Bunga-bunga lili putih berjatuhan di sepanjang altar, seolah menertawakan nasib seorang perempuan yang berdiri di sana dalam gaun putih yang bukan miliknya.
Rubiana Adams menggenggam buket mawar di tangannya dengan begitu kuat, hingga ruas jarinya memucat. Setiap langkah yang ia ambil di bawah tatapan ratusan pasang mata terasa seperti hukuman. Gaun sutra itu berat, tirai penutup wajahnya membuat napas sesak. Namun yang paling menyesakkan bukanlah pakaian, melainkan kenyataan bahwa ia bukanlah pengantin yang seharusnya berdiri di sana.
Itu seharusnya Vivian. Saudari kembar Rubiana.
Kilatan kamera berpendar, musik lembut gereja bergema, dan di ujung altar, sosok pria yang akan menjadi suaminya; Elias Spencer. Pria itu berdiri tegak, mengenakan setelan hitam yang tampak dibuat khusus untuk menonjolkan ketampanan dan wibawanya. Wajahnya tampan, tegas, dingin, dan berbahaya.
Rubiana menunduk, tak sanggup menatap matanya yang kelam. Di balik tirai putih itu, ia dapat merasakan hawa dingin yang memancar dari pria itu, hawa yang menekan dada seperti kabut tebal di musim gugur. Ia tahu dengan jelas bahwa pria yang seharusnya saudari kembar Rubiana nikahi itu tidak seperti bayangan Vivian.
Namun semua terasa seperti mimpi buruk.
Mimpi buruk yang dimulai tiga jam lalu.
Tiga Jam Sebelumnya ....
"Vivi kabur?!" suara Ibu, Gracia Adams, melengking panik, bergema di seluruh ruangan.
Gaun pengantin berwarna putih itu tergantung di dekat jendela, menunggu pemakainya, yang kini entah di mana. Padahal sang pemilik harus mengenakannya beberapa jam lagi atau bencana akan datang untuk keluarganya.
"Apa maksudmu Vivi kabur, Ruby?" suara ayahnya, Edward Adams, terdengar berat, seperti bara yang siap menyala.
Rubiana berdiri di depan mereka, masih mengenakan celana jins dan kaus lusuh. Matanya memandang kosong pada amplop surat yang ditinggalkan Vivian di atas meja rias, amplop kosong, tanpa sepatah kata pun.
"Dia tidak meninggalkan pesan, Dad. Handphone-nya juga tertinggal. Aku sudah mencari ke seluruh rumah. Vivi benar-benar menghilang," jawab Rubiana pelan.
Wajah Edward memerah menahan marah. "Anak itu benar-benar gila! Apakah dia tidak sadar siapa calon suaminya? Ini bukan pernikahan mainan!" serunya.
"Dia ... dia bilang tidak ingin menikah dengan pria tua," sahut Rubiana dengan suara gemetar. "Katanya, Elias Spencer itu lelaki berusia enam puluh yang mencari istri muda demi status-"
PLAK!
Tamparan keras menghantam pipi Rubiana sebelum ia sempat menyelesaikan kalimatnya.
"Jaga ucapanmu, Rubiana!" bentak Gracia dengan mata yang membara. "Kau pikir kami mau melakukan ini demi uang semata? Keluarga Adams akan hancur bila pernikahan ini batal! Vivi sudah mempermalukan kita!"
Rubiana memegangi pipinya, tubuhnya bergetar hebat. Ia ingin berteriak bahwa semua ini bukan salahnya. Ia ingin mengatakan bahwa Rubiana tidak tahu apa-apa soal kaburnya Vivian. Tapi seperti biasa ... mereka tidak akan mendengarkan Rubiana.
Namun saat melihat wajah ayahnya yang merah padam, Rubiana tahu, tak ada jalan keluar.
"Ruby ...," suara Gracia melunak, tapi hanya di permukaan. "Dear, kau dan Vivian kembar identik. Tak ada yang akan tahu. Pernikahan ini hanya formalitas, setelah itu kita bisa jelaskan-"
"Tidak, Mom!" Rubiana menatapnya penuh penolakan. "Itu penipuan! Aku tidak bisa berdiri di altar dan menikah dengan pria yang bahkan tidak kukenal! Dan juga menjadi Vivi, aku bukan dia!"
Edward menatapnya tajam, seolah ingin menghabisinya hidup-hidup. "Kalau kau tidak menggantikannya, keluarga ini akan bangkrut. Perusahaan kita tergantung pada kontrak dengan Spencer Group. Apakah kau ingin melihat semua yang telah kubangun hancur begitu saja hanya karena Vivian kabur seperti pengecut?"
Air mata jatuh di pipinya. Rubiana memejamkan mata, hatinya remuk. Selalu seperti ini ... selalu Rubiana yang berkorban untuk keluarga, untuk saudari kembarnya. Ia benci ini.
"Ini bukan tanggung jawabku," bantah Rubiana.
"Tapi kau akan melakukannya," tegas Edward dengan nada yang tak memberi ruang untuk perlawanan. "Setidaknya kah harus membayar semua biaya yang aku keluarkan untuk membesarkanmu."
Kata-kata itu menghantam lebih keras daripada tamparan sebelumnya. Orang tua Rubiana hanya melihat anak-anak mereka sebagai investasi, khususnya Rubiana.
Rubiana ingin berlari, ingin menolak. Tapi kedua tangannya ditarik paksa oleh asisten rumah tangga, menyeretnya ke ruang rias. Dalam kekacauan itu, ia bahkan tak sadar kapan wajahnya dipulas dengan makeup, rambutnya ditata, gaun putih dikenakan di tubuhnya yang gemetar.
Dan di cermin, pantulan dirinya bukan lagi Rubiana Adams yang dikenal. Ia kini menjadi Vivian.
Pengantin pengganti.
Di Altar ...
"Do you, Vivian Adams, take Elias Spencer as your lawfully wedded husband?" suara pendeta terdengar seperti gema jauh di telinganya.
Rubiana menggigit bibir. Ia ingin berteriak tidak, tapi mata semua orang tertuju padanya, terutama ayahnya, duduk di barisan depan dengan tatapan tajam yang membuat darahnya beku.
"... I do," jawab Rubiana dengan suara terdengar nyaris seperti bisikan, tapi cukup jelas untuk membuat semua orang tersenyum lega.
Elias Spencer, pengantin pria itu kini menatap Rubiana. Ada sesuatu di balik pandangan itu; dingin, meneliti, seolah ingin menembus lapisan jiwanya dan mencari sesuatu yang tersembunyi.
Ketika pendeta memintanya membuka tirai pengantin, Rubiana menahan napas. Dunia seolah berhenti berputar saat Elias menyingkap veil milik sang gadis.
Tatapan mereka bertemu.
Sekilas, hanya sekilas, Rubiana melihat kebingungan di mata pria itu. Namun sesaat kemudian, kebingungan itu sirna, berganti dengan tatapan dingin yang menusuk. Bibir Elias menegang, nyaris tak terlihat senyum.
Dia tahu sesuatu, pikir Rubiana panik.
Tangan Elias meraih tangannya, dingin seperti es.
"Selamat, Mrs. Spencer," kata Elias dengan nada rendah tapi penuh tekanan.
Bibir Rubiana bergetar. "T-terima kasih."
Sorot mata Elias tetap tak berubah. Dalam senyum formalnya, ada kemarahan samar yang tak bisa dijelaskan.
Resepsi berlangsung mewah di ballroom hotel bintang lima milik keluarga Spencer. Gemerlap lampu kristal menari di langit-langit, sementara Rubiana merasa seolah terjebak di tengah mimpi buruk yang terlalu indah untuk nyata.
Elias jarang bicara. Ia menatapnya sesekali, tapi tatapannya terlalu tajam untuk diartikan sebagai kekaguman. Setiap kali ada tamu yang datang memberi selamat, pria itu selalu menampilkan senyum sopan, senyum yang tak pernah menyentuh matanya.
Ketika acara selesai dan mereka akhirnya masuk ke dalam mobil limusin hitam menuju kediaman Spencer, hening yang panjang menggantung di antara mereka.
Rubiana tak tahu harus berkata apa. Ia hanya bisa memandang keluar jendela, menatap kota yang berkilau dalam malam.
"Menarik sekali," suara Elias tiba-tiba memecah keheningan. "Kau tampak berbeda dari yang kukira."
Rubiana menegang. "Maksud Anda?"
Elias menatapnya dari sudut mata, bibirnya melengkung samar. "Aku tak menyangka kau akan terlihat ... polos."
Nada suara pria terdengar seperti ejekan halus. Atau memang seperti itu tujuannya.
Rubiana menelan ludah. "Saya ... saya tidak tahu maksud Anda, Mr. Spencer."
"Panggil aku Elias," katanya dingin. "Kita sudah menikah, bukan?"
Suasana kembali hening. Namun kali ini, hawa di dalam mobil menjadi lebih berat, seolah oksigen menipis.
Elias menatap lurus ke depan, tapi suaranya menusuk, lalu berkata, "Lucu sekali, Vivian. Aku hampir tidak mengenalimu. Seolah kau bukan orang yang sama."
Tubuh Rubiana membeku. Ia menatapnya cepat, tapi Elias sudah mengalihkan pandangan.
Tidak. Tidak mungkin dia tahu, pikir Rubiana.
Tapi dari nada suaranya, dari caranya memandang, dari senyum tipis yang tak pernah benar-benar muncul di wajahnya, Rubiana tahu satu hal pasti: Elias Spencer bukan pria yang mudah dibohongi.
Dan malam ini, pengantin pengganti itu telah memasuki rumah yang bukan miliknya, serta kehidupan yang penuh rahasia dan dendam yang bahkan belum ia pahami.
Di balik tirai putih dan sumpah palsu, satu hal pasti, pernikahan ini bukan awal kebahagiaan, melainkan awal dari permainan berbahaya yang melibatkan kebohongan, identitas, dan rahasia masa lalu yang kelam.
Dan Elias Spencer, pria tampan berusia 34 tahun itu, akan segera mengetahui bahwa pengantin penggantinya bukan gadis lemah seperti yang dikiranya, melainkan seorang hacker jenius yang telah menyusup jauh ke dalam sistemnya tanpa ia sadari.
Hujan turun rintik di luar jendela, membasahi kaca mobil hitam yang meluncur perlahan menembus jalanan kota yang mulai sepi. Lampu-lampu jalan memantul di permukaannya, berkilau bagai serpihan cahaya yang terpecah. Di dalam mobil itu, keheningan menggantung di antara dua manusia yang baru saja diikat dalam janji suci, janji yang bagai belati di balik bunga.
Rubiana duduk di kursi penumpang, kedua tangannya menggenggam erat ujung gaun putihnya yang kini sudah lusuh karena perjalanan dan air hujan. Napasnya terasa berat, dada naik-turun tak beraturan. Di sampingnya, Elias menatap lurus ke depan, wajahnya dingin tanpa ekspresi. Setiap kilatan cahaya dari jalan memantulkan rahang tegasnya yang menegang, dan pandangan matanya seperti baja yang diselimuti dendam.
Tak ada kata yang terucap sejak mobil meninggalkan gedung pernikahan sore tadi. Semua berlangsung cepat dan tak terduga, pernikahan, sumpah, dan kini perjalanan menuju rumah pria yang bahkan tak sempat memandangnya dengan penuh kesadaran.
Rubiana menelan ludah, mencoba memberanikan diri.
"Elias?" Panggil Rubiana dengan suara yang nyaris tenggelam oleh deru mesin. "Aku .. aku ingin menjelaskan sesuatu."
Pria itu menoleh sekilas, tatapannya menusuk seperti duri.
"Diam," perintah Elias datar. "Aku tidak ingin mendengar suaramu malam ini, Vivian."
Nama itu, Vivian.
Rubiana memejamkan mata sesaat, menahan getaran di dadanya. Ia ingin berteriak bahwa ia bukan Vivian, bahwa ia hanya gadis biasa yang terjebak dalam kesepakatan gila keluarga itu. Tapi setiap kali ia membuka mulut, lidahnya terasa kelu, seperti ada tali yang menahan seluruh keberaniannya.
Mobil berhenti di depan rumah besar dengan arsitektur klasik modern, berdiri megah di tengah pekarangan yang sepi dan sunyi. Cahaya lampu di teras tampak dingin, seolah menolak kehangatan. Ketika Elias keluar dari mobil, ia tak menoleh ke belakang untuk menunggu Rubiana. Ia hanya berjalan dengan langkah panjang dan tegap, membiarkan gadis itu berlari-lari kecil di belakangnya sambil mengangkat sedikit ujung gaun pengantin agar tak terseret tanah.
Begitu pintu besar terbuka, aroma kayu tua dan udara lembab menyambut mereka. Rumah itu luas, tapi kosong dari kehidupan. Tak ada tawa, tak ada sambutan pelayan, hanya suara angin yang menyelinap dari jendela.
"Elias?" panggil Rubiana pelan, ragu.
Elias tidak menjawab. Ia hanya menoleh sekilas, matanya menelusuri wajah gadis itu, atau lebih tepatnya, wajah yang ia percayai milik perempuan yang telah menghancurkan hidup adiknya. Ada amarah lama yang menyalakan sorot matanya, amarah yang bertahun-tahun tersimpan tanpa pelarian.
"Ke mari," katanya pendek. Ia berjalan menyusuri lorong panjang dengan lantai marmer yang dingin. Rubiana mengikuti di belakang, menatap sekeliling rumah yang asing itu. Dindingnya penuh dengan lukisan, tapi banyak yang ditutup kain putih seperti rumah yang ditinggalkan lama.
Ketika mereka sampai di ujung lorong lantai atas, Elias berhenti di depan sebuah pintu kayu tua. Ia membukanya tanpa berkata apa-apa.
"Inilah kamarmu."
Rubiana menatap ke dalam. Ia tertegun.
Ruangan itu kecil, berdebu, dan nyaris kosong. Tirainya sobek di beberapa bagian, ranjang kayunya usang, dan aroma lembab menusuk hidung. Tak ada bunga, tak ada karpet lembut, tak ada sentuhan yang menandakan rumah seorang pengantin baru. Jelas itu lebih mirip gudang dibandingkan kamar.
"Ini kamar untukku?" suara Rubiana bergetar.
Elias menatapnya dingin. "Ya. Kau tak layak mendapat lebih."
"Kenapa kau-"
"Aku tidak mengizinkan kau bicara," potong Elias dengan nada kasar.
Nada tajamnya memotong udara.
Rubiana menunduk. Jantungnya berdegup cepat. Ia menggenggam ujung gaunnya, mencoba menahan air mata yang mengambang di pelupuk mata. Ia tahu, Elias tidak tahu kalau Elias ternyata tidak menginginkan pernikahan ini. Tapi menyaksikan kebencian itu nyata di matanya, itu cukup menyakitkan karena bagaimana pun tatapan itu saat ini ditujukan untuk Rubiana.
Elias berbalik, melangkah dua langkah menjauh, lalu berhenti. Suara napasnya berat. Ia seolah bergulat dengan pikirannya sendiri, tapi akhirnya ia menatap kembali Rubiana.
"Kau ingin tahu kenapa aku menikahi perempuan jalang sepertimu?" tanyanya tiba-tiba, suaranya rendah dan dalam. Penuh kebencian.
Rubiana menatapnya tanpa berani menjawab.
Elias mendekat perlahan, langkahnya berat namun pasti, hingga kini jarak mereka hanya sejengkal. “Aku menikahimu, Vivian, bukan karena aku menyukaimu. Aku melakukannya karena aku ingin kau merasakan sedikit dari apa yang telah adikku rasakan ... dari apa yang telah kau rusak."
Darah Rubiana seakan berhenti mengalir.
Adiknya?
"Adikmu?" tanyanya pelan.
Elias mengangguk. Matanya memanas, tapi bukan karena cinta, karena luka.
"Liana. Kau tahu nama itu, bukan? Dia tak pernah lagi sama sejak pertemuannya denganmu. Kau dan geng-mu di kampus telah menghancurkannya. Dia butuh waktu bertahun-tahun untuk sekadar bisa berbicara tanpa ketakutan. Untuk bisa menatap cermin tanpa menangis," kata Elias yang tergambar rasa sakit luar biasa.
Air mata jatuh dari mata Rubiana, tapi bukan karena rasa bersalah, melainkan karena putus asa bahwa ia kini terlibat pada hal buruk yang ia tidak tahu. Ia bahkan tak tahu siapa itu Liana. Ia ingin menjelaskan, ingin berkata bahwa semua ini salah orang, tapi bibirnya tak sempat bergerak.
Elias sudah menatapnya dengan mata yang membara.
"Kau pikir pernikahan ini akan jadi pernikahan yang manis dan memberimu kemewahan? Tidak, Vivian," katanya tajam. "Ini penjara. Dan aku adalah hakim yang menuntut balas."
Lalu, sebelum sempat Rubiana mundur, Elias menarik tangan sang gadis dengan keras. Gadis itu tersentak, nyaris terjatuh, lalu tubuhnya terhuyung menabrak dada pria itu. Elias mencengkeram kedua lengannya, terlalu kuat hingga meninggalkan bekas di kulitnya.
"Elias ... tolong dengar-"
"Diam!" sergah Elias.
Nada itu seperti cambuk. Elias mendorong pintu kamar pria itu lalu menarik Rubiana masuk.
Cahaya lampu kamar temaram. Di sudut ruangan ada ranjang besar dengan sprei putih bersih, berbanding terbalik dengan kamar yang tadi ditunjukkan untuknya. Rubiana mundur beberapa langkah, napasnya cepat, wajahnya pucat.
Elias menatapnya, matanya tajam namun di balik itu ada sesuatu, luka yang lama, dendam yang membara.
"Aku ingin kau tahu bagaimana rasanya dipermalukan. Bagaimana rasanya kehilangan kendali atas hidupmu. Seperti yang Liana rasakan karena kau," geram Elias.
"Bukan aku!" teriak Rubiana spontan, air matanya jatuh membasahi pipinya. "Aku bukan-"
Tapi sebelum kata-kata itu selesai, Elias sudah mendorong kasar Rubiana ke tempat tidur. Tubuh kecil gadis itu terhempas, gaunnya berkeresak, kepalanya nyaris menghantam kepala ranjang. Ia menggigit bibirnya, menahan isak.
Elias berdiri di ujung ranjang, napasnya berat, jari-jarinya mengepal. Tapi saat menatap gadis yang gemetar di depannya, wajah yang pucat, mata yang membulat ketakutan, ada sesuatu yang bergetar di dalam dirinya.
Namun amarah lebih kuat. Dendam yang sudah pria itu pupuk bertahun-tahun menelan empati yang sempat muncul sesaat.
"Kau akan tahu bagaimana rasanya menjadi korban yang tidak bisa melawan. Aku akan menunjukkan padamu apa artinya kehilangan kendali," kata Elias yang naik ke atas ranjang.
Rubiana menggeleng keras, air matanya jatuh tanpa suara. "Aku mohon ... dengarkan aku dulu .. aku bukan-"
Elias tak mendengarkan, dengan kasar ia melucuti gaun Rubiana, membuat gadis itu merasa bagaimana dipermalukan. Elias menunduk, mendekat, dan dalam keheningan yang mencekam itu hanya terdengar napas mereka yang terengah dan suara hujan yang makin deras di luar jendela. Elias terus menyentuh dan menciumi dengan kasar diri Rubiana.
Sang gadis berontak, berusaha melepaskan diri bahkan memohon. Namun Elias tidak mendengarkan, ia justru seperti terbutakan oleh dendam dan juga hasrat yang tidak bisa ia jelaskan ketika menyentuh gadis itu.
"Elias, kumohon ... dengarkan aku," isak Rubiana.
Ia tak mendengar kata-katanya lagi. Ia hanya melihat wajah yang menurutnya telah menghancurkan hidup seseorang yang ia cintai. Dan di balik itu, suara batin kecil Elias berteriak; lakukan ini, agar kau bisa tenang.
Ketegangan berubah menjadi kekerasan yang tak sepenuhnya Elias sadari, dan Rubiana hanya bisa menangis dalam diam, menahan perih dan ketakutan yang tak bisa diucapkan. Dunia seolah memudar di sekitarnya.
Hanya rasa dingin, nyeri, dan kehancuran.
Dengan sekali hentakan kasar Elias menerobos kesucian Rubiana, ingin memberikan rasa pelecehan untuk perempuan yang menghancurkan hidup adiknya.
"AGHH! SAKIT!" teriak Rubiana ketika merasakan sesuatu dalam dirinya robek. Membuatnya seperti terbelah menjadi dua dalam rasa sakit yang luar biasa.
Lalu hening.
Elias menghentikan gerakannya, seseorang seolah menyiram dirinya dengan air es. Elias menegakkan diri dari tubuh Rubiana, napasnya terengah. Ia menatap gadis yang kini terbaring diam, tubuhnya gemetar, wajahnya penuh air mata dan rasa sakit
Dan ketika Elias melihat noda merah di sprei putih darah dunia seakan berhenti berputar.
Ia membeku.
Darah? Tidak mungkin. Vivian? Tidak mungkin, batinnya.
Gadis itu menutup wajahnya dengan kedua tangan, tubuhnya terguncang oleh tangis yang menyayat hati.
Elias melangkah melepaskan penyatuannya, matanya melebar tak percaya. Dalam sekejap, semua amarahnya runtuh.
Ia menatap noda merah itu lagi.
Kenyataan menamparnya begitu keras hingga dadanya terasa sesak. Vivian, perempuan yang ia kenal sebagai penggoda, perusak, yang hidupnya penuh pesta dan pria ... tidak mungkin suci.
Tapi kenyataannya terpampang di depan matanya. Gadis ini masih perawan.
"Tidak," suara Elias nyaris tak terdengar. "Ini tidak mungkin."
Rubiana menggigit bibir, menahan rasa sakit yang masih menderanya. Ia tidak sanggup bicara, tidak sanggup menjelaskan. Hanya air mata yang terus mengalir.
Elias mendekat perlahan, wajahnya kehilangan warna. Untuk pertama kalinya malam itu, ia melihat bukan sosok musuh di depannya, melainkan gadis muda yang ketakutan, terlalu murni untuk semua kebencian yang ia tumpahkan.
Ia berlutut dan merendahkan tubuhnya ke arah sang gadis. Tangannya terulur, ragu-ragu, lalu perlahan menyentuh rambut gadis itu yang basah oleh keringat dan air mata.
"Tenanglah, aku tidak akan memaksa lagi," katanya yang mengejutkan justru berubah lembut.
Rubiana tak menjawab. Ia hanya menggigil, gemetar oleh rasa takut dan kesakitan.
Elias menatap wajah gadis itu lama, napasnya berat dan penuh penyesalan yang tiba-tiba menyesak.
"Katakan padaku dengan jujur, kau Vivian Adams?" tanyanya. Elias tidak bodoh untuk melihat hal sekecil ini. Jelas Elias tahu bahwa Vivian tidak lagi suci, perempuan yanh menyukai pesta dan tidur dengan banyak pria tidak mungkin suci. Karena Elias sendiri yang melihat kalau Vivian pernah masuk ke sebuah hotel bersama pria, dan itu tidak sekali.
Rubiana menggeleng pelan dalam isakannya.
Elias tertegun, bingung apakah ia harus marah atau tidak. Namun melihat wajah kesakitan dan air mata yang mengalir deras di wajah gadis di bawahnya ini, membuat Elias tidak ingin bertanya lebih jauh dulu. Ia menggeser tubuhnya untuk duduk di sisi sang gadis.
Elias menarik selimut, menutupi tubuh gadis itu perlahan, gerakannya kini hati-hati, lembut, seolah menyentuh sesuatu yang rapuh dan suci.
Rubiana tetap diam, tapi tangisnya kini mereda menjadi isak kecil. Dalam hatinya, ketakutan dan kebingungan berbaur jadi satu. Ia tak tahu apakah harus membenci atau iba pada pria itu.
Elias duduk di tepi ranjang, memejamkan mata.
"Siapa kau sebenarnya?" bisiknya pelan.
Pertanyaan itu meluncur begitu saja, setengah untuk dirinya sendiri, setengah untuk gadis yang kini tertidur karena kelelahan dan trauma.
Hujan di luar semakin deras, seperti hendak mencuci semua dosa dan amarah malam itu. Tapi noda di hatinya tak akan mudah hilang.
Elias menatap tangan kanannya, tangan yang tadi ia gunakan untuk melukai. Lalu, entah kenapa, ia menatap kembali gadis itu dengan pandangan berbeda. Ada sesuatu yang lembut, samar, nyaris seperti rasa bersalah yang dalam.
Ia mengusap pelipis gadis itu perlahan, membiarkan jemarinya menyentuh rambut lembut yang kini acak-acakan. Tak menyangka kalau ia menyakiti gadis yang bukan musuhnya. Gadis yang tidak seharusnya merasakan kesakitan dan kekerasan itu.
"Maaf," katanya nyaris tanpa suara. "Aku tak seharusnya ...."
Namun kata-kata itu tenggelam oleh suara hujan di luar.
Malam itu, dendam dan kebencian Elias mulai retak, sedikit, tapi nyata. Ia tak tahu siapa sebenarnya gadis itu, tapi sesuatu di dalam dirinya berkata bahwa ia telah melakukan kesalahan besar.
Dan Rubiana, dalam diamnya yang penuh luka, hanya bisa berdoa dalam hati agar hari esok membawa kesempatan untuk mengungkap kebenaran, bahwa ia bukan Vivian, bukan perempuan yang menjadi sumber semua penderitaan itu.
Malam pertama mereka bukanlah malam cinta, melainkan malam penyesalan.
Dan sejak saat itu, keduanya terjebak dalam kisah yang tak bisa dihapus, kisah yang akan mengubah hidup mereka selamanya.
Cahaya pagi menyelinap lembut melalui celah tirai yang berat dan berdebu, menembus udara dingin kamar yang semalam menjadi saksi dari sesuatu yang tak seharusnya terjadi. Udara itu terasa berat, menyesakkan, seolah menyimpan sisa-sisa jeritan yang tertahan. Rubiana terbangun perlahan, kelopak matanya terasa berat, tubuhnya nyeri di setiap gerakan kecil yang ia lakukan. Rasa sakit menjalar dari tubuh ke dada, seperti pisau dingin yang diselipkan ke dalam kulitnya, pelan, tapi menyakitkan.
Seketika napasnya tercekat. Di tepi ranjang, di sana, duduk sosok yang membuat darahnya berhenti mengalir sesaat; Elias Spencer.
Pria itu duduk diam, tegak, dengan pandangan tajam yang menatap lurus ke arah lantai, seolah sedang menimbang sesuatu yang tak terkatakan. Jemarinya yang besar dan kokoh menggenggam lututnya, sementara rahangnya menegang. Sekilas, wajahnya tampak dingin dan tanpa emosi, tapi sesuatu dalam sorot matanya menunjukkan bahwa pikirannya tak tenang.
Rubiana refleks menarik selimut ke dadanya, menutupi tubuh yang penuh tanda merah kebiruan hasil dari malam yang kelam. Ia meringis. Rasa sakit itu seperti cambuk yang membuatnya sadar bahwa apa yang terjadi semalam bukan mimpi buruk, itu kenyataan yang menusuk.
Tubuhnya menggigil. Entah karena dingin, atau karena ketakutan.
Elias menoleh perlahan, menatapnya. Tatapan itu tajam, penuh kuasa, namun anehnya juga mengandung sesuatu yang samar, penyesalan, mungkin. Atau kebingungan.
"Jangan banyak bergerak dulu," katanya dengan suara rendah tapi tegas.
Nada suara pria itu dingin, namun tidak lagi setajam malam sebelumnya. Ia memandang Rubiana dengan ekspresi yang sulit diuraikan, antara ingin bertanya dan menahan amarah.
Rubiana tak berani menjawab. Ia hanya menunduk, memeluk selimutnya lebih erat, bibirnya bergetar halus.
Elias menghela napas panjang, kemudian menatap langit-langit, seolah mencoba menenangkan pikirannya sendiri.
"Sebelum aku keluar dari kamar ini, aku perlu tahu sesuatu," ucap Elias akhirnya, dengan nada datar namun mengandung tekanan. "Dan kau akan menjawab dengan jujur. Mengerti?"
Rubiana menggigit bibir bawahnya, menahan gemetar. Ia hanya mengangguk pelan.
"Apakah kau ...," Elias berhenti sejenak, menatapnya dalam, "... Vivian Adams?"
Nada itu berubah menjadi tegas, seolah setiap hurufnya adalah vonis.
Tubuh Rubiana menegang. Ia menelan ludah, matanya membesar karena terkejut mendengar nama itu disebut. Vivian, saudari kembarnya. Nama yang seharusnya menggantikan dirinya di sini. Nama yang menyebabkan semua kekacauan ini.
"B-bukan. Aku bukan Vivian," jawab Rubiana dengan suara bergetar.
Elias menatapnya dalam diam beberapa detik, seolah menimbang kebenaran dari setiap kata yang keluar dari bibir pucat itu. Lalu ia memijit pelipisnya, menarik napas berat, seperti seseorang yang baru saja menyadari kesalahan fatal.
Tangan besar itu menekan keningnya sendiri, lalu ia berdiri, berjalan beberapa langkah menjauh dari tempat tidur. Suara langkah kakinya di lantai yang dingin terdengar berat dan penuh beban.
"Tentu saja," kata Elias, hampir seperti berbicara pada dirinya sendiri. "Tentu saja ... aku seharusnya sadar. Dia tidak mungkin si jalang itu."
Rubiana mengeratkan pegangan pada selimut. Ia dapat merasakan ada amarah dalam diri Elias.
Elias menatap Rubiana lagi, kini lebih intens. "Kau masih suci. Hal yang tidak mungkin Vivian miliki."
Kata-kata itu meluncur datar, tapi cukup untuk membuat Rubiana memalingkan wajah dengan air mata yang mulai menetes tanpa bisa ditahan. Ia tak mampu membantah, tak bisa berbicara. Karena setiap kenangan semalam membuat dadanya terasa seperti diremas.
Elias mendengus pelan, langkahnya kaku saat kembali mendekat. Ia menatap gadis itu dari atas ke bawah, lalu berkata dengan nada rendah, "Siapa kau sebenarnya?"
Rubiana menggenggam ujung selimut erat-erat, seolah itu satu-satunya pelindung yang ia punya dari dunia yang terlalu kejam.
"Aku Rubiana Adams. Saudari kembar Vivian," jawab Rubiana.
Elias terdiam. Untuk sesaat, hanya bunyi napas mereka berdua yang terdengar. Udara pagi yang seharusnya menenangkan kini terasa menggigit.
"Saudari kembar?" ulang Elias pelan, seolah sedang mencerna kata itu. "Dan kau yang datang ke altar kemarin?"
Rubiana mengangguk. "Aku dipaksa." Suaranya nyaris berbisik. "Aku tidak tahu apa yang harus kulakukan. Vivian kabur saat pagi. Dad dan Mom memaksaku untuk menggantikan Vivian walau aku tidak mau. Mereka bilang kalau aku tidak melakukannya, nama baik keluarga kami akan hancur. Mereka bahkan mengancam-"
"Cukup!" potong Elias tiba-tiba, nadanya meninggi, membuat Rubiana terkejut.
Ia menatap gadis itu tajam, rahangnya mengeras. "Jadi keluargamu berpikir bisa mempermainkan Elias Spencer begitu saja?Mereka menukar pengantin, tanpa sepengetahuanku, hanya untuk menyelamatkan reputasi mereka?"
Suara pria itu kini bergetar karena amarah yang ditahan. Rubiana yang mendengar hanya bisa menunduk takut.
"Kau tahu siapa yang mereka tipu, Miss. Adams?" Elias melangkah mendekat, suaranya semakin rendah tapi menusuk. "Kau tahu berapa banyak hal yang telah kulakukan untuk sampai ke titik ini? Aku tidak menikahi Vivian karena cinta, aku menikahinya karena janji yang harus kutepati pada adikku. Pada Liana."
Rubiana mengangkat wajah perlahan, matanya basah. Elias bilang kalau adik perempuannya mendapatkan rundungan dari Vivian.
Elias tersenyum getir, tapi senyuman itu tak mengandung kebahagiaan sama sekali. "Kau tidak tahu, tentu saja. Liana adikku. Dia dihancurkan oleh Vivian. Saudarimu. Gadis yang kau bela dengan menggantikan posisinya sebagai pengantinku."
Rubiana terdiam, darahnya seakan berhenti mengalir. "Dihancurkan?"
Kata itu seperti duri yang menancap di dadanya.
"Vivian mempermalukannya di depan seluruh kampus, menelanjanginya, menyebarkan videonya, dirundung, sampai Liana tak sanggup lagi menatap dunia. Adikku yang tidak bersalah harus mengalami hal seperti itu," Elias berkata lirih tapi dingin, matanya menatap kosong ke arah jendela.
Rubiana membekap mulutnya, menahan tangis yang nyaris pecah. Hatinya bergetar hebat, matanya membesar tak percaya.
"Vivian melakukan semua itu?"
"Dia melakukannya," potong Elias tajam, tatapannya kembali menusuk. "Setiap kata yang keluar dari bibirmu akan membuatku semakin muak. Karena kau memiliki darah yang sama dengannya."
Keheningan menyelimuti kamar. Hanya bunyi detak jam dinding yang perlahan terasa menyayat. Rubiana gemetar, menunduk, menahan isak yang menggumpal di tenggorokannya.
Elias berdiri lama di sana, kedua tangannya terkepal di sisi tubuh. Antara amarah dan keterkejutan, antara dendam dan kesadaran pahit bahwa gadis di depannya bukanlah orang yang harus menanggung semua itu.
Beberapa saat kemudian, ia menghela napas berat, menatap Rubiana sekali lagi. Tatapan itu kini tak hanya dingin, ada sedikit rasa bersalah di baliknya, tapi tertutup rapat oleh keangkuhan.
"Jadi, kau dikorbankan oleh keluargamu sendiri," kata Elias akhirnya. "Lucu. Keluarga sepertimu benar-benar akan melakukan apa pun demi menyelamatkan nama mereka."
Rubiana menatapnya dengan air mata berlinang. "Aku tidak tahu apa pun, Mr. Spencer. Aku tidak tahu kalau Vivian telah melakukan hal seburuk itu."
Ia berbalik, berjalan ke arah meja kecil di dekat jendela, mengambil jaket yang tergantung di sana. Gerakannya cepat, teratur, tapi setiap langkahnya terasa berat, seperti menahan sesuatu yang ingin meledak dari dalam dadanya.
Rubiana menatap punggungnya yang tegap namun tegang. Ia ingin berkata sesuatu, meminta maaf, atau sekadar menjelaskan bahwa ia sama sekali tak tahu, tapi lidahnya kelu. Setiap kali ia membuka mulut, hanya isak yang keluar.
Elias menoleh setengah, tatapannya kembali tajam. "Aku tidak tahu siapa yang lebih kejam, saudarimu yang menghancurkan hidup orang lain, atau orang tuamu yang menjualmu untuk menutupi kebusukan mereka."
Wajah Rubiana memucat. Kata-kata itu seperti cambuk di wajahnya. Air mata kembali mengalir tanpa bisa dihentikan. Ia tahu dengan jelas bahwa apa yang Elias katakan benar, bahwa Rubiana juga selama ini selalu merasa kalau ia hanya seperti barang investasi.
Elias menatapnya lama, seolah menimbang apakah ia harus menambahkan sesuatu. Tapi akhirnya, ia hanya berkata dengan nada rendah namun dingin, "Urus dirimu. Kau berantakan," katanya.
Lalu ia membuka pintu dan keluar, meninggalkan aroma parfum maskulin yang samar, meninggalkan Rubiana sendirian dalam ruang yang terasa membeku.
Rubiana memeluk selimut, masih di atas tempat tidur. Tubuhnya terasa seperti bukan miliknya lagi. Luka fisik mungkin bisa sembuh, tapi luka batin yang ditinggalkan malam itu terasa dalam. Ia merasa seperti boneka yang dijatuhkan tanpa belas kasihan. Air mata menetes satu per satu, jatuh di atas punggung tangannya.
"Vivian," bisik Rubiana lirih. "Apa yang sebenarnya kau lakukan?"
Ia menatap ke luar jendela, ke langit yang perlahan berubah terang. Di luar sana, dunia tetap berjalan, burung-burung bernyanyi, matahari bersinar seperti tak ada yang salah. Tapi di dalam kamar itu, hidup Rubiana seolah berhenti di antara rasa bersalah, sakit, dan kebingungan.
Ia meraih selimut, berusaha menutup dirinya lebih rapat. Rasa perih di tubuhnya masih menyiksa. Setiap kali ia mencoba bergerak, nyeri itu datang seperti gelombang yang memukul tanpa henti. Tapi yang paling menyakitkan bukan luka di tubuh, melainkan pandangan dingin Elias yang membuatnya merasa kotor, tak pantas, dan tak berharga.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!