NovelToon NovelToon

Isekai To Zombie Game?!

Heroine

Part 1.

Hari Jum'at, adalah hari yang paling dinanti oleh Rea. Karena apa? Karena kantornya libur pada hari Sabtu dan Minggu. Itu menyenangkan! Bekerja sebagai asisten manajer keuangan membuat kepalanya terasa penat. Apalagi pas penghujung bulan seperti sekarang. Layar komputernya masih menyala di desk, menampilkan deretan angka di software Excel yang membuat matanya sering berkunang-kunang.

Dilirik jam ruangan Departemen Finance telah menunjukkan pukul empat sore. Masih sejam lagi. Tatapannya pun beralih menuju meja atasannya, yang sibuk berkutat dengan komputer. Rea yakin kalau Pak Rudi bermata sipit itu sedang asik bermain Card Master. Memangnya tidak bekerja? Mana ada manager yang kerja? Nanti mereka malah balik bertanya, buat apa ada asisten? Tanpa sadar Rea mendesah keras.

"Kenapa, Re? Kayaknya lagi mikirin masalah berat nih," tegur Pak Rudi.

Rea mendengus. "Iya, Bos. Berat! Seberat kerjaan saya yang gak seringan amplop gaji," celetuknya bete yang hanya ditanggapi tawa cekikikan Pak Rudi dan staf lain.

"Ya udah, sana kalo mau pulang."

"Bapak ngeledek, ya? Mana berani saya turun gedung waktu jam kantor terus gak balik lagi. Bisa dikasih SP1 sama HRD." Lagi-lagi mereka tertawa.

"Kerjaan dah selesai belom?" tanya manager itu.

"Belumlah. Tinggal setengah lagi cek laporan kelar."

"Oooh, sampai selesai, ya. Senin dah harus naik ke GM."

"Astagaaaa, lembur doooong. Dapat lemburan ya, Pak!"

"Enggaaak doooong. Kan kamu yang kerjanya lelet," canda Pak Rudi walau sebenarnya tahu kalau Rea kerjanya sangat baik.

"Hiks, pelit."

Pukul sebelas malam akhirnya Rea sampai di kostnya. Lelah, penat dan lapar. Karenanya, tubuhnya langsung terbaring di ranjang sebelum mengganti pakaian. Kasur busa murahan terasa seperti ranjang sultan Brunei saat ini. Lembut, empuk dan luar biasa nyaman. Ada sekitar sepuluh menit ia hanya termangu, bengong menatap langit-langit. Lalu tetiba ponsel dalam saku blazernya bergetar. Dirogohnya benda tersebut lantas melihat notifikasi yang muncul.

"Waaks! Di attack dong sarang guee! Nasib jadi player gratisan."

Ya, itu adalah notifikasi dari salah satu game yang dimainkan Rea. Sejak dulu ia memang senang bermain game. Impian absurdnya saja adalah bisa isekai ke game favoritnya. Di mana hidup rasanya akan jadi lebih mudah dan menyenangkan di sana. Contohnya seperti game yang sedang dipertimbangkan untuk dimainkan sekarang.

“Hm, game Dragon Realm ini bagus banget desainnya. Coba bisa isekai ke sana. Bisa cuci mata tiap hari lihat NPC ganteng-ganteng. Nih, Astralis Saga juga bagus. Berpetualang di dunia ajaib. Terus ada juga game ini … yang ini juga. Huuuuhuuu, suka semua! Mau main yang mana dulu ya?”

Matanya tetiba mengerling pada icon game bergambar lumayan menyeramkan. Apocalypse. Game yang terpaksa ia mainkan karena ikut aplikasi penghasil uang yang memberi misi memainkan game yang direkomendasikan. Sudah setahun ia memainkannya, dan semua misi aplikasi itu sebenarnya juga sudah kelar dituntaskan. Tadinya ia berniat pensiun dan meng-uninstall game tersebut jika misi selesai, tetapi entah mengapa ia malah terpesona oleh para player yang berkutat dalam game survival tersebut.

Di game manapun yang jenisnya berkumpul dan berkompetisi, sudah pasti ada fitur chat global. Tempat para pemain berinteraksi. Fasilitas itu kadang kala tidak digunakan secara positif, malahan lebih sering dipakai untuk ribut, memaki, menghina, rasisme dan drama. Itu adalah hal yang biasa dalam dunia game. Bagi Rea justru disitulah menariknya. Gue suka drama dan keributan! Hahaha! Karena itulah Rea masih melanjutkan game bertemakan hal yang kurang disukainya.

Bicara soal game ini, tentunya ada yang namanya perkumpulan untuk para pemain agar bisa berkompetisi secara berkelompok. Setiap game menyebut kelompok dengan sebutan khasnya masing-masing. Ada yang menggunakan kata Clan, Klub, Aliansi, dan sebagainya. Untuk game ini kata Clan menjadi pilihan. Tentu saja ia tergabung dalam sebuah Clan yang cukup besar dan kuat. Meski begitu ia memang kurang aktif berinteraksi dengan sesama anggota Clan yang lain yang notabene kebanyakan player pria. Jelas-jelas itu makin membuatnya enggan mengobrol sebab dirasa pembicaraannya nanti takut tidak nyambung. Apalagi sejak kejadian insiden menyedihkan itu, ia agaknya sedikit sakit hati. Yang membuatnya bertahan di Clan tersebut adalah leader clannya yang agak beda dari tipikal player yang lain. Gayanya tengil, sok, menyebalkan, tukang modusin player cewek, tapi di satu sisi sebenarnya ia baik dan bisa diandalkan. Walau bicaranya ceplas-ceplos, tapi isi kalimatnya memang benar adanya begitu. Sebenarnya ia kagum pada sosok karakternya yang berani hingga dikatakan player lain sebagai orang yang berjiwa bar-bar.

Namun dari semua pemain, sebenarnya ada satu sosok player yang sangat diidolakan hampir semua pemain yang berasal dari Indonesia. Termasuk dirinya. Drama player ini yang paling terkenal seserver. Kisahnya hampir mirip karakter antihero dari manga populer. Dituduh pengkhianat oleh clannya sendiri yang merupakan clan terkuat di server. Clan itu beranggotakan para spender, pemain yang tidak segan menggelontorkan uang demi menaikkan power hero miliknya. Memikirkan betapa mudahnya orang kaya membuang uang untuk membeli perintilan game hingga ratusan juta sungguh membuat Rea iri. Jangankan untuk game, buat makan saja ia sudah bekerja layaknya budak korporat.

Tetiba terdengar suara keroncongan dari perut Rea. "Astaga! Lupa makan! Udah jam segini aja sih!"

Gadis itu pun bangkit sambil meletakkan ponselnya di nakas lalu merapikan rambut hitamnya yang panjang sepinggang. Tanpa mengganti pakaian ia bergegas menuju warteg langganan yang buka 24 jam. Gang kecil menuju jalan besar tampak sepi dan remang, hanya diterangi sebuah lampu dari tiang listrik yang berdiri sendirian. Jalan landai ini diapit deretan rumah dan kost-kostan. Tak biasanya jam segini sudah tidak ada orang. Di pos ronda ujung gang biasanya masih ada beberapa anak muda yang berkumpul sambil mabar game Hero Legend.

Rea merapatkan blazernya sebab entah mengapa tetiba lampu tiang berkedip menambah keseraman jalan kecil ini. “Aneh banget gak sih?” gumamnya yang menghibur diri agar tidak terasa terlalu sunyi.

Semakin langkah bertambah, terasa kian berat napasnya. Terutama pandangannya yang jadi agak buram ketika melihat ujung gang yang sedikit lagi sampai. Firasatnya mengatakan bahwa ada sesuatu yang salah di sana. Jalan besar di ujung gang tampak gelap. Padahal seharusnya terang benderang sebab ada gerai Indomax yang buka seharian penuh. Sudah pasti lampu toko akan menerangi jalan. Rea mengusap mata beberapa kali. “Apa ini efek belum makan?”

Tanpa memedulikan firasat buruknya, ia terus melangkah maju agak terhuyung. Kepalanya sedikit sakit kala terdengar suara berdenging yang menyengat telinga. Tanpa disadari, kini tepat dihadapannya ada lembar tipis hologram yang sesekali berkedip antara gelap dan terang. Mengaburkan pemandangan asli dimana per-sekian detik kemudian berganti sebuah ruangan gelap yang aneh.

Hal di luar nalar pun terjadi ketika Rea menembus hologram tersebut, yaitu melewati batas antara ujung gang dan jalan besar. Seketika seluruh tubuhnya bergetar seperti tersengat listrik. Penglihatannya sebelum gelap memperlihatkan pemandangan yang janggal, sebuah ruangan remang di mana terdapat ranjang dorong khas milik rumah sakit. Alisnya sedikit berkedut merasakan sebuah benda yang tetiba terselip dalam genggamannya. Yang terpikirkan olehnya kala itu adalah betapa lapar dirinya sampai harus kehilangan kesadaran. Sedetik kemudian pandangannya gelap total, dan tubuhnya jatuh ke lantai yang dingin.

Beneran Isekai Dong?!

Part 2.

Kelopak mata Mirai yang tertutup menunjukkan adanya gerakan. Tak lama sepasang mata cantik itu terbuka perlahan. Irama napasnya mengalun lemah bersamaan dengan kesadaran yang berangsur pulih. Jemarinya bergerak-gerak mendahului bagian tubuh lain yang lemas akibat sensasi tersengat listrik. Ini pertama kalinya Mirai merasakannya. Benar-benar tidak nyaman.

Setelah pandangan buramnya semakin jernih, ia berusaha mendudukkan diri. Begitu berhasil, digelengkan kepalanya demi menyingkirkan penat yang mendera. Di antara itu semua ujung matanya masih bisa menangkap panorama yang janggal. "Ini di mana?" Matanya menangkap bahwasanya dirinya berada dalam sebuah bangsal bedah rumah sakit. Sontak tubuhnya bergidik ngeri. "Apa-apaan ini?!" desisnya bingung.

Tetiba ia tersentak oleh benda dalam genggamannya. Mirai membuka telapak tangan dan menemukan sebuah lencana berbentuk bintang berwarna merah. Di tengah lencana tersebut terdapat tulisan timbul yang membentuk sebuah nama. "Erica?" Di baliknya tertera sebuah nomor yang tampak tenggelam dari permukaan. "Sebelas?"

Meski heran tetapi Mirai belum ingin memikirkan dari mana benda yang bukan miliknya ini berasal. Dimasukkan lencana tadi ke dalam saku blazer yang seketika juga teringat kalau ponselnya tidak berada di sana. "Aish, sial. Ketinggalan di kasur itu hp," gerutunya. Padahal ia berniat menelpon temannya dan minta tolong dijemput karena takut berada di sini. Yah, entah di mana dirinya sekarang. Dan orang gila mana yang berhasil membawanya ke sini.

Disebar pandangannya ke segala penjuru ruangan. "Beneran ruang bedah." Namun tampak terbengkalai. Kasur bedah yang tergeletak miring dari posisi seharusnya, peralatan bedah yang berserak di nakas serta di lantai, tiang infus dengan kantung yang sudah kempis dan kosong. Semuanya benar-benar berantakan. Terlebih tidak ada sosok lain selain dirinya. "Gak ada orang," sungutnya takut. Air liurnya tertelan cukup alot. "Plis! Jangan ada hantu yang muncul."

Mirai pun panik, terbukti dari irama napasnya yang berantakan. Apalagi aroma ruangan yang berbau busuk jadi semakin membuatnya merasa sesak. Ia mencoba berdiri, namun kentara sekali kalau kakinya gemetaran. Bibirnya mulai bergetar saking bingungnya. "Ya ampuuun, siapa orang iseng yang ngebawa gue ke sini? Tega bener siiiih," isaknya serak sebab matanya kini berair, wajahnya yang putih memerah sembab.

Akhirnya ia berhasil berdiri setelah bersusah payah menaklukkan ketakutannya. Hal pertama yang dilakukan adalah terdiam cukup lama mengamati keadaan seolah menunggu sesuatu akan terjadi. Atau setidaknya menanti seseorang yang membawanya kemari muncul di hadapannya. Biasanya bila pelakunya seorang penculik, yang kemungkinan besar adalah psikopat, mereka akan menunggu di suatu tempat sambil memperhatikan korbannya bergerak. Begitulah yang sering ia tonton di film-film thriller.

Sekian lama berlalu tidak ada pertanda apa pun. Ini aneh. "Gimana iniiiii," isaknya bingung. "Dah lah, yang penting keluar aja dulu!" cetusnya sambil celingukan mencari pintu. "Di sana!" Ternyata pintu ganda itu berada tepat di sisi kanannya. Butuh sepuluh langkah untuk mencapainya.

Saat menyentuh gagang pintu, jantung Mirai berpacu cepat. Tangannya gemetaran, tetapi ia harus menguatkan hati demi keluar dari tempat ini dan kembali ke kostan dengan selamat tanpa kekurangan suatu apa pun. Bibir bawahnya tergigit kuat ketika ia mendorong pelan pintu itu.

Krieeeeeet.

Bunyi derak papan pintu membuat bulu kuduk berdiri. Terlebih ketika pemandangan yang disajikan di baliknya sungguh membuat jantung Mirai hampir melompat keluar. Lorong panjang rumah sakit tampak gelap. Namun di beberapa bagian yang terdapat jendela, area lantainya cukup terang karena disinari cahaya temaram dari bulan di luar sana.

Walau ragu mendera, Mirai tak punya pilihan selain melangkah keluar. Bila kondisinya ditelaah, ia masih lengkap mengenakan setelan kantoran berupa blazer hitam, kemeja putih tanpa lengan dipadu celana bahan panjang. Hanya saja alas kakinya adalah sandal jepit. Ini setelan yang tidak fleksibel bila dipakai lari dari kejaran penculik. Tuhaaaan, kenapa nasib gue jelek banget.

Ditelusuri lorong remang secara perlahan di bagian tepi gedung melewati pintu-pintu bangsal pasien. Tepat di sisi kanan terdapat tiga jajar jendela besar. Sebelum melewati jendela pertama, Mirai menangkap sesuatu yang aneh di luar sana. Kayaknya ini di lantai atas, deh. Entah lantai berapa. Gila juga nih orang iseng yang gotong gue ke sini.

Deg.

Mirai langsung bersembunyi di balik dinding tepi jendela. Wajahnya pucat pasi, seluruh tubuhnya gemetaran.* Aaaaapppaa iiitttuuuu? Appaaa ituuu? Apa ituuu? Appaaa ituuu?! Kok bisa ada mata segede ituuuu?!*

Ya, di penampang jendela tampak sebuah mata sebesar ukuran jendela tersebut. Awalnya mata itu tidak tertuju pada jendela, namun gerakan siluet Mirai sempat mengusiknya. Mata itu melirik pada daun jendela. Memperhatikan secara seksama untuk waktu yang cukup lama, tetapi tampaknya tidak ada pergerakan apa pun. Perhatian mata besar itu kembali beralih ke depan.

ITU APAAAAAA?! SETAN?! HANTU?! GENDERUWO?! GILA! GEDE BANGEEEET!!

Mirai tak habis pikir. Bagaimana bisa ada mata sebesar itu di luar sana? Ditelan ludahnya dengan susah payah sebab bingung harus berbuat apa. Dicoba diintip sedikit namun ternyata bola mata itu masih ada di sana dan bukan halusinasinya.

Gimana iniiiii? Gue gak ngertiiiiiii. Sumpah gue gak ngerti!! Ini gue lagi ngimpi kali yaa?!

Dicubit lengan kirinya sekuat mungkin sambil merapatkan bibir agar tidak mengaduh terlalu kencang. Ternyata pada kenyataannya cubitan itu terasa menyakitkan. Artinya ini bukan mimpi!

Tetiba terdengar suara berdebum yang sangat keras layaknya langkah kaki raksasa.

Dia gerak!

Diintip kembali seawas mungkin agar tidak menarik perhatian demi melihat apa yang terjadi di luar. Tak pelak mata Mirai membesar tak percaya. Sesosok monster setinggi gedung empat lantai tengah berjalan membelakanginya. Isi hatinya bahkan sampai tak bisa berkata apa pun. Namun, entah mengapa perawakan monster itu tampak sangat familiar di dalam ingatannya.

Setelah suara berdebum yang dihasilkan dari langkah kaki monster tadi semakin menjauh, Mirai lekas menelisik pemandangan di luar. Sungguh mengejutkan! Peradaban seolah telah menjadi masa lalu. Gedung-gedung yang tidak dikenalnya telah rusak, keropos termakan waktu serta ditumbuhi tanaman rambat. Begitu pula dengan yang terjadi pada jalanan. Aspal jalan retak di sana-sini, bahkan ditumbuhi rerumputan dan ilalang di celahnya. Mobil-mobil tergeletak terbengkalai hingga berkarat, sebagian besar ringsek tak beraturan seperti habis diinjak secara ganas. Sejauh mata memandang tak ada apa pun selain kesuraman dan sisa kepergian monster tadi. Sungguh, Mirai sama sekali tidak mengenali tempat ini selama hidupnya.

I-iniiiiii di manaaaaa?!

Mirai menatap langit hitam berhias lautan bintang yang berkilauan. Itu efek dari cahaya kota yang padam, jadi wajar bila langit terlihat lebih cemerlang. Meski indah, namun pada kenyataannya langit itu menaungi kegelapan yang mengerikan.

Di luar gelap dan berbahaya. Ya kali gue keluar malem-malem gini. Gak bawa hp. Gak ada senter. Apa nunggu pagi aja ya? Liat situasi dulu*. Hiks, apa gue sendirian di gedung ini? Masih mending deh kalau ada hantu. Setidaknya ada yang nemenin gue. Yang penting mukanya kagak nyeremin. Mikir apaan sih. Yang penting selamat tau!*

Tubuh Mirai pun merosot ke lantai. Duduk tanpa beralaskan sesuatu, alhasil pantatnya terasa dingin di lantai yang kotor. Tak lama air matanya mengalir meratapi nasibnya yang tragis. Mana perutnya keroncongan lagi.

Lepeeeeeeer! Gak sempet makaaaaaaaan. Hiks!

Yowai Mo!

Part 3

Ren membuka pintu kamar mandi karena sudah kebelet kencing. Sudah hampir lima belas menit menahan air seni di kantung prostatnya demi menyelesaikan game moba tanpa afk sebab sudah terlanjur masuk rank match. Namun tempat yang sangat diharapkan ketika ia melewati pintu secara terburu-buru ternyata berubah tanpa mampu dinalarnya secara baik.  "Apa-apaan nih!"

Bukan bilik toilet di rumahnya yang muncul, melainkan sebuah ruang persegi berjeruji besi. Tetiba Ren tersentak oleh kebutuhannya, tanpa pikir panjang ia menyudut di dinding, membuka resleting celana boxer lalu melampiaskan semuanya sampai lega. Seketika semerbak aroma pesing memenuhi ruangan.

"Haaaaih. Hampir aja kencing di celana," rutuknya lalu celingukan mengamati ruangan. "Lah, ini di mana dah?" tanyanya heran. Buru-buru ia membetulkan resletingnya tadi. "Kek penjara nih tempat. Lah bukannya gua di rumah?" cerocosnya lagi sambil mencoba membuka pintu jeruji yang ternyata tidak terkunci. "Beneran dah gua gak paham kenapa bisa begini. Mana gelap banget. Anjiiir tempat apaan ni? Gue lagi mimpi kali ya?" Ren balik menatap tempat tadi ia buang air yang masih bisa tercium aromanya dari tempatnya berdiri. "Yaelah, ngompol di kasur deh nih romannya."

Sontak tangannya lekas merogoh saku celana mencari ponselnya untuk menyalakan senter sebab lorong yang akan dilaluinya cukup gelap. "Yaelah, hp kan di kasur." Meski tak jadi menemukan benda itu, ia justru malah menemukan sebuah lencana bintang berwarna emas bertuliskan nama, "Leon?" Saat dibalik terdapat deretan angka. "34012." Lagi-lagi nama tersebut terasa familiar. Tidak berbeda dari Mirai, Ren memilih mengantonginya lagi sebab masih enggan memikirkan benda apa itu. "Ini di mana, sih? Mana hp ditinggal di kamar."

Mau tak mau, Ren keluar dari ruang jeruji melewati pintunya yang telah terbuka. Perlahan ia menyusuri lorong gelap yang diapit deretan sel tahanan yang kosong. Meski waspada ia sampai di ujung lorong menuju pintu keluar. Tepat di depan pintu ia malah termangu cukup lama. Otaknya sedang memproses situasi aneh ini. "Ini mimpi serem, ya? Kok* feeling* gue gak enak." Sekali lagi ia lebih memilih mengabaikan firasatnya. Dibuka pintu yang menimbulkan suara berderik khas film horor. Namun suara menyeramkan itu tidak menciutkan nyalinya.

Lorong panjang selebar dua meter diapit dinding bata berlumut hanya diterangi cahaya lampu kuning redup yang sesekali padam terbentang di balik pintu. Setidaknya Ren masih bisa melihat cukup jelas di sini. Kakinya melangkah tanpa ragu, tiada gentar, hanya rasa penasaran mengenai tempat ini. Di ujung lorong pendek ada tangga kecil menuju lantai atas. Ditapaki anak tangga hingga menuju pintu lagi. Sejauh ini hanya ada kesunyian. Wajar saja, siapa juga manusia yang mau berdiam diri di dalam lorong dan jeruji besi tadi kecuali hantu atau hewan pengerat.

Kini ia berdiri tegak di depan pintu yang diyakini sebagai jalan keluar. Saat memutar kenop pintu, daun telinga Ren mendengar suara langkah berat seperti diseret datang mendekat. Apakah ia perlu curiga? Waspada? Mungkin. Tapi baginya, setidaknya ada seseorang yang bisa ditanyai mengenai tempat asing ini. Yah, walau bukan hanya itu yang jadi pertanyaannya nanti.

Ketika pintu terbuka ia dikejutkan oleh sosok mengerikan yang mencoba menerkam. "Huuuuuaaaa!!!" Reflek ditendang manusia aneh yang seluruh tubuhnya hampir membusuk dan berbau tidak sedap. "Zombiiieee?!!!" pekik Ren yang bergegas keluar setelah zombie itu terdorong jatuh ke lantai. Tak dinyana ternyata masih banyak makhluk serupa lainnya yang berusaha menyergap dirinya.

Lari tunggang langgang tak menentu arah seraya dikejar zombie beringas melewati serta melompati banyak rintangan seperti kursi dan meja kantor yang berjajar berantakan membuat napas Ren hampir putus. Suara teriakan serak zombie bercampur benturan benda-benda yang jatuh mewarnai suasana. Matanya yang tajam melihat pintu ruangan yang terbuka. Tanpa pikir panjang ia masuk dan menutup pintu sesegera mungkin sebelum tangan zombie meraih kaosnya.

Suara benturan tubuh yang menabrakkan diri ke badan pintu saling bersahutan. Sekuat tenaga Ren menahan pintu agar tidak bobol sambil memutar kunci yang tersangkut di lubangnya. Beberapa saat kemudian suara beringas di luar mereda, barulah Ren mundur demi mengatur napas yang tersengal. "Anj****ng!! Apa-apaan??!!" Terlalu nyata jika ini mimpi, tapi serasa mustahil terjadi.

Di tengah kekacauan pikiran, Ren mengamati ruang sekitar, takut masih ada makhluk menyeramkan itu bersamanya di sini. Nyatanya ruangan yang mirip ruang loker ini sunyi tak berpenghuni. Mata Ren terfokus pada pintu loker bertuliskan sebuah nama. "Leon." Didekati pintu tersebut lalu membukanya. Terdapat seragam polisi khusus berwarna hitam yang tergantung di sana berserta boot yang tergeletak di lantai lemari.

Ren mengamati dirinya sendiri yang hanya mengenakan pakaian seadanya berupa kaos singlet, celana boxer dan tanpa alas kaki.

"Yang bener aja!"

Tanpa dikomando ia langsung mengenakan seragam milik Leon. Ternyata ukurannya tidak terlalu besar di tubuhnya. Aneh, pikirnya.

Kalau ditilik lagi, nama Leon juga tertera pada lencana yang kini berada dalam genggamannya. Ren mulai menduga pada hal yang tidak disukainya. "Gue tau siapa Leon! B*ngke!" Hendak ditendangnya pintu loker tapi tidak jadi karena takut gaduh dan menarik perhatian zombie di luar. "Sial! Sial! Sialaaaaan!!"

Sangking emosinya, dibuka semua lemari loker dan menemukan berbagai senjata api, bilah belati serta tonfa. Walau sudah menemukan beberapa benda untuk melakukan perlawanan, tetap saja tubuh Ren limbung dan merosot ke lantai. Wajahnya tampak pucat dan frustasi. "Ini sih gila! Berat banget, ngent- aarrgh!!" Diusap tengkuknya berulang kali mengingat kejadian tadi. "Gimana caranya survive di sini?!"

Tetiba Ren terpikirkan sesuatu. "Mudah-mudahan gue gak sendirian." Pandangannya berkeliling, menggapai-gapai udara seolah berharap sesuatu muncul di hadapannya. "Kok aneh! Seharusnya kan ada 'sistem', tapi ini gak ada yang muncul. Yang bener aja. Ini sih buta namanya. Padahal gue butuh map sekarang!"

Diacak-acak rambut depannya sambil berpikir melihat sekeliling. "Ini kantor polisi tempat Leon kerja. Di kota apa, ya? Hadeeeh, gue paling males baca bio hero. Mau gak mau gue mesti explore manual. Tapi gede resikonya. Yang jadi pertanyaan, kalau mati apa bisa* respwan*? Ya kali gue mesti nyoba. Mampus kalo kagak bisa idup lagi."

Ren mencoba berdiri walau kedua bilah kakinya masih terasa lunglai. Sejujurnya ia cukup shock oleh keadaan ini. Diingat-ingat segala struktur dari dunia ini. "Shelter, Clan, Village, terus misi story?" Direnggut rambutnya. "Ini game builder Shelter. Perang antar Clan dan server. Gak ada endingnya!" gumamnya frustasi. "Terus gimana caranya keluar dari sini?!"

Dilihat lencana miliknya yang berwarna emas. "Leon masuk kategori hero rank gold. Apa lencana ini artinya gue megang Hero Leon?" Dielus dagunya sambil berpikir. "Lumayanlah dapat hero rank gold. Kalo gak salah inget dari bawah urutannya Hijau, Biru, Ungu, Gold." Tetiba ia teringat sesuatu. "Hero yang baru rilis minggu kemarin ada dua orang kalo gak salah, ranknya merah. Apa lebih tinggi dari gold? Tapi status sama kemampuannya biasa aja, makanya gue gak beli tuh hero. Dah lah, pusing gue mikirinnya. Terus ini angka maksudnya apaan deh?" Ren menghela napas panjang. "Masih misteri."

Matanya melirik pada senjata yang dikumpulkan tadi.

"Gak ada gunanya kalo cuma diam mikirin doang. Emang jalan satu-satunya gue harus keluar. Gue udah diundang, udah pasti ada jalan buat pulang!" ucapnya sok yakin. Setelah semua hal yang dibutuhkan dirasa cukup dari ruangan itu, Ren menarik napas panjang sebelum membuka pintu. Sorot matanya berubah tajam. Tonfa di kedua sisi tangannya telah siap. Senjata api laras panjang terkalung di punggung, pistol jenis magnum dengan jumlah peluru terbatas terselip di pinggang. Dan belati sudah bersarang di sisi sarung sepatu bootnya.

Ketika pintu terbuka, Ren langsung disambut geraman ganas zombie berseragam polisi dan tahanan. Bau anyir menusuk hidung, borgol berkarat masih menggantung di pergelangan tangan sebagian dari mereka. Ren tidak punya pilihan selain menerobos—kalau tidak, ia pasti akan mati kelaparan karena terjebak di sana.

Entah bagaimana insting dan refleksnya bekerja di luar nalar. Tubuhnya bergerak seolah mengingat latihan bela diri yang tak pernah ia jalani. Setiap gerakannya dinamis, berbobot, namun lincah. Tonfa di tangannya menari, diikuti tendangan cepat yang mematahkan tulang busuk.

Zombie-zombie itu tidak seperti mayat hidup lamban. Mereka cepat, kuat, bahkan sekali pukul meja kantor hancur berkeping. Ren merasakan keringat dingin di punggungnya. Satu langkah salah, tamatlah riwayatnya.

Dan Ren terpojok masuk ke dalam ruangan lain. Sebuah ruang kepala kepolisian di mana terdapat dua buah katana bersarung warna hitam dan putih yang terpajang di nakas belakang meja kantornya. Tanpa banyak berpikir, Ren meraih sarung hitam, menarik isinya keluar, kilauan baja dingin itu seolah menyulut kembali semangatnya. Kepercayaan diri yang sempat terkikis perlahan kembali, menggantikan rasa putus asa menghadapi zombie yang tak kunjung habis. Tubuhnya banjir keringat, tapi tekad hidupnya lebih panas daripada rasa lelah yang membakar otot.

Dengan cengkeraman mantap, ia menerjang keluar lagi, mengayunkan katana ke kanan-kiri, menebas tubuh busuk yang menghalangi jalannya. Suara gigi beradu, geraman, dan hentakan kaki zombie berpadu dengan deru napasnya. Dan di tengah hiruk-pikuk neraka itu, Ren mendongakkan kepala, urat lehernya menegang, lalu berteriak dengan suara menggelegar, membawa slogan khas karakter anime terkenal yang selalu ia pakai saat membantai sarang musuh di dunia game.

“YOWAIIIIII MOOOOOOOO!!”

Suara itu bergema, membuat seisi ruangan seakan bergetar, bukan hanya pekik perlawanan, tapi juga pernyataan mutlak: Gua bukan makanan!

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!