NovelToon NovelToon

Jadi Istri Om Duda!

Riana Maheswari

Pagi itu, suara Rahayu menggema dari lantai bawah, terdengar kesal namun sudah menjadi rutinitas harian.

“Riri, kamu bangun dong! Masa anak gadis jam segini masih tidur?” teriaknya sambil melipat tangan di dada.

Riri menggeliat malas di balik selimut tebalnya. Matanya masih setengah tertutup, rambutnya acak-acakan.

“Sebentar dong, Ma… Riri baru juga tidur,” gumamnya manja.

“Semalam tuh habis nonton drama…”

Rahayu menghela napas panjang, jelas kesal.

“Mama gak mau tahu ya, Riri. Kamu bangun sekarang juga! Atau Mama siram ya kamu?!”

Mendengar ancaman itu, Riri langsung menyingkap selimut dengan wajah masam.

“Iya, iya… Berisik banget…” keluhnya sambil duduk malas di tepi ranjang.

Tak lama, suara langkah kaki terdengar dari arah ruang makan. Raden Purnama muncul sambil menguap ringan, sudah terbiasa dengan keributan pagi antara istri dan anak gadisnya.

“Ini ada apa sih, pagi-pagi sudah ribut?” tanyanya tenang, meski nada suaranya menunjukkan kalau ia juga sudah hafal adegan ini.

Rahayu menunjuk ke arah tangga, tempat Riri turun dengan wajah malas.

“Itu loh, Mas… anakmu! Masa jam segini anak gadis belum bangun? Bukannya bantuin Mama, malah tidur terus.”

Raden hanya tersenyum kecil.

“Ya lagian kan ini hari Minggu, Ma. Emang kenapa sih kalau bangunnya siang? Aku juga gak ngapa-ngapain.”

“Iya, kamu tuh gak ngapa-ngapain,” balas Rahayu ketus. “Bantu Mama juga enggak. Cari kerja sana biar gak males-malesan terus di rumah!”

Riri langsung duduk di kursi makan dengan wajah memelas.

“Pa… emang di perusahaan Papa gak ada lowongan ya buat aku?” tanyanya manja sambil menggoyang-goyangkan bahu ayahnya.

Raden menatap anak gadisnya dengan lembut.

“Iya, nanti kalau ada Papa infoin ke kamu ya,” jawabnya tenang.

Sejak kecil, Riri memang jadi permata hati Raden. Ia sulit menegur dengan keras, apalagi membentak. Semua keinginan Riri hampir selalu dituruti, dan hal itulah yang membuat sifat manja Riri semakin terbentuk.

Rahayu hanya menggeleng, setengah pasrah.

“Tuh kan, dimanjain terus. Lama-lama bisa-bisa anak kita gak bisa mandiri, Mas…” gumamnya.

Sementara Riri hanya menyengir, tak merasa bersalah sedikit pun.

“Sudah, kalian jangan berantem di meja makan,” ujar Raden dengan nada lembut namun tegas, melerai adu mulut kecil antara istrinya dan sang putri. Ia meletakkan koran pagi ke meja dan menatap keduanya dengan sabar.

Suasana ruang makan sempat hening beberapa detik sebelum Raden kembali membuka pembicaraan, kali ini dengan nada lebih ringan.

“Oh iya, Ri… nanti malam kamu ikut Mama sama Papa, ya. Kita ada acara makan malam perusahaan Papa. Kebetulan bos Papa juga mau datang.”

Riri yang sedang memainkan sendoknya langsung menghela napas panjang.

“Aduh… aku malas deh, Pa, kalau acara-acara kantor gitu. Lagian juga kan aku gak ada urusan apa-apa sama teman-teman Papa. Ngapain aku harus ikut?” keluhnya dengan nada manja.

Rahayu mendengus kesal.

“Cuma diajak makan malam aja kamu nolak, Ri. Apalagi kalau disuruh yang lain-lain,” sindirnya.

Raden mencoba tetap tenang dan membujuk.

“Iya, Ri. Ini cuma makan malam aja kok. Jadi kamu ikut ya. Lagian, sejak kamu kuliah di luar kota, kamu udah jarang banget ikut acara-acara Papa. Sesekali gak apa-apa kan?”

Riri terdiam sejenak, memutar bola matanya dengan ekspresi malas khasnya. Namun tatapan lembut ayahnya membuatnya tak tega untuk terus membantah.

“Yaudah…” ujarnya akhirnya, dengan nada setengah terpaksa.

Rahayu menggeleng sambil tersenyum tipis.

“Nah, gitu dong. Tampil yang rapi nanti malam, ya. Jangan pakai kaus dan celana pendek kayak di rumah begini.”

Riri hanya menjulurkan lidah kecil ke arah mamanya, membuat Raden terkekeh kecil. Di balik sikap manja dan malasnya, Riri tahu ia tak akan bisa menolak terlalu lama jika ayahnya yang meminta.

---

Malam itu, rumah keluarga Purnama kembali dipenuhi suara khas Rahayu yang menggema ke seluruh sudut rumah.

“Riri! Cepet dong, Papa sama Mama udah nunggu di bawah!” teriaknya dari bawah tangga, tepat di depan ruang tamu.

Suara itu terdengar jelas sampai ke kamar Riri yang berada di lantai atas. Tak lama kemudian, pintu kamar terbuka, dan gadis itu muncul dengan tampilan yang jauh dari keseharian manjanya.

Riri menuruni tangga pelan-pelan. Malam itu, ia mengenakan dress hitam sabrina yang memperlihatkan bahunya dengan anggun. Sepasang heels sederhana mempertegas langkahnya. Rambut panjangnya dibiarkan tergerai lembut, sedikit bergelombang alami. Untuk pertama kalinya setelah sekian lama, aura anggun seorang wanita muda begitu jelas terpancar dari dirinya.

Raden yang melihatnya dari ruang tamu langsung tersenyum lebar, matanya berbinar bangga.

“Ya ampun… cantiknya anak Papa,” ujarnya penuh kekaguman.

Riri tersipu kecil, lalu dengan gaya manja khasnya, ia bergelayut di lengan sang ayah saat menuruni anak tangga.

“Iya dong… anak siapa dulu?” balasnya genit.

“Anak Papa lah,” jawab Raden sambil tertawa kecil.

Rahayu yang sedari tadi menunggu sambil mengetuk-ngetukkan ujung sepatu hanya menggeleng melihat tingkah ayah dan anak itu.

“Kamu tuh ya… kalau gak punya Mama yang cantik, muka kamu juga gak bakal secantik itu, Riri,” celetuknya setengah menggoda.

“Ih, Mama…” Riri mendengus kecil sambil memutar mata, tapi jelas ada tawa tipis di bibirnya.

“Udah, ayo! Nanti kita telat,” potong Rahayu, berusaha mengakhiri momen manja ayah dan anak yang tak ada habisnya.

“Mama galak banget sih, jalan bareng aku aja sini,” sahut Riri dengan nada setengah kesal, sambil meraih tas kecilnya.

____

Restoran mewah di pusat kota malam itu dipenuhi cahaya hangat lampu gantung dan deretan meja panjang yang tersusun rapi. Musik lembut mengalun dari pojok ruangan, menciptakan suasana elegan namun ramai oleh suara tamu yang saling bercengkerama.

Riri melangkah masuk bersama kedua orang tuanya, matanya langsung membulat melihat keramaian di dalam.

“Rame banget, Pa…” gumamnya sambil melirik ke kiri dan kanan.

Raden tersenyum, tangannya merangkul pundak putrinya dengan bangga.

“Iya, Nak. Ini kan acara perusahaan. Jadi bukan cuma Papa yang diundang, tapi semua karyawan kantor juga,” jelasnya.

Riri hanya mengangguk kecil, masih merasa canggung berada di tengah suasana formal seperti itu.

Seorang waitress muda menghampiri mereka dengan senyum ramah.

“Silakan, Pak. Ini meja untuk Bapak sekeluarga,” ujarnya sopan sambil menunjukkan arah.

“Terima kasih, Mbak,” balas Raden dengan ramah, lalu mereka bertiga duduk di kursi yang telah disiapkan.

Sambil menata tas kecilnya di pangkuan, Riri melirik ke sekeliling ruangan.

“Emang kita mau ketemu bos Papa yang mana, sih?” tanyanya pelan.

Raden terkekeh kecil.

“Kamu nggak akan tahu, Riri. Karena kamu belum pernah lihat,” jawabnya.

Rahayu segera menyela dengan nada serius.

“Riri, nanti kamu harus sopan ya sama bos Papa,” ujarnya seperti sedang memberi peringatan.

“Iya, Ma. Lagian aku mau ngapain, sih? Nggak ada urusan juga,” sahut Riri malas.

“Iya, tapi kamu kalau ngomong harus baik, harus sopan. Jangan asal ceplas-ceplos kayak di rumah,” tegas Rahayu lagi.

“Iya, iya…” balas Riri dengan nada setengah jenuh. Ia sudah terbiasa dengan ‘ceramah pembuka’ sang mama di acara-acara resmi seperti ini.

Namun sebelum makanan pembuka disajikan, tiba-tiba perutnya terasa tak nyaman. Riri menepuk-nepuk pelan bagian bawah perutnya.

“Pa, Ma… aku ke toilet dulu ya,” katanya buru-buru.

“Yaudah, sana,” jawab Rahayu sambil melambai ringan, fokus ke buku menu.

Riri berdiri dengan cepat, melangkah tergesa-gesa menuju area toilet di bagian samping restoran. Karena terburu-buru, ia tidak memperhatikan jalan di depannya, hingga bruk!

Tubuhnya menabrak seseorang yang muncul dari arah berlawanan. Keduanya sama-sama terhuyung, tapi sebelum Riri sempat jatuh, lengan kuat pria itu sigap menahan tubuhnya.

“Au!” seru Riri refleks, separuh kaget separuh kesakitan.

“Kamu nggak apa-apa?” suara pria itu tenang namun jelas, sedikit berat dan berwibawa.

Riri buru-buru menegakkan tubuhnya. Pipi putihnya langsung merona karena malu. Ia menunduk dan mengibas-ngibaskan tangannya.

“Nggak… nggak apa-apa, Pak. Maaf ya, Pak. Saya buru-buru. Maaf, maaf, terima kasih…” katanya terbata-bata.

Pria itu hanya tersenyum tipis melihat kepanikan gadis muda itu. Tatapan matanya tajam namun teduh, seperti sedang menilai tanpa menghakimi.

“Hati-hati lain kali,” ucapnya singkat.

“Iya… makasih, Pak,” jawab Riri cepat, lalu melesat ke toilet dengan langkah setengah berlari.

Pria itu memperhatikan punggung gadis itu yang semakin menjauh. Entah kenapa, ada kesan tersendiri yang tertinggal di pikirannya.

Bastian Dinantara

Riri kembali dari toilet dengan langkah lebih tenang, meski dalam hatinya masih malu mengingat insiden tabrakan barusan. Namun begitu sampai di meja keluarga, matanya langsung menangkap pemandangan baru: ada seorang pria lain yang duduk di sana, berbincang hangat dengan sang Papa.

Pria itu mengenakan setelan jas berwarna gelap, terlihat berwibawa dengan postur tegap dan sorot mata tenang. Ia duduk santai namun penuh kharisma. Entah kenapa, wajahnya terasa tidak asing bagi Riri—seperti pernah ia lihat sekilas, tapi di mana? Ia tidak bisa mengingatnya dengan jelas.

“Nah, ini dia…” ujar Raden begitu melihat putrinya datang. Senyum bangganya tak bisa disembunyikan.

“Ini anak gue, Riana Maheswari.”

Riri tersentak kecil, buru-buru merapikan posisi berdirinya.

“Ri, kenalin. Ini teman Papa waktu sekolah… sekaligus juga bos Papa,” lanjut Raden dengan nada hangat. “Namanya Pak Bastian.”

Pria itu, Bastian Dinantara — mengalihkan pandangan padanya, dan seketika tatapan mereka bertemu. Riri membeku sepersekian detik. Pria yang tadi ia tabrak… ternyata adalah bos Papanya.

Bastian tersenyum tipis.

“Halo, Riana. Papa kamu banyak cerita tentang kamu,” sapanya tenang namun ramah.

Riri langsung menunduk malu, suara gugupnya nyaris tidak terdengar.

“Ha… halo, Pak…” ucapnya pelan.

Rahayu yang sejak tadi memperhatikan, segera memberi isyarat.

“Sini, Ri, duduk. Dari tadi Mama nunggu kamu berdiri aja di situ,” ujarnya tegas.

Riri pun cepat-cepat duduk di kursi kosong di sampingnya, masih dengan pipi yang sedikit memerah.

Bastian menatapnya beberapa saat, seolah sedang menilai tanpa mengintimidasi.

“Sibuk apa kamu sekarang, Ri?” tanyanya, membuka percakapan kecil.

“Belum sibuk apa-apa, Pak… Aku baru lulus kuliah,” jawab Riri malu-malu, memainkan ujung rambutnya.

“Oh, gitu, Panggil Om aja, gak usah sungkan.” balas Bastian.

"I.. iya Om."

Raden menyambung dengan nada penuh kebanggaan.

“Iya, Bas. Dia baru lulus. Kemarin sempat nanya-nanya kerjaan di kantor, tapi belum ada lowongan yang cocok buat dia.”

“Yaudah… nanti kalau ada lowongan kerjaan yang pas buat dia, gue kabarin,” ujar Bastian santai tapi tulus.

“Thanks ya, Bas. Lo selalu bantuin gue,” balas Raden dengan nada akrab, seperti dua sahabat lama yang sudah melewati banyak hal bersama.

Bastian terkekeh kecil.

“Udah, makasih mulu,” ujarnya ringan.

Lalu ia melirik ke sekeliling, seolah menyadari ada tamu-tamu lain yang menunggunya.

“Yaudah, gue keliling dulu ya. Banyak karyawan yang harus gue sapa malam ini. Kalian nikmatin aja makan malamnya,” katanya sambil bangkit berdiri.

“Iya, Bas. Makasih ya udah sempetin mampir,” ujar Raden sambil menjabat tangannya.

Bastian menepuk bahu sahabatnya dengan hangat, lalu berjalan menjauh dengan langkah tenang. Riri tak sadar, matanya sempat mengikuti punggung pria itu sampai menghilang di kerumunan.

___

Bastian baru saja melangkah pergi, namun suasana di meja makan masih menyisakan keheningan kecil. Riri menatap punggung pria itu hingga benar-benar menghilang dari pandangan. Ada sesuatu yang menggelitik hatinya… perasaan aneh yang sulit ia pahami.

Begitu suasana kembali tenang, Riri mencondongkan tubuhnya ke arah Papa. Matanya berbinar penuh rasa ingin tahu.

“Pa… Om Bastian itu beneran temen Papa?” tanyanya penasaran.

Raden menoleh, tersenyum ringan.

“Iya, Riri. Dia teman sekolah Papa dari SMA. Sekarang dia juga banyak bantu keluarga kita. Termasuk soal proyek kerjaan Papa beberapa waktu lalu.”

Riri mengernyit.

“Tapi kok aku nggak pernah tahu? Papa nggak pernah cerita tentang Om Bas.”

Raden terkekeh kecil, mengangkat bahu.

“Iya, karena Om Bas sering banget di luar negeri, Nak. Kita juga baru intens ketemu lagi belakangan ini.”

“Oh, gitu…” gumam Riri pelan. Tapi rasa penasarannya justru makin menjadi. Ia memutar pandangan ke arah kerumunan, berharap bisa melihat sekilas sosok Bastian lagi.

Beberapa detik kemudian, pertanyaan lain terlintas begitu saja.

“Terus… istrinya Om Bas yang mana, Pa?” tanya Riri polos.

Rahayu yang sejak tadi fokus pada makanannya langsung menoleh cepat.

“Riri! Kamu kepo banget, deh,” tegurnya setengah bercanda tapi tegas.

Riri manyun.

“Riri kan cuma nanya, Ma…” bantahnya dengan nada manja.

“Iya, tapi itu kan urusan pribadi orang, Sayang,” jawab sang Mama dengan nada lembut tapi mengingatkan.

Namun Raden menjawab dengan santai.

“Om Bas single, Riri.”

> “Hah?!” Riri langsung membulatkan mata. “Maksudnya…?”

> “Belum menikah,” jelas sang Papa tenang, seolah itu hal biasa.

Riri spontan menegakkan tubuhnya, matanya makin berbinar—bukan karena naksir, tapi rasa penasaran yang tumbuh begitu cepat.

“Serius, Pa? Kenapa? Umurnya udah kelihatan… ya, nggak muda lagi, lho,” ucap Riri polos, membuat Mamanya menahan tawa kecil.

“Riri, udah-udah. Jangan bahas di sini. Nanti kita ngobrol di rumah aja, ya,” ujar Raden, mencoba menutup topik.

Meski pembicaraan dihentikan, ucapan Papanya tadi justru menancap dalam-dalam. Single. Belum menikah. Kata-kata itu berputar dalam kepala Riri sepanjang acara.

Ia memperhatikan sesekali ke arah ruangan tempat Bastian tadi pergi. Pria itu terlihat sibuk menyapa tamu lain, berdiri tegap dengan aura tenang dan berkelas. Semakin Riri memperhatikannya, semakin kuat rasa penasarannya.

“Kenapa dia bikin gue kepikiran terus, sih…?” batin Riri sambil memainkan sendok di tangannya.

Malam itu, walau acara keluarga masih berlangsung dengan ramai, pikiran Riri sudah melayang ke satu sosok, Bastian Dinantara. Nama itu, entah kenapa, mulai membekas kuat dalam benaknya.

____

Setelah makan malam perusahaan yang menurutnya cukup melelahkan telah usai. Riri merebahkan diri di ranjangnya. Gaun hitam Sabrina yang ia kenakan sejak tadi, masih menempel di tubuhnya, tapi rasa malas membuatnya enggan berganti baju.

“Kenapa, sih… dari tadi mikirin Om Bastian mulu?” gumamnya, menatap langit-langit kamar dengan ekspresi bingung. Ia sendiri heran kenapa sosok pria itu begitu menempel di pikirannya sejak pertama kali bertemu.

Dengan gerakan malas, Riri meraih ponselnya. Ia membuka media sosial dan mulai berselancar. Di kolom pencarian, jarinya mengetik pelan, “Bastian Dinantara.”

Beberapa detik kemudian, hanya muncul satu akun yang cocok. Profil itu sederhana namun berkelas. Nama lengkapnya terpampang jelas, dengan foto profil hitam-putih yang membuat Bastian terlihat semakin berwibawa.

“Duh… ini orang kok kayak model ya,” bisiknya sambil menggulir layar.

Feed akun itu dipenuhi foto-foto Bastian di berbagai negara, berdiri di depan menara Eiffel, menghadiri acara bisnis di Jepang, berlayar di pantai Santorini. Aura mapan dan elegan benar-benar terpancar dari setiap potretnya.

Tanpa sadar, jempol Riri menekan ikon hati pada salah satu foto Bastian yang sedang mengenakan kemeja putih dan tersenyum samar ke arah kamera.

Klik.

“Ya ampun… gue ngelike,” Riri langsung menatap layar dengan mata membulat. Namun detik berikutnya, bibirnya justru tersenyum geli. “Hmm… menarik,” gumamnya pelan.

Kedatangan Om Bas..

Sementara itu, di tempat lain…

Bastian duduk di ruang kerjanya, laptop menyala. Ponselnya berbunyi ting!

“Hm?” Ia membuka notifikasi. Sebuah like baru muncul di fotonya. Nama yang muncul, Riana Maheswari.

Alisnya terangkat tipis. “Riana… anaknya Raden?” gumamnya, sedikit terkejut.

Ia menatap foto profil gadis itu, memperbesar. Foto wisuda, senyum cerah.

Bastian menghela napas pendek, tapi senyum samar muncul di ujung bibirnya.

“Anak ini… ngelike foto lama pula,” ujarnya kecil.

Kembali ke Riri

“Duh, jangan-jangan Om Bastian liat like gue,” Riri menatap layar dengan panik.

Ia menggigit bibir bawahnya.

“Ah enggak lah… masa iya orang sibuk kayak dia mantengin notif,” ujarnya menepis kekhawatiran sendiri.

Tapi kemudian, notifikasi muncul:

“Bastian Dinantara mulai mengikuti kamu.”

“HAH!” Riri menjerit kecil dan menutup mulutnya sendiri.

“Om Bastian… follow gue balik?” matanya membulat.

Deg… jantungnya berdetak cepat.

Riri kembali menatap layar ponselnya, masih tak percaya dengan apa yang ia lihat.

“Gak salah nih, Om Bastian… follow gue?” bisiknya pelan, seolah takut kalau kata-katanya terdengar oleh dinding kamar.

“Duh, jangan panik, Ri… biasa aja… biasa aja,” ia menepuk pipinya sendiri, mencoba menenangkan diri.

Ting!

Notifikasi DM masuk.

“HAH??! DM??!” Riri langsung duduk tegak, mata membesar. Dengan jari gemetar, ia membuka pesan itu.

---

Bastian:

Malam, Riana.

---

Riri menatap layar beberapa detik.

“Ya ampun, Om Bastian beneran nge-chat gue… gimana nih jawabnya… harus sopan, harus cool,” gumamnya panik.

Akhirnya ia mengetik:

---

Riri:

Malam juga, Om 😊

---

Beberapa detik kemudian… typing…

---

Bastian:

Tadi like foto saya yang di Santorini, ya?

---

Riri menjerit kecil sambil menutup muka dengan bantal.

“Om Bastian NGEH!! Aduh malunyaaa 😭”

Ia menggulir ke atas, memastikan fotonya.

“Iya bener… itu foto tahun lalu lagi…” gumamnya.

Setelah tarik napas panjang, ia membalas dengan hati-hati.

---

Riri:

I-iya Om 😅 nggak sengaja kepencet. Lagi liat-liat aja… hehe.

Bastian:

Gak apa-apa, Jarang ada yang perhatiin foto lama.

Kamu suka traveling juga?

“Om Bastian nanya balik?? Ya ampun…” Riri menggigit ujung bantal, berusaha menahan teriakan hebohnya sendiri.

Riri:

Suka sih Om, tapi belum pernah ke luar negeri. Paling jauh juga ke Bali.

Bastian:

Bali juga bagus.

Kalau ada kesempatan, kamu harus coba traveling lebih jauh. Banyak hal menarik yang bisa dilihat.

Riri tak berhenti tersenyum membaca balasan itu.

“Om Bastian ngomongnya elegan banget… kayak karakter cowok di drama Korea…”

Riri:

Iya Om… siapa tahu nanti ada rezeki bisa keliling dunia juga.

Bastian:

Siapa tahu.

Hening sejenak. Riri menatap layar dengan pipi memanas. Ia tak menyangka percakapan sederhana itu bisa bikin jantungnya berdetak sekencang ini.

____

Sudah tiga hari sejak percakapan malam itu. Riri yang biasanya malas membuka chat, kini justru jadi orang pertama yang membuka DM Instagram setiap pagi. Berharap ada pesan baru yang bastian kirimkan, namun nihil takan ada pesan apapun lagi yang ia terima.

______

Raden menepuk bahu Bastian dengan tawa khasnya.

“Bas, lama nggak ngumpul ya. Minggu ini lo kosong nggak? Datang makan malam ke rumah gue ya, sekalian kitq ngobrol santai.”

Bastian sempat terdiam. Sudah lama ia tak datang ke rumah sahabat lamanya itu—rumah yang kini juga dipenuhi kehadiran seseorang yang beberapa hari ini mengusik pikirannya.

“Hmm… boleh, Den. Hari apa?”

“Jumat malam. Rumah gue juga sepi, ya paling cuma Riri sama ibunya.”

Bastian menelan ludah pelan. Nama “Riri” melintas cepat di pikirannya.

“Okelah,” jawab Bastian akhirnya. “Gue nanti datang.”

---

Jumat malam

Rumah keluarga Raden tampak hangat dengan lampu taman yang menyala lembut. Mobil Bastian berhenti di depan gerbang, dan suara satpam langsung menyapanya,

“Malam Pak Bastian, dipersilakan masuk. Pak Raden sudah nunggu di dalam.”

Bastian turun dari mobil dengan kemeja biru tua rapi, sedikit parfum elegan, dan rambut yang disisir klimis. Ia bukan datang untuk menggoda siapa pun, tapi entah kenapa… jantungnya sedikit lebih cepat dari biasanya.

Begitu masuk ruang tamu, Raden sudah berdiri sambil tersenyum lebar.

“Bas! Wah, masih kayak dulu aja, elegan banget lo!”

“Halah… lo aja yang makin kelihatan muda,” balas Bastian sambil tertawa. Mereka saling berpelukan sebentar, suasana hangat langsung terbentuk.

Mereka duduk di meja makan panjang yang sudah tertata rapi. Istri Raden, Rahayu menyapa sopan, “Bastian, makan malamnya sederhana aja ya. Kamu kan udah kayak keluarga kita sendiri.”

“Wah, terima kasih banyak, Ayu” jawab Bastian sopan.

Sementara itu, di lantai atas, Riri baru keluar dari kamar mandi dengan rambut masih dibungkus handuk. Ia tidak tahu sama sekali ada tamu. Saat mendengar suara ayahnya dan seorang pria dari bawah, ia sempat mengintip dari pegangan tangga.

Riri memicingkan mata.

“Suara itu… kayak… OM BASTIAN??!” bisiknya kaget.

Ia buru-buru mundur dan menutup pintu kamar pelan. Jantungnya berdetak tak karuan.

“Om Bastian… di rumah?? Kenapa Papa nggak bilang apa-apa!” gumamnya panik.

Di ruang makan, percakapan berjalan santai.

Raden bercerita tentang bisnisnya, tentang Riri yang sekarang sudah lulus kuliah, dan sesekali melempar gurauan masa muda mereka.

“Bas, ingat nggak waktu kita kabur dari kampus cuma buat nonton bola?”

“Wah, jangan diingetin lagi Den… kita hampir di-DO waktu itu,” jawab Bastian sambil tertawa keras.

Rahayu ikut tersenyum. “Kalian berdua kalau udah reuni, kayak anak muda lagi.”

Namun di sela tawa itu, Bastian kadang menatap ke tangga. Ia tahu Riri tinggal di atas. Ada rasa ingin dan rasa takut yang bersilangan.

___

Di kamarnya, Riri mondar-mandir seperti anak ayam kehilangan induk.

“Aduh… aku belum ganti baju. Masa turun pakai piyama gini…”

“Tapi… masa aku diem aja di kamar??”

“Papa juga keterlaluan, nggak kasih tahu kalau om Bastian mau datang…”

Ia berdiri di depan cermin, mengambil dress santai berwarna putih muda, lalu merapikan rambutnya tergesa-gesa. Pipinya sedikit diberi blush tipis, bibirnya diberi sedikit lip gloss.

“Aku cuma… turun… nyapa tamu… bukan karena Om…” katanya membela diri sendiri, padahal senyum kecilnya di depan cermin tidak bisa berbohong.

Di bawah, suara langkah kaki pelan terdengar dari tangga.

Bastian yang sedang meneguk air tiba-tiba menoleh.

Riri muncul.

Dress putih sederhana, rambut tergerai rapi, wajah segar.

Sejenak, waktu seperti melambat. Bastian membeku sesaat, tidak menyangka akan melihatnya dalam suasana seperti ini.

Raden langsung berseru, “Nah, itu dia anak gadisku! Riri, sini nak, Om Bastian datang.”

Riri berusaha bersikap biasa, padahal jantungnya hampir meloncat.

“Halo Om…” sapanya pelan sambil duduk di samping ibunya.

“Eh, Riri… hai,” jawab Bastian kaku, tapi matanya tidak bisa tidak memperhatikan detail kecil, cara Riri menunduk, bibirnya yang berkilat samar, dan aroma wangi lembut yang terbawa angin.

Rahayu tersenyum tipis melihat keduanya. Raden malah sibuk menuangkan sup ke mangkuk.

“Bas, kamu harus sering-sering mampir. Riri juga jarang ngobrol sama Om, padahal dulu waktu kecil kalau kita ketemu, dua maunya nempel terus.”

“Papaaa…” Riri melotot kecil, wajahnya merona.

Bastian menunduk sedikit dan tertawa kecil, mencoba tetap menjaga sikap.

“Dulu Riri masih bocah, Den… sekarang udah dewasa banget.”

Kalimat itu terdengar ringan, tapi Riri merasakannya berbeda.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!