NovelToon NovelToon

Reinkarnasi Dewa Asura

Penghianatan dan Kelahiran Kembali

Langit retak.

Petir menari di antara awan hitam.

Di tengah pusaran badai, ada seorang pria berambut hitam panjang berdiri di atas altar batu raksasa. Matanya merah menyala dan auranya begitu kuat hingga tanah di sekitarnya retak setiap kali ia menarik napas.

Dia adalah Dewa Asura, sang Dewa Perang dan Penghancur yang paling di takuti oleh para dewa.

“Selama beribu-ribu tahun aku melindungi dunia ini. Dan inikah balasan yang aku terima ?” suaranya berat dan dingin, menggema seperti gemuruh petir.

Di hadapannya berdiri seorang pemuda berjubah putih yang tidak lain adalah muridnya, Rayan, orang yang dulu ia angkat dari kehancuran dan mengajari segalanya untuknya . Namun kini, pemuda itu berdiri di depannya dengan memegang pedang suci di tangannya dan wajahnya tidak menunjukkan rasa ragu.

“Guru, dunia ini sudah tidak membutuhkan Dewa sepertimu lagi.”

“Rayan…” Dewa Asura menatapnya dalam diam, seolah masih berharap semua ini hanya mimpi. “Kau… benar-benar mengangkat pedang pada gurumu sendiri?”

Rayan menunduk sesaat, lalu menatap balik dengan tatapan getir.

“Aku tidak memiliki pilihan lain. Para Dewa sudah memutuskan untuk membunuh guru, karena guru terlalu berbahaya.”

“Berbahaya?” Dewa Asura tertawa pelan, getir.

“Aku hanya berusaha menyeimbangkan dunia ini. Tapi sepertinya dunia hanya ingin tunduk pada kemunafikan mereka.”

Petir menyambar di belakangnya, menerangi wajah Dewa Asura yang penuh luka. Sementara Rayan menegakkan pedangnya, cahaya suci menyelimuti tubuhnya.

“Maafkan aku, Guru.”

Suara itu terdengar tulus, tapi pedangnya tetap menembus dada Dewa Asura. Darah hitam menetes di ujung pedang suci itu dan seketika itu bumi bergetar sangat hebat.

Dewa Asura menatap luka yang ada di dadanya, lalu menatap muridnya dengan mata yang redup namun masih menyala.

“Rayan… jika ini jalan yang kau pilih… maka aku tak akan mengampunimu.”

“Guru, aku....”

“Jangan panggil aku dengan sebutan guru.”

Nada Dewa Asura datar, tapi di baliknya tersimpan kemarahan yang nyaris meledak.

Langit berubah merah. Angin kencang berputar, menyedot segala yang ada di sekitar. Tubuh Dewa Asura perlahan-lahan mulai hancur menjadi partikel-partikel hitam, tapi matanya tetap menatap tajam ke arah Rayan.

“Kau boleh memusnahkan tubuhku, tapi ingat satu hal. Dendamku akan terus hidup melewati waktu…”

“Suatu hari nanti, aku akan kembali. Dan ketika waktu itu tiba, dunia ini akan gemetar mendengar namaku lagi.”

Seketika, tubuhnya meledak dalam cahaya merah pekat. Rayan menutup matanya, menahan air mata yang tak sempat jatuh.

“Maafkan aku… Guru.”

Kegelapan.

Hening.

Tidak ada suara selain gema detak jantung yang pelan dan nyaris pudar. Namun, di tengah kehampaan itu, tiba-tiba terdengar suara Dewa Asura yang masih bergema lirih.

“Ingat..!!Aku... belum kalah...”

"Aku akan kembali...Dan membalaskan dendam ini."

Api merah muncul di antara kehampaan itu. Kecil, tapi perlahan-lahan membesar. Api itu membungkus jiwanya, membakar luka dan amarah yang tertinggal.

“Kalau para Dewa ingin aku lenyap… maka aku akan lahir di dunia yang tak mereka sentuh.”

Cahaya merah itu semakin terang lalu… gelap.

Ketika kesadarannya kembali, udara terasa berbeda.

Ada aroma tanah, suara pasar, dan sinar matahari yang hangat menyentuh wajahnya.

“Apa… ini?”

Ia menatap sekeliling. Tubuhnya kecil, tangannya kurus, pakaiannya compang-camping.

“Hah? Aku... hidup lagi? Tapi... kenapa aku menjadi seorang bocah?”

Suara teriak pedagang terdengar dari kejauhan.

“Hei, anak kecil! Jangan duduk di depan toko! Nanti pelangganku kabur!”

Wang Li, nama yang kini terlintas di kepalanya tanpa tahu dari mana asalnya,hanya bisa menatap bingung.

“Wang Lin…?? ya, sepertinya itu namaku yang sekarang.”

Perutnya berbunyi keras.

“Baiklah, Dewa merasa lapar juga boleh, kan?” katanya sambil mengelus perutnya sendiri.

Ia berdiri, melangkah ke tengah keramaian kota.

Meski tubuhnya masih lemah, namun ada api merah samar-samar di matanya, api yang sama yang pernah membakar dunia para Dewa.

“Rayan… Dunia ini mungkin baru, tapi dendamku tetap masih sama.”

Angin berhembus pelan, membawa debu dan sinar mentari pagi. Sebuah senyum tipis muncul di wajah bocah itu.

“Mari kita mulai lagi dari awal… Dunia baru, permainan lama.”

Dan dari langkah kecil itulah, kebangkitan Dewa Asura dimulai.

Kegelapan.

Itulah yang pertama kali menyambut Wang Lin setelah tubuh dewa Asura-nya hancur oleh pengkhianatan.

Ia pikir segalanya sudah berakhir. Namun, di tengah kehampaan itu, secercah cahaya kecil menembus kegelapan, mengelilingi jiwanya yang hampir lenyap.

“Kau… masih belum pantas untuk menghilang, Wang Lin.”

“Masih ada yang harus kau tuntaskan.”

Suara misterius bergema di antara ruang dan waktu. Lalu, sebelum ia sempat bertanya, tubuhnya tersedot masuk ke dalam pusaran cahaya.

Udara dingin menampar wajahnya.

Wang Lin tersentak dan matanya terbuka lebar.

Ia berbaring di tengah hutan yang lebat, dengan tubuh yang terasa asing dan lemah.

“Apa… ini?” gumamnya serak. Ia mengangkat tangannya

bukan tangan kokoh milik Dewa Asura, melainkan tangan seorang anak muda yang kurus, dan penuh luka.

“Tubuh manusia…?”

Angin berhembus lembut, membawa aroma tanah basah dan dedaunan yang baru tersiram embun. Burung-burung bernyanyi di kejauhan, seolah menyambut pagi yang baru lahir. Langit biru membentang tanpa batas, tenang dan jernih seperti kaca.

Di tengah ketenangan itu, Wang Lin berdiri memejamkan matanya. Untuk pertama kalinya setelah ribuan tahun menjalani kehidupan penuh peperangan dan keabadian, ia merasakan sesuatu yang telah lama hilang dari dirinya yaitu kehidupan yang biasa.

“Jadi… aku sekarang bereinkarnasi?”

“Lucu. Bahkan dewa sepertiku bisa terlahir kembali sebagai manusia tanpa tenaga spiritual sedikit pun.”

Ia tertawa kecil, meski nada tawanya getir.

Ingatan terakhirnya masih jelas, tatapan murid kesayangannya, Rayan, yang menusuk belati ke jantungnya sambil tersenyum.

“Guru, maaf. Dunia ini hanya cukup untuk satu Dewa.” Kata-kata itu terus terngiang di dalam benaknya. Wang Lin mengepalkan tangan.

“Rayan… tunggu saja. Sekalipun aku harus berjalan dari bawah, aku akan kembali.”

Tiba-tiba, perutnya berbunyi keras.

“Huh? Jadi dewa pun bisa lapar dalam tubuh manusia…” gumamnya sambil memegang perut.

Ia berdiri dengan susah payah. Tubuh barunya masih lemah, tapi semangat dalam matanya mulai menyala. Ia melangkah keluar dari hutan, mengikuti jalan kecil yang mengarah ke pemukiman di kejauhan.

Beberapa jam kemudian, ia tiba di kota kecil dengan hiruk pikuk pasar. Anak-anak berlari, pedagang berteriak, aroma makanan menggoda dari segala arah.

Wang Lin hanya bisa menelan ludah.

“Aku dulu bisa memanggil naga hanya dengan jentikan jari,” katanya pelan. “Sekarang bahkan beli roti saja harus mikir dulu.”

Ia terkekeh kecil, nada tawa yang getir tapi tulus. Ada sesuatu yang manusiawi di dalamnya.

“Baiklah. Kalau dunia memberiku kesempatan kedua, aku akan menikmatinya sedikit… sebelum membalas dendamku.”

Sebuah warung kecil menarik perhatiannya. Asap tipis mengepul, aroma sup daging menyeruak. Ia melangkah mendekat, tapi baru satu langkah, suara wanita terdengar keras:

“Hei, anak kecil! Mau makan harus bayar dulu!” Wang Lin berhenti, lalu tersenyum kecil.

“Kalau aku bilang aku datang untuk bekerja, bukan makan gratis, boleh?”

Wanita itu melirik dari kepala sampai kaki, menghela napas.

“Badanmu saja seperti mau tumbang, mau kerja apa?”

“Cuci mangkuk pun tak jadi masalah.”

Wanita itu mendengus, tapi akhirnya menunjuk kursi kosong.

“Duduk sana. Kau makan saja dulu, nanti baru bicara kerja.”

Wang Lin menatap semangkuk sup panas yang disajikan. Saat uapnya naik perlahan, hatinya terasa aneh, damai.

“Rasa ini… lebih berharga dari ribuan kemenangan perang.”

Ia meneguk perlahan, menikmati kehangatan yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Tapi di tengah ketenangan itu, mata Wang Lin tiba-tiba menajam.

Di luar kedai, seseorang berkerudung hitam sedang menatap tajam ke arahnya dengan penuh niat membunuh.

“Sepertinya dunia baru ini tak memberiku waktu lama untuk istirahat,” gumamnya pelan.

Bayangan di Balik Kedamaian

Hening.

Suara sendok dan mangkuk di warung itu berhenti ketika Wang Lin perlahan menurunkan mangkuk supnya. Matanya menatap lurus ke arah sosok berkerudung hitam yang tak mengalihkan pandangannya.

“Dia menatapku sejak tadi,” gumamnya pelan. “Tapi kenapa… rasanya seperti dia mengenaliku?”

Sebelum ia sempat bergerak, sosok itu tiba-tiba menghilang di antara kerumunan. Naluri lamanya sebagai Dewa Asura langsung aktif. Ia meletakkan uang koin di meja dan berjalan keluar.

“Hei! Supnya belum habis!” seru wanita pemilik warung.

“Nanti saya akan memakannya kembali, kalau saya masih hidup,” balas Wang Lin cepat sambil tersenyum tipis.

Langkahnya ringan, tapi setiap gerak penuh kewaspadaan. Di lorong-lorong sempit kota kecil itu, bayangan hitam bergerak cepat, nyaris tanpa suara.

Wang Lin mengikutinya sampai ke ujung gang buntu.

Angin berhembus dingin, membawa aroma darah samar. Lalu, sosok itu muncul dari balik tembok.

“Kau akhirnya bereinkarnasi juga,” suara berat itu bergema.

“Ternyata kabar itu benar… Jiwa Asura masih belum benar-benar musnah.”

Wang Lin terdiam, pupil matanya menyempit.

“Kau… siapa?”

Sosok itu menurunkan tudung kepalanya, wajahnya pucat, dengan tato bercahaya biru di lehernya.

“Aku… utusan Kuil Langit. Tugas kami adalah memastikan roh kegelapan seperti kau tidak hidup lagi.”

“Utusan, ya?” Wang Lin menatap tajam.

“Berarti muridku masih hidup kalau kalian tahu tentang reinkarnasiku.”

Utusan itu menegang.

“Muridmu? Ah… maksudmu Rayan, sang Dewa Cahaya baru? Dia kini penguasa dunia para Dewa. Tak heran jiwamu diburu.”

Wang Lin menunduk, lalu tersenyum pahit.

“Rayan… rupanya kau benar-benar ingin menghapusku sampai ke dunia fana.”

Utusan itu mengangkat tangannya, mantra bercahaya biru muncul di udara.

“Jangan salahkan aku. Aku hanya menjalankan perintah.”

Cahaya sihir meledak ke arah Wang Lin. Tapi, alih-alih menghindar, Wang Lin menatap serangan itu dengan tenang lalu mengangkat tangannya. Tangan yang lemah, tanpa kekuatan. Namun dari ujung jarinya, muncul percikan merah kecil seperti nyala api purba.

“Api Dewa Asura…” desisnya lirih. “Masih ada…”

Percikan kecil itu meledak pelan, menahan serangan sihir biru. Udara di sekitar mereka bergetar. Wajah utusan itu membeku tak percaya.

“Tidak mungkin! Tubuh manusia biasa tidak mungkin bisa menahan sihir tingkat tinggi!”

Wang Lin tersenyum.

“Aku mungkin bukan Dewa lagi. Tapi aku masih punya kehendak yang bahkan surga tak bisa menghancurkannya.”

Dengan satu langkah, ia mendekat. Gerakannya cepat, terlalu cepat untuk manusia biasa. Dalam sekejap, ia sudah berdiri tepat di depan utusan itu dan menepuk bahunya. Tubuh utusan terpental ke belakang, menabrak dinding dan pingsan seketika.

Wang Lin menatap tangan kanannya yang kini bergetar.

“Masih lemah…” katanya pelan.

“Kekuatan ini hanya sisa kecil dari api lamaku. Aku harus segera mencari cara untuk bangkit lagi.”

Ia berbalik, menatap langit senja di atas kota.

Awan oranye membentang, dan di antara warna itu, entah kenapa Wang Lin merasa… damai.

“Dunia baru, tubuh baru, awal yang baru.”

“Tapi dendam ini… akan tetap sama.”

Ia melangkah pergi meninggalkan gang, sementara bayangan mata tak terlihat mengawasinya dari atap bangunan.

“Target telah ditemukan,” bisik suara perempuan pelan. “Jiwa Asura telah bereinkarnasi.”

...****************...

Malam pun turun perlahan. Di penginapan kecil dekat pasar, Wang Lin menatap langit dari jendela. Ia masih belum tidur, pikirannya melayang pada satu nama yang terus terngiang.

“Rayan… aku akan datang. Tapi kali ini, bukan sebagai Dewa, melainkan sebagai manusia yang akan menumbangkan surga.”

Senyumnya tipis, tapi matanya menyala seperti bara yang tak padam.

Fajar menyingkap kabut malam perlahan.

Di penginapan kecil itu, Wang Lin duduk di depan meja kayu, menatap semangkuk bubur yang mulai dingin.

“Aku dulu makan emas dan madu surgawi,” gumamnya,

“sekarang bubur asin pun terasa mewah.”

Ia menyendok perlahan, lalu menghela napas kecil.

Di balik jendela, matahari mulai naik, dan kota kecil itu kembali hidup dengan suara pedagang yang berteriak riuh. Namun Wang Lin tahu kedamaian seperti ini hanyalah lapisan tipis sebelum kekacauan.

Tiba-tiba, ketukan terdengar di pintu.

Tok... tok...

“Masuk saja.” jawabnya

Pintu terbuka, menampilkan sosok remaja laki-laki berambut coklat kusut dan wajah polos.

“Kau orang baru, ya? Pemilik penginapan menyuruhku membantu membawakan air mandi.”

Wang Lin mengangguk singkat. Tapi tatapannya menajam, terlalu cepat untuk disadari orang biasa.

Gerak remaja itu sedikit aneh: langkahnya terlalu ringan, napasnya teratur seperti prajurit terlatih.

“Letakkan saja di sana,” katanya santai.

Remaja itu meletakkan ember, lalu tiba-tiba melangkah cepat ke belakang Wang Lin. Dalam sekejap, belati tipis berkilat di tangannya!

Namun Wang Lin hanya menunduk sedikit, membiarkan bilah itu lewat di atas bahunya.

Tangannya bergerak cepat, menahan pergelangan si penyerang, lalu memutar tubuhnya. Dalam satu gerakan halus, belati itu sudah berpindah ke tangannya sendiri.

“Kau datang terlalu pagi untuk membunuh orang,” ucapnya datar.

“Siapa yang menyuruhmu?”

Remaja itu menggertakkan gigi, tapi Wang Lin menatapnya tenang. Tatapan yang sama seperti ribuan tahun lalu ketika ia menghadapi pasukan para Dewa.

“Kau takkan bicara, ya?” Wang Lin mendesah pelan.

“Baiklah. Aku tidak suka menyiksa manusia. Tapi ingat ini”

“Jika kau datang lagi dengan niat yang sama, bahkan langit pun tak akan sempat menangis untukmu.”

Ia melepaskan genggamannya. Remaja itu terjatuh, lalu kabur lewat jendela secepat kilat.

Wang Lin menatap belati yang tertinggal di tangannya. Bilahnya hitam pekat, dengan ukiran simbol asing di gagangnya.

“Mantra penyegel roh…” gumamnya pelan.

“Jadi mereka sudah tahu aku di sini.”

Ia menaruh belati di meja, lalu menatap bayangan dirinya di air dalam ember.

“Rayan, seberapa takut kau padaku sampai kau mengirim pembunuh ke dunia fana?”

 

Menjelang sore, Wang Lin berjalan di jalanan pasar yang padat. Ia berusaha menyesuaikan diri dengan kehidupan manusia biasa. Setiap langkahnya diiringi suara pedagang yang menawarkan barang, anak-anak berlari, dan aroma roti panggang dari kedai pinggir jalan.

“Mungkin aku memang harus belajar hidup seperti ini dulu,” gumamnya.

“Dendam besar pun butuh waktu.”

Ia berhenti di depan kios batu roh. Batu-batu itu bersinar lemah, tapi di matanya setiap serpihan cahaya punya potensi kekuatan.

"Berapa harga yang ini?”

“Dua koin tembaga,” jawab si penjual.

“Tapi hati-hati, kebanyakan cuma batu biasa.”

Wang Lin tersenyum samar. Ia mengambil satu batu, menutup matanya sejenak. Dalam sekejap, batu itu memancarkan kilatan merah halus, membuat penjualnya terbelalak.

“Itu… itu batu tingkat roh rendah! Bagaimana bisa kau”

“Hanya keberuntungan,” potong Wang Lin tenang, sambil meletakkan dua koin di meja.

Ia melangkah pergi, menyelipkan batu itu ke dalam saku. Namun dari kejauhan, dua sosok berjubah hitam memperhatikannya.

“Itu dia,” bisik salah satunya. “Energi Asura terdeteksi.”

“Tunggu perintah Tuan. Kita tak boleh gegabah. Tubuhnya masih manusia.”

...****************...

Malam kembali datang. Wang Lin duduk di tepi sungai, menatap permukaan air yang memantulkan cahaya bulan. Ia membuka telapak tangannya, batu roh itu kini berdenyut pelan, seolah merespons jiwanya.

“Masih bisa kurasakan… nyala kecil dari dalamnya,” ucapnya lembut.

“Seolah api lama belum padam.”

Ia menutup mata, menarik napas dalam-dalam.

Cahaya merah samar mulai muncul di sekelilingnya, kecil, namun tetap stabil. Udara di sekitar bergetar halus.

“Jadi begini rasanya, memulai semuanya dari nol...”

“hmmm Tidak buruk.”

Namun sebelum ia bisa melanjutkan meditasi, suara lembut memecah keheningan.

“Kau main api malam-malam? Tak takut sungainya mendidih?”

Wang Lin membuka mata. Di depannya berdiri seorang gadis berambut pendek dengan tas batu roh di pinggan, matanya cerah, senyumnya jahil.

“Kau siapa?”

“Namaku Mei. Aku lihat dari tadi kau duduk sendirian, kayak patung. Jadi kupikir… mungkin kau kesepian.”

Wang Lin terdiam sejenak, lalu tersenyum samar.

“Kesepian? Mungkin.”

“Heh, kau aneh,” katanya sambil duduk di sebelahnya.

“Tapi aku suka orang aneh.”

Wang Lin hanya tertawa kecil.

Untuk pertama kalinya sejak ribuan tahun, tawa itu terdengar tulus. Namun di balik senyum tenang mereka, di kegelapan pepohonan, dua pasang mata merah menyala sedang mengawasi mereka berdua.

“Target telah berinteraksi dengan manusia lokal,” bisik salah satu bayangan.

“Kita laporkan pada Tuan. Saatnya perburuan dimulai.”

Cahaya bulan memantul di permukaan air, dan angin malam membawa bisikan lembut. Wang Lin menatap langit, lalu berkata pelan,

“Rayan, kau punya banyak pengikut rupanya.”

“Baiklah… kirim saja semuanya.”

Matanya menyala merah samar, dan api tipis muncul di ujung jarinya.

“Aku akan bakar mereka satu per satu… sampai kau sendiri yang turun dari langit.”

Api Yang Belum Padam

Malam itu, Wang Lin berbaring di atas ranjang jerami yang kasar. Tubuhnya masih terasa sakit, tapi yang paling menyakitkan bukanlah luka fisik melainkan kenyataan bahwa dunia ini sama kejamnya seperti yang dulu ia tinggalkan.Ia menatap langit-langit, napasnya pelan, dan seulas senyum pahit muncul di wajahnya.

“Ternyata... bahkan setelah ribuan tahun, dunia tak banyak berubah,” gumamnya pelan.

Darah Dewa Asura yang mengalir dalam dirinya masih terasa bergetar, seperti bara api yang tak mau padam. Ia menutup mata, mencoba untuk tidur, tapi dalam kegelapan itu, suara-suara samar mulai terdengar.

Suara jeritan.

Suara pedang beradu.

Suara pengkhianatan.

Bayangan masa lalunya datang lagi saat pengikut yang paling ia percaya menancapkan tombak ke dadanya.

“Guru... maafkan aku, tapi dunia hanya punya tempat untuk satu Dewa!”

Suara itu menghantam jantung Wang Lin seperti belati. Ia terbangun mendadak, napasnya terengah, keringat dingin membasahi wajahnya. Tangannya mengepal erat, dan di matanya kilatan merah samar muncul.

“Aku akan menemukanmu… di dunia ini atau dunia mana pun,” ucapnya lirih.

Namun saat itu juga, ia mendengar langkah kaki dari luar. Pintu bambu sederhana terbuka pelan. Seorang gadis muda dengan rambut panjang hitam masuk sambil membawa mangkuk kayu.

“Kau belum tidur?” tanyanya lembut.

“Tubuhmu belum sepenuhnya sembuh, Wang Lin.”

Gadis itu bernama Mei, anak dari tabib desa yang menolongnya waktu ia ditemukan pingsan di tepi hutan.

Wang Lin menatapnya sekilas, lalu tersenyum samar.

“Terima kasih… sudah repot-repot.”

Mei menatapnya dengan mata cemas.

“Tadi siang... aku dengar mereka memukulmu lagi. Kenapa tidak melawan saja?”

Wang Lin terdiam.

Kalimat sederhana itu menusuk jauh ke dalam pikirannya. Kalau ia mau, ia bisa menghancurkan seluruh desa ini hanya dengan satu jentikan jari. Tapi... itu bukan dia yang sekarang. Ia bukan lagi Dewa Asura.

“Tidak semua pertempuran perlu diselesaikan dengan darah,” jawabnya akhirnya.

Mei menunduk, mengerti sebagian tapi tidak semuanya. Ia hanya mengangguk pelan, lalu beranjak pergi.

Setelah pintu tertutup, Wang Lin menatap tangannya sendiri. Api merah samar masih berputar di ujung jarinya, seperti menunggu perintah. Tapi saat ia mencoba mengendalikannya, api itu lenyap begitu saja.

“Masih terlalu lemah...” bisiknya.

Ia tahu, kekuatannya belum pulih bahkan satu persen dari masa lalunya. Tapi firasatnya berkata, dunia tempatnya terlahir kembali ini menyimpan sesuatu yang besar, sesuatu yang bisa membangkitkan kembali kekuatan Dewa Asura yang tertidur.

Dan malam itu, di balik sunyi desa kecil itu…

Langit di kejauhan memunculkan kilatan merah darah.

Sebuah tanda… bahwa kekuatan kuno mulai terbangun kembali.

Langit malam berubah aneh. Awan hitam berputar perlahan di atas pegunungan jauh di utara, seolah menyembunyikan sesuatu di balik kegelapan. Wang Lin menatapnya dari jendela kamarnya yang reyot, matanya menyipit tajam.

“Itu… bukan cahaya biasa.”

Ada getaran samar yang menjalar melalui udara, sesuatu yang hanya bisa dirasakan oleh makhluk yang pernah menjadi Dewa. Jantung Wang Lin berdetak lebih cepat. Kekuatan itu… terasa familiar.

Kekuatan dari dunia lamanya.

Ia menutup matanya, mencoba merasakan lebih dalam. Dan seketika, kilasan ingatan menyerbu pikirannya tentang medan perang, darah, dan sinar merah Asura yang pernah mengguncang langit.

Namun kali ini, getaran itu datang dari arah lain, seolah ada seseorang atau sesuatu yang sedang membangkitkan kekuatan serupa.

“Apakah… ada yang mencoba menghidupkan kekuatan Asura selain aku?” gumamnya lirih.

Belum sempat ia merenung lebih jauh, suara langkah tergesa datang dari luar. Pintu kamar terbuka, dan Mei muncul dengan wajah panik.

“Wang Lin! Kau juga melihatnya, kan? Langit… langitnya menyala merah!”

Wang Lin menoleh perlahan. “Tenang. Itu mungkin hanya badai petir yang aneh.”

“Tidak!” Mei menggeleng cepat.

“Ayahku bilang, cahaya itu pertanda buruk. Dulu, ketika Gunung Kuno meletus, langitnya juga memerah seperti itu. Beberapa orang hilang tanpa jejak.”

Wang Lin terdiam. Ia tahu itu bukan kebetulan.

“Kalau begitu, mungkin sudah saatnya aku melihatnya sendiri,” ucapnya pelan, lalu berdiri.

Mei menatapnya khawatir. “Kau mau ke luar malam-malam begini? Kau belum sembuh.”

“Aku sudah cukup sembuh untuk berjalan,” jawab Wang Lin tenang. “Jangan khawatir, aku akan kembali sebelum fajar.”

Sebelum Mei sempat menahan, Wang Lin sudah melangkah keluar, membiarkan angin malam menerpa wajahnya. Suara serangga malam bergema pelan di antara pepohonan, tapi di udara ada sesuatu yang lain, bau logam, samar-samar seperti bau darah.

Ia melangkah menuju hutan di utara, mengikuti cahaya merah di langit. Setiap langkahnya terasa aneh seolah bumi bergetar menyambutnya.

“Semakin dekat…,” bisiknya.

Tak lama, ia tiba di tepi lembah tua. Di sana, di tengah kabut merah, ia melihat batu besar dengan ukiran kuno yang memancarkan sinar samar. Simbol yang terukir di sana ia mengenalnya.

“Simbol Dewa Asura…” napas Wang Lin tercekat. “Tidak mungkin…”

Sebelum ia bisa mendekat, suara berat terdengar dari balik kabut.

“Akhirnya… pewaris darah merah itu datang juga.”

Suara itu dalam dan bergema, seolah keluar dari ribuan mulut sekaligus. Wang Lin menegakkan tubuhnya, matanya berkilat merah.

“Siapa kau?” tanyanya tegas.

Dari balik kabut, muncul sosok berjubah hitam dengan mata merah menyala. Udara di sekitarnya bergetar menakutkan.

“Kami… penjaga warisan Dewa Asura. Dan kau, bocah, seharusnya sudah lama tidur. Dunia ini belum siap menyambut kebangkitanmu.”

Wang Lin tersenyum tipis.

“Kalau dunia belum siap, maka biarlah dunia belajar beradaptasi denganku.”

Udara seketika membeku. Batu-batu di sekitar mereka bergetar halus, dan di mata Wang Lin, api merah Asura kembali menyala kecil, tapi cukup untuk membuat tanah retak di bawah kakinya.

Untuk pertama kalinya sejak reinkarnasinya, Wang Lin merasakan darah lamanya berdenyut dengan kekuatan lama yang menakutkan.

Tanah di bawah kaki Wang Lin bergetar hebat. Api merah yang muncul dari tubuhnya berputar cepat seperti pusaran angin, membuat kabut di sekitarnya terhempas menjauh. Penjaga berjubah hitam itu terdiam sejenak, seolah menimbang sesuatu.

“Kau… benar-benar memiliki darah itu,” ujarnya lirih, suaranya bercampur antara kagum dan takut.

“Namun tubuhmu masih rapuh. Jika kau memaksanya, kau akan hancur sebelum waktumu.”

Wang Lin tersenyum samar. “Kau pikir aku takut hancur?”

Langkahnya maju perlahan. Setiap jejak kakinya meninggalkan bekas hangus di tanah.

“Dahulu… aku pernah dihancurkan seluruh alam semesta. Tapi aku tetap kembali.”

Kabut di sekitar mereka mendadak memadat. Penjaga itu mengangkat tangannya tinggi-tinggi, dan dari tanah muncul belasan bayangan hitam berbentuk manusia, dengan mata merah menyala. Mereka semua bergerak cepat, mengelilingi Wang Lin.

“Kau belum layak menyentuh warisan Asura,” kata penjaga itu. “Tunjukkan apakah darahmu benar-benar pantas!”

Bayangan-bayangan itu menyerbu serentak.

Wang Lin memejamkan mata sesaat. Ia merasakan denyut panas dari dalam dadanya, seperti lahar yang meledak. Saat membuka matanya lagi, kedua bola matanya berkilat merah terang.

“Asura Flame,bangkitlah.”

Ledakan energi merah menyambar udara. Dalam sekejap, bayangan pertama terbakar menjadi abu.

Namun setiap kali Wang Lin melepaskan kekuatannya, tubuh manusianya ikut bergetar hebat. Rasa sakit menjalar, darah menetes dari hidungnya.

“Tubuh ini… belum siap untuk menampungnya…” pikirnya sambil menahan napas berat.

Tapi ia tidak berhenti.

Rasa sakit itu justru membuatnya semakin sadar bahwa ia masih hidup, meskipun dunia telah menghancurkannya. Satu demi satu bayangan itu tumbang. Tapi ketika Wang Lin menatap penjaga utama, tubuhnya mulai melemah. Api merah di sekelilingnya memudar.

“Kau… terlalu memaksakan diri,” suara penjaga bergema lagi.

“Kekuatan sejati Dewa Asura bukan sekadar amarah. Ia adalah kehendak untuk bertahan… bahkan di antara kegelapan yang menelan segalanya.”

Tepat setelah kata-kata itu terdengar, penjaga itu mengangkat tangan dan menekan udara. Seketika, cahaya merah di tubuh Wang Lin padam, dan pandangannya menjadi gelap.

Ketika Wang Lin membuka mata, ia sudah berada di tempat yang berbeda. Langit berwarna kelabu, dan tanah di bawahnya seperti lautan darah beku.

Di kejauhan, berdiri sosok raksasa berapi, dengan enam tangan dan mata menyala merah menyilaukan.

“Kau akhirnya kembali, Dewa Asura,” suara itu berat dan bergema, mengguncang udara.

“Tapi untuk menjadi dirimu yang sejati… kau harus melewati ujian api ini.”

Wang Lin menatap sosok itu tanpa gentar, meskipun tubuhnya goyah.

“Ujian, ya?” gumamnya.

“Kalau ini jalan untuk menuntaskan dendamku… maka bakar saja aku sampai hangus.”

Api merah di sekeliling sosok raksasa itu menyala semakin besar, menelan seluruh pandangan Wang Lin.

Namun di tengah kobaran itu, sebuah senyum kecil muncul di wajahnya,antara penderitaan dan tekad.

“Aku… Dewa Asura. Dan api ini… takkan pernah padam.”

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!