Suasana KUA pagi itu begitu khidmat. Cahaya matahari menembus jendela kaca patri, menebar semburat lembut di ruangan yang dipenuhi keluarga dan sahabat dekat.
...Pernikahan Inara Nuha dan Rui Naru....
❤ Keluarga Inara Nuha (21 tahun) : Ibu (Inaya Putri), Ayah (alm. Mahesa Sadewa), Kakak laki-laki (Naraya Muha), Kakak ipar (Maharani) dan keponakan berusia 8 bulan (Naraya Hana Maharani).
🧡 Keluarga Rui Naru (25 tahun) : Bunda (Rui Maya), ayah (Hartono Rudi), adik perempuan (Rui Dina).
💙 Sahabat Nuha : Nana Isfani, Sifa Zifara dan Asa Tantri. Sebut saja, 'The BestFANS Forever'
Di depan meja sederhana, Naraya Muha duduk dengan wajah tegas penuh haru. Ia menjadi wali nikah bagi adik perempuannya, Inara Nuha binti Mahesa Sadewa.
Dulu, Muha pernah meminta adiknya segera menyuruh pacarnya pulang dari Jakarta untuk menikahinya. Sebagai seorang kakak, hatinya selalu diliputi rasa khawatir, sebab Nuha selalu bekerja keras mencari uang selama tiga tahun sambil menabung untuk kuliah. Ia sempat bertekad, jika Naru berkhianat dan tak kunjung kembali, ia akan mencarikan jodoh lain untuk adiknya.
Hingga akhirnya Naru pulang, tepat di pesta pernikahan Asa dan Yuki Akasia. Di sanalah ia melamar Nuha. Tapi apakah cinta selalu berjalan mulus? Nuha sempat tak percaya pada kehadiran pria yang membuatnya merindu sekaligus terluka. Pertengkaran pun pecah, mengungkit nama Naomi sebagai bayang-bayang kelam yang pernah mengganggu hubungan mereka.
Satu minggu kemudian, Naru datang lagi ke rumah Nuha, kali ini bersama keluarganya. Dengan kerendahan hati, ia melamar gadis pujaan hatinya secara resmi. Di hadapan keluarga, Naru berjanji. Akan memperbaiki segalanya, menutup luka lama, dan menjaga Nuha agar tidak lagi terjerat trauma masa lalu.
Inilah jawabannya.
Rui Naru merapatkan duduknya, mengulurkan tangan untuk berjabat. Suasana hening, semua menahan napas. Dengan suara penuh keyakinan, Naru mengucapkan, “Saya terima nikahnya Inara Nuha binti Mahesa Sadewa dengan maskawin tersebut, dibayar tunai.”
“Sah!"
"SAAHH!”
Bibir Nuha tersenyum merekah, matanya berbinar penuh cahaya. Senyum yang bukan lagi senyum gadis introvert yang malu-malu, melainkan senyum seorang perempuan yang akhirnya menemukan ketenangan hati.
Naru menunduk sejenak, bahagia mengangkat wajahnya dengan raut lega. Dadanya terasa lapang, seakan seluruh perjalanan panjang yang penuh rintangan akhirnya bermuara pada rumah yang selama ini ia cari.
Nuha menerima pernikahan ini karena ia menagih janji Naru. Janji bahwa lelaki itu akan menjaganya seumur hidup dan memperbaiki semua yang pernah hancur. Naru bahkan bersumpah, sekalipun Nuha menanamkan rasa benci kepadanya akibat luka dari tiga tahun perpisahan mereka, cintanya tak akan pernah goyah.
Pada akhirnya, apakah cinta sejati memang diuji bukan oleh jarak, melainkan oleh keteguhan hati untuk tetap bertahan?
Dari kejauhan...
Kebahagiaan dan kehangatan itu terlihat jelas dari pintu KUA yang terbuka lebar. Namun, di balik suasana sakral itu, berdirilah seorang wanita ditemani pria berkacamata berseragam dokter. Wanita itu pernah berharap hidup bisa sederhana tanpa rasa sepi yang mencekik, kini perutnya jelas terlihat malah kian membuncit.
"Yaa... setidaknya aku turut bahagia atas pernikahan mereka," ucapnya datar, tanpa ekspresi.
“Kamu yakin itu, Naomi?” tanya pria di sebelahnya, suaranya tenang tapi waspada. Tangannya merapikan blazer cokelat muda yang menjuntai di bahu wanita elegan itu tanpa perlu banyak usaha.
“Bercandyaaaa~ Hahaha... Hahaha... Ahahaha...” Tangan kirinya meremas perut buncitnya, sementara tangan kanannya menepuk jidat menahan tawa gilanya.
Rok knit krem selututnya membalut rapi. Kaos putih ketat menonjolkan siluet dada dan garis perut yang sengaja dipamerkan. Bukti nyata dari rahasia yang selama ini ia gembar-gemborkan.
Saat remaja, Naomi datang ke Indonesia dengan harapan menemukan secercah cahaya baru di keluarga sahabat ibunya setelah bisnis orangtuanya di Jepang bangkrut. Ayahnya masuk penjara dan Ibunya terus saja bersedih hati.
Sebagai anak tunggal yang selama ini selalu dimanja, dipenuhi apapun keinginannya, tiba-tiba harus jatuh ke dunia yang asing, tanpa pegangan.
“Naomi," ucap pria itu dengan hati-hati. "Mentalmu belum cukup stabil. Aku khawatir ini akan mempengaruhi janin di kandunganmu, nanti.”
Naomi merapikan rambut gelombangnya, “Kamu nggak usah cemas, Dok-ter Dilan.” Begitu ia menyebut psikiaternya, dengan nada mengejek.
“Aku ini wanita kuat. Walaupun empat bulan aku mendekam di rumah sakit jiwa, aku masih bisa mempertahankan kandunganku.” Ia berdecak, lalu mencibir. “Naru baj*ngan! Susah sekali diseret ke tanggung jawab. Padahal jelas-jelas anak ini darah dagingnya. Pertengkaran dengannya hampir membuatku kehilangan kewarasan!”
Lalu menyeringai penuh tipu daya, “Kalau aku nggak bisa dapetin tanggung jawabnya, aku akan membalasnya… lewat istrinya.”
Naomi tak butuh waktu lama untuk mengenali siapa Nuha. Hanya enam bulan di sekolah yang sama, ia sudah bisa membaca pola gadis itu.
Nuha dikenal sebagai sosok introvert yang pendiam, tapi bukan berarti menutup diri dari pertemanan. Ia masih tersenyum, masih mau diajak bicara, dan sesekali ikut tertawa. Gadis itu seperti kabut pagi, hadir, tapi sulit digenggam.
Semua orang tahu, Nuha jarang sekali terlibat konflik. Ia pandai menjaga diri, pandai menghindar sebelum badai datang. Tapi satu hal yang selalu menjadi celahnya, ia sangat takut dituduh.
Bagi Nuha, tuduhan adalah racun yang bisa merusak seluruh citra yang ia bangun dengan hati-hati. Ia bisa menahan sakit karena dibully, bisa diam saat dijatuhkan, karena ia sudah terbiasa menelan masalahnya sendiri.
Tapi ketika Naomi mulai menuduhnya sebagai perebut tunangan orang di depan banyak orang, di situlah seluruh dinding pertahanannya akhirnya runtuh.
Naomi makin larut dalam kegilaannya. Ia mencondongkan wajahnya dekat ke wajah Dilan, “Hei, Dilan…” bisiknya penuh godaan. “Gimana ya reaksi Nuha kalau aku kasih tahu dia… bahwa Naru menghamili aku, dan bayi ini--” Tangis palsu bercampur tawa seram menyusup dari bibirnya. “…adalah buah dari perbuatannya.”
Lalu ia berjalan menghindar. Sepasang sepatu sneakers putih membuat langkahnya ringan, kontras dengan citra 'ibu hamil' yang biasanya terlihat rapuh. Senyum samar penuh sindiran tersungging di bibir. Di tangan, ia menenteng clutch bermotif ular. Aksesoris yang menegaskan bahwa karakternya berbahaya namun tetap memesona.
"Aku… semakin membencinya. Akan kulampiaskan semua amarahku padanya. Karena bagiku, dia simbol dari semua yang direnggut dariku. Cinta, keluarga, harga diri. Semuanya.”
Naomi merebahkan tubuhnya di kursi penumpang depan, melepaskan kacamata dan memijit pelipis. Mobil hitam mereka melaju pelan di jalan. Aroma parfum mewah sedikit mengganggu indra penciumannya.
Tangannya membelai perut pelan, ucapannya semakin manja. “Aku nggak bisa terima. Aku… Harus bisa merundung Nuha berkali-kali. Karena aku yakin, dia merebut sesuatu yang seharusnya jadi milikku. Dan semua jadi semakin buruk saat perjodohanku dengan Naru batal karena keluargaku sudah jatuh miskin. Aku bukan lagi Naomi yang layak disandingkan dengannya. Aku sangat lemah, Dilan.” suaranya sengaja dibuat melankolis.
“Kamu tau… aku kadang takut. Bayi ini… aku sayang, tapi sekaligus jadi senjata. Aku nggak tau apakah aku ibu yang baik atau hanya wanita gila yang terjebak dengan masa laluku.”
Genggaman Naomi di lengannya terasa erat, seolah jika ia melepaskan, wanita itu akan runtuh. “Naomi…” Dilan menarik napas dalam. “Aku ini dokter. Tugasku menyembuhkanmu, bukan ikut terseret dalam dendam atau rencanamu.”
“Tapi kamu laki-laki yang nggak punya hati yang keras kan? Aku bisa lihat… kamu kasihan sama aku. Kamu peduli sama aku.”
Dilan menelan ludah. Ucapan itu benar, ada sisi dirinya yang memang peduli. Tiga bulan mendampingi Naomi di rumah sakit jiwa membuatnya melihat sisi rapuh sekaligus sisi kelam yang bercampur menjadi satu.
“Aku peduli… justru karena itu aku khawatir,” gumamnya pelan.
Naomi terkekeh, “Khawatir sama aku, atau sama Nuha? Hm?” suaranya bernada menggoda, tapi matanya tajam menusuk.
Dilan meremas setir lebih kuat. Ia tidak menjawab. Hatinya diliputi dilema. Di satu sisi, ia ingin menolong Naomi agar tetap stabil demi kandungannya. Di sisi lain, ancaman yang terlontar barusan membuatnya cemas pada keselamatan Nuha. Gadis yang pernah mengisi hatinya.
.
.
.
. Deg! ~Bersambung...
...Jauh dari riuh intrik gelap Naomi, suasana berbeda menyelimuti kamar yang kini menjadi kamar pengantin. Warna monokrom mendominasi ruangan yang begitu luas. Abu-abu dan putih tulang yang menenangkan....
...Sstt!! Tarian intim untuk ritual suci Pengantin baru sedang dimulai....
AA- AAKHH~
Desahan manis meluncur seiring bunga terindah yang akhirnya mekar. Naru menyentuh istrinya. Seolah membuka taman rahasia yang hanya bisa mekar di bawah cahaya bulan. Jemarinya menyusur lembut dan menggenggam erat memberi kekuatan.
Tak seperti yang dikatakan Naomi, Naru mengungkapkan, "Ini pertama kalinya bagiku, Nuha. Ma- maaf kalo sedikit membuatmu sakit."
Gerakan pinggulnya cukup berat dan sulit, tapi seiring melembutnya, dia mulai bisa bergerak leluasa. Sungguh luar biasa. Gejolak hasrat bercampur nikmat yang tiada tara itu menghimpit kuat kejantanannya yang kian mengembang.
Nuha menahan dada suaminya sejenak untuk berhenti dan memberi jawaban, "Enggak, Naru. Kamu-- kamu udah berhasil membuatku merasa nyaman berkat ciuman yang terus kamu berikan tadi."
Jawaban itu membuat Naru senang. Pipinya bersemu merah di mata sang istri. Nuha pun cukup dibuat menggeliat merasakan sensasi itu. "Eungghh... Ahhh," Nafasnya naik turun, "ini juga... Emhhh... Pertama bagiku... Aakhhh!! Naru... Aku bingung..." Gadis itu menutup matanya dengan lengan kiri karena merasa sangat malu.
"Sakit ya?"
"Sakit tapi--"
"Stttt," Naru perlahan menyingkirkannya, "Lihat aku, sayang. Kita akan lakukan ini sama-sama, tanpa membuatmu merasa kesulitan."
Nuha mengangguk. Keduanya akhirnya melepas masa lajang bersama setelah 'sah' nya pernikahan mereka. Menyalurkan segala rasa cinta yang telah terjalin selama 1 tahun dan rindu yang tertahan selama 3 tahun karena harus LDR.
Naru mengecup kening istrinya dan membingkai wajah imut itu dengan kedua telapak tangan yang hangat. Menciuminya dengan penuh kasih sayang. "Nuha," suaranya nyaris berbisik, "aku nggak pernah menyangka… ruang kamarku ini bisa terasa lengkap hanya karena kamu ada di dalamnya."
Nuha terkekeh.
Tentu saja kekehan renyah itu kembali membangkitkan gejolak adrenalin sang suami. Naru dengan cepat meraih pinggangnya. Dalam sekejap, tubuh mungil Nuha terangkat ke atas suaminya.
"Naru!"
"Aku nggak bisa biarin kamu gembira gitu aja setelah terkekeh segitu frontalnya," bisik Naru di telinganya. Senyumnya nakal, "Inikah cinta setelah nikah? Hm? Apa kamu menikmatinya? Hm?"
Wajah Nuha merah padam. "Aku nggak--"
Tapi sebelum sempat ia menyelesaikan kalimatnya, Naru sudah membungkam mulut itu dengan kecupan panasnya. Jemarinya menahan kepala sang istri dengan erat. "Hari ini, aku ingin membuka seluruh misteri tentangmu pokoknya," bisiknya. "Sebelum kamu bakal kecapekan sama pestanya, terus tidur ninggalin aku sendirian."
"Naru, jangaaann…" Nuha meronta kecil.
“Jangan lama-lama, kan?” sahut Naru, lalu "Cuph~" bibirnya terus singgah di bibir Nuha. Nuha terperanjat. Belum sempat ia menarik napas, Naru berbisik lembut, “Sekarang, giliran kamu yang masuk dari atas?”
"Nggak-- nggak mau--,"
Tak sabar menunggu jawaban, Naru kembali mendekat. Kecupan berikutnya hadir penuh dengan debaran hati. Kedua tangannya menuntun pinggul sang istri untuk bisa kembali memasukkan miliknya ke dalam inti penuh kenikmatan itu.
"AKHH!!"
Naru membiarkannya dan terus menciumi bibir Nuha dengan sangat lama, jauh lebih lama dari yang pernah Nuha bayangkan. Hangat perlahan sensasinya menjalar ke seluruh tubuh. Degup jantungnya kian kencang.
"Boleh aku pegang buah da danya?"
"Ja-- jangan!!"
Ada getar-getar aneh yang membuat keduanya gelisah sekaligus tak ingin lepas. Pipi Nuha merona di antara kecupan dan remasan yang tak kunjung putus. Ada sesuatu yang asing, namun begitu kuat, bangkit dari dalam dirinya. Membuatnya semakin salah tingkah. Meski wajahnya dipenuhi rasa malu, hatinya tahu betul ia sedang menikmati sentuhan dari satu-satunya orang yang paling ia percaya.
Naru mengusap lembut pipinya yang memerah. "Kamu tau nggak, Nuha… senyum malu-malumu itu bikin aku nggak bisa berhenti jatuh cinta."
Nuha menunduk, gigitan kecil di bibir bawahnya menunjukkan gugup yang tak bisa ia sembunyikan sebagai seorang introvert, "Kenapa?" tanyanya.
"Karena aku suka lihat kamu begini. Deg-degan, tapi tetap nggak lari dari aku." Naru tertawa pelan, lalu menyentuh ujung hidungnya ke hidung Nuha, membuatnya makin salah tingkah. "Aku janji, aku akan menjagamu seumur hidupku untuk membuatmu selalu aman disisiku. Bahkan saat aku lagi nakal sekalipun."
"Dasar Naru mesum!”
“Astaga…” Naru mendesah geli, lalu menyeringai. “Kamu ketawa gitu malah bikin aku makin nggak tahannnn. Jangan nolak kalo aku semakin mesum yaaa~”
"Tapi, tapi jangan bikin aku ham--"
"Naru!"
Naru kembali membalikkan tubuh istrinya di bawahnya untuk kembali melakukan penyatuan. Meraih bibir istrinya dalam ciuman yang membuat tawa kecil itu perlahan larut jadi debaran manis. Sentuhan demi sentuhan membuat keduanya basah dalam peluh dan kenikmatan.
"Kamu basah banget, Cinta. Ini udah nggak sakit kan?" tanyanya sambil terus menciptakan irama sendu nan memabukkan di bawah sana.
"Eunghhh... Naru... Jangan berhenti..."
"Cinta... Kamu luar biasa. Kehadiranmu bagai galaksi yang merengkuhku… candu banget bikin aku ingin terus mencumbumu."
"Aahhh!!"
Tiga hari mereka berbagi peluh bersama. Menanamkan rasa sayang dan kepercayaan akan dicintai tanpa henti. Hingga pesta pernikahan megah di malam ini pun tiba...
Lampu kristal menggantung berkilauan di setiap sudut aula besar kediaman Rudi Hartono. Musik klasik lembut mengiringi langkah para tamu undangan yang berjalan anggun dengan balutan gaun mewah dan setelan jas rapi. Topeng kupu-kupu beraneka warna menutupi wajah mereka, menyisakan hanya mata yang berkilau di bawah cahaya lampu.
Nuha berdiri di sisi Naru, jemari mereka saling bertaut, seolah genggaman itu adalah jangkar yang menahan Nuha agar tidak terhanyut oleh keramaian. Nafasnya sedikit memburu, dada terasa sesak oleh campuran gugup dan canggung.
“Aku tahu kamu nggak menyukai ini,” suara Naru lembut, penuh pengertian, telinganya mendekat agar hanya Nuha yang bisa mendengarnya. “Tapi tolong bertahanlah, Nuha. Ini demi kita, dan juga kebahagiaan kedua keluarga kita.”
Nuha mengangguk pelan. Senyum tipis tercipta, meski jelas ada gugup yang mengendap. “Aku mengerti, Naru.”
Ketika pengumuman pembukaan pesta terdengar, sorot lampu tertuju pada pasangan pengantin. Semua mata, meski tersembunyi di balik topeng tertambat pada mereka. Tepuk tangan bergemuruh, memenuhi ruangan yang megah itu.
Nuha menelan ludah.
Musik berganti menjadi alunan lembut, biola dan piano menyatu dalam harmoni yang meresap ke dada. Lampu-lampu kristal meredup perlahan, digantikan oleh permainan cahaya 3D yang memenuhi aula: bayangan kupu-kupu beterbangan, paus biru berenang anggun di atas langit-langit, dan kelinci kecil melompat-lompat di lantai seolah hidup.
Nuha menatap sekeliling, matanya berkilau kagum. Dunia nyata terasa perlahan memudar, digantikan imajinasi yang menari-nari. Ia memang selalu lebih betah bermain dengan khayalannya daripada menghadapi tatapan banyak orang.
Naru meraih pinggang Nuha dengan hati-hati, menuntun tangan istrinya ke dadanya. "Kita dansa ya," mulai bergerak perlahan, satu dua langkah mengikuti alunan musik. Gaun putih brokat Nuha berayun ringan setiap kali ia berputar dalam bimbingan tangan Naru. Jemarinya masih kaku di genggaman, tapi Naru meremas lembut, memberi sinyal bahwa semua baik-baik saja.
Bayangan kupu-kupu menari di sekeliling mereka, seolah-olah ikut merayakan cinta yang baru saja terikat. “Nah, lihat,” suara Naru rendah, penuh kebanggaan. “Kamu bisa. Dan kamu cantik sekali malam ini.”
Wajah Nuha memerah. Hatinya berdentum-dentum, karena merasa benar-benar dilihat, benar-benar dihargai, benar-benar dicintai.
Nuha tampak seperti gadis yang nyaris sempurna. Meski sang ayah telah tiada, ia masih dikelilingi oleh keluarga dan orang-orang yang penuh kasih. Dalam hidupnya, pun akhirnya Nuha menemukan cinta sejati. Lelaki yang dulu menjadi pacar, kini resmi menjadi suami yang sepenuh hati mencintai dan menjaganya.
Kedua orang tua Naru juga sangat menerima kehadiran gadis manis nan baik hati itu. Rui Dina sangat senang akhirnya dia memiliki seorang kakak ipar yang sangat cantik jelita. Ramah dan selalu nyambung dengan obrolannya meski Nuha tetap dengan ketenangannya.
Di tengah riuh tawa, tiga sahabat Nuha datang, menyalami dan mendoakan kebahagiaan pengantin baru. Wajah Nuha berbinar menerima doa mereka. Lalu, sosok yang paling ia rindukan pun muncul: Ibu dan Kak Muha bersama istrinya.
Namun di balik semua keceriaan, momen bahagia itu terpantul di manik mata cokelat kemerahan Naomi. Rasa iri menjalar, menusuk batinnya seperti duri yang tak kenal ampun.
.
.
.
. ~Bersambung...
...Di pelukan lengan kekar sang ayah......
Hana -Kombinasi nama yang dulu pernah Nuha dan Naru buat- yang baru berusia delapan bulan tampak begitu menggemaskan. HANA, nuHA dan NAru. Mengingatkan pada obrolan manis di telepon saat mereka berpisah di antara jarak dan kota.
“Selamat ya, Naru,” ucap Kak Muha tulus, matanya berkilat penuh rasa bangga. “Aku benar-benar bangga akhirnya kamu bisa membawa adikku ke pelaminan.”
“Terima kasih banyak, Kak,” jawab Naru dengan senyum penuh hormat.
Namun sang kakak belum selesai. “Tapi ingat, nggak mudah membangun bahtera rumah tangga. Nuha itu… susah ditaklukkan. Kamu harus pandai-pandai menjaganya biar nggak tantruman.”
“Lah?!” Nuha langsung melotot. “Kakak kompor! Jangan asal ngomong gitu dong!”
"Nuha..." suara Ibu terdengar lembut, selembut malaikat tak bersayap yang ada di dunia ini. "Kalau bicara sama kakakmu, coba deh agak halus."
Nuha manyun seolah bibirnya bisa narik penggaris. “Habisnya, kakak itu kayak… kompor listrik! Nyetrum mulu. Gara-gara dia, sifat jelekku kebawa keluar.”
Ibu terkekeh kecil sambil menggeleng. "Kalian berdua memang bikin rumah nggak pernah sepi. Tapi justru itulah yang membuat Ibu merasa selalu ditemani. Samawa ya, putriku." Ibu lalu mendekap Nuha erat, memberi cipika-cipiki penuh hangat. Kak Rani pun ikut, sembari menyelipkan doa.
"Sini, aku fotoin kalian berdua," kata Kak Rani sambil mengeluarkan ponselnya. Nuha tersenyum dan mengangguk. "Foto sama Hana juga ya. Hana di tengah, biar Naru yang gendong," tambahnya.
Cekrik! Satu momen manis terabadikan.
"Nah, bagus banget. Manis sekali," puji Kak Rani sambil gemas menunjuk pipi chubby putrinya. Hana terkikik riang, suaranya mengisi udara.
"Kalian cium pipinya, cepat!" pinta Kak Rani penuh semangat. Nuha dan Naru saling melirik sejenak, lalu dengan kompak mencium pipi Hana.
Cekrik! Foto kedua lebih hangat dari sebelumnya. Seolah dunia ikut menyaksikan kebahagiaan kecil itu.
Dari kejauhan, Naomi berbisik pada diri sendiri, "Sabar, Naomi… sabar… habis ini giliranmu." Tangan kanannya refleks mencengkeram perut buncitnya, seolah meneguhkan janji pada calon buah hati yang ia kandung.
"Aku nggak akan biarin Nuha dapetin semua kebahagiaan itu. Aku yang dulu selalu terpenuhi apa pun kemauanku, sekarang harus berjuang sendirian. Kurang ajar! Kenapa harus ada cewek macam dia? Hanya seonggok manusia nggak berguna, yang bisanya cuma ngarepin kasih sayang orang lain."
Yang tak ia tahu, Nuha pun sedang bertarung dengan dirinya sendiri. Ada saat-saat ketika ia ingin menghilang, tenggelam dalam sunyi yang menenangkan sisi introvertnya. Namun di saat yang sama, ia juga haus untuk dekat dengan orang-orang yang ia sayangi. Ia ingin berarti, ingin memberi arti. Tapi melawan diri sendiri jauh lebih melelahkan daripada sekadar menghadapi hujatan orang lain.
“Kamu mau aku bergerak kapan, Naomi?” tanya Dilan, matanya menangkap getar aneh di wajah wanita itu. Rambut blonde khasnya jatuh sedikit berantakan, tapi tetap membuatnya tampak menawan.
Naomi tak menjawab. Setetes air mata jatuh tanpa permisi, lalu ia seka cepat-cepat dengan gerakan anggun. Bibirnya bergetar, suaranya dingin. “Hatiku sudah nggak bisa lagi disentuh drama. Yang ada cuma benci… dan dendam yang makin hari makin memuncak.”
Dilan mengerutkan kening. “Hei, Naomi… apa kamu masih percaya kalau dirimu punya hati seputih malaikat?”
Naomi tersenyum getir, lalu tawa melengking keluar darinya. Bukan tawa bahagia, melainkan tawa yang hampir gila. Dilan tercekat, hatinya teraduk antara prihatin, iba, juga kesal bercampur jadi satu.
Baginya, Naomi bukan sekadar wanita keras kepala. Dia adalah teka-teki hidup. Wanita yang terus jatuh, tapi enggan diselamatkan.
“Kamu alihkan Naru, aku bakal dekati Nuha. Dengan topeng kupu-kupu ini, nggak akan ada yang mengenali kita. Bergeraklah tanpa menimbulkan curiga,” bisik Naomi pada Dilan dengan tatapan penuh perhitungan.
Sementara itu, di sisi lain ruangan, Nuha sedang bercengkrama hangat dengan ketiga sahabatnya. Asa tiba-tiba menggoda dengan suara jahil, “Nuha, cepatlah hamil biar aku bisa nyusul kamu.”
“Heh? Kamu ngomong apa sih?” Nuha mengernyit, pipinya memerah. "Bukannya kamu yang udah nikah duluan, harusnya kamu yang hamil duluan. Kan, aku masih kuliah."
“Ada apa, Nuha?” tanya Naru ikut kepo.
"Aku bilang--"
Nuha buru-buru menyela, “A-a-a… nggak, nggak ada apa-apa!” Ia gelagapan mencari alasan. “Kamu… kamu ngobrol aja sama Kak Muha atau kak Yuki, atau sama tamu lain dulu ih.”
“Kamu yakin aku tinggal?” Naru menatap penuh selidik. Penasaran donk.
“Yap. Nggak ada pelukan paling hangat selain dari sahabat,” ucap Nuha tulus.
Naru tersenyum nakal, lalu membisikkan godaan di telinganya, “Hangat itu kurang menantang, cinta. Panas baru menantang.” Sekejap darah Nuha berdesir hebat, naik dari ujung kaki hingga ujung rambut.
Naru terkekeh gemas melihat reaksinya, lalu mencuri kecupan cepat di pipi istrinya. Tak cukup, ia menyusul dengan cubitan kecil di pipi satunya, pipi bulat seperti spongebob. “Aku akan temui para tamu penting kalau begitu.”
“Mmmooo… pergilah!” usir Nuha, wajahnya merona merah. Ia menepuk-nepuk pipinya sendiri yang panas seperti bakpao baru dikukus. Naru melangkah menjauh dengan senyum puas.
Dari kejauhan, Naomi memperhatikan. Senyum samar muncul di balik topeng kupu-kupunya. "Sebentar lagi, giliranmu, Nuha…"
Setelah Naru melangkah pergi, samar-samar mata Nuha menangkap sosok bergaun hitam berkilau di tengah kerumunan. Siluet itu terlalu familiar. Jantungnya melonjak tak terkendali, napas tercekat. Jemarinya refleks mencengkeram tangan terdekat, seakan mencari pegangan di tepi jurang.
Matanya membola, udara seolah menipis. Apalagi Naomi melepas topeng kupu-kupunya dan membalas tatapannya dengan mata berkilat dan senyum yang menakutkan. Hanya sekedar memberitahu dan merasakan reaksi Nuha. Lalu, ia memakainya kembali.
“Aaaaaa!!” Suara Fani melengking makin tinggi. “Nuha! Apa yang kamu lakuin? Sakit tauk!”
Nuha tersentak, buru-buru melepaskan genggaman itu. Tubuhnya bergetar, tatapannya masih terpaku ke arah kerumunan.
“Aku… aku melihat Naomi,” bisiknya.
"Apa?!" ketika sahabatkan kompak terkejut.
“Aku harus mengusirnya.”
Asa yang terkesan tomboy dan punya jalan pikirannya sendiri spontan meraih lengan sahabatnya. “Kamu nggak waras?! Ketemu dia lagi cuma bikin kamu jatuh ke lubang trauma yang sama.”
“Dia datang bukan untuk bersenang-senang, Asa. Dia pasti ingin ngerusak pernikahanku.”
Asa menggeleng, “Nuha, dia cuma tamu. Anggap aja angin lalu. Kamu fokus sama pernikahanmu.”
“Aku nggak pernah undang dia. Jadi kalau dia bisa masuk… artinya dia memang sengaja menantang aku. Aku akan usir dia dari sini.”
“Nuha…Please. Jangan.” Suara Asa penuh permohonan. 11 12 dengan Nuha yang keras kepala, “Jangan bikin dirimu hancur lagi.”
Jemari Nuha gemetar, tubuhnya seakan minta mundur. Tapi sorot matanya justru berkobar, menolak tunduk. “Fani pernah bilang… aku nggak boleh selamanya jadi cewek lemah. Kalau aku terus kabur, Naomi bakal selamanya jadi mimpi burukku. Malam ini… aku harus mengakhirinya.”
“Tapi, Nuha...” Asa mencoba menahan.
“Aku harus!” Mata Nuha berkilat penuh tekad.
“Oke, oke… kita temani kalau gitu.”
“Nggak. Aku bisa sendiri. Ini urusanku dengan Naomi. Aku akan ancam dia supaya dia enggak terus-terusan gangguin hidupku lagi.”
“Kamu gila--”
“Jangan sebut aku gila!!” bentak Nuha. Suaranya memecah di antara persahabatan itu. Asa terdiam, tercekat oleh luapan emosi sahabatnya itu.
Sifa yang lebih bijak melangkah maju, menepuk bahu Nuha lembut. “Gini aja. Lima belas menit. Kamu ngerti kan? Kita biarin kamu hadapin Naomi sendirian, tapi cuma lima belas menit. Kalau lewat, kita nyusul.”
Nuha terkejut, “Sifa…?”
Fani yang paling pengertian meraih tangannya erat. “Kita ada di belakang kamu, Nuha. Selalu. Aku yakin kamu bisa.”
Nuha menatap ketiga sahabatnya satu per satu. Ada rasa haru yang merayap di balik ketakutannya. “Terima kasih…” bisiknya.
Kemudian ia melangkah perlahan, menyusuri lorong pesta yang ramai oleh tamu bertopeng. Cahaya lampu 3D berbentuk kupu-kupu berkelebat di wajahnya, seakan menuntun langkah menuju takdir yang selama ini ia hindari.
“Apa yang kamu lakukan di pesta pernikahanku, Naomi?” Suara Nuha bergetar, tapi ia berusaha terdengar tegas. Mereka berdiri cukup jauh dari keramaian, hanya ditemani cahaya temaram.
Naomi tersenyum samar, matanya berkaca-kaca seolah menahan tangis palsu. “Kamu tega nggak undang aku, Nuha. Apa kamu benci banget sama aku? Padahal kita pernah satu angkatan.”
“Itu nggak ada hubungannya. Kita nggak pernah dekat. Bukan teman, apalagi sahabat.”
Naomi terkekeh rendah. Jemarinya terulur, mengelus perut yang menonjol. “Lihat ini… bukti kalau aku nggak pernah benar-benar kalah darimu.”
Batin Nuha tertohok. Apa… Naomi hamil?
.
.
.
. ~Bersambung.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!