.
“Nona Sharmila, Anda benar-benar cantik. Pengantin tercantik yang pernah saya temui.”
“Stop, Jeni. Jangan membual lagi!”
Gadis cantik yang sedang duduk di depan cermin, dengan wajahnya yang sudah bersemu merah, memicingkan matanya ke arah Jeni, petugas MUA yang menatapnya dengan pandangan takjub.
“Ish, saya serius, Nona.” Jeni tak mau mengalah.
“Sudah sana! Lihat apa persiapan sudah sempurna!” perintahnya dengan wajah kian merah.
“Baiklah, saya akan ke depan.” Jeni berlari kecil meninggalkan kamar hotel di mana Sharmila sedang dirias.
Sharmila menepuk-nepuk pipinya, mencoba menetralkan wajahnya yang masih merah. “Apa aku benar-benar secantik itu?” Bertanya sambil menatap cermin. Tersenyum sendiri. Hari ini hari bahagianya. Akhirnya ia akan menikah setelah tiga tahun berpacaran dengan Devan, seorang bos perusahaan entertainment.
Tring…
Tring…
Tring…
Tiga notif pesan masuk secara beruntun, membuat Sharmila mengerutkan keningnya. Berdiri dari duduknya di depan meja rias, melangkah ke arah ranjang. Tangannya yang telah dihiasi cantik terulur untuk mengambil ponsel yang tergeletak di sana.
Pesan gambar dari nomor tak dikenal. Sharmila membukanya karena penasaran.
“Ini…?” Tubuhnya terhuyung dan jatuh terduduk di tepi ranjang. “Devan, kamu mengkhianati aku?”
Tring…
Satu pesan kembali masuk. Vivian. Nama kontak adik sepupunya sebagai pengirim.
“Kakak, maaf ya. Aku pinjam kak Devan sebentar saja.”
Deg
Hati Sharmila bagai ditikam dengan belati beracun. Pesan dari Vivian. Dan juga pesan gambar beberapa saat sebelumnya. Dalam gambar itu jelas-jelas Vivian yang ada dalam gendongan Devan.
“Dia bilang ada pemotretan. Jadi ternyata…?”
Air mata meluncur tanpa dia sadari. “Devan, di saat mendesak seperti ini, kamu bahkan tetap lebih mementingkan Vivian? Padahal ini adalah hari sakral bagi kita. Jika suatu saat kita sudah menikah, apa kau juga akan tetap berlari jika dia memanggil?”
Di kota XX di apartemen Vivian.
Vivian merangkak di atas tempat tidur, yang mana ada Devan yang masih tertidur pulas. Melihat pria itu tertidur pulas dengan tidak tahu malunya Vivian mencuri ciuman pria itu, merasai bibir yang tampak kehitaman akibat kebanyakan nikotin. Memanfaatkan pria itu yang tengah terbuai mimpi.
Merasa terusik, Devan menggeliat dan membuka matanya.
“Selamat pagi, Kak Devan.” Vivian yang sudah kembali berbaring di samping pria itu menyunggingkan senyum manis.
“Ya Tuhan.” Devan tersentak kaget seperti baru tersadar. “Jam berapa sekarang?” tanya pria itu sedikit, ingat, hanya sedikit saja berusaha menghindari sentuhan dengan Vivian. Merasa bibirnya basah, mengusap dengan punggung tangan, tapi tetap acuh.
Vivian melirik penunjuk waktu yang ada di dinding. “Sekarang jam sepuluh pagi lewat, Kak,” jawab wanita itu.
“Apa jam sepuluh lewat? Hari ini jam 12.00 adalah pernikahanku dengan Sharmila. Bagaimana bisa aku tertidur di sini?” ucap pria itu lalu berburu-buru bangkit hendak turun dari ranjang.
Akan tetapi dengan cepat Vivian menggerakkan tangannya mencekal lengan pria itu. “Tunggu dulu kak Devan. Jangan pergi dulu! Di luar ada hujan deras dan kabut tebal, semua penerbangan dibatalkan,” ucap wanita itu
“Apa?” tanya Devan panik dan tidak percaya. sementara Vivian diam-diam tersenyum.
“Hari ini adalah hari pernikahanku dengan Sharmila. Bisa-bisanya sekarang aku terjebak di sini.” Devan Ingin turun dari ranjang tapi lagi-lagi Vivian menahan tangannya.
“Di luar kabut tebal karena hujan sangat deras, cuaca sangat buruk, jadi semua penerbangan dibatalkan semua,” ucap wanita itu. "Kenapa tidak bilang saja pada Kakak, biar acaranya diundur sehari.”
“Tidak bisa. Ini adalah acara pernikahan. Bagaimana bisa diundur? Aku harus mencari cara untuk bisa kembali.”
Melepaskan genggaman tangan Vivian di pergelangan tangannya, Devan tetap turun dari ranjang dan berniat hendak keluar dari kamar.
Kesal karena kata-katanya tidak digubris oleh Devan, Vivian menyeringai licik. Wanita itu ikut turun dari ranjang dari arah berlawanan, menghadang langkah Devan lalu berpura-pura merintih memegang pinggangnya sambil meringis.
“Aduh, pinggangku sakit sekali,” rintih wanita itu. Tubuhnya terhuyung nyaris jatuh.
“Hati-hati!” Dengan tangkas Devan menangkap tubuh Vivian. Tidak tahu bahwa Vivian hanya sedang berpura-pura.
Dengan raut bersalahnya Vivian menatap ke arah Devan. “Baiklah jika kakak ingin pulang. Biar aku tanya pada temanku yang kerja di bandara dulu, mungkin saja ada cara agar Kakak bisa kembali.” Sambil berbicara, Vivian mendesis meringis seolah menahan sakit pada pinggangnya.
Devan menghela napas panjang. Melihat penunjuk waktu yang semakin berjalan. Buru-buru sekalipun juga percuma, dia tidak akan sempat datang tepat waktu.
“Sudahlah… tidak perlu,” ucapnya lemah. Melihat Vivian yang seperti kesakitan Devan juga tidak tega. “Kamu baru saja keluar dari rumah sakit. Kamu juga butuh orang untuk menjaga kamu. Aku akan menjelaskan ini pada Sharmila nanti. Tidak usah dipikirkan!”
Sementara itu di tempat pernikahan,
“Saya sudah pernah mengurus banyak acara pernikahan, tapi baru pertama kali ini lihat pengantin pria seganteng Tuan Devan. Benar-benar serasi dengan nona Sharmila yang begitu cantik sempurna.” ucap Jeni.. Tangan wanita itu membenahi gaun yang melekat di tubuh Sharmila memastikan penampilan sahabatnya sempurna.
Sharmila masih menatap ke arah layar ponselnya. Apa pun yang diucapkan oleh Jeni, ia sama sekali tak mendengarnya. Gadis itu hanya duduk diam dengan pandangan kosong. Hingga ponsel yang ada di tangannya kembali berdering. Sharmila menatap layarnya.
“Devan?” gumamnya pelan.
“Wah, Tuan Devan sangat perhatian. Bahkan disaat seperti ini pun masih sempat menghubungi Nona Sharmila.”
Sharmila yang mendengar perkataan Jeni hanya menoleh sesaat sambil tersenyum dan kembali mengalihkan perhatian pada layar ponsel.
“Oh iya, Nona Sharmila. Saya akan keluar sebentar untuk mengambil sesuatu.” Jeni tidak ingin mengganggu privasi Sharmila, ia berlari keluar dari ruang rias setelah mendapat anggukan dari Sharmila.
Begitu Jeni tak lagi berada di dekatnya, Sharmila menggeser ikon hijau dan mendekatkan ke telinga. Wanita itu hanya diam, menunggu suara dari seberang.
“Sharmila?” panggil suara di seberang sana yang tak lain adalah Devan. “Maafkan aku tidak bisa datang hari ini. Aku sedang terjebak hujan kabut dan tidak bisa kemana-mana. Acara pernikahannya kita undur besok pagi saja, ya?” Suara Devan terdengar begitu berhati-hati.
Sharmila merasa dadanya sangat sesak. Acara pernikahan diundur pada saat seperti ini, sedangkan semua persiapan sudah selesai, hanya tinggal menunggu mempelai. Apa Devan masih waras?
“Sharmila, ini masih pagi. Tidak masalah kan kalau acaranya diundur besok saja? Mumpung persiapan belum selesai.” Devan bicara tanpa rasa bersalah, menganggap semuanya baik-baik saja. Itu hanya hal sepele. Hanya masalah pergantian waktu.
“Jangan khawatir. Kamu tidak usah pikirkan apapun. Aku sudah bicara dengan asistenku agar dia mengurus semuanya. Menjelaskan pada para tamu undangan dan pihak hotel.”
Suara Devan kembali terdengar, tapi Sharmila masih tetap diam.
“Soal kakek juga, kamu tenang saja. Nanti aku yang akan menjelaskan padanya.” Devan terus berbicara panjang lebar, menjelaskan segala solusi yang menurutnya sudah tepat, tanpa mempedulikan perasaan Sharmila.
“Sharmila? Kamu masih di sana kan?" Devan mendadak gelisah karena sejak tadi Sharmila hanya diam.
“Kamu sudah selesai bicara? Kamu minta aku untuk tenang? Kamu yang akan jelaskan? Devan apa kamu masih waras?” Sharmila berbicara dengan menahan dadanya yang bergemuruh.
"Sharmila, jangan kekanakan! Ini hanya masalah sepele!”
Sharmila tertawa terkekeh mendengar kata-kata Devan. Kekanakan katanya? Devan menganggap pernikahan mereka hanya hal sepele. “Devan, aku tahu semalam Vivian masuk rumah sakit. Karena itu kamu ke sana untuk menemani dia. Benar, kan?” Sharmila mencoba untuk bicara tanpa emosi, meski sebenarnya dadanya ingin meledak.
Tak ada jawaban membuat Sharmila mengerutkan kening lalu kembali tertawa terkekeh. “Oh… Bukan di rumah sakit, ya? Berarti kamu sedang ada di apartemennya. Apa tebakanku ini benar?”
“Sharmila, aku…”
Hanya dua kata yang sudah bisa menjelaskan segalanya, membuat Sharmila semakin terkekeh.
“Devan, pernikahan ini batal. Kita, putus!”
.
“Bukan berada di rumah sakit, ya? Berarti kamu sedang ada di apartemen Vivian?. Apa tebakanku ini benar?”
Hening lagi-lagi tak ada jawaban membuat Sharmila semakin terkekeh.
“Maafkan aku, Mila. Kemarin aku nggak kasih tahu kamu. Itu karena aku takut kamu salah paham.” Devan mencoba menenangkan calon istrinya.
Sharmila kembali terkekeh. “Takut aku salah paham? Di saat genting seperti ini kamu tidak datang tetapi malah memilih menemaninya, lalu kamu bilang takut aku salah paham? Kalau takut aku salah paham, kamu tidak akan pergi ke sana!” Sharmila sudah tidak bisa menahan diri untuk tidak berteriak.
“Sharmila. Kenapa kamu tidak suka pada Vivian? Dia adalah adikmu. Aku menjaganya hanya karena dia adalah adikmu. Tidak ada yang lebih. Tidak ada hubungan apa-apa antara aku dan Vivian.” Devan memberikan alasan. “Dia terluka dan aku ada di sana. Mana mungkin aku pura-pura tidak lihat? Apalagi dia adalah salah satu model di perusahaanku.”
Sharmila tertawa, menertawakan kebodohannya sendiri. “Iya kamu benar. Vivian adalah adikku. Tapi ini juga benar, dia adalah mantanmu. Kamu pergi mengurusi dia sebelum hari pernikahan kita, lalu kamu bilang aku yang nggak suka sama dia?”
Devan mendesah frustrasi. Kenapa Sharmila sama sekali tak mau mendengar alasannya. Bukankah ini terlalu kekanakan? Bagaimana bisa cemburu pada adik sendiri?
“Sharmila... pergi ke luar kota menjelang hari pernikahan memang adalah salahku. Tapi yang terpenting sekarang adalah menjelaskan kepada pihak WO dan para tamu yang terlanjur datang. Oke?”
Sharmila menarik nafas dalam-dalam. Ia harus membuat keputusan. Ini bukan sekali dua kali Devan. Lebih mementingkan Vivian. Ia tak mau terus berada dalam bayang-bayang Vivian. Bahkan untuk bersama dengan calon suaminya, dia harus mengalah pada Vivian. Menunggu Vivian selesai dengan urusannya dan melepas Devan . Tidak. Ia tak mau seperti itu.
“Devan pernikahan ini batal. Kita putus!”
“Sharmila, jangan bicara sembarangan!” Devan berteriak tidak terima dengan ucapan Sharmila.
“Aku akui. Seharusnya aku tidak boleh tidak datang di acara sakral seperti ini. Aku ngerti kamu marah. Aku akan jelaskan semua saat aku kembali nanti. Tapi tolong, jangan jadikan batal nikah dan putus itu sebagai candaan. kamu keterlaluan!”
Sharmila berdecak sinis. “Kamu kira aku bercanda? Kamu sudah melakukan hal seperti ini dan Kamu kira aku bercanda? Sejak kapan kamu jadi naif seperti itu?” Sharmila tertawa terbahak-bahak.
Devan merasa panik mendengar ucapan Sharmila, apalagi mendengar tawa wanita itu yang tak seperti biasanya. Tawa penuh cemooh menertawakan kebodohannya menertawakan kekonyolannya.
“Sharmila, tolong pikir dengan tenang! aku benar-benar minta maaf. Aku akan perbaiki semuanya. Aku yang akan tanggung semua ganti rugi pada pihak hotel dan WO yang harus bekerja dua kali.”
“Devan, jadi kau pikir ini hanya soal uang? Apa kau tidak pernah berpikir sedikitpun tentang harga diriku? Apa kau tidak berpikir aku sedang menjadi bahan lelucon? Apa kau tidak berpikir bahwa seluruh dunia sedang mencemooh aku?”
“Sharmila, aku tahu ini salah, tapi… “
Sudah cukup, Devan. Keputusanku sudah bulat. Mulai saat ini, tidak ada hubungan apa-apa di antara kita!”
“Sharmila, tunggu…!”
Mendengar Devan yang terus memohon kepada Sharmila, membuat Vivian merasa kesal.
“Kak Devan, pinggangku sakit sekali. Bisakah kakak tolong panggilkan dokter?”
Dengan susah payah Devan mencoba membujuk Sharmila, tapi dengan liciknya wanita itu memperburuk keadaan. Vivian ingin Sharmila semakin salah paham kepada Devan.
Dan benar, Sharmila yang mendengar suara Vivian semakin terkekeh. “Itu dengar! Kekasihmu sedang ingin dibelai. Sana layani dia!” ucap wanita itu sinis, lalu menutup panggilan.
*
Sementara itu di luar gedung, di area parkir hotel yang akan dijadikan tempat resepsi pernikahan.
Di dalam sebuah mobil mewah yang sedang terparkir, seorang pria tampan dengan wajah dingin menatap kaca di depannya dengan tatapan kosong. Dia adalah, Zayden Arya Pratama. Musuh bebuyutan Sharmila sejak mereka masih duduk di bangku SMA.
“Sharmila, apa akhirnya aku benar-benar tak memiliki kesempatan?” gumamnya.
“Setelah hari ini kamu akan bahagia dengan pria itu. Kenapa kau tak pernah melihat ke arahku?” Kedua mata itu sedang menatap ponsel di mana layarnya menampilkan berita yang sedang beredar saat ini.
“Kalau saja aku membongkar kedok pria itu di hadapanmu, kau akan berterima kasih, atau semakin membenciku?”
*
Kembali ke dalam hotel.
Sharmila meletakkan ponselnya di meja rias, lalu mengambil duduk dengan tenang. Ia harus berpikir tenang. Tidak boleh terbawa emosi.
“Vivian, kamu menang. Kamu berhasil membuktikan ucapanmu yang ingin merebut segalanya dariku.”
Sharmila memukul-mukul dadanya yang terasa sesak. Dia bisa saja berbicara dengan tegas dan kuat, seolah tak terjadi apa-apa. Namun, sebenarnya ia merasa sakit yang luar biasa.
Mengambil nafas dalam-dalam, tak masalah baginya jika batal menikah dengan Devan. Namun, bukan itu masalah yang ia pikirkan. Tapi tentang kakeknya. Kakek Julian sudah tua, dan sudah sangat lama menantikan pernikahan Sharmila. Pernikahan mereka sebelumnya selalu ditunda oleh Devan dengan berbagai alasan.
“Nona Sharmila!" Jeni masuk dengan tergopoh. “Asisten Tuan Devan baru saja telepon, katanya acaranya diundur jadi besok. Apakah itu benar?” Wajah wanita itu tampak panik.
.
Sharmila mengambil nafas panjang menatap ke arah Jeni. “Aku sudah tahu,’ ucap wanita itu.
“Apa? Apa maksudnya sudah tahu?” Jeni menjadi bingung. “Semua persiapan sudah selesai, hanya tinggal menunggu pengantin pria, lalu kenapa tiba-tiba dibatalkan?”
“Itu karena….”
“Mila! Apa maksudnya Devan ini?” Dewi, sahabat setia Sharmila berlari menerobos masuk ruang rias dengan membawa ponselnya yang terbuka menunjukkan layar ponsel itu pada Sharmila. Gosip terbaru yang sedang viral ada di layar ponsel Dewi.
“Aktris baru Vivian sakit, dan dilarikan di rumah sakit ditemani oleh pacarnya.”
Tiba-tiba bermunculan video di mana Devan sedang menggendong Vivian
Berbagai komentar muncul di postingan Vivian Ada yang mendukung Vivian, ada juga yang komentar yang merasa kasihan terhadap pengantin wanita.
“Akun sampah yang hanya asal,” pekik Dewi marah. “Mila, katakan padaku! Apa selama ini hubunganmu dengan Devan tidak baik-baik saja?"
"Sudahlah, lagian hubungan mereka juga sudah jadi rahasia umum.” Sharmila menanggapinya dengan enteng.
“Apa maksudmu, Mila? Jadi kau akan membiarkan saja pernikahan ini diundur? Aku yang tidak terima!" Dari benar-benar marah bahkan wanita itu hampir saja membanting ponselnya.
“Yang aku tahu dulu, waktu Vivian pacaran sama Devan, mereka memang betul-betul serasi.” Sharmila berbicara sambil memainkan ujung rambutnya.
“Mereka putus karena Vivian memutuskan mengejar mimpi sampai ke luar negeri. Waktu itu Devan sempat depresi dalam waktu lama, dan akhirnya dia keluar negeri untuk mengejar Vivian.”
“Tapi itu kan dulu? Bukankah setelah itu Devan memutuskan untuk menikah denganmu. Lalu kenapa sekarang lebih mementingkan Vivian? Bahkan sampai mengundur acara pernikahan?” Dewi masih juga tidak terima.
Sharmila tersenyum mengangkat wajahnya lalu menatap ke arah jeni. “Pernikahan tidak akan diundur. Lanjutkan saja semua persiapan!” perintahnya.
Jeni mengangguk, lalu segera keluar dari ruangan untuk mengerjakan apa yang diperintahkan oleh Sharmila. Mengkoordinir semua kru WO, mengabaikan berita dari asisten Devan.
Tring
Notif pesan di ponsel Sharmila kembali berbunyi. Sharmila membukanya dan ada kiriman video dari Vivian di mana dirinya sedang berduaan dengan Devan di apartemen.
Senyum miring tercetak di bibir Sharmila. “Kamu pikir kamu sudah menang? MIMPI!!!”
.
“Sekarang, jelaskan semua padaku!" Dewi segera mengambil tempat duduk di hadapan Sharmila.
Sharmila tersenyum. “Kemarin Vivian masuk rumah sakit dan Devan langsung pergi ke sana. Foto-foto itu aku sudah lihat tadi. Vivian yang sengaja mengirimnya, dan aku rasa dia sendiri juga yang menyebarkan ini. Menurutmu, apa tujuan Vivian?” Sharmila menatap sahabatnya penuh misteri.
“Vivian itu memang sudah gila. Dia kan sudah lama putus dengan Devan. Apa maksudnya membuat masalah seperti ini sebelum pernikahanmu?” Dewi menggeram marah.
Sharmila tertawa, menanggapi kekesalan Dewi dengan santai. Dia memang tahu sahabatnya itu begitu setiap padanya, dan begitu membenci Vivian.
“Pernikahan antara aku dan Devan, diatur oleh kakekku dan kakek Devan. Sebagai syarat Devan untuk bisa mewarisi harta keluarga Adinata.” Sharmila mulai menjelaskan.
"Maksudmu ini pernikahan bisnis?* tanya Dewi.
“Hum." Sharmila mengangguk. “David, ayahnya Vivian tidak mau aku masuk ke keluarga Adinata (keluarga Devan). Karena dia ingin Vivian yang jadi menantu keluarga Adinata. Dia juga takut aku mewarisi semua harta Kakek. Aku rasa itu sebabnya mereka berdua menyabotase pernikahan aku.”
Dengan tenang Sharmila mengambil gelas air putih yang tersedia di meja di depannya, meneguk isinya sebentar guna membasahi tenggorokan. Mengambil nafas dalam, wanita itu tetap berpikir logis.
“Jadi, Vivian melakukan ini karena perintah ayahnya, tapi bisa juga karena dia sendiri yang dendam padaku. Semua orang bahkan tahu sejak awal Vivian memang sangat membenciku. Dia tidak ingin aku lebih unggul darinya. Makanya, dia memang sengaja ingin membuat aku malu.”
“Kamu tidak marah?” tanya Dewi tidak percaya. Bisa-bisanya sahabatnya ini tetap bersikap tenang.
Sharmila menggeleng. “Sebelum kamu masuk Devan menelponku. Dia minta acara diundur. Tapi aku bilang sama dia, pernikahan ini batal dan hubungan kami putus.” Sharmila mengedipkan matanya genit.
Dewi menutup mulutnya dengan telapak tangan. Kedua matanya terbelalak lebar. Sedetik kemudian bersorak. “Yes!" Mengangkat kepalan tangan, dan menurunkan kembali dengan cepat.
“Devan memang pantas mendapatkan itu. Pria plin plan dan tidak punya pendirian seperti dia sama sekali tak layak untukmu.” Dewi berbicara dengan Gigi gemeretak. “Awas aja kalau aku ketemu dia.” Wanita yang bahkan meninju telapak tangannya sendiri.
Sharmila tertawa tergelak melihatnya. Dewi memang seabsurd itu.
“Tunggu!" Tiba-tiba Dewi berseru, seolah dia baru tersadar akan sesuatu. “Kamu bilang sudah membatalkan pernikahan dengan Devan. Lalu kenapa kamu suruh Jeni melanjutkan persiapan?" Wajah Dewi terlihat begitu bingung dan cemas.
Tetapi Sharmila menanggapinya dengan santai. “Tunggu saja, tenanglah pengantin prianya sudah ada.” Sharmila mengedipkan mata penuh misteri.
Dewi mengerutkan kening, “Benarkah? Siapa?” bertanya dengan wajah penuh penasaran.
Sharmila mendekatkan mulutnya ke telinga Dewi dan berbisik, “Zayden," Sharmila tertawa geli setelah menyebut nama itu.
"What…?!" Seketika mulut Dewi terbuka lebar. Begitupun matanya yang terbelalak tak percaya.
“Zayden si bad Boy? Serius kamu memilih dia sebagai mempelai pengganti?” Dewi benar-benar tidak percaya. Apa sahabatnya ini sudah gila? Sejak jaman abu-abu dulu, mereka adalah musuh bebuyutan. Bagaimana mungkin sekarang mereka berdua akan menikah?
“Kenapa tidak Zayden adalah orang yang sangat dibenci oleh Devan. Melihat Zayden menikah denganku akan membuat Devan kebakaran jenggot. Lagi pula Zayden lebih kaya daripada Devan. Itu sekaligus akan membuat Vivian mendapat pukulan telak. Ia pasti tidak akan menduga, aku gagal menikah dengan Devan malah mendapat sultan.” Sharmila berbicara sambil menaik turunkan alisnya.
Dewi bertepuk tangan gembira, bagaikan baru saja mendapat jackpot besar. “Wah idemu benar-benar cemerlang. Aku benar-benar ingin tahu reaksi mereka saat mengetahui bahwa suami penggantimu adalah Zayden.”
Sharmila tertawa terkekeh melihat wajah Dewi.
“Mila, aku masih bisa menjadi pendamping pengantin kan?” tanya Dewi tiba-tiba.
“Tentu saja! Kalau bukan kamu siapa lagi? Apa mungkin Vivian?” Sharmila terkekeh geli sedikit mencemooh.
“Yes. Aku akan ambil banyak foto dan video nanti. Aku akan tandai Vivian dan Devan. Hahhh, sayang sekali gak bisa lihat muka mereka.”
Sharmila hanya tersenyum geli melihat tingkah sahabatnya.
.
Beberapa saat lalu, setelah menerima telpon dari Devan, dan sebelum Dewi masuk dalam ruang rias.
“Vivian. Jangan pikir aku akan diam dan menangis di pojok kamar. Kamu salah besar!"
Sharmila kembali membuka ponsel yang baru saja ia tutup setelah bicara dengan Devan. Tangannya sibuk menggulir mencari satu nama yang mungkin bisa ia mintai tolong. Hingga satu kontak dalam grup kelas membuat jarinya berhenti bergerak.
“Zayden," gumamnya. Sharmila terdiam beberapa saat menimbang keputusan yang akan ia ambil, hingga kemudian ia tekan juga kontak itu.
Sementara itu di luar gedung, Zayden yang baru saja memutar kontak mobil, menarik tuas dan bersiap menginjak pedal gas, menghentikan gerakannya ketika ponselnya berdering.
“Mila?" gumamnya saat melihat kontak pemanggil. Zayden mengucek matanya berkali-kali takut salah melihat.
“Ini benar kontak Mila. Ada apa dia menghubungiku di saat seperti ini?" Setelah menetralkan degup jantungnya yang bertalu-talu akibat rasa bahagia, Zayden menggeser tombol hijau.
“Halo," sapanya datar.
"Ini aku, Sharmila.” terdengar suara yang benar-benar ia rindukan di seberang sana. Zayden memegang dadanya yang seakan mau meloncat keluar.
“Nona Sharmila Natakusuma. Aku kira aku salah lihat tadi. Bukankah Nona muda Natakusuma sedang bersuap untuk menjadi pengantin? Tapi kenapa masih sempat menelponku?” tanya pria itu dengan gaya tengil.
“Arya, berani-beraninya kamu mengejekku!” terdengar suara kesal dari seberang sana. Dan Arya, Sharmila satu-satunya yang pernah memanggilnya dengan nama itu.
Zayden tertawa terbahak-bahak. “Mana mungkin aku berani? Baiklah Nona Sharmila, sekarang katakan, ada apa Nona Sharmila menelponku?”
"Aku ingin buat kesepakatan denganmu. Menikahlah denganku! Aku akan bayar mahal untuk itu. Aku jamin kamu tidak akan merasa dirugikan.”
Zayden terbelalak sesaat. Berita tentang Devan yang sedang ramai di media bersama dengan Vivian, dia sudah melihat. Melihat kebiasaan Sharmila selama ini, dia juga sudah menduga Mila akan melakukan itu. Tapi dia tidak menyangka jika orang yang akan menjadi pilihan Mila adalah dirinya, mengingat selama ini mereka adalah musuh.
“Baiklah, katakan apa yang bisa aku dapatkan dari kesepakatan ini?"
"Bukankah kamu tertarik dengan proyek milik perusahaan Natakusuma yang ada di kota BB? Kalau kamu menikah denganku, aku akan berikan proyek itu padamu.”
“Wah, wah. Apakah Nona Sharmila benar-benar akan melepaskan proyek itu untukku?” Pria yang tersenyum lebar. Selama ini dia berusaha mendekati Mila dengan berbagai cara, termasuk mengejar proyek Natakusuma grup yang sebenarnya tidak terlalu berarti baginya. Namun, ia tak pernah berhasil. Tapi, kini kesempatan itu datang dengan sendirinya.
“Aku akan berikan kesempatan itu padamu. Kamu ke sini sekarang, kita menikah. Jangan khawatir aku tak kan mengikatmu selamanya. Kita bercerai setelah satu tahun.”
Zayden tertawa terbahak-bahak, namun dua tangannya terkepal dan rahangnya mengeras. Sorot matanya seakan bisa membakar apapun yang ada di hadapannya.“Mila, bukan kamu yang tidak akan mengikatku. Tapi aku yang bersumpah tak akan melepasmu selamanya," gumamnya dalam hati.
"Kenapa tertawa? Kamu nggak berani?" ejek Sharmila. Sejatinya wanita itu sedang khawatir jika Zayden menolak tawarannya.
“Nggak usah manasin aku,” sahut Zayden. "Duduklah dengan tenang, dan tunggu saja, aku pasti datang untuk menikahimu. Ngomong-ngomong, mahar apa yang kamu inginkan?”
“Aku tidak perlu apapun. Jika aku mau aku bisa beli sendiri. Jadi terserah kamu saja."
“Baiklah. Aku akan datang dalam lima belas menit."
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!