AKU BUKANLAH ISTRI RASULULLAH YANG KUAT DAN RELA DIMADU-Maryam-
Hari ini rencananya ia akan pergi ke suatu tempat, rumah orang tua suaminya.
Ya, dia adalah Maryam Azzahra, perempuan berusia 25 tahun. Panggilannya Maryam, perempuan cantik dan anggun.
Ia bekerja di sebuah perusahaan multinasional di bidang kesehatan, mencakup obat-obatan dan alat-alat kesehatan untuk dipasok ke berbagai rumah sakit dan klinik. Suaminya sangat mensuport pekerjaannya itu, dia adalah Faiz Ahmad Gufron. Pria beruntung yang mendapatkan cintanya satu tahun yang lalu.
Faiz Ahmad Gufron, dia berasal dari keluarga terpandang, keluarga Gufron. Ayahnya adalah mantan menteri Negara ini. Mereka menikah setelah satu bulan kenal melalui cara ta’aruf. Faiz adalah mahasiswa lulusan Kairo dan sekarang dirinya mengajar sebagai dosen di sebuah universitas ternama di Jakarta. Dua bulan ke belakang Faiz sedang mempersiapkan dirinya untuk terjun ke dunia politik, mencalonkan dirinya sebagai calon legislatif di dapil I Jakarta, Sesuai anjuran Ayahnya, Gufron.
Seperti biasa, sore hari sekitar jam 5. Faiz menjemput Maryam di kantor. Perempuan cantik itu sedang menunggunya di depan lobby, kebetulan sekali hari ini hujan rintik-rintik cukup untuk membasahi kota Jakarta.
Mobil Roll Royce hitam datang berhenti tepat di depan Maryam, ternyata itu suaminya Faiz, Tidak Maryam kenali, karena mobil Faiz berbeda dengan miliknya dulu. Faiz cepat-cepat turun sambil membawa payung, berharap agar istrinya tidak kehujanan..
Di dalam mobil Maryam tak henti-hentinya tersenyum, ia senang suaminya sudah kembali setelah satu minggu ini ijin pergi ke luar kota untuk persiapan pencalonan.
“Apa kabarmu, Sayang?” Maryam menatap mesra Faiz yang berada di belakang kemudi. Faiz tersenyum sambil mengelus belakang kepala Maryam.
“Baik sayang,,maaf mendadak memberitahumu.”
Maryam menganggukan kepalanya sebagai jawaban. Tidak ada kata mendadak kalau urusannya pergi ke rumah mertua, lagi pula sudah waktunya jam pulang kantor jadi tidak masalah bagi Maryam.
Mobil melaju memecah jalanan basah, mobil sedan hitam mewah itu kini telah sampai di depan pagar putih besar sebuah rumah mewah berlantai dua yang juga bercat putih itu.
Cepat-cepat, satpam rumah membukakan gerbang untuk mobil agar bisa masuk.
Setelah terparkir dengan baik di halaman rumah yang cukup luas, mereka berdua lantas masuk untuk menemui orang tua Faiz.
“Assalamu’alaikum,”ucap keduanya mengucapkan salam.
Dari arah belakang munculah Laila, Ibunda Faiz sekaligus mertuanya Maryam.
“Wa’alaikumsalam, kalian sudah sampai,” wajah lembut itu menciumi Maryam cukup lama. Hati Maryam menghangat merasakan kasih sayang teramat besar dari Ibu mertuanya. Sebagai anak yatim piatu, tentu saja Maryam begitu tersentuh. Tapi rasanya seperti ada yang lain, saat kedua tangan Laila menggenggam tangannya dengan tatapan yang sulit untuk diartikan.
“Ibu, Ibu sehat?” bertanya seperti itu Laila malah meneteskan air matanya. Maryam jadi bingung, ia menatap mata suaminya berharap jawaban darinya.
Gufron datang bersama seorang perempuan muda cantik dari ruang tengah, mereka berdua ikut duduk di sofa ruang tamu.
Maryam menatap perempuan itu, begitupun sebaliknya.
“Maaf,” ucap Laila sambil menundukan kepalanya.
“Maaf untuk apa Bu? Ibu kan tidak membuat kesalahan, “
Faiz menarik nafas panjang,
“Biar Faiz yang bicara saja Bu!” pinta Faiz, Laila mengalah dan Faiz mengambil tempat yang semula Laila tempati.
Faiz menbgenggam tangan Maryam, telapak tangannya terasa dingin.
“Maryam, Aku sudah menikah lagi,” ucap Faiz dengan satu tarikan nafas.
Mendengar ucapan suaminya, Maryam tidak langsung percaya. Tapi melihat air mata Laila tambah keluar deras dan ada perempuan lain di rumah itu Maryam percaya jika suaminya tidak sedang bercanda.
“Apa kamu menikah dengannya?” tanya Maryam dengan mata menatap perempuan di sebelah Gufron.
“Iya Maryam, aku menikahinya,” sesak rasanya hati Maryam.
“Kalian menikah kapan?” dadanya bergemuruh hebat, air mata sudah terjun bebas keluar dari singgasananya.
“Satu bulan lalu,”
PLAAAKKKK,
Wajahnya seakan ditampar hebat, bukan hanya wajahnya. Hatinya terasa dihujam dengan benda tajam bertubi-tubi.
“Siapa dia?”
“Perkenalkan, aku Kanaya. Temannya Mas Faiz di kampus, kami rekan kerja.” perempuan bernama Kanaya itu dengan angkuh mengangkat tangannya untuk berkenalan dengan Maryam.
Maryam tersenyum kecut dan hanya mendiamkannya saja. Dimana-mana orang kedua selalu bersikap angkuh seolah menindas istri pertama. Itu sangat nyata bukan hanya terjadi di sinetron-sinetron saja.
“Maryam, maafkan Ibu. Ibu salah tidak mencegah atau memberitahumu dulu. Semuanya serba cepat dan mendadak.” isak Laila tambah menjadi.
Hanya air mata sebagai jawaban dari perasaannya saat ini.
Maryam merasakan kesedihannya kembali, pertama kesedihan itu saat Ayahnya meninggal lima tahun lalu dan kesedihan kedua saat Ibunya meninggal enam bulan lalu. Kini kesedihannya tentang dirinya yang telah dipoligami. Sakit, rasanya sakit teramat sakit.
"Maryam, zaman sekarang sudah lumrah yang namanya suami punya dua istri bahkan lebih. Kamu harus mengikhlaskannya, sebagai pengabdian kamu terhadap suamimu. Bukankah poligami itu sebagai jalan menuju surga?" Maryam tak menyangka jika Gufron akan melontarkan kata-kata itu. Ibarat luka diberi air garam, tambah terasa lukanya.
"Maaf Ayah, tapi banyak jalan menuju surga. Bukan hanya dengan poligami!"
"Ibu, maafkan Maryam jika selama ini Maryam banyak salah sama Ibu dan keluarga ini," Maryam mengambil tasnya di atas sofa. Ia pergi ke luar rumah dengan berlari. Faiz tidak tinggal diam. Dia mengejar istrinya dan berhasil menarik tangan Maryam.
"Maryam, maafkan aku! Dengarkan aku dulu, semua ini ada alasannya," ucap Faiz.
"Tentu saja ada alasannya Mas. Kalau tidak mana mungkin kamu menikahinya,"
Pria yang selalu dicintai dan disayanginya dengan segenap jiwa itu, begitu sudah membuatnya kecewa. Sangat kecewa.
"Biarkan aku sendiri dulu Mas! Jangan menemuiku dulu! Aku ingin menenangkan diri dulu."
"Sampai kapan?"
"Entahlah. Jangan kejar aku lagi!." secepatnya Maryam keluar dari gerbang. Untunglah kebetulan ada taksi lewat hingga ia bisa terbebas dari Faiz.
Di dalam taksi Maryam terus-menerus menangis. Mengingat pengkhianatan Faiz padanya. Tak henti-hentinya ia beristigfar. Berpikir kesalahan apa yang telah ia perbuat hingga ia mendapatkan pengakuan menyakitkan.
Maryam tiba di depan sebuah apartement. Ia memutuskan untuk mendatangi sahabatnya, Anindya.
Di ruangan yang tidak terlalu luas itu, Maryam melepaskan semua beban di hatinya. Bagaimana perasaannya saat ia tahu pasti telah menduakannya dengan perempuan lain.
"Kamu tahu hatiku sakit, Nin," isaknya.
Anindya memberinya pelukan hangat sebagai rasa empati dirinya. Anindya mengerti jika perasaan Maryam sangat terluka.
"Sabar Maryam, aku tahu bahwa kata sabar tidak akan mudah kamu lakukan. Tapi kamu harus yakin tidak ada kata kebetulan di dunia ini. Semuanya sudah suratan takdir, kuasa Allah. Kamu tahu Maryam, daun jatuh pun atas kehendak Allah. Begitupun dengan yang terjadi padamu sekarang, semuanya atas kuasa Allah. Kamu boleh menangis, boleh bersedih tapi jangan sampai menguasai hati dan pikiranmu. Bangkit Maryam!"
***
Bersambung
Kesedihan hanyalah sebuah awal kita menuju suatu proses menuju kebahagian yang sesungguhnya
***
Masih di tempat Anindya, Maryam duduk terpaku menatap luar jendela kecil yang menghadap ke jalan raya. Menatap tingginya gedung-gedung tinggi Jakarta. Semakin gelap semakin terlihat indah, lampu-lampu terang benderang, berwarna-warni.
Setelah berwudhu dan melaksanakan shalat maghrib, hatinya sedikit tenang. Tapi tak lantas membuat ia melupakan kejadian barusan.
Sebagai sahabat tentunya Anindya sangat menyayangkan sekali atas kejadian yang menimpa Maryam. Tak menyangka kejadian pahit membuat Maryam begitu terpukul, perempuan mana yang ingin di poligami?
"Maryam, kamu belum makan kan? Aku buatkan makan malam untukmu ya, kita makan sama-sama," ucap Anindya. Maryam hanya menganggukan kepalanya sebagai jawaban.
Maryam dan Anindya adalah sahabat dekat dan bekerja di perusahaan yang sama. Bedanya Anindya berhija sedangkan Maryam tidak. Ia belum ingin menutup auratnya, berdalih belum mendapatkan hidayah.
Di dapur mungil khas apartement, Anindya membuatkan Maryam daging goreng dan juga cah kangkung. Karena hanya itu bahan makanan yang terdapat dalam kulkasnya.
"Mar, ayo makan!" titah Anin setengah berteriak dari dapur. Yang dipanggil tak kunjung menjawab. Malah semakin asyik terlena dalam lamunanya
"Maryam," Anindya menepuk pundak Maryam dari belakang
"Iya, Nin?"
"Makan, kita makan yuk," ucap Anindya sambil mempraktikan tangannya seperti sedang menyuap makanan.
Maryam tersenyum dan mengikuti Anindya dari belakang.
"Kamu masak banyak banget Nin, siapa yang makan nanti?"
"Kamulah," jawab Anin
"Ko aku?"
"Iyalah, biasanya orang patah hati harus banyak makan. Biar tetep strong," ucap Anindya asal. Mendengar itu Maryam kembali merengut mengingat perempuan kedua suaminya.
"Maaf ya Mar, bukan maksud mengingatkanmu lagi," Anindya merasa menyesal. Ia menyimpan sendoknya sebentar, tangannya menggenggam tangan Maryam.
"Maryam, jangan terlalu larut dalam sedih. Aku ingin tanya sama kamu, tapi kamu harus menjawabnya dengan jujur,"
"Apa Nin?"
"Kamu maunya gimana? Kalau kamu maunya terus bersama Faiz, kamu harus kuat dan tabah, sebagai istri pertama. Tapi jika kamu mau lepas dari Faiz, kamu urus perpisahanmu segera. Jangan sampai masalah ini berlarut-larut. Jangan membuat kamu bersedih lagi,"
Maryam tak lekas menjawabnya. Makanan dimulutnya terasa hambar. Selera makannya hilang mendadak.
"Aku ingin melanjutkan pernikahan ini dengan Mas Faiz, Nin. Aku mencintainya, dia cinta pertamaku. Tapi aku tidak mau dimadu," air mata Maryam berhasil lolos dari tempatnya. Anindya mengerti perasaan Maryam, hatinya pasti terluka.
"Kan aku sudah bilang, kalau kamu mau bertahan kamu harus siap segalanya. Konsekuensinya juga, rasa sakit hati kamu, tidak menjadi prioritas lagi. Karena suamimu harus bisa bersikap adil tidak boleh berat sebelah,"
Benar apa kata Anindya, jika Maryam harus bisa menerima segala konsekuensinya.
"Jadi aku harus gimana sekarang, Nin?"
"Kamu bicarakan berdua sama suami kamu, karena hanya suami kamu yang bisa menjalankannya. Kalian bertiga,"
"Minta suami kamu untuk bisa bersikap adil, memang ini tidak gampang. Semuanya sulit, untuk kalian bertiga pasti ini sulit. Kalian harus memerankan peran masing-masing dengan sempurna."
Layaknya sandiwara kehidupan, semuanya punya peran masing-masing. Baik Maryam, Kanaya dan Faiz sebagai suami mereka.
Bagi Maryam semua itu gampang-gampang susah. ketika hati sudah dibutakan cinta, maka semuanya akan menjadi masa bodoh.
***
Sampai larut malam, Maryam tak kunjung menutup matanya. Dadanya semakin sesak tak kala kembali mengingat kejadian sore tadi. Begitu teganya Faiz menduakan dirinya dengan perempuan lain.
Mana aku bisa, aku bukanlah istri Rasulullah yang kuat untuk di madu. Aku hanyalah wanita akhir zaman yang mencoba untuk lebih baik.
Andaikan ayah dan ibu masih ada, apa mereka juga bisa menerima kenyataan ini? Pasti sakit rasanya, aku saja serasa berada dalam mimpi. Maryam membuka-buka kembali galeri foto dalam ponselnya, tepat satu
tahun lalu Faiz mengucap ijab qabul untuk menghalalkannya. Di foto itu mereka tampak sangat bahagia, senyum terukir di bibir tipis milik suaminya. Hari yang tidak akan pernah Maryam lupakan dalam sejarah hidupnya.
Air matanya kembali lolos dari singgasananya, ia sungguh tak sanggup menjalani hari-harinya ke depan.
Tok..Tok..Tok...
Maryam lekas mengusap air matanya, nampak Anindya membuka pintu kamarnya.
"Maryam, kamu belum tidur juga?"
"Belum, Nin. Aku belum bisa tidur,"
"Kenapa? Masih memikirkan masalah tadi sore?"
Maryam mengangguk sebagai tanda jawabannya
Anin masuk dan mengambil duduk di samping tempat tidur, menggenggam tangan Maryam sebagai tanda untuk memberikan dukungan terhadapnya.
"Aku mengerti sekali ini tidak mudah, tapi jangan membuat dirimu terpuruk. Kamu butuh istirahat agar pikiranmu lebih baik dan lebih tenang. Apa lebih baik kamu tidak masuk kerja dulu, biar aku sampaikan sama Bu Agnes kalau kamu sedang tidak enak badan," kata Anin
"Tidak usah, Nin. Aku akan masuk kerja. Tidak enak kalau harus bohong, hitung-hitung sambil melepaskan semua masalahku sejenak dari pada diam di malah makin membuatku semakin ingat,"
Anindya mengangguk-anggukan kepalanya, ia juga sependapat dengan Maryam.
Itu lebih baik untukmu Maryam, aku hanya bisa mendo'akan agar masalahmu cepat selesai.
***
Sama halnya dengan Faiz, suami dari Maryam itu belum juga bisa memejamkan matanya. Pikirannya melayang pada sosok Maryam. Perempuan yang sering membuat harinya berkesan, perempuan yang penuh dengan keceriaan. Dalam hati Faiz tak tega telah menyakiti hati Maryam samapi ke relung terdalam perempuan itu.
Entah apa yang merasuki jiwanya hingga membuat keputusan besar dengan menjadikan Kanaya sebagai istri keduanya. Jika bukan karena hal lain, Faiz tidak akan sampai tega menyakiti hati Maryam. Ia mengacak rambutnya
frustasi dan mengusap wajahnya dengan kasar.
Maryam, apa kamu dimana sekarang? Apa kamu baik-baik saja? Aku menyusulmu ke rumah tapi kamu tida ada di sana.
"Mas, kamu belum tidur?" suara Kanaya tiba-tiba membuyarkan lamunannya
"Belum sayang,"
"Apa Mas memikirkan Maryam? Mas dari tadi terlihat sangat khawatir, apa Mas menyesal telah membuatnya seperti itu?" Kanaya merajuk
Faiz malah semakin gusar dengan tingkah istri keduanya
"Tidak bukan begitu, Mas cuma kepikiran saja. Kasihan dia, mungkin dia sedang terluka saat ini," ucap Faiz
Kanaya mendengus kesal.
"Jadi Mas menyesal karena sudah menikahku? Kenapa Mas tidak menolaknya saja dulu, mungkin Maryam tidak akan sampai terluka seperti itu," Kanaya semakin menjadi-jadi.
"Sudahlah, Nay. Jangan membuatku tambah pusing saja. Seandainya kamu ada di posisinya, aku juga akan memikirkan hal yang sama. Jadi tolong jangan membuat keadaan tambah runyam." Faiz kesal dan tidur dengan
memunggungi Kanaya.
Sialan, masih saja Mas Faiz memikirkan perempuan itu. Setelah hampir satu tahun aku menunggu, aku harus memikirkan cara untuk mendepak dia dari hidupku dan Mas Faiz, bahkan ibu sekalipun tidak akan bisa
berbuat apa-apa.
***
Bersambung
...Berikan dukungan kalian dengan Like, komen dan votenya...
Kanaya menggigit roti selai strawberry-nya dengan mata memicing melemparkan tatapannya pada Faiz, suaminya. Ia masih geram karena permintaannya tak lantas dikabulkan. Kanaya meminta agar Faiz tinggal menetap saja dengan dirinya tanpa menghiraukan Maryam sebagai istri pertamanya.
"Jadi Mas tidak mau mengabulkan permintaanku?" tanya Kanaya lagi, siapa tahu suaminya berubah pikiran. Walaupun kemungkinannya hanya 0,01 persen
Sesuai dugaan Faiz hanya diam tak menjawab ucapan Kanaya, merasa ada hal yang tak baik dengan keduanya. Gufron memberitahukan pada anak dan menantu keduanya itu jika dirinya telah membeli sebuah hunian mewah untuk mereka tempati.
"Ayah hadiahkan untuk pernikahan kalian," ucap Gufron tanpa menunggu Faiz menyahut terlebih dahulu. Lain halnya dengan Kanaya, ia sangat senang sekali dengan hadiah pemberian ayah mertuanya. Ia sangat beruntung ternyata mertuanya tidak lah pelit malah sebaliknya.
Laila sebagai seorang ibu dan sekaligus seorang istri tidak sependapat dengan keputusan suaminya. Laila merasa jika Gurfron bersikap berat sebelah dalam memperlakukan kedua menantunya. Tetiba Laila teringat tentang kondisi Maryam sekarang. Apakah Maryam baik-baik saja setelah kejadian kemarin. Pikirannya tentang Maryam lebih mendominasinya saat ini.
Faiz dan Kanaya menyelesaikan sarapannya dengan cepat, mereka berdua harus bergegas berangkat ke kampus. Pagi ini ada acara penyambutan Pembantu Rektor 1 yang baru.
Kanaya menyusul Faiz ke dalam mobil dan memakai sabuk pengamannya. Suasana di dalam mobil masih hening. Faiz lebih banyak berdiam diri dengan pemikirannya, sedangkan Kanaya sedari tadi berusaha mencuri-curi pandang berharap suaminya tidak marah lagi dengan permintaannya tadi.
"Mas, ko dari tadi diam terus sih," ucap Kanaya berani membuka obrolan diantara mereka. Faiz hanya menjawabnya dengan deheman kecil saja.
"Mas," satu tarikan kecil di lengan baju Faiz di daratkan Kanaya
"Apa sih? Aku lagi fokus nyetir," jawab Faiz sekenanya
"Masih ngambek nih? Kamu marah karena gak bisa kabulin permintaanku kan Mas?" bujuk Kanaya pada Faiz yang mulai merajuk.
"Kamu tahu kan jawabannya jadi gak harus nanya lagi," jawab Faiz ketus sambil memalingkan wajahnya ke arah jendela.
Dalam hatinya Faiz sangat keberatan jika dirinya lebih banyak menghabiskan waktunya dengan Kanaya. Walau bagaimanapun Maryam adalah istri pertamanya dan sekaligus merupakan cinta pertamanya juga. Faiz berencana jika waktunya dengan Maryam mulai dari hari senin sampai kamis, sedangkan Kanaya sisanya. Tapi Kanaya berkeberatan ia memilih hari senin sampai kamis karena dirasa waktunya lebih lama. Dari pada berkepanjangan Faiz akhirnya menuruti keinginan Kanaya.
***
Maryam merasa jika hari-harinya saat ini sangatlah berat, statusnya sebagai perempuan yang dipoligami sungguh menyiksa. Ia merasa jika semua orang sedang melabuhkan tatapan mata mereka padanya.
Maryam menolehkan pandangannya ke arah samping saat merasakan pundaknya ada yang meremas.
"Kenapa Maryam kamu melamun saja? Sakit ya? Wajah kamu pucat," tanya Bu Agnes, asisten manager di divisinya. Agnes menelisik lebih jauh seperti sedang mengamati diri Maryam dari atas sampai bawah.
"Kantung matamu kelihatan, Non. Kaya kurang tidur," ucapnya lagi. Memang benar semalam suntuk dirinya tidak bisa tidur karena pergulatan hatinya baru saja dimulai. Matanya baru terpejam saat sayup-sayup terdemgar kumandang azan subuh mulai menggema.
"Iya Bu, saya kurang tidur semalam. Ada kerjaan," jawabnya berbohong. Agnes malah tersenyum menyeringai menanggapi jawaban Maryam barusan.
"Kerja lembur ya? Berapa ronde?" goda Agnes sambil menyikut lengan Maryam
"Apa sih Bu, siapa juga yang kerja lembur. Ayo ah kita masuk masa mau berdiri saja di sini." tanpa ba bi bu lagi dan tanpa menunggu jawaban Agnes, Maryam berlalu terlebih dahulu masuk ke dalam lift. Anindya juga ditinggalkannya begitu saja yang sedang berbincang dengan pegawai di bagian resepsionis.
Agnes mengulum senyumnya, dua tahun berada satu atap dengan Maryam secara alami ia sudah mengenal banyak hal tentang anak buahnya sekaligus teman dekatnya itu. Baru kali ini Agnes menangkap air muka berbeda yang ditunjukan Maryam padanya. Ada apa dengannya? Pikir Agnes kala itu.
***
Mobil berwarna hitam legam limited edition itu berhenti tepat di depan halaman lobby perusahaan. Damar Langit yang lebih sering dipanggil Langit oleh orang-orang terdekatnya turun dari mobil mewahnya dengan memakai stelan jas hitam berukuran pas di badannya. Terlihat punggung lebarnya sangat gagah bila dilihat dari arah belakang dan jika dilihat dari depan wajahnya sungguh tampan rupawan, Langit keluar dengan menenteng tas kerjanya setelah Willy membukakan pintu mobil.
Semua karyawan yang sedang berjalan masuk ke dalam kantor mencuri pandang pada arah kedatangan Langit. Auranya sungguh luar biasa menghipnotis kaum hawa dengan tatapan lapar dan seakan ingin menerkamnya hidup-hidup. Tak terkecuali beberapa petinggi pemangku jabatan dari lawan jenisnya juga sering mencari cara agar bisa sekedar bertatapan langsung atau mengajaknya berbicara meski hanya satu atau dua patah kata. Mereka akan sangat bersyukur sekali. Sungguh pesona Langit bak sihir memuja.
Langit sudah terbiasa dengan keadaan seperti itu sejak dulu sampai sekarang pun masih sama. Ia melangkahkan kakinya santai memasuki gedung, beberapa karyawannya menyapa dengan sopan dan Langit hanya membalasnya dengan anggukan kepalanya saja.
"Selamat pagi, Pak Damar," sapa Gia sang sekretaris sopan setengah membungkuk.
"Pagi." sahut Langit singkat.
Willy membukakan pintu ruangan dan Langit segera masuk. Disimpannya tas kerjanya di atas meja, lantas Langit mendudukan dirinya di kursi besar nan mewah sebagai kursi kebesarannya.
Willy adalah sekretaris pribadi Langit yang mengurusi semua kebutuhan serta pekerjaan Langit di kantor maupun urusan pribadi. Willy sudah bekerja dengan Langit cukup lama hampir 10 tahun terakhir semenjak Langit masih menjadi GM di Singapura. Bukan hanya sebagai sekretarisnya saja, karena mereka masih seumuran. Langit tak segan memperlakukan Willy seperti sahabatnya sendiri. Bahkan saat mereka berdua di luar jam kantor, mereka melepaskan titel antara pimpinan dan bawahan masing-masing.
"Apa agendaku hari ini, Will?" tanya Langit tanpa basa-basi.
Willy tampak membuka ipadnya terlebih dahulu.
"Mm, hari ini anda ada pertemuan dengan kolega dari perusahaan farmasi Pak nanti jam 10 dan anda harus menjemput Nyonya besar di bandara tepat jam 12 siang ini,"
"Astaga, aku lupa kalau harus jemput Mama. Oke ada lagi?"
"Tidak ada Pak," jawab Willy
"Sip, kamu bisa keluar dulu. Kalau ada hal lain aku akan memanggilmu,"
"Baik Pak." sahut Willy mantap.
Sudah sejak dua tahun lalu Langit menjabat sebagai direktur utama di perusahaan ini. Ayahnya Pak Adam selaku komisaris di perusahaan sangat mendidik keras anak laki-lakinya itu agar bisa hidup mandiri dan disiplin hingga mempunyai rasa tanggung jawab bukan hanya terhadap dirinya saja tapi terhadap orang lain dan masyarakat.
...***...
Bersambung
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!