapi sebenarnya, aku juga tidak berniat melakukannya.” Ia malah bersandar lebih dalam, menyilangkan kaki, seolah menikmati posisinya.
Noah meliriknya kesal, kemudian menatap Nic dengan nada lebih serius. “Ada apa?”
Nic menautkan jemarinya di depan meja, suaranya tegas. “Apa kau tahu bahwa Celline kembali berhubungan dengan Laura?”
“Ya, aku tahu,” jawab Noah tenang.
Nic mengerutkan dahi. “Lalu mengapa kau membiarkannya? Apa kau sudah lupa apa yang dilakukan wanita gila itu di masa lalu?” Suaranya meninggi, dipenuhi emosi yang tertahan.
“Tunggu sebentar,” sela Darren, memandang mereka bergantian. “Laura … siapa Laura itu?”
Ia tampak berusaha mengingat. Nama itu terdengar tidak asing, namun ingatannya terasa kabur.
“Laura Owen,” jawab Noah datar. “Adik William. Kau tidak mungkin melupakan nama itu, bukan?”
Nama itu membuat Darren seketika terdiam.
William. Bagaimana mungkin ia melupakan nama tersebut?
Dialah yang dulu membebaskan William dari penjara, lalu mengirim pria itu untuk membunuh ibu kandung Alex.
Setelah misi itu berhasil, Alex mengejar William dan menghabisinya di pelabuhan, tepat sebelum pria itu sempat melarikan diri.
Ah, ya—ia mengingat semuanya sekarang. Ia mengingat Laura, dan juga dirinya sendiri … seorang pria b4jingan yang penuh dosa di masa lalu.
Laura, yang pernah menjadi svbmissive Alex, begitu terikat dan bergantung padanya hingga akhirnya kehilangan kewarasan.
Dan karena itu, Darren-lah yang memberi William kesempatan membalas dendam atas adiknya, membuka rantai permusuhan yang mengerikan di antara mereka.
Darren memejamkan mata sesaat. Tatapannya menajam, namun di baliknya, perasaan bersalah sebesar gunung kembali menghantam dadanya.
Meski kini hubungannya dengan Alex dan Eve telah membaik, rasa bersalah dari masa lalu itu tetap menghantuinya—tak pernah benar-benar hilang, hanya mengendap di tempat yang paling gelap dari hatinya.
“Jika kau masih mengingat apa yang pernah dilakukan Laura—hampir membakar Eve hidup-hidup—kenapa kau membiarkan Celline menemuinya?” Nada suara Nic terdengar tajam, menuntut jawaban yang masuk akal dari Noah.
Laura. Ya, bagaimana mungkin Noah bisa melupakan kejadian itu? Wanita itu sudah mengguyur tubuh Eve dengan bensin. Jika waktu sedikit lebih lambat, Eve mungkin sudah mati terbakar.
Noah menarik napas panjang sebelum menjawab pelan, “Nic, aku tidak sampai hati saat melihat dia memohon. Aku pikir ... dia hanya benar-benar ingin tahu tentang keponakannya—Eldy. Siang tadi dia datang ke rumah. Kau tahu, ibuku menggantung banyak foto Eldy di ruang tamu—sejak dia bayi sampai dia besar. Laura menangis, Nic. Dia bilang dia merindukan kakaknya, dan melihat wajah kakaknya di wajah Eldy.”
Noah menunduk sejenak, suaranya melembut. “Sebenarnya aku ingin mengatakan kalau Eldy sudah meninggal. Tapi dia tidak berhenti menangis. Celline juga tidak tega. Jadi kami memutuskan untuk memberitahu semuanya pelan-pelan setelah dia tenang. Celline membawanya makan malam tadi, dan berencana mengatakan yang sebenarnya. Lalu—”
“Lalu kami bertemu dengannya di restoran.” Nic memotong cepat. “Kau sadar apa artinya itu, Noah? Bagaimana kalau dia tahu bahwa jantung Eldy ada di tubuh Damien?”
“Nic, aku sudah memperhitungkannya,” jawab Noah segera. “Aku dan Celline sepakat untuk tidak membicarakan bagian itu pada Laura.”
“Kau yakin Celline bisa menjaga rahasia sebesar itu?” Suara Darren memotong di antara mereka, berat dan dingin.
Darren sebenarnya sudah berusaha melupakan masa lalu—terutama kejadian saat Celline hampir membuatnya meregang nyawa. Tapi kenangan itu tetap menempel, seperti luka yang belum benar-benar sembuh.
Bagaimana kalau semuanya terulang lagi?
Noah mengangkat wajahnya, memandang mereka dengan serius. “Aku mengenal Celline lebih baik dari kalian semua,” katanya tegas. “Ya, aku tahu masa lalu kami dan bagaimana keterlibatannya dulu. Aku juga bukan orang baik, tapi aku percaya dia sudah berubah. Celline hanya bersimpati pada Laura. Katanya, melihat Laura menangis mengingatkannya pada dirinya sendiri. Kami tidak bisa sepenuhnya melarang Laura, tapi kami masih bisa mengatur agar dia tidak tahu terlalu jauh.”
Nic menghela napas panjang, tapi keraguan tetap menggantung di matanya.
Laura bukan wanita yang mudah ditebak. Dia telah menyaksikan Alex membunuh William dengan matanya sendiri. Mustahil dia tidak menyimpan dendam pada Alex dan Eve.
Dan Laura pernah terobsesi ingin melenyapkan Eve dari muka bumi.
Jika sekarang Laura tahu Eldy telah tiada—dan jantung keponakannya berdenyut di tubuh Damien—siapa yang bisa menjamin apa yang akan dia lakukan?
Tiba-tiba Nic seperti teringat sesuatu. Tatapannya menajam, berpindah dari Noah ke Darren.
“Tunggu—bagaimana Laura bisa bebas dari penjara? Bukankah terakhir kali Alex sendiri yang mengirimnya ke sana?”
“Itu katanya karena saudaranya,” jawab Noah pelan. “Laura bilang dia bebas bersyarat.”
Nada suaranya terdengar berat, seperti ia sendiri tidak sepenuhnya yakin dengan kata-katanya.
Nic menggeleng pelan, wajahnya mengeras. “Laura bisa melakukan apa pun untuk mencapai tujuannya. Aku tidak bisa membiarkan ini begitu saja tanpa memberi tahu Alex. Jika Alex memutuskan untuk bertindak dan memaksa Laura pergi dari kota ini, aku harap Celline tidak mencoba menghentikannya. Sekalipun Laura tampak sudah sembuh, keberadaannya tetap berbahaya—apalagi jika dia tahu tentang transplantasi jantung Damien.”
Noah mengangguk mantap. “Aku mengerti. Aku tahu Celline hanya berusaha menjelaskan tentang kematian Eldy. Dia tidak bermaksud menahan Laura di sini, apalagi membongkar masalah itu.”
Nic menatapnya sebentar, lalu menghela napas. “Baiklah. Aku harap kau benar.”
Setelah memastikan jawabannya, Nic berbalik dan meninggalkan tempat itu.
Begitu pintu tertutup, Darren menatap Noah dalam diam sebelum berkata pelan, “Nic tidak salah. Kita tidak bisa membiarkan Laura tetap di sini. Sekalipun dia terlihat tenang, dia masih punya alasan kuat untuk melakukan hal-hal gila lagi. Mungkin memang lebih baik kalau dia jauh dari Damien.”
Noah menatap kosong ke arah meja di hadapannya, lalu mengangguk perlahan. “Aku tahu, Darren. Kau lupa, aku yang merawat Damien dan Daisy sejak mereka bayi. Mereka sudah seperti anakku sendiri. Tidak akan kubiarkan siapa pun—termasuk Laura—mengancam mereka.”
Ia meraih gelas di depannya, meneguk habis isinya dalam satu gerakan. “Aku harus pulang. Aku ingin memastikan semuanya baik-baik saja.”
Begitu keluar dari tempat itu, pikirannya tak bisa tenang. Nama Laura terus berputar di kepalanya.
Saat memasuki jalan menuju rumahnya, ia menambah kecepatan. Rasa cemas membuat jantungnya berdetak lebih cepat.
Sesampainya di halaman rumah, langkahnya langsung melambat. Dari arah pintu, seseorang keluar—Laura.
Wajah wanita itu sembab, matanya bengkak seperti seseorang yang sudah menangis berhari-hari.
Tatapan mereka bertemu, dan untuk sesaat, Noah merasa ada sesuatu yang salah.
Ada dua kilatan aneh di mata wanita itu—seperti bara kecil yang sedang berusaha padam, tapi nyalanya justru semakin kuat.
Namun dalam sekejap, Laura tersenyum lembut dan membungkuk. “Terima kasih sudah merawat Eldy dengan baik selama ini,” katanya lirih. “Aku sudah mendengar semuanya … dan aku tidak akan mengganggu kalian lagi. Aku akan pergi dari sini.”
***
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!