Tepat di tengah jalan
Dari kejauhan, sebuah mobil sedan hitam melaju cepat di tengah guyuran hujan. Seorang pengemudi, pria bertubuh besar bernama Errick, langsung menginjak rem sekuat tenaga saat melihat bayangan seseorang berdiri diam di tengah aspal basah
“Tuan ada orang!” teriak Errick panik
Ban menggesek keras, suara desisnya memekakkan telinga. Mobil itu berhenti hanya beberapa inci dari tubuh gadis muda yang berdiri membeku di tengah jalan. Tapi sebelum mereka sempat keluar, tubuh itu ambruk
“Ya Tuhan!” seru pria paruh baya di kursi belakang. Matanya tajam, wajahnya berwibawa meski rambutnya mulai beruban. Namanya Niko Navarez, pemilik salah satu perusahaan properti ternama di kota itu. Sosok terpandang yang di hormati banyak orang
Mereka berdua buru buru keluar mobil, mendekati tubuh yang tergeletak tak bergerak
Errick menunduk, menyentuh bahu gadis itu “Tuan dia masih bernapas. Tapi tubuhnya sangat dingin”
Niko berjongkok, memeriksa wajah gadis yang kini tampak pucat dan lemah. Baju yang lusuh menempel di tubuhnya, koper kecil tergeletak tak jauh di sampingnya
“Cepat angkat dia ke mobil. Kita bawa ke rumah”
Tanpa banyak kata, Errick mengangkat gadis itu ke dalam mobil dengan hati hati. Koper kecilnya di masukkan ke bagasi
Hujan masih turun saat mobil itu melaju kembali. Namun di dalam kendaraan hangat itu, tubuh mungil itu terbaring diam, dengan wajah lelah dan napas yang mulai berat
Niko menatap gadis itu dari kursi belakang. Ada sesuatu dalam wajah gadis ini, bukan hanya kelelahan, tapi luka. Luka yang sepertinya tak hanya datang dari rasa lapar atau hujan malam
Setibanya di rumah mewah bergaya klasik milik keluarga Navarez, para pelayan langsung sigap membuka pintu dan menyiapkan kamar tamu
“Bawa selimut tebal dan siapkan makanan hangat” perintah Niko cepat “Panggilkan juga dokter Kevin”
Gadis itu di baringkan di tempat tidur empuk dengan seprai putih bersih. Bajunya di ganti pelan pelan oleh maid wanita dan tubuhnya di selimuti hangat. Wajahnya masih pucat, tapi rona merah mulai muncul di pipinya saat tubuhnya mendapat kehangatan kembali
Tak butuh waktu lama hingga dokter keluarga datang dan memeriksa kondisi gadis itu
“Dia hanya kelelahan dan kekurangan asupan makanan” ujar sang dokter “Bukan karena benturan apa pun. Dia pingsan karena tubuhnya terlalu lemah”
Niko mengangguk pelan “Seperti yang ku duga”
Errick yang berdiri di sudut ruangan tampak heran “Tapi kenapa dia bisa sampai seperti itu? Dia bawa koper malam malam begini”
Niko menatap gadis itu yang masih tak sadar “Entah siapa dia… tapi malam ini, dia selamat”
Dan mungkin, pikirnya dalam diam, kehadiran gadis ini akan mengubah sesuatu dalam hidupnya juga
Pagi itu, cahaya matahari menyelinap masuk melalui celah tirai putih yang bergoyang lembut di terpa angin. Gadis itu mengerjapkan matanya perlahan, lalu bangkit duduk dengan kepala yang masih terasa berat. Pandangannya menyapu sekeliling kamar yang asing namun terasa hangat dan tenang
Ketukan pelan terdengar dari arah pintu
Kliikk
Seorang perempuan paruh baya dengan seragam maid yang rapi masuk perlahan sambil membawa nampan kecil berisi air hangat dan handuk kecil. Wajahnya ramah, sorot matanya lembut penuh keibuan
“Selamat pagi nona” sapanya sopan “Saya Mbok Sri , ketua maid di rumah ini”
Gadis itu menatapnya dengan kebingungan dan sedikit gugup. Mbok Sri seolah bisa membaca kegelisahan di wajahnya. Ia tersenyum lembut, lalu meletakkan nampan di meja kecil dekat ranjang
“Nona tidak perlu takut. Nona sekarang ada di rumah orang baik” kata Mbok Sri menenangkan “Semalam, yang menemukan dan menyelamatkan Nona adalah tuan besar Niko Navarez. Beliau yang membawa nona kemari. Dan saya sendiri yang mengganti pakaian nona, jadi tenang saja ya”
Gadis itu menunduk pelan, merasa lega tapi juga malu. Ia masih belum tahu bagaimana ia bisa sampai di rumah ini setelah kejadian semalam
“Terima kasih Mbok... sudah merawat saya” ucapnya lirih
Mbok Sri mengangguk ramah “Sama sama, nona, itu sudah jadi tugas saya. Sekarang lebih baik nona mencuci muka dan bersiap. Tuan Niko sudah menunggu di meja makan, beliau ingin sarapan bersama nona pagi ini"
Gadis itu mengangguk pelan “Saya... ikut makan di bawah?”
“Betul” jawab Mbok Sri sambil tersenyum “Tuan Niko sendiri yang meminta. Jadi ayo saya bantu nona bersiap ya"
Dengan di bantu Mbok Sri, gadis itu membersihkan diri seadanya dan mengenakan pakaian bersih yang sudah di siapkan di kursi dekat tempat tidur. Gaun sederhana warna peach itu pas di tubuhnya dan terasa nyaman
Beberapa menit kemudian, Mbok Sri menggandeng gadis itu perlahan menuruni tangga menuju lantai bawah. Aroma harum roti panggang dan kopi segar langsung menyambut mereka, membawa nuansa rumah yang hangat
Di ruang makan yang luas dan elegan, seorang pria paruh baya, berusia akhir kepala empat duduk santai di ujung meja dengan kemeja putih dan celana kain hitam. Wajahnya serius namun tidak kaku. Tatapan matanya tajam, tapi dalam
Niko Navarez
Saat mendengar langkah kaki, Niko menoleh dan langsung berdiri
“Selamat pagi" ucapnya singkat namun tenang
Gadis itu menunduk sedikit “Selamat pagi tuan Niko”
“Silakan duduk. Sarapan sudah siap” katanya
Gadis itu pun duduk perlahan, masih canggung tapi perlahan merasa nyaman di bawah tatapan tenang Niko
Niko mencondongkan tubuhnya sedikit, suaranya tenang namun hangat.
“Kalau boleh tahu… siapa nama kamu?” tanyanya sambil menatap lembut, seolah tak ingin membuat gadis itu semakin canggung
Gadis itu menunduk sebentar, jemarinya saling meremas di pangkuan sebelum akhirnya berani mengangkat wajah
“Nama saya… Selina Ratu Afensa” ucapnya sopan, suaranya lembut tapi jelas
Niko tersenyum tipis, seakan nama itu baru saja meninggalkan kesan di hatinya
“Selina Ratu Afensa” ia mengulang pelan, seperti sedang menikmati bunyinya “Nama yang indah… terdengar anggun sekaligus kuat”
Pipi Selina memerah, ia menunduk lagi sambil menggigiti bibir bawahnya, berusaha menahan senyum kecil yang muncul tanpa sadar
Niko tidak langsung menambahkan kata kata lain. Ia hanya memperhatikan, lalu setelah beberapa detik ia kembali bertanya, kali ini dengan nada ringan
“Kalau umurmu sekarang?”
“Dua puluh tahun tuan” jawab Selina cepat, masih dengan sopan
Niko mengangguk pelan, senyumnya tetap terjaga
“Masih sangat muda, kamu tidak perlu panggil saya tuan. Panggil saya om saja" katanya singkat, namun ada nada kagum terselip dalam suaranya. Tatapannya tetap lembut, membuat suasana perlahan tidak lagi terasa kaku
Selina mengangguk “Baik tu- maksud saya om, saya juga ingin mengucapkan terima kasih atas bantuannya semalam. Saya… tidak tahu harus bagaimana membalasnya”
Niko menatapnya beberapa detik sebelum menjawab “Kamu tidak perlu membalas apa pun. Kamu hanya perlu makan dan pulihkan dirimu dulu”
Suasana makan menjadi hangat dalam keheningan yang tidak canggung. Sesekali Niko menyendokkan makanan ke piring Selina tanpa banyak bicara dan Selina pun diam diam mengamati pria itu dari samping
Ada banyak pertanyaan yang belum terjawab dalam kepalanya. Tapi satu hal yang pasti, pria bernama Niko ini telah menyelamatkannya dan untuk sementara, ia percaya padanya
Selina menyuapkan sepotong roti ke mulutnya pelan. Suasana meja makan cukup tenang, hanya terdengar denting halus sendok dan garpu serta sesekali suara burung dari luar jendela besar. Tapi mata Selina tak bisa berhenti mengamati sekeliling
Rumah ini… sangat mewah. Dinding tinggi, langit langit berornamen elegan, perabotannya tampak mahal dan pencahayaan alami membuat semuanya tampak hangat dan bersih. Tapi…
“Rumahnya… besar sekali” gumam Selina pelan
Niko menoleh sebentar, mengangguk kecil “Ya, cukup besar”
Selina mengerutkan dahi “Tapi… kenapa sepi? Di mana istri Om? Dan anak anak Om?”
Niko sempat diam sejenak sebelum meletakkan garpunya ke atas piring. Sorot matanya berubah sedikit kelam
“Istriku sibuk bersenang senang… di surga” jawabnya tenang tapi terdengar getir “Dia meninggal saat anak anakku masih kecil”
Selina langsung menunduk, merasa bersalah telah bertanya “Maaf, saya tidak tahu…”
Niko menggeleng pelan “Tidak apa apa”
Ia melanjutkan “Sementara anak anakku… dari semalam mereka belum pulang. Mereka memang sudah terbiasa begitu. Ada yang menginap di rumah temannya, ada juga yang pulang ketika ingat saja. Saya juga baru sampai tadi malam, setelah hampir dua minggu di luar negeri”
Selina mengangguk kecil, tak tahu harus menanggapi bagaimana
Niko melirik ke arahnya “Kalau kamu sendiri, tinggal di mana? Kalau nanti sudah merasa baikan, Om bisa suruh Errick mengantarmu pulang”
Selina menegang. Tangannya terhenti di atas piring. Ia menunduk, menatap rotinya yang mulai dingin. Tak ada jawaban yang keluar dari bibirnya. Diamnya justru menjelaskan segalanya
Niko mengamati raut wajah Selina yang berubah muram
‘Dugaanku benar’ pikirnya ‘Dia tidak punya tempat untuk kembali’
Apalagi semalam dia berjalan di tengah jalan sambil menyeret koper besar. Jelas ada masalah
“Selina?"suara Niko lembut namun jelas “Kamu sekolah di mana?”
Selina menarik napas dalam dalam sebelum akhirnya menjawab, suaranya nyaris tak terdengar “Saya… sudah nggak sekolah dan… saya nggak punya rumah”
Niko terdiam sejenak. Kalimat itu cukup untuk menjelaskan semuanya
Selina lalu menoleh padanya. Wajahnya tampak ragu, tapi sorot matanya tulus
“Om… kalau boleh, saya kerja aja di sini. Saya bisa bantu bersihin rumah, nyuci, masak juga dikit dikit bisa. Saya… terbiasa ngerjain semua itu di rumah. Jadi, kalau Om nggak keberatan, saya bisa bantu jadi asisten rumah tangga aja. Saya janji nggak akan merepotkan”
Niko terkejut. Ia tak menyangka Selina akan mengatakan itu. Gadis ini terlihat masih sangat muda, polos dan jujur. Tapi ada kepedihan yang mendalam di matanya. Kepedihan yang pasti datang dari luka yang belum sembuh
Ia bersandar ke kursinya, memandangi Selina yang menunduk lagi, mungkin takut ditolak
Sesaat, Niko tak menjawab. Ia mempertimbangkan sesuatu
Selina menunduk setelah mengajukan permintaannya untuk bekerja sebagai asisten rumah tangga. Ia tahu itu mungkin permintaan yang aneh, tapi itu satu satunya hal yang bisa ia tawarkan sekarang
Namun, jawaban Niko membuat hatinya menciut
“Asisten rumah tangga di rumah ini sudah cukup banyak Selina” ucap Niko datar namun jujur
Selina langsung menunduk makin dalam. Senyum kecil yang tadi sempat muncul di wajahnya kini sirna. Ia menggenggam ujung roknya erat erat, menahan rasa malu dan kecewa yang mulai menyeruak
Namun, sebelum ia sempat membuka suara, Niko kembali berkata
“Tapi… kebetulan Om sedang butuh satu posisi penting yang belum terisi”
Selina yang tadinya menunduk, perlahan mengangkat kepalanya. Matanya membulat, berbinar penuh harap, seolah cahaya baru masuk ke dalam hidupnya. Ia membuka bibir, hendak menanyakan maksud dari kata kata itu
Namun tiba tiba langkah cepat terdengar dari arah belakang. Errick muncul, wajahnya serius seperti biasa. Ia membawa sebuah ponsel dan langsung menyerahkannya pada Niko
“Tuan ada telepon masuk”
Niko menoleh sekilas, menerima ponsel itu. Pandangannya kembali ke arah Selina, senyumnya tidak hilang
“Kamu lanjutkan saja makanmu. Om angkat telepon dulu sebentar”
Selina hanya mengangguk sopan, menuruti ucapannya
Niko pun bangkit, berjalan tenang ke arah halaman samping. Udara sore menyapu wajahnya, sedikit menenangkan pikirannya sebelum ia menekan tombol hijau di layar
Begitu tersambung, suara di seberang membuat langkah Niko terhenti
“Pa…” suara itu berat tapi masih ada nada remaja di dalamnya, suara anak lelakinya yang semalam sudah ia hubungi berulang kali, namun tak kunjung diangkat
“Samudra?” suara Niko mengeras, namun terdengar lega “Kenapa baru telepon papa sekarang?”
Ada jeda singkat sebelum anak lelaki itu menjawab “Maaf Pah… kemarin ponselku lowbat dan aku ketiduran”
Niko menghela napas berat, menahan emosi yang ingin meledak “Sekarang Papa tanya, Sagara sama Sargio ada di mana?”
Anak lelaki itu menoleh sebentar, melirik saudaranya yang duduk tak jauh darinya. “Mereka ada di sini, bersamaku”
“Bagus” Suara Niko kembali mantap, menekan setiap kata “Dengar baik baik. Malam ini, kalian bertiga harus pulang ke rumah. Ada yang mau Papa kenalkan pada kalian. Dan Papa tidak mau menerima alasan apapun. Mengerti?”
Anak lelaki itu terdiam sesaat, tidak langsung menjawab. Ponselnya masih menempel di telinga, namun matanya bergerak melirik ke samping
Di sana, saudara kembarnya sedang menatapnya tajam. Pandangan penuh arti, seakan menantang “jawab aja, biar kita lihat apa maunya Papa”
Saudara kembarnya itu mengangkat dagunya sedikit, lalu memberi kode anggukan singkat
Anak lelaki itu kembali menatap lurus, menarik napas panjang, kemudian bersuara datar
“Baik Pah, kami akan datang malam ini”
Hening sejenak, lalu terdengar desahan lega dari seberang
“Oke, papah tunggu malam ini” ucap Niko mantap, meski nada otoritasnya tetap melekat
Setelah menutup telepon, layar ponsel Samudra Arlanka Navarez meredup, menyisakan pantulan samar wajah seriusnya. Ia duduk di tepi rooftop dengan kaki menjuntai bebas, membiarkan angin sore mengacak rambut hitam legamnya yang sedikit panjang. Samudra adalah anak kedua, dengan sorot mata tajam dan dingin, bibir tipis yang jarang tersenyum. Ketampanannya tegas, berwibawa, membuat siapa pun yang melihat akan sulit menebak isi kepalanya. Ia adalah tipe pemuda yang tenang di luar, tapi penuh badai di dalam
Di sebelahnya, Sagara Arlanka Navarez, si bungsu, tampak lebih santai. Wajahnya hampir serupa dengan Samudra, hanya saja garis rahangnya lebih lembut dan senyumnya lebih nakal. Sagara punya pesona badboy yang usil, alis tebal, hidung mancung dan tatapan yang selalu seperti mengejek lawan bicara. Dengan botol minuman di tangan, ia memainkannya tanpa peduli, seolah hidup hanya permainan
Langkah berat terdengar mendekat. Sargio Arlanka Navarez, anak pertama, muncul sambil membawa beberapa kaleng minuman. Posturnya sedikit lebih tegap dan dewasa di banding kedua adiknya, membuatnya tampak seperti versi lebih matang dari wajah mereka. Meski sama sama tampan dengan rahang tegas dan hidung mancung khas keluarga Navarez, Sargio punya aura pemimpin alami. Tatapannya tajam tapi bijak, membuat orang tahu ia bukan sekadar kakak, tapi juga pelindung
Mereka bertiga jelas kembaran, wajah hampir mirip satu sama lain. Bedanya hanya ada di aura dan sikap
Begitu duduk di dekat adiknya, Sargio langsung membaca suasana “Hmm… ketegangan macam apa yang aku lewatkan di sini?” tanyanya, nada suaranya ringan namun penuh selidik
Samudra menoleh sekilas, suaranya tetap datar “Papa barusan telepon, dia nyuruh kita pulang malam ini. Katanya ada seseorang yang mau Papa kenalkan"
Sargio membuka kaleng minuman dengan bunyi psst khas, lalu meneguk sedikit “Seseorang? Kira kira siapa?”
Sagara yang sedari tadi hanya bersandar akhirnya menyelutuk, bibirnya melengkung sinis
“Kayaknya, gue tahu siapa yang bakal papa kenalin malam ini ke kita”
Samudra meliriknya, alis sedikit berkerut “Lo tahu?”
Sagara mengangkat ponselnya, layar menyala memperlihatkan sebuah foto. Di sana jelas terlihat Papa mereka, Niko turun dari mobil sambil menggendong seorang gadis muda yang tampak pingsan
Samudra menatap layar ponsel itu beberapa detik. Sorot matanya menyipit, dingin tapi jelas menyimpan rasa ingin tahu
“Siapa cewek itu?” tanyanya datar, nada suaranya berat di bawa angin sore
Sagara mengangkat bahunya santai, senyumnya masih melekat nakal
“Gue juga nggak tahu” jawabnya sembari memainkan botol minuman di tangannya “Tapi… kalau tebakan gue sih, mungkin dia calon istri Papa. Soalnya nggak mungkin Papa bawa pulang cewek sembarangan, kan?”
Sejenak hening. Lalu, mendadak Samudra meledak tertawa keras. Tawanya penuh nada mengejek, sampai tubuhnya sedikit membungkuk ke depan
“BHAHAHAHA... Gila lo Gar! Istri Papa?!” ia menepuk lututnya, masih terpingkal “Lo lihat baik baik deh. Dari tubuhnya aja udah kelihatan kalau dia masih seumuran sama kita. Mana mungkin Papa sampai segitunya…”
Sargio menurunkan kaleng minumannya, jemarinya mengetuk pelan dinding alumunium yang dingin. Ia tidak buru buru menjawab, hanya menatap lurus ke arah Samudra yang masih tertawa geli, lalu melirik sekilas pada Sagara yang jelas jelas menunggu reaksinya
“Apa pun maksud Papa, gue rasa bukan hal sepele” gumam Sargio, suaranya tenang tapi tegas “Papa nggak pernah bawa orang asing pulang kalau bukan ada tujuan besar”
Sagara langsung mendengus sambil menjentikkan jari ke arah layar ponselnya yang masih menampilkan foto itu
“Ya, makanya gue bilang, kalau bukan di kenalin sebagai ibu tiri kita, lalu apa? Masa Papa cuma iseng gendong cewek pingsan terus bawa pulang? Nggak masuk akal Bro”
Samudra, yang duduk di sisi lain, spontan meledak tawa lagi sampai tubuhnya sedikit membungkuk “Lu tuh Gar… otak lu kebanyakan drama. Ibu tiri? Cewek itu bahkan keliatan masih seusia kita! Mana mungkin Papa sefrontal itu”
Sagara mengangkat bahu santai, wajahnya tanpa rasa bersalah “Siapa tahu Papa lagi pengen eksperimen hidup baru. Atau, jangan Jangan… Papa lagi butuh hiburan. Lagian, nggak aneh kan kalau orang kaya tiba tiba punya pasangan muda? Dunia kayak gini banyak contohnya”
Sargio memutar bola matanya malas, sementara Samudra masih terpingkal. Tapi dalam hati, ketiganya tahu ucapan Sagara, meski kedengarannya konyol, tetap menimbulkan tanda tanya yang menggelitik
....
Malam pun tiba, ruang keluarga besar itu terasa lebih megah dari biasanya. Lampu kristal yang menggantung di langit langit berkilau lembut, memantulkan cahaya ke meja panjang tempat Niko duduk dengan tenang. Di hadapannya sudah tersusun minuman dan beberapa hidangan ringan yang tak tersentuh
Suara langkah berat terdengar dari arah pintu. Tiga sosok masuk bersamaan dengan aura khas mereka masing masing
Samudra datang dengan gaya santai, tangan di saku, wajahnya memancarkan kesombongan tipis bercampur cuek. Ia langsung menjatuhkan tubuhnya di sofa seolah itu kursinya sendiri
Di belakangnya, Sagara masuk sambil bersiul kecil, senyum usil menghiasi wajah tampannya. Ia langsung meraih buah di meja dan menggigitnya tanpa izin
Sedangkan sang sulung, Sargio melangkah terakhir dengan aura paling dewasa. Wajahnya serius, tatapannya dalam, tapi ada sedikit ketegangan di garis rahangnya
Niko tersenyum tipis melihat mereka. Senyum yang sudah lama tak pernah terlihat sejak kepergian istrinya. Namun bagi Samudra, senyum itu justru terasa aneh. Ia menatap lekat ayahnya dan dalam hati bergumam 'Sejak kapan Papa bisa setenang ini? Sejak Mama pergi, senyum itu hilang. Apa mungkin yang di bilang Sagara… benar?'
Senyum Niko masih terjaga saat ia bersiap membuka suara, namun tiba tiba langkah pelan terdengar. Dari arah tangga, muncul sosok gadis muda dengan dress sederhana berwarna krem lembut. Rambutnya tergerai, wajahnya polos tanpa riasan berlebihan, justru membuat kecantikannya semakin natural
Selina. Ketiga pasang mata itu sontak membelalak
Samudra hampir terbatuk karena minuman yang baru ia teguk, matanya tak berkedip menatap gadis itu. Sagara, lebih parah lagi, sampai melongo tanpa malu, bahkan matanya dengan terang terangan menyapu dari ujung rambut hingga kaki Selina
Sedangkan Sargio… sempat menatap Selina beberapa detik, cukup lama lalu buru buru memalingkan wajahnya dengan rahang mengeras
Selina yang awalnya hanya berniat masuk untuk menyapa, langsung salah tingkah. Tatapan tiga lelaki dengan wajah hampir identik itu membuatnya gugup. Ia menggenggam jemari tangannya sendiri, bingung harus berkata apa
“Kenalin ini Selina” ucap Niko dengan suara tenang namun penuh wibawa. Tatapannya menyapu ketiga anak lelakinya yang kini duduk di ruang keluarga, sementara Selina berdiri canggung di sisi sofa “Mulai malam ini, dia akan tinggal di rumah ini. Dan mulai sekarang juga, dia akan menjadi-”
“Jadi ini mama baru kita ya?” suara Samudra tiba tiba memotong dengan nada dingin, tapi ada sinis samar yang menyelip. Ia menyandarkan tubuh ke sofa dengan santai, mata tajamnya menatap Selina dari ujung kepala hingga kaki. Bibirnya kemudian melengkung tipis “Hm… masih muda sekali. Hai Mama angkat. Sepertinya kita seumuran”
Kata kata itu membuat wajah Selina memanas. Ia ingin menjawab, tapi lidahnya kelu, apalagi tatapan tiga pasang mata kembar itu terasa begitu menusuk
Tiba tiba Sagara berdiri. Kursi yang ia duduki bergeser kasar menimbulkan suara berderit
“Papa serius?!” serunya lantang, matanya membelalak tak percaya “Apa Papa sudah jadi pedofil sekarang? Umurnya bahkan belum legal! Dia…” Sagara menoleh pada Selina, menatap lekat dengan tatapan berani "Lebih cocok jadi istriku, bukan istri Papa!”
Sekejap, ruangan itu membeku
Samudra langsung tertawa keras, hampir terjatuh dari sofa karena terlalu terhibur “Gila! Kau benar benar ucapkan itu Gar? Astaga… Gue nggak nyangka!”
Sargio menoleh cepat ke arah Sagara, wajahnya menegang. Ia tampak jelas menahan diri agar tidak menegur adiknya di depan semua orang
Sementara Selina? Tubuhnya kaku di tempat, wajahnya memerah menahan malu. Kata kata Sagara menampar keras harga dirinya, membuatnya salah tingkah luar biasa
Di sisi lain, Niko menutup mata sejenak, jemarinya naik memijat pelipisnya yang terasa berdenyut. Kesabarannya hampir habis, tapi ia tahu jika ia tidak segera meluruskan, situasi ini bisa semakin kacau
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!