NovelToon NovelToon

Dok, Berikan Aku Obat Cintamu!

01. One Night Stand

Ballroom Hotel Imperial berkilau dengan lampu kristal. Malam itu, pesta kelulusan Fakultas Kedokteran berlangsung meriah. Semua mata tertuju pada Kinara Zhao Ying, mahasiswi cerdas yang dinobatkan sebagai lulusan terbaik se-Jakarta. Wajah cantiknya berseri, meski ia tahu tak semua orang berbahagia untuknya. Dari jauh, Savira Prameswari, sahabat yang selama ini berpura-pura mendukung, menatapnya penuh iri.

“Selamat ya, Kinar,” ucap Savira dengan senyum manis. Tapi di balik senyum itu, hatinya membara.

“Mari kita lihat apakah kau masih bisa berdiri tegak setelah malam ini.”

Savira telah menyiapkan siasat. Dia menuangkan cairan bening ke dalam gelas Kinara. Ketika Kinara lengah, minuman itu ia sodorkan.

“Untukmu, juara kita malam ini!” katanya.

Kinara meneguk tanpa curiga. Tak lama, kepalanya terasa berat. Musik, cahaya, dan keramaian berubah kabur. Tubuhnya melemah. Savira menyambutnya dengan cepat, seolah peduli.

“Aduh, Kinar, kamu mabuk ya? Aku antar ke kamar ya…” Kinara hanya mengangguk setuju dengan pertanyaan Savira. Dengan langkah tergesa, Savira menyeret Kinara yang nyaris tak sadar menuju kamar hotel yang sudah ia siapkan. Setelah memastikan Kinara terbaring di ranjang, Savira menghubungi seorang pria tua yang sebelumnya memberinya sejumlah uang.

“Wanita yang kau mau … sudah ada di kamar 103,” bisiknya penuh licik.

"Selamat tinggal, Kinara." Savira menepuk pelan wajah Kinara dalam keadaan setengah sadar. Samar-samar Kinara menatap punggung sahabat yang selama ini dia percaya, air mata mengalir tanpa suara isak.

Sementara itu, di lantai atas hotel, Arvino Prasetya baru saja keluar dari ruang rapat. Wajahnya pucat, sejak tadi ia merasa pusing, dadanya berdebar aneh.

"Aduh, Arvino. Biar aku bantu," kata Rhea, yang mendekat. Namun, Zaki langsung mengambil alih tubuh Arvino, karena dia tahu selama ini Arvino berusaha menjaga jarak dengan Rhea.

“Pak, Anda baik-baik saja?” tanya Zaki, asistennya yang selalu setia. Arvino mengangguk samar. Dia tak tahu bahwa minuman yang tadi ia terima di ruang rapat sudah dicampur sesuatu oleh Rhea Anggraini, teman masa kecil sekaligus manajer perusahaannya, yang diam-diam terobsesi padanya.

“Antar saya ke kamar,” pinta Arvino dengan suara berat. Namun baru beberapa langkah di koridor, Zaki mendapat telepon darurat dari ruang pertemuan, itu juga adalah ulah Rhea.

“Pak, ada masalah besar dengan investor. Saya harus turun, apa Anda bisa berjalan sendiri?”

Arvino mengangguk. “Pergilah, Aku bisa sendiri.”

Dengan langkah sempoyongan, Arvino berjalan mencari kamarnya. Pandangannya kabur, nomor pintu terlihat ganda. Harusnya kamar 130, tapi ia berhenti di depan kamar 103. Tanpa pikir panjang, ia memutar pintu yang ternyata memang tak dikunci.

Di dalam kamar, Kinara menggeliat resah di atas ranjang. Tubuhnya panas, kepalanya berkunang. Dia setengah sadar, berusaha bangun, namun gagal. Ketika pintu terdengar suara keras setelah di tutup, ia melihat sosok pria tinggi dengan wajah asing masuk. Tatapan mereka bertemu dalam kebingungan dan kabut kesadaran.

“Siapa … kau?” suara Kinara bergetar. Arvino berusaha fokus, tapi tubuhnya seperti kehilangan kendali, nafasnya memburu. “Aku … tidak tahu kenapa bisa di sini. Tolong … aku tak bisa mengendalikan diriku.”

Dia mendekat, mencengkeram lengan Kinara, seolah mencari pegangan agar tidak jatuh.

“Bantu aku … aku berjanji akan bertanggung jawab.”

"Ti ... tidak!" Kinara dengan sisa tenaga menolak, tetapi Arvino tak mau melepaskannya.

Kinara panik, mencoba menolak dengan sisa tenaga.

“Lepaskan aku!” serunya, namun tubuhnya lemah. Arvino membungkam mulut Kinara dengan bibirnya membuat wanita itu ikut hanyut dalam permainan Arvino karena pengaruh obat yang telah menjalar dalam mereka berdua.

Sementara di koridor, Rhea berjalan cepat mencari keberadaan Arvino, tetapi dia tak lagi melihat sosok pria itu.

"Sial! Di mana dia," gumam Rhea, terus mencari keberadaan Arvino, dia mencoba membuka semua pintu tetapi kosong, sebagian terkunci hingga Rhea tak menemukan adanya Arvino.

Jam tiga pagi, sunyi kota masih begitu pekat ketika dering ponsel memecah kesenyapan kamar hotel. Arvino membuka mata dengan kepala berat, sisa mabuk semalam masih menguasai tubuhnya. Nama Zaki muncul di layar.

“Pak Arvino, Kakek Anda dilarikan ke rumah sakit!” suara Zaki terdengar panik di seberang sana, kedua mata Arvino melebar semua. Degup jantung Arvino langsung menghantam dadanya. Dia setengah bangkit, namun gerakannya terhenti ketika menyadari ada sosok perempuan tertidur di sampingnya. Rambut panjang itu menutupi sebagian wajah, tubuh mungilnya membelakangi Arvino. Dia menatapnya lama, mencoba mengingat apa yang terjadi semalam. Ingatan samar hanya berkelebat, meninggalkan tanda tanya yang membuatnya gusar.

Jemari Arvino hampir menyentuh bahu gadis itu ketika ponselnya kembali berdering. Kali ini ibunya, dengan suara bergetar, sang ibu memintanya segera datang ke rumah sakit.

Arvino menggertakkan rahang. Ada rasa bersalah yang tak mampu ia jelaskan, seakan ia telah merusak sesuatu yang rapuh. Perlahan ia meraih kalung perak yang selalu ia kenakan, lalu meletakkannya di atas nakas. Sebuah kartu nama ia selipkan di sampingnya, pesan tanpa suara, janji yang hanya bisa ia titipkan lewat benda. Namun langkahnya terhenti sejenak ketika matanya menangkap bercak merah samar di atas ranjang. Nafasnya tercekat, dia menunduk, bergumam lirih,

“Tunggu aku … aku pasti akan kembali mencarimu.”

Tanpa menoleh lagi, ia pun pergi meninggalkan kamar itu. Di luar Zaki telah menunggunya.

Pukul tujuh pagi, ponsel Kinara bergetar nyaring. Nama rumah sakit yang beberapa minggu ini menunggu kedatangannya muncul di layar. Itu hari pertamanya bekerja, hari yang seharusnya ia sambut dengan bahagia. Tangannya bergerak mencari ponselnya, namun tanpa sengaja malah menjatuhkan kartu nama itu ke lantai.

Namun saat membuka mata, dunianya seakan runtuh. Dia mendapati dirinya berada di ranjang hotel, tubuhnya tanpa busana. Panik segera menghantam, jantungnya berdegup tak karuan, pikiran kacau, ingatan semalam seperti kabur tertelan gelap.

"Astaga, apa yang telah ku lakukan?" bisiknya menggenggam erat selimutnya. Dengan tangan gemetar ia segera meraih pakaian yang berserakan dan mengenakannya, mencoba melupakan mimpi buruk itu, meski rasa takut masih mencengkeram. Saat hendak beranjak, dia melihat sesuatu di atas nakas, Kinara meraihnya dengan tangan bergetar, sebuah kalung perak yang tergeletak di sana.

Benda itu terasa dingin di telapak tangannya, tapi justru membuat dadanya berdebar keras.

'Kalung ini … pasti milik orang itu,' gumam Kinara menggenggam benda perak tersebut.

Ponselnya terus bergetar, panggilan itu dari pihak rumah sakit. Tetapi, Kinara mengabaikannya.

Suasana rumah sakit pagi itu sibuk. Para perawat berlalu-lalang, dokter memeriksa berkas pasien, dan suara alat medis berbaur dengan panggilan dari pengeras suara. Di tengah hiruk pikuk itu, Kinara Zhao Ying melangkah tergesa-gesa. Napasnya masih tersengal, wajahnya pucat, mata sembab bekas tangis yang berusaha ia tutupi dengan sedikit bedak.

Hari pertama bekerja, seharusnya menjadi hari paling berharga, justru terasa seperti mimpi buruk yang tak berkesudahan.

“Dokter Kinara, dimohon ke ruang manajer sekarang juga,” suara dari resepsionis membuat langkahnya terhenti, jantungnya berdetak kencang.

Dengan kepala tertunduk, Kinara mengetuk pintu. Dari dalam terdengar suara tegas.

“Masuk.”

Manajer rumah sakit, pria paruh baya dengan kacamata tebal, menatap Kinara tajam dari balik meja.

“Dokter Kinara, hari ini adalah hari pertama Anda. Tapi Anda datang terlambat hampir satu jam. Apa Anda tahu betapa tidak profesionalnya itu?”

Kinara menunduk semakin dalam, jemarinya saling meremas. “Saya minta maaf, Pak. Tadi ada… kendala di jalan. Saya berjanji tidak akan mengulanginya lagi. Tolong beri saya kesempatan untuk membuktikan diri.”

Manajer menghela napas panjang. “Ingat, reputasi rumah sakit ini dipertaruhkan. Saya tak peduli siapa Anda, semua dokter harus profesional. Saya harap Anda menepati janji.”

Kinara mengangguk cepat. “Iya, Pak. Terima kasih atas pengertiannya.”

Begitu keluar dari ruangan, Kinara menarik napas panjang, berusaha menenangkan dirinya. Namun langkahnya terhenti ketika matanya menangkap sosok yang sangat ia kenal.

Sahabat yang semalam mengantarnya ke kamar hotel. Sosok yang seharusnya menjadi pelindung, kini justru menjadi bayangan paling menakutkan.

“Savira…” suara Kinara serak, matanya bergetar menahan emosi. “Kenapa? Kenapa kamu tega melakukan itu padaku?”

Savira hanya tersenyum miring, kedua tangannya bersedekap. Tatapannya dingin, penuh kemenangan.

“Akhirnya kamu sadar juga, Kinar. Aku sudah muak melihatmu selalu di atas. Semua orang memuji Kinara si sempurna, Kinara si pintar, Kinara si juara. Sementara aku? Tak pernah ada yang benar-benar memandangku.”

Kinara menggenggam erat tasnya, tubuhnya bergetar.

“Itu bukan alasan untuk menghancurkan hidupku, Savira! Aku percaya sama kamu … aku anggap kamu saudara sendiri!”

Tawa kecil lolos dari bibir Savira, penuh ejekan.

“Justru karena itu aku benci padamu. Dan semalam … hanyalah permulaan, Kinar. Anggap saja hadiah perpisahan dari ‘sahabat terbaikmu."

"Apakah pria tua semalam cukup menyenangkan kamu? Sepertinya iya," Cibir Savira melihat tanda merah di leher Kinara.

Plak!

Kinara menampar Savira.

"Aku akan mengingat semua perlakuan kamu ini,"

Savira, tersenyum. Senyum licik itu membuat darah Kinara membeku. Ada rasa sakit yang lebih dalam daripada luka fisik dan pengkhianatan.

Kinara menatap Savira dengan mata berkaca-kaca, lalu berbalik meninggalkannya. Dalam hati, ia berjanji tak akan pernah lagi membiarkan dirinya diinjak-injak.

02. Tiga Bulan Kemudian

Tiga bulan telah berlalu sejak malam kelulusan yang seharusnya menjadi kenangan terindah dalam hidup Kinara Zhao Ying.

Rumah sakit tempatnya bekerja kini menjadi satu-satunya pelarian. Dia bekerja lebih keras dari siapa pun, menutup luka dengan profesionalisme. Tapi pagi itu, sesuatu terasa berbeda. Pusing yang sudah beberapa hari ia abaikan kembali menyerang. Tangannya refleks menekan perut yang terasa aneh sejak seminggu terakhir.

“Dokter Kinara, Anda pucat sekali. Perlu saya panggilkan perawat?” suara salah satu rekannya membuatnya tersadar.

Kinara tersenyum paksa. “Tidak, saya baik-baik saja ... mungkin kurang tidur.”

Namun di dalam hatinya, ia tahu ada sesuatu yang salah. Dan sore itu, saat semua orang sudah pulang, ia memutuskan untuk melakukan pemeriksaan sendiri di ruang laboratorium. Jarum suntik menusuk kulitnya, tabung uji terisi, dan jarum jam berdetak seperti menunggu vonis. Ketika hasilnya keluar, dunia Kinara runtuh seketika.

"Po ... positif hamil?" bibir Kinara bergetar menatap hasil itu. Kertas hasil tes itu jatuh dari tangannya. Tubuhnya lemas bersandar di dinding ruang laboratorium yang dingin. Air matanya menetes satu per satu tanpa suara. Semua kenangan malam itu datang silih berganti, rasa pusing, cahaya kabur, sosok pria asing, kalung perak, lalu pagi dengan bercak merah di seprai.

“Tidak … ini tidak mungkin…” bisiknya lirih, menutup mulut dengan telapak tangan. Dia menatap perutnya sendiri dengan gemetar.

Keesokan harinya, rumah sakit dipenuhi suasana hangat. Pihak direksi tengah mempersiapkan pemilihan Direktur Muda Baru, posisi bergengsi yang menjadi impian banyak dokter muda, termasuk Kinara. Meski usianya baru 25 tahun, prestasinya sudah mencatatkan namanya dalam daftar kandidat terkuat. Namun di balik semua itu, ancaman datang dalam wujud yang familiar.

Savira kembali memasuki kehidupannya dengan langkah anggun dan senyum licik. Kini ia bekerja di bagian administrasi rumah sakit yang sama, sesuatu yang Kinara sendiri tidak tahu bagaimana bisa terjadi.

Siang itu, saat Kinara tengah menulis laporan pasien di ruang kerja, suara ketukan pelan terdengar di pintu.

“Boleh masuk?” suara yang terlalu dikenalnya membuat darahnya membeku. Kinara menatap pintu, dan ketika Savira muncul dengan setelan rapi dan map di tangan, napasnya tercekat.

“Ada apa kamu datang ke sini?” tanyanya waspada. Savira berjalan mendekat dengan langkah ringan.

 “Tenang, aku hanya ingin mengucapkan selamat. Ku dengar kamu masuk nominasi Direktur Muda Rumah Sakit.”

Dia berhenti di depan meja, bibirnya menekuk dalam senyum sinis.

“Hebat sekali, Kinar. Bahkan setelah ‘malam itu’, kamu masih sempat mengejar karier.”

Kinara mematung, tatapannya tajam menatap Savira.

“Malam itu?” suaranya bergetar. “Savira, jangan bawa-bawa hal itu lagi. Harusnya kamu bersyukur aku tak melaporkan kejahatan kamu itu,"

“Oh, jadi kau masih mengingatnya?” Savira mencondongkan tubuh, menatapnya dalam. “Atau kau pura-pura lupa karena takut kenyataan menghantammu? Aku tahu semuanya, Kinar. Aku tahu apa yang terjadi di hotel itu. Dan aku tahu, sekarang … kau sedang menyembunyikan sesuatu.”

Kinara terdiam, darahnya seakan berhenti mengalir. Savira menatap perutnya sekilas, lalu tersenyum.

“Tidak usah menyangkal. Aku bukan bodoh, Kinar. Kau mulai sering mual pagi, wajahmu pucat, dan aku lihat kau ke ruang laboratorium sendirian kemarin sore. Aku tahu hasilnya.”

Kinara mundur satu langkah, matanya membulat penuh teror.

 “Kau … mengikutiku?”

Savira terkekeh. “Aku hanya butuh bukti kecil. Dan sekarang aku punya semuanya.”

Dia mengeluarkan ponsel dari tasnya, menunjukkan foto Kinara yang diambil diam-diam di laboratorium.

“Bayangkan kalau foto ini tersebar ke pihak rumah sakit. Lulusan terbaik yang hamil tanpa suami. Reputasimu, kariermu, semuanya selesai.”

Kinara meremas meja di belakangnya, suaranya nyaris pecah.

“Apa maumu, Savira?”

Savira menyilangkan tangan. “Mudah saja, mundur dari pencalonan Direktur Muda. Dan … tinggalkan rumah sakit ini, untuk selamanya.”

“Savira…” suara Kinara lirih, matanya berkaca-kaca. “Kau sudah menghancurkan satu malam dalam hidupku. Apa belum cukup?”

“Belum,” sahut Savira dingin. “Aku akan merasa cukup kalau kau hilang dari hadapanku.”

Jika gosip itu tersebar, bukan hanya kariernya yang hancur, tapi juga bayi dalam kandungannya.

“Aku … akan pergi,” ucapnya akhirnya.

“Kau menang, Savira.”

Savira tersenyum puas. “Bagus, aku suka wanita yang tahu kapan harus menyerah.”

Hongkong, dua bulan kemudian.

Rumah keluarga Zhao berdiri megah di kawasan elit Victoria Peak. Sebuah keluarga Taipan yang terkenal di Asia karena jaringan bisnisnya yang meluas ke perbankan dan properti.

Di halaman depan, seorang wanita paruh baya bersurai perak memandangi kedatangan mobil hitam yang membawa cucunya pulang.

“Kinara…” suara lembut itu bergetar. “Akhirnya kau kembali ke rumah.”

Kinara menunduk, menahan emosi. “Aku … minta maaf, Oma. Aku seharusnya pulang sejak dulu.”

Madame Zhao Mei Lin menggenggam tangan cucunya erat.

 “Tidak apa, kau pulang dalam keadaan selamat, itu sudah cukup.”

Namun pandangan wanita tua itu sempat turun ke arah perut Kinara yang mulai membulat. Dia tak bertanya apa pun, tapi dalam matanya terpancar pengertian yang dalam.

Sementara itu, jauh di Jakarta, Arvino Prasetya berdiri di depan layar besar ruang kerjanya.

Zaki baru saja membawa hasil pencarian rekaman CCTV Hotel Imperial tiga bulan lalu. Dalam video itu, terlihat Savira Prameswari masuk ke kamar 103 pukul sebelas malam, namun bagian saat Arvino masuk ke kamar tersebut rusak.

“Ini satu-satunya rekaman yang bisa kami selamatkan, Pak,” ucap Zaki hati-hati.

Arvino menatap layar itu dalam diam. “Kamar 103 … wanita itu…”

“Savira Prameswari, asisten administrasi di rumah sakit,” jelas Zaki.

Arvino menyipitkan mata. "Temui wanita itu, aku meninggalkan sesuatu untuknya. Tetapi, dia tak menghubungiku,"

Zaki menatap bingung. “Anda yakin, Pak?”

Arvino mengangguk pelan. “Aku yakin. Aku perlu bertanggung jawab," katanya.

Namun Rhea yang diam-diam mendengar dari balik pintu mengepalkan tangan dengan geram. Jika Arvino terus mencari wanita itu semua rencananya akan hancur.

Sore itu.

Rumah Sakit Sentra Medika, tempat yang biasanya hanya riuh oleh langkah para perawat dan denting alat medis. Namun kali ini, suasananya berbeda. Suara ban mobil berderit pelan menghentikan semua aktivitas.

Dari gerbang utama, konvoi mobil hitam mewah berderet rapi memasuki area parkir. Logo perak berukir huruf P terpampang jelas di pelat mobil utama, membuat siapa pun yang melihat langsung tahu, itu milik keluarga Prasetya, keluarga konglomerat yang namanya identik dengan kekuasaan dan bisnis raksasa. Beberapa staf rumah sakit berhenti bekerja, saling berbisik penasaran.

“Ya ampun, itu … bukankah, itu mobil keluarga Prasetya?”

“CEO muda mereka yang datang sendiri?”

“Katanya jarang sekali muncul di depan publik…”

Pintu mobil utama terbuka, dan Zaki, asisten pribadi keluarga Prasetya, keluar terlebih dahulu. Dia segera berjalan cepat ke sisi lain dan membukakan pintu belakang. Dari dalam mobil, keluar sosok pria tinggi dengan wajah tenang dan berwibawa, Arvino Prasetya.

Garis rahangnya tegas, tatapan matanya tajam tapi penuh ketenangan yang berbahaya. Setelan hitam yang melekat sempurna di tubuhnya membuatnya tampak seperti lukisan hidup dari kemewahan dan kuasa.

“Dia nyata…” bisik salah satu perawat muda.

“Dia lebih tampan dari di majalah bisnis!” timpal yang lain.

Namun pria itu tidak memperhatikan siapa pun. Tatapannya fokus, dingin, dan jelas memiliki tujuan. Seorang pria paruh baya berseragam dokter mendekat, membungkuk sopan.

“Selamat sore, Tuan Prasetya. Suatu kehormatan besar Anda berkunjung ke rumah sakit kami. Ada yang bisa kami bantu?”

Arvino menoleh singkat. “Saya ingin bertemu seseorang.”

“Oh, tentu, Tuan. Dengan siapa?”

“Savira Prameswari,” jawabnya datar.

Beberapa staf yang mendengar spontan saling pandang. Nama itu bukan nama asing di rumah sakit, Savira dikenal sebagai staf administrasi yang ambisius dan baru beberapa bulan bekerja di sana. Dokter paruh baya itu tampak ragu sejenak sebelum tersenyum sopan.

“Tentu, kami akan segera memanggilnya.”

Namun sebelum berbalik, Zaki menambahkan dengan suara lantang, cukup untuk didengar semua orang.

“Perkenalkan, Nona Savira adalah calon istri dari Tuan Arvino Prasetya.”

“Calon istri?”

“Savira?”

“Yang benar saja … dia mau menikah dengan CEO keluarga Prasetya?”

Para perawat menutup mulut mereka, beberapa bahkan tampak terpaku antara terkejut dan iri. Atasan rumah sakit segera memanggil staf lain.

“Cepat panggil Nona Savira. Katakan ada tamu penting yang ingin bertemu.”

Di ruang administrasi, Savira yang tengah mengecek berkas hampir menjatuhkan pena ketika seorang staf berlari menghampiri.

“Nona Savira! Kau dipanggil ke lobi utama! Ada … Tuan Arvino Prasetya mencarimu!”

“Siapa?” suaranya serak, tak percaya.

“Tuan Arvino sendiri! Katanya kau calon istrinya!”

Jantung Savira berdetak begitu cepat hingga dia hampir kehilangan keseimbangan. Savira menatap dirinya di cermin kecil di meja. Dia menepuk pipinya pelan, menegakkan bahu, dan tersenyum puas.

Semua mata tertuju pada Savira yang datang dengan pakaian rapi, wajahnya dirias sederhana tapi menawan. Ketika ia berjalan mendekati Arvino, waktu seolah melambat. Arvino menatapnya lama, tatapannya tajam, mencoba mengenali.

“Jadi, kau … Savira Prameswari?”

Savira tersenyum lembut, menunduk sopan. “Benar, Tuan.”

Zaki berdiri di sisi Arvino, membisikkan pelan, “Tuan, ini wanita yang ada di rekaman CCTV malam itu. Dia masuk ke kamar 103 sebelum sistem rusak.”

Arvino menatap Savira lebih lama lagi. Dalam matanya, ada sisa kebingungan dan rasa bersalah yang ia bawa selama berbulan-bulan. Dia tidak mengingat wajah wanita di malam itu dengan jelas, hanya potongan memori samar dan perasaan bersalah yang menyesakkan.

“Kalau begitu…” ucapnya perlahan. “Kau wanita itu.”

Savira menunduk, pura-pura menahan haru. “Ya, Tuan … malam itu … segalanya terjadi begitu cepat. Saya tidak bermaksud … tapi saya tidak bisa lari dari kenyataan.”

Beberapa staf di sekitar menatap mereka dengan tatapan campur aduk, antara terkejut, kagum, dan iri.

Arvino mengembuskan napas panjang. “Baiklah, aku akan bertanggung jawab.”

Suara itu tenang, tapi tegas, tak bisa dibantah.

“Aku tidak ingin ada wanita yang terluka karena kelalaianku.”

Savira menatapnya, pura-pura meneteskan air mata. “Tuan Arvino … Anda sungguh lelaki terhormat.”

“Mulai hari ini,” lanjut Arvino, menatap matanya lurus, “kau adalah wanitaku.”

Bisikan kecil terdengar di sekitar mereka, sebagian menahan napas. Namun sebelum Savira bisa bicara, Arvino menambahkan, “Tapi aku tidak bisa menikah sekarang. Aku tidak akan menikah tanpa cinta.”

Savira mengangguk cepat, menyembunyikan kilatan licik di matanya. “Saya mengerti, Tuan.”

“Aku akan mengatur pertunangan resmi dalam waktu dekat,” kata Arvino lagi. “Semua kebutuhanmu akan kutanggung. Dan…” Ia menatap ke arah Zaki.

“Siapkan vila di kawasan Puncak untuknya. Pastikan semua fasilitas lengkap.”

Zaki mengangguk. “Baik, Tuan.”

Savira menunduk dalam-dalam. “Terima kasih, Tuan Arvino. Saya tidak akan mengecewakan Anda.”

Tapi di balik senyumnya, pikirannya berputar cepat. Kini ia tahu, pria di malam itu adalah Arvino Prasetya, pewaris keluarga raksasa. Dan Kinara gadis malang itu rupanya tidur dengan pria yang bahkan tak ia kenal.

‘Untung aku sudah menyingkirkannya lebih dulu,’ pikir Savira puas, menatap matahari sore yang mulai tenggelam di balik kaca gedung.

‘Sekarang, giliran aku yang menikmati semua yang seharusnya milikmu, Kinara. Semoga kau tidak pernah kembali untuk merusak kebahagiaan baruku.’

Sore itu, halaman rumah sakit dipenuhi sorak kecil dan tepuk tangan. Semua orang menyalami Savira, mengucapkan

Di Hongkong, malam hari.

Kinara duduk di balkon kamar, menatap kota yang tak pernah tidur. Di tangannya, kalung perak dengan inisial A.S. masih ia genggam setiap malam sebelum tidur.

“Siapa kau sebenarnya…” gumamnya, mengelus perutnya perlahan.

Bayi dalam kandungannya bergerak kecil, membuatnya tersenyum tipis di tengah air mata.

“Mungkin … suatu hari nanti, aku akan mempertemukanmu dengan ayahmu. Tapi untuk sekarang, biarlah rahasia ini hanya milik kita berdua.”

03. Enam Tahun Kemudian.

Langit sore di Bandara Soekarno-Hatta berwarna keemasan, memantulkan sinar matahari yang lembut pada kaca-kaca besar terminal keberangkatan internasional. Di antara lalu-lalang penumpang, aroma parfum mahal bercampur dengan suara pengumuman keberangkatan yang menggema lembut.

Siluet seorang wanita melangkah anggun keluar dari pintu kedatangan internasional. Rambut hitam bergelombangnya jatuh terurai lembut hingga punggung, bergerak mengikuti setiap langkahnya yang mantap.

Kinara Zhao Ying atau kini lebih dikenal dengan nama profesionalnya, Dokter Zao, dokter ahli sekaligus ilmuwan medis yang reputasinya sudah mendunia, baru saja kembali ke Indonesia setelah enam tahun menetap di Hongkong.

Di sisi kirinya, berjalan seorang bocah laki-laki tampan berusia sekitar lima tahun. Rambutnya berwarna cokelat gelap, mata tajam seperti batu safir, dan langkahnya begitu percaya diri meski tubuhnya mungil.

Dia mengenakan kemeja putih dengan celana hitam kecil, dan kacamata hitam yang membuatnya terlihat seperti model kecil yang turun dari majalah mode anak, dia Ethan Zhao Ying.

Anak itu berjalan tegap, menenteng tas kecil di bahunya sambil menatap sekeliling dengan ekspresi kritis khas bocah cerdas. Dia menoleh ke arah ibunya yang sibuk menatap papan kedatangan.

“Mommy,” panggilnya dengan suara jenaka. “Apa kita akan menemukan suami untuk Mommy di sini?”

Pertanyaan itu langsung membuat langkah Kinara terhenti. Orang-orang di sekitar yang sempat mendengarnya menoleh penasaran, sebagian tertawa kecil. Kinara menatap putranya dengan ekspresi setengah kaget, setengah geli.

“Oh, Astaga, Ethan! Fokus, Sayang!” katanya sambil menunduk, membenarkan topi kecil di kepala anaknya.

“Kita ke sini untuk tugas, bukan cari suami!”

Ethan mengerucutkan bibirnya, wajahnya merengut dengan lucu.

“Tapi Mommy selalu sendirian, Ethan cuma mau Mommy bahagia.”

Kinara menatap bocah itu lama, senyum lembut terbit di sudut bibirnya.

“Mommy sudah bahagia, Sayang. Mommy punya kamu.”

Anak itu mendengus, tapi akhirnya tersenyum kecil juga, mereka melanjutkan langkah. Semua mata yang mereka lewati memandang kagum, kombinasi elegan seorang wanita cantik dan anak laki-laki tampan itu menciptakan pemandangan yang terlalu memukau untuk diabaikan.

Namun di balik senyum tenangnya, masih tersimpan rahasia yang hanya dia dan Tuhan yang tahu, asal-usul Ethan. Setelah tiba di lobi bandara, Kinara memeriksa ponsel dan mendesah pelan.

“Astaga, Mommy lupa berkas penelitian itu di ruang pengambilan bagasi,” gumamnya dengan sedikit panik.

Ethan menatap ibunya dengan mata besar. “Mommy mau ambil dulu?”

“Iya, Sayang. Kamu tunggu di ruang tunggu VIP, ya. Jangan ke mana-mana.”

“Baik, Mommy.” Ethan mengangguk patuh.

Kinara berjongkok, membenarkan kerah bajunya, lalu menatapnya serius.

“Jangan bicara dengan orang asing.”

Ethan mengangkat alis, menatap ibunya dengan gaya sok dewasa.

“Mommy, aku bukan anak kecil lagi, aku bisa jaga diri.”

Kinara tertawa kecil, mencium dahinya, lalu berbalik pergi. Gaun panjangnya bergoyang ringan seiring langkahnya yang anggun menjauh di antara kerumunan.

Di sisi lain bandara, Arvino Prasetya baru saja turun dari pesawat jet pribadinya. Enam tahun berlalu, dan pria itu tampak semakin berkarisma.

Rambutnya sedikit lebih panjang, wajahnya lebih dewasa, tapi auranya tetap sama, dingin, berwibawa, dan penuh kendali. Setelan abu-abu tua menempel sempurna di tubuhnya yang tegap, mencerminkan citra CEO kelas dunia.

Di belakangnya, Zaki, asisten setia yang kini berusia lebih matang, berjalan membawa berkas-berkas penting.

“Selamat datang kembali di Jakarta, Tuan Arvino,” ucap Zaki dengan sopan.

Arvino mengangguk singkat. “Aku sudah dua bulan tidak menginjakkan kaki di kota ini.”

“Banyak yang berubah, Tuan. Termasuk rumah sakit utama Prasetya Group yang Anda bangun enam tahun lalu. Sekarang mereka kedatangan dokter ilmuwan baru dari Hongkong. Namanya Dokter Zao. Semua orang membicarakan kecerdasannya.”

Arvino menoleh sekilas.

“Dokter Zao?”

“Iya, Tuan, katanya wanita muda, sangat berbakat. Bahkan mampu menemukan metode terapi genetik baru. Dokter Zao, bisa untuk Dokter pribadi Tuan Besar,"

Arvino tidak terlalu memedulikan. Dia hanya mengangguk datar dan terus berjalan. Namun langkahnya tertahan ketika mereka tiba di ruang tunggu utama bandara.

Di sana, seorang bocah laki-laki tengah duduk di kursi kulit, kakinya disilangkan santai, wajahnya disembunyikan di balik kacamata hitam. Bocah itu terlihat seperti miniatur pria dewasa.

Namun begitu Arvino lewat, bocah itu menoleh dan sesuatu di dalam dirinya bergetar tanpa alasan. Ethan menatap pria itu lama. Sesuatu dalam dirinya berbisik pelan, seperti insting anak kecil yang tak bisa dijelaskan. Dan tanpa berpikir panjang, bocah itu berlari.

“Daddy!” teriak Ethan sambil memeluk paha pria dewasa itu kuat-kuat. Langkah Arvino langsung terhenti. Zaki membelalakkan mata, hampir menjatuhkan berkas di tangannya. “A-Apa?!”

Semua orang di sekitar menatap ke arah mereka. Arvino menunduk kaget, seorang bocah kecil berwajah tampan kini sedang menempel di kakinya, memeluknya dengan ekspresi gembira seolah benar-benar menemukan ayah kandungnya.

Zaki segera melangkah maju dan mencoba melepaskan tangan kecil itu.

“Nak, kau salah orang! Ini bukan ayahmu! Ini Tuan Arvino, bosku!”

Namun Ethan justru semakin erat memeluk. “Tapi dia mirip Daddy yang Mommy ceritain!”

Zaki terdiam, antara ingin tertawa dan bingung.

“Oh Tuhan, anak ini...”

Arvino berjongkok perlahan, menatap wajah bocah itu dari dekat. Dan di detik itu, dunia di sekeliling mereka seperti berhenti. Ada sesuatu dalam mata anak itu, bening, dalam, dan berwarna sama persis dengan matanya sendiri. Bibir mungil, rahang kecil, bahkan cara ia mengerutkan dahi, Arvino terpaku. Seolah menatap cermin kecil dari masa lalu yang tak pernah ia tahu.

“Nak…” suaranya berat.

“Siapa namamu?”

Bocah itu tersenyum bangga, menurunkan kacamatanya.

“Ethan, Ethan Zhao Ying.”

Nama itu menghantam dada Arvino seperti petir di langit tenang.

Zaki memucat. “Z-Zhao Ying?”

Arvino menatap bocah itu lebih dalam.

“Kau bilang … Mommy-mu siapa?”

Ethan tersenyum kecil, tanpa ragu menjawab, “Mommy-ku Dokter Kinara Zhao Ying. Tapi semua orang panggil Mommy Dokter Zao. Mommy itu cantik banget, pintar banget, dan paling keren di dunia.”

Zaki spontan menatap Arvino, tapi pria itu tetap diam. Pandangannya tak bisa lepas dari bocah itu.

"Apa bocah ini anak Dokter Zhao? Tapi menurut berita, Dokter Zhao belum menikah," bisik Zaki, kening Arvino berkerut.

Ethan tiba-tiba menatap Arvino dengan serius.

“Tuan Arvino, you single?”

Pertanyaan itu disampaikan dengan ekspresi polos dan wajah yakin. Beberapa orang di sekitar nyaris tertawa menahan suara. Zaki buru-buru menutup mulutnya, berusaha menjaga sopan santun, tapi gagal menahan senyum.

“Anak ini … luar biasa berani.”

Arvino menaikkan satu alis.

“Dan kalau aku single?”

Ethan tersenyum lebar.

“Ayo menikah dengan Mommy-ku! Mommy cantik, pintar, berkelas, dan Mommy bisa membiayai kamu seumur hidup!”

Zaki tertawa kecil kali ini, tak bisa menahan diri.

“Tuan, baru kali ini ada yang ingin membiayai Anda.”

Bahkan Arvino tersenyum tipis, senyum pertama yang muncul di wajahnya setelah sekian lama. Dia menatap bocah itu dengan rasa penasaran yang tak bisa ia pahami. Ada kehangatan aneh di dadanya yang sudah lama ia lupakan. Dia berjongkok lebih dekat, mengelus lembut rambut Ethan.

“Mommy kamu pasti wanita yang luar biasa.”

“Mommy paling hebat di dunia!” jawab Ethan cepat, penuh keyakinan.

Arvino menatap bocah itu lama, seolah ingin mengukir setiap detail wajahnya. Namun sebelum ia bisa bicara lebih jauh, sebuah suara lembut tapi tegas terdengar dari kejauhan.

“Ethan!”

"Sayang! Ethan!"

Ethan langsung menoleh, wajahnya berubah canggung.

“Uh oh…”

Dari arah koridor, seorang wanita berjalan cepat mendekat. Rambutnya berkilau di bawah cahaya, langkahnya elegan, matanya tajam tapi lembut. Arvino mendongak, dan waktu seakan berhenti.

“Mommy…” suara Ethan lirih. “Aku sudah ketemu calon suami untuk Mommy.”

Kinara tertegun, sementara tatapan Arvino tak bergeser sedikit pun dari wajahnya.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!