Di sebuah tempat pegunungan yang tertutupi oleh awan tipis, tepatnya di sebuah tanah yang menjorok keluar layaknya sebuah jurang yang amat curam.
Terdapat seorang wanita paruh baya sedang berteduh bersama segerombolan anak kecil di bawah pohon persik tua.
"Guru, maukah anda melanjutkan cerita tentang kisah pendekar Tang kemarin? Aku sangat penasaran dengan kisah selanjutnya," ujar salah satu anak perempuan pada gurunya.
"Pendekar Tang? Setahuku Guru belum pernah bercerita tentang pendekar itu," sahut anak lainnya.
Murid yang berkumpul di sana adalah anak-anak berusia lima sampai tujuh tahun. Jumlah mereka ada lima orang dengan tiga anak laki-laki di antaranya.
"Itu karena kau tidak hadir kemarin, Guru bahkan meceritakannya sambil tertawa dan sesekali mengeluarkan juga air mata."
"Sudah-sudah… Guru akan menceritakan kisah itu kembali hari ini, jadi tidak perlu bertengkar, ya." Wanita paruh baya itu melerai anak-anak di depannya. Ia merasa malu jika anak yang kemarin mendengarkan kisah darinya akan memebocorkan hal-hal memalukan yang lain.
"Guru sungguh sangat baik…" Kemudian anak-anak disana segera duduk bersila dengan rapi di hadapan sang Guru.
"Baiklah kalau begitu, simak baik-baik apa yang akan Guru sampaikan, ambil pelajaran yang bermakna darinya." Wanita paruh baya itu menarik napas sejenak sebelum mulai bercerita, "Kisah ini bermula sejak 3000 tahun lalu, menceritakan seorang pemuda bernama Tang Fu Chen…"
Anak-anak khusyuk mendengarkan sang Guru yang mulai bercerita. Suasana begitu hening, hanya ada suara hembusan angin dan kicauan burung yang menyertai wanita paruh baya itu bercerita.
Selendangnya berkibar mengikuti alunan angin di bawah sebatang pohon persik yang rindang.
***
Sebuah takdir membuat seorang pendekar muda harus berkelana di dunia yang penuh tipu muslihat. Di mana kekuatan dan kekuasaan akan menjadi tolak ukur martabat manusia, pertumpahan darah selalu terjadi setiap kali ia menginjakkan kaki.
Nyawa manusia seolah tak berharaga, setiap orang hanya memikirkan dirinya sendiri. Kemudian, pendekar muda dengan setumpuk beban di pundaknya akan menyusun kembali tatanan dunia itu. Namun, semua itu belum di mulai hingga kehancuran sisi kemausiaan sang pendekar muda selesai.
***
Matahari mulai menampakkan dirinya untuk menerangi sebuah Desa yang indah dan sejuk pada pagi hari.
Desa itu bernama Desa Bintang Jatuh. Nama yang di dapatkan karena sebuah cekungan raksasa yang di percaya sebagai lokasi jatuhnya bintang dari langit.
Di dalam cekungan itu di bangun sebuah gedung yang berfungsi sebagai tempat penyimpanan harta berharga milik warga Desa. Setiap Kepala keluarga akan di berikan sebuah kunci untuk membuka gedung serta pagar besar yang mengelilingi cekungan.
Namun, bukan berarti mereka dapat masuk ke sana sesuka hati. Di dalam gedung itu terdapat banyak kotak kayu dengan ukuran yang sama, serta sebuah patung tepat di tengah-tengah ruangan tersebut. Patung itu tampak seperti sedang mengawasi seisi ruangan.
Menunjukkan bahwa setiap pergerakan warga Desa yang masuk ke gedung itu akan selalu di pantau oleh para Dewa yang mereka percayai.
Saat matahari telah naik ke atas kepala, terlihat pria paruh baya yang berumur sekitar empat puluh tahun sedang beristirahat bersama istrinya di sebuah gubuk sederhana.
Di sekeliling gubuk terlihat hamparan sawah yang cukup luas, tepat di belakang gubuk itu juga ada sebuah aliran air yang mengairi sawah.
Pasangan suami istri itu nampak sedang mempersiapkan bekal makanan yang mereka bawa. Lalu di sawah tak jauh dari tempat mereka, terlihat dua orang anak kecil. Salah satu di antara mereka nampak seperti sedang mencari sesuatu sedangkan satu orang lainnya hanya menyaksikan.
"Chen'er… Mei'er, kemarilah! Makanan sudah siap," panggil Xin Xue kepada dua anaknya.
Kedua anak kecil itu pun langsung menghentikan kegiatan mereka.
"Apa kakak sudah mendapatkannya? Ibu sudah memanggil… aku pergi dulu ya…" ucap seorang gadis bernama Tang Fu Mei seraya meninggalkan kakaknya dan berlari menghampiri gubuk tempat ayah dan ibunya beristirahat.
"Hei, tunggu aku! Aku hampir mendapatkannya," sahut Tang Fu Chen yang masih sibuk mengais-ngais lumpur di depannya. Seketika, Tang Fu Chen langsung melompat ke lumpur karena menyadari ada pergerakan di sana.
"Hup, ah… dapat, Mei'er tunggu aku!" ucap Tang Fu Chen kegirangan lalu menyusul adiknya yang lebih dulu sampai di gubuk.
"Ibu… lihatlah, aku mendapatkan seekor keong, hehe…" Tang Fu Mei berkata pada ibunya sembari menjulurkan kedua tangan kecilnya dan memperlihatkan dua buah keong.
"Wah… itu bagus Mei'er. Segera basuh tangan mu, makanannya sudah siap," kata Xin Xue dengan senyum lembut kepada Tang Fu Mei.
"Baik-" Belum sempat Tang Fu Mei menyudahi kalimatnya, ia melihat sekujur tubuh kakaknya di penuhi lumpur dengan nafas yang tersenggal-senggal.
"Pfft… kak, kau terlihat seperti kerbau yang tadi membantu ayah membajak sawah…" Tang Fu Mei berusaha menahan tawa melihat kakaknya yang begitu konyol.
Tang Fu Chen tidak memperdulikan ejekan adiknya, ia hanya mendengus pelan dan berusaha mengatur napasnya kembali.
"Hmph... Ayah lihatlah, aku menangkap seekor belut!" ucapnya sambil tersenyum banga.
Belut di tangan Tang Fu Chen meronta ketika ia mengangkatnya. karena licin akhirnya belut itu berhasil melepaskan diri, Tang Fu Chen masih berusaha untuk menangkapnya namun sia-sia.
Belut itu sudah melarikan diri dan masuk ke aliran air di sana. Tang Fu Chen mematung melihat belut itu melarikan diri, semua usahanya terbuang begitu saja.
"Sudahlah, besok kau masih bisa menagkapnya…sekarang lebih baik kau bersihkan diri dulu, kita akan segera pulang setelah selesai makan," ucap Tang Shu menyemangati anaknya.
"Baik ayah…" Tang Fu Chen menjawab lemas.
Tang Fu Mei yang menyaksikan semuanya dari tadi hanya terkikik geli melihat kakaknya yang begitu memperihatinkan.
"Pencuri! Jangan biarkan pencuri itu kabur! Tangkap dia!"
Tiba-tiba terdengar teriakan beberapa warga dari arah sawah. Pandangan Tang Fu Chen dan keluarganya segera tertuju pada sumber suara itu, mata mereka kemudian melihat para warga sedang mengejar seseorang yang membawa sesuatu di pelukannya.
"Chen'er…" panggil Tang Shu dengan wajah serius.
Seolah mengetahui maksud ayahnya, Tang Fu Chen lekas menganggukkan kepala dan bergegas meningalkan gubuk.
"Kakak?" Tang Fu Mei terkejut melihat kakaknya berlari dengan cepat dan menyusul para warga.
Tang Fu Chen berlari kencang hingga dengan mudah menyusul rombongan warga dan mendahuluinya. Tidak jauh di depannya terlihat seseorang dengan pakaian lusuh, mungkinkah orang ini pencurinya?
Mengandalkan tubuhnya yang kecil, Tang Fu Chen dapat bergerak lincah di atas jalan yang licin dan hanya perlu beberapa saat hingga tangannya berhasil menggapai pakaian pencuri itu.
Pencuri itu kehilangan keseimbangan karena bajunya tertarik hingga membuatnya terpeleset dan jatuh ke parit. Tang Fu Chen masih tidak melepaskan tangannya agar pencuri itu tidak dapat kabur kembali.
"Hajar pencuri tidak tahu diri ini!"
Sekelompok warga yang tadi mengejar berniat untuk mengeroyok si pencuri namun segera di hadang oleh Tang Fu Chen.
"Tunggu!" seru Tang Fu Chan sambil berusaha menghalangi warga.
"Menyingkirlah anak muda! Kami akan mengurus pencuri ini."
"Aku bilang tunggu!" Tang Fu Chen menatap tajam pria yang baru saja berbicara.
Tanpa sadar mereka menelan ludah masing-masing lantaran takut sekaligus terkejut. Para warga itu hanya bisa diam sambil mengamati tindakan yang di ambil Tang Fu Chen setelahnya.
"Kau baik-baik saja?" Tang Fu Chen menjulurkan tangannya sambil tersenyum lembut.
Namun tidak ada jawaban dari sang pencuri, pemuda itu hanya meringkuk ketakutan sambil mendekap hasil curiannya.
"Apa kalian sudah menangkapnya?" Suara Tang Shu mengagetkan para warga karena tiba-tiba muncul. Mereka kemudian membukakan jalan untuknya.
"Saudara Shu, bocah itu telah mencuri roti di kedaiku. Mohon jangan menghalangi ku untuk menghukumnya," ucap seorang pria terbata-bata.
"Hmm…" Tang Shu mengamati wajah pencuri itu lebih dalam, dia tidak pernah melihat wajah sepertinya Di Desa.
"Bagaimana jika kita membawanya saja? Lagipula rotimu sudah di penuhi lumpur, memukulinya sekarang tidak menghasilkan apapun, kan?" Tang Shu bicara dengan senyum mengembang.
Pria yang bernama Hu Lingxi itu menggertakan giginya namun ia juga membenarkan ucaoan Tang Shu. "Kalau begitu, ke mana kita harus membawanya?"
"Sebelum menbawanya ke Kepala desa, lebih baik kita menanyakan alasannya dahulu, aku cukup yakin bocah ini juga terpaksa menjadi pencuri." Pandangan Tang Shu kemudian mengarah ke Fu Chen. "Bersihkan tubuh anak ini dan bawa ke gubuk, bersihkan juga tubuhmu itu."
"Baik." Fu Chen nenganggukkan kepala.
Karena gubuk Tang Shu terlalu kecil, beberapa warga memilih kembali dan hanya yang bersangkutan yang masih tinggal.
Xin Xue membawa Tang Fu Mei untuk pulang, sedangkan Tang Fu Chen masih menemani ayahnya.
Setelah beberapa saat berbincang dengan pencuri itu, mereka mengetahui jika pemuda ini sebenarnya adalah korban perampokan dan sedang bersembunyi di hutan. Namun karena persediaan makanan mereka tidak ada, ia terpaksa mencuri untuk mengisi perut.
Di akhir perbincangan Tang Shu memutuskan untuk melaporkan pemuda ini pada Kepala Desa. Tang Shu cukup yakin jika Kepala Desa akan memberikan bantuan pada keluarga pemuda ini, sedangkan Hu Lingxi menjadi merasa bersalah setelah mendengar cerita pemuda ini.
"Harusnya kau bilang saja sejak awal, aku akan memberikan rotiku berapapun yang kau mau jika ceritamu itu benar." Hu Lingxi menghela napas pelan.
"Chen'er, pulanglah lebih dulu… ayah akan mengurus masalah anak ini."
"Baik ayah…"Fu Chen sedikit enggan, namun jika ia tetap di sini sekalipun tidak akan membantu apa-apa.
~ Pesan Penulis
Hi readers, agar pembaca tidak bingung nantinya, saya akan memberitahukan bahwa kedepannya Tang Fu Chen atau pun Tang Fu Mei akan di panggil Fu Chen dan Fu Mei, hal ini juga akan di jelaskan pada chapter-chapter berikutnya.
Dan juga mohon berikan kritik dan sarannya ya, agar penulis dapat memperbaiki setiap kesalahan yang ada
selamat menikmati(っ´▽`)っ
**Note!
Sedang dalam tahap revisi, jadi kalau tidak nyambung mohon di maklumi**.
Keesokan harinya, Fu Chen bingung karena banyaknya orang yang berkumpul di lapangan dekat rumah Kepala Desa. Tidak biasanya orang-orang akan berkumpul seperti itu.
Karena penasaran akhirnya Fu Chen menghampiri kerumunan itu, ternyata di sana juga ada Sin Lou yang merupakan teman dekatnya hingga ia anggap seperti keluarga.
"Kau tidak mengetahuinya?" tanya Sin Lou keheranan.
"Tentu saja… aku bahkan baru sampai di sini, memangnya ada apa?" balas Fu Chen keheranan.
"Kau tahu, satu tahun lagi Sekte Pedang Suci akan melakukan seleksi murid baru di Desa kita!"
"Ehh… lalu?" tanya Fu Chen yang masih kurang mengerti.
"Hah…? Apa kau bodoh? Tentu saja ini adalah berita besar! Sekte Pedang Suci Adalah salah satu Sekte menengah yang bahkan di katakan hampir menyamai sebuah Sekte besar di Dunia Persilatan…"
Desa Bintang Jatuh sebelumnya belum pernah mendapat perhatian dari sekte manapun, datangnya sekte Pedang Suci ke Desa mereka akan membuat perkembangan Desa sedikit lebih cepat.
"Bukankah itu masih lama? Kenapa warga masih berkumpul disini jika informasinya sudah di sampaikan?" Fu Chen berpikir jika pengumumannya sudah selesai maka tak ada lagi yang perlu mereka tunggu dan berpanas-panasan di sini.
Sin Lou menghela nafas mendengar pertanyaan itu. Sekte Pedang Suci sengaja memberitahu lebih awal agar Desa ini memiliki persiapan yang matang sebelum seleksi itu tiba.
"Dan alasan warga masih berkumpul di sana… mungkin mereka sedang bergosip dan melihat lukisan pendekar yang akan mewakili Skete Pedang Suci kemari."
"Apakah kau sendiri akan ikut serta?" Fu Chen menanyakannya karena melihat Sin Lou yang begitu antusias ketika menjelaskan hal ini kepada dirinya.
"Tentu saja! Aku akan membanggakan kedua orang tuaku dan mendapatkan banyak perhatian dari gadis-gadis desa, atau bahkan gadis-gadis yang ada di Sekte Pedang Suci juga akan tertarik melihat ku." Sin Lou memejamkan mata, membayangkan karirnya nanti yang akan begitu luar biasa.
'Siapa sebenarnya yang mengajari anak ini untuk memikirkan hal seperti itu?' Fu Chen berkata dalam hati sambil tersenyum kecut, dia merasa malu memiliki teman berotak mesum.
Merasa sudah cukup mendapat jawaban dari rasa penasarannya, Fu Chen meninggalkan tempat itu dan berjalan menuju kebun ayahnya untuk sekedar membantu dan menyampaikan apa yang baru saja ia dengar.
***
Malam harinya suasana Desa sungguh berbeda dari biasanya, obor-obor banyak di nyalakan di pinggir jalan. Warga Desa juga terlihat lebih ceria, banyak rumah yang mengadakan pesta kecil-kecilan malam itu dan ada juga sekumpulan pemuda yang bersenandung ria merayakan seleksi yang bahkan belum di mulai itu.
Fu Chen yang berjalan bersama Tang Shu merasa heran dengan pemandangan tidak biasa ini. "Ayah… apakah hidup di Dunia persilatan sangat menyenangkannya? Lihatlah! Mereka bahkan sudah merayakannya padahal seleksi itu masih satu tahun lagi," ucap Fu Chen sambil memperhatikan sekelilingnya.
Tang Shu yang mendapati pertanyaan itu sedikit tersenyum. "Chen'er, Dunia persilatan dan Dunia yang kita tinggali ini adalah satu tempat yang sama. Mereka tinggal di Bumi, dan kita pun demikian."
"Bumi?" Fu Chen memiringkan kepalanya.
Tang Shu tertawa kecil medengar jawaban Fu Chen yang begitu polos. Dari penjelasan Tang Shu, Bumi di bagi menjadi lima daratan besar dan perairan luas yang memisahkan ke-lima benua tersebut, ia di sebut samudra.
Fu Chen tampak masih memikirkan perkataan ayahnya.
"Kelima benua itu memiliki nama yang sesuai dengan letak mereka masing-masing, yang pertama adalah Benua Tengah, lalu Benua Utara, Benua Barat, Benua Timur serta yang terakhir adalah Benua Selatan…"
Tang Shu menjelaskan jika Benua terbesar adalah benua tengah, lalu di ikuti oleh Benua utara dan barat. Sedangkan Benua terkecil dari kelima benua itu adalah Benua selatan yang memiliki iklim terdingin.
Sedangkan benua yang mereka tinggali sekarang adalah benua Timur. Benua ini di kuasai oleh tiga kekaisaran besar secara menyeluruh, di urutan pertama dengan kekuatan terbesar adalah Kekaisaran Ming dan Kekaisaran tempat mereka tinggal saat ini bernama Kekaisaran Song.
Ada satu di antara ketiga kekaisaran di Benua Timur yang di katakan cukup lemah. Kekaisaran itu bernama Kekaisaran Meng yang menguasai bagian selatan di benua timur. Meski di katakan terlemah, tidak ada kekaisaran lain yang berusaha merebut wilayah mereka.
"Kenapa bisa begitu, ayah?" potong Fu Chen karena pensaran.
"Itu karena Kekaisaran Meng terdapat banyak sekali kelompok Aliran Hitam, tempat mereka juga banyak siluman-siluman berbahaya karena itu kekaisaran lain tidak ingin memperebutkan wilayah itu."
Namun dengan segala tekanan seperti itu, nyatanya mereka masih bisa mempertahankan Kekaisarannya. Bukankah itu cukup menjadi bukti bahwa Kekaisaran itu sebenarnya cukup kuat?
Fu Chen mengangguk memahami ucapan ayahnya. "Lalu kita tinggal di Kekaisaran yang mana ayah?
"Kita tinggal di Kekaisaran Song, Chen'er, Yang Mulia Kaisar sendiri merupakan orang yang cukup berpengaruh di Benua Timur ini, oleh karena itu negeri kita ini terhindar dari konflik dengan Kekaisaran lain."
"Ehh… sebenarnya apa yang membedakan kedua Aliran yang ayah sebutkan tadi?" Fu Chen mengusap tengkuk lehernya heran, ia sedikit bingung dengan penjelasan ayahnya yang satu ini.
"Ehh… ayah juga kurang tahu akan hal ini, karena mereka semua sama-sama manusia. Tapi kau tak perlu memikirkannya untuk sekaranf, ayah yakin kau akan mengetahuinya sendiri nanti." Tang Shu tersenyum canggung.
Fu Chen kecewa mendengar jawaban itu.
"Namun ada hal yang lebih baik kau ketahui terlebih dahulu Chen'er," Sahut Tang Shu kembali.
"Apa itu?" sahut Fu Chen sedikit acuh, dia sudah terlanjur kecewa dengan ayahnya.
"Kau harus tahu, bahwa di Kekaisaran kita ada lima keluarga Bangsawan yang cukup berkuasa dalam hal pemerintahan serta perdagangan, namun ada juga keluarga Bangsawan yang memiliki keturunan seorang pendekar."
"Benarkah? Bukankah semuanya di urusi oleh Kekaisaran?" Tanya Tang Fu Chen sembari melirik ke arah ayahnya.
"Itu memang benar, namun jika hanya Yang Mulia Kaisar sendiri yang mengurusnya maka ia tak akan sanggup," Jawab Tang Shu dan tersenyum hambar.
"Kelima keluarga bangsawan ini antara lain adalah keluarga Bangsawan Song, yang merupakan keluarga Kekaisaran itu sendiri…"
Lalu ada keluarga Bangsawan Su, keturunan mereka merupakan sarjana-sarjana hebat di negeri kita, sebagian dari mereka merupakan petinggi Kerajaan. Berikutnya ada Bangsawan Xiao serta Bangsawan Lee, mereka memiliki peran tersendiri di Kerajaan.
Sedangkan keluarga Bangsawan Huang, mereka di ketahui menjual sumber daya yang di perlukan bagi pendekar, namun karena kualitas serta harganya yang tidak sesuai menjadikan bisnis mereka merosot. Hal membuat Keluarga Bangsawan Huang di cap sebagai yang terlemah dari kelima keluarga Bangsawan.
Fu Chen tampak menganggukan kepalanya, namun dari raut wajahnya ia masih terlihat begitu serius. "Aku mengerti"
"Asal kau tahu… Kepala Desa kita merupakan salah satu bawahan dari keluarga Bangsawan Su. Desa kita dapat berkembang sejauh ini juga berkat bantuan yang mereka berikan."
"Aku baru mengetahui akan hal itu," Jawab Fu Chen.
Tang Shu nampak tersenyum lembut lalu mengusapkan tangannya ke kepala Fu Chen. "Itu wajar Chen'er, dirimu masih terlalu muda untuk mengetahui banyak hal."
Fu Chen mengangkat kepalanya dan melihat ke arah Tang Shu, ia berniat menanyakan beberapa hal lainnya namun Tang shu lebih dulu berbicara.
"Sudah lah, lebih baik kita pulang… malam juga semakin larut, ini tidak baik untuk kesehatanmu. Ayah akan menjawab perntanyaanmu lain kali." Tang Shu menyadari anaknya masih memiliki banyak pertanyaan, namun ia juga ingin beristirahat dan melihat istrinya yang cantik.
Fu Chen saat ini sedang membawa buah-buahan yang di angkut oleh seekor kuda dari kebun ayahnya, ia berniat untuk menjualnya pada sebuah kedai.
Ia di temani oleh adiknya serta Sin Lou, mereka bertiga berniat untuk menjual buah-buahan itu di kedai Bibi Fei yang memang sudah mereka kenal.
Kedai Bibi Fei bisa terbilang cukup luas, meski hanya memiliki satu lantai tetapi kedai Bibi Fei selalu ramai di datangi para pengunjung. Disana tidak hanya menjual buah-buahan namun juga makanan lainnya serta minuman seperti arak.
Ketika Fu Chen yang bersama Fu Mei dan Sin lou sampai disana, ia mendapati bahwa kedai Bibi Fei lebih ramai dari biasanya.
"Siapa orang-orang ini? aku tidak pernah melihat muka mereka di Desa ini sebelumnya" Sin Lou berkata heran, apalagi sebagian besar orang-orang yang mendatangi kedai miliki Bibi Fei kali ini memiliki pedang ataupun golok yang terselip di pinggang mereka.
"Kurasa mereka adalah pendekar yang sedang beristirahat saja, atau mungkin pendekar-pendekar ini hanya penasaran dengan Desa kita yang di beri kesempatan untuk ikut seleksi Sekte Pedang Suci."
Fu Chen merasa ini adalah hal yang wajar, karena Desa yang sebelumnya tidak pernah terdengar justru mendapat kesempatan untuk mengikuti seleksi Sekte Pedang Suci akan membuat orang lain penasaran seperti Desa tersebut.
"Chen'er benar, mereka adalah para pendekar yang ingin tahu kondisi Desa kita..." Bibi Fei membenarkan pernyataan Fu Chen, lalu menyuruh keduanya untuk menurunkan buah-buahan yang masih berada dalam gerobak.
Fu Mei sendiri pergi ke belakang kedai untuk membantu mencuci piring disana, ini merupakan salah satu kegiatan rutin mereka setiap akhir pekan.
Setelah selesai menimbang buah yang mereka bawa, Fu Chen dan Sin Lou pergi ke meja karsir untuk mengambil upah. Saat sedang menunggu Bibi Fei menghitung uang upah, Fu Chen memperhatikan setiap orang yang ada di kedai tersebut.
"Ah… bukankah dia pencuri itu? Kenapa dia ada di sini?" Fu Chen bertanya pada Bibi Fei sambil menunjuk seseorang yang tengah membersihkan meja.
"Aku yang memintanya bekerja di sini, setidaknya sekarang dia tidak akan mencuri lagi untuk mendapat makanan."
Fu Chen mengangguk beberapa kali sebelum mengalihkan pandangan ke tempat lain.
Pandangan Fu Chen kemudian terkunci pada seorang pendekar tampan yang sedang menikmati makanannya. Jika di perhatikan, pendekar itu terlihat berusia 35 tahun dengan rambut panjang serta poni tipis yang terbelah dua, panjangnya yang sampai ke bawah telinga menambah ketampanan pendekar itu.
Namun perhatian Fu Chen tidak tertuju pada paras pendekar tersebut. Fu Chen justru memperhatikan pedangnya yang nampak lebih kecil dari pedang-pedang pendekar lainnya yang ada di kedai itu. Bentuknya pun sedikit melengkung, panjang pedang itu kurang lebih sekitar satu setengah meter jika di perhatikan.
Fu Chen juga memperhatikan setiap detail yang ada pada pedang tersebut, ia harus menajamkan pandangannya agar dapat memperhatikan pedang itu lebih jelas.
Pada sarung pedang itu terdapat beberapa ukiran yang seperti di lapisi emas, ukiran itu berbentuk seekor burung dengan api yang berkobar melalui sayap serta ekornya, disana juga terdapat simbol serta tulisan-tulisan yang tidak dapat di mengerti oleh Fu Chen.
Pendekar itu sebenarnya menyadari tatapan Fu Chen yang sedang memperhatikan pedangnya, akan tetapi ia ingin menghabiskan makanan yang telah ia pesan terlebih dahulu.
Pendekar itu bangkit dan berjalan ke arah karsir untuk membayar makanan yang telah ia habiskan, disana juga masih ada Fu Chen dan Sin Lou.
Fu Chen baru tersadar jika pendekar yang tadi ia perhatikan berjalan menuju ke arahnya. Ia pun bergegas membalikkan tubuhnya, keringat dingin mulai muncul di kening Fu Chen, jantungnya juga ikut bereaksi dengan berdetak lebih cepat.
Ketakutan menghantui pikirannya saat itu juga. Ia sadar apa yang tadi ia lakukan dapat menyinggung pendekar tersebut. Langkah kaki yang terdengar semakin jelas di telinganya membuat jantung Fu Chen berdetak lebih kencang lagi.
Namun ketika sebuah tangan menyentuh pundak Fu Chen, perasaannya justru terasa lebih baik, pikirannya kembali tenang secara perlahan dan jantungnya pun kembali normal. Fu Chen merasa ada energi hangat yang masuk ke dalam tubuhnya dan itu membuatnya merasa nyaman.
Pendekar itu tersenyum lembut melihat Fu Chen yang meliriknya, pandangan pendekar itu kemudian beralih ke Bibi Fei.
"Berapa total semua pesananku tadi Bibi…?"
"Eh… tunggu sebentar, aku akan menghitungnya…" Sembari menunggu Bibi Fei menghitung, pendekar itu kembali mengalihkan pandanganya ke arah Fu Chen.
"Siapa namamu Anak Muda?" Pendekar itu merasa tertarik dengan Fu Chen karena selama ini hanya segelintir anak-anak yang tertarik dengan pedangnya.
"F-Fu Chen tuan… dan ini temanku, Sin Lou…" Fu Chen menjawab dengan kepala yang masih tertunduk, tangannya ia letakkan di atas lutut yang saling bertemu. Ia sengaja menyebutkan nama Sin Lou agar pemuda itu ikut terlibat dalam masalahnya.
Sin Lou baru sadar ada seorang pendekar yang duduk di samping Fu Chen ketika namanya di sebutkan. Ia sedari tadi masih sibuk memperhatikan pendekar-pendekar yang membawa pedang besar di punggung serta pinggang mereka.
Jika ia berhasil menjadi pendekar kelak, Sin Lou berniat memilih senjata yang berukuran cukup besar agar terlihat gagah.
"Apa kau tertarik dengan pedang ini Anak Muda?"
Fu Chen tersedak napasnya sendiri ketika pendekar itu meletakkan pedangnya di atas meja, ia tak berani untuk sekedar menjawab pertanyaan itu.
"A-aku…" Fu Chen tidak bisa menyudahi kalimatnya karena Bibi Fei telah menghampiri pendekar itu kembali.
"Totalnya 2 keping perak pendekar…" ucap Bibi Fei setelah menghitung tagihan makanan pendekar tersebut. Pendekar itu lalu mengeluarkan satu keping emas dan meletakkan nya di atas meja.
Nafas Bibi Fei sedikit tertahan melihatnya.
"I-ini…"
"Ada apa Bi…? Apakah kedai ini tidak menerima koin emas?" Pendekar itu berkata santai, sengaja memberikan koin emas agar ia lebih leluasa berbicara dengan Fu Chen.
"Bu-bukan begitu pendekar…tapi mungkin akan membutuhkan waktu sedikit lebih lama untuk kembaliannya…"
"Tak apa Bibi… aku akan menunggumu."
Bibi Fei nampak ragu, namun pendekar itu kembali meyakinkan sehingga pendekar itu mendapatkan kesempatannya untuk berbicara dengan Fu Chen.
"Nah…anak muda. Ah, maksudku… Chen'er, apa kau tertarik dengan pedang seperti ini?" pendekar itu mengubah suaranya menjadi lebih lembut dan menunjuk pedangnya yang ada di atas meja.
"I-iya pendekar," jawab Fu Chen terbata-bata.
Pendekar itu tersenyum mendengarnya. "Apa kau tahu pedang apa yang yang ku bawa ini?"
Fu Chen menggelengkan kepalanya, ia sendiri tidak mengetahui ada berapa banyak jenis pedang di Dunia ini.
Pedang itu dikenal sebagai Katana, di benua Timur sendiri tidak banyak yang menggunakannya karena orang-orang lebih memilih pedang bermata dua yang ukurannya sedikit lebih besar dan tebal jika di bandingkan dengan Katana.
Pendekar itu mengatakan pedang Katana tidak di minati banyak orang di benua timur karena bentuknya yang terlihat rapuh. Selain itu, pedang Katana sedikit lebih sulit di gunakan ketimbang pedang bermata dua pada umumnya.
"Tuan sendiri mengapa memilih pedang ini jika memang di katakan rapuh?" Fu Chen memberanikan diri untuk bertanya.
"Haha… jika kau sudah sangat mencintai satu hal, apakah kau akan berpaling pada hal lainya?" Pendekar itu tersenyum tipis, "Jika memang iya, maka kau tak akan bisa mengerti arti dari hal yang kau cintai itu."
"Pada dasarnya kita lah yang menajamkan sebuah pedang, bukan pedang yang menajamkan diri kita. Kuat atau rapuhnya sebuah pedang tergantung bagaimana cara kita menggunakannya."
Fu Chen mengerutkan dahi saat mendengarnya, ia tak dapat mengartikan ucapan pendekar itu lebih jauh.
"Tak perlu kau ambil pusing, jalanmu masih panjang untuk dapat memahami hal tersebut, kau juga masih sangat muda… berapa umurmu saat ini?"
"Emh… tujuh tahun, kurasa dua bulan lagi akan genap delapan tahun." Jawab Fu Chen dengan sedikit berpikir.
"Aku delapan tahun!" Sahut Sin Lou yang sedari tadi hanya menyaksikan.
Pendekar itu tersenyum tipis mendengarnya, usia Fu Chen yang masih sangat muda namun ia memiliki kualitas tulang yang tidak dapat di ukur oleh pendekar itu. Dia penasaran akan jadi seperti apa anak ini kelak.
Memang benar, pendekar itu sempat mengecek kualitas tulang Fu Chen ketika ia menyentuh pundak anak tersebut.
"Kalian ingin memegang pedang ini?" pendekar itu menyodorkan pedangnya.
"Benarkah!?" Sin Lou menyahut dengan penuh semangat.
Sin Lou merasa tertarik untuk menggenggam pedang sungguhan, meskipun pedang itu bukan tipe idamannya. Sarung pedang itu sangat indah dengan warna emas serta merah di setiap ukirannya, membuat mata Sin Lou sedikit berbinar.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!