Malam itu, hujan turun tanpa henti, menenggelamkan jalanan hutan dalam kabut tebal. Rintik air menghantam kaca mobil dengan keras, seakan ingin memaksa siapa pun yang melintas untuk berhenti. Sooya menggenggam erat kemudi, mencoba menenangkan dirinya. Ia tidak tahu bagaimana bisa tersesat di jalanan sunyi itu.
Sejak sore tadi, ia hanya berniat pulang lebih cepat dari kampus. Namun entah mengapa, navigasi di ponselnya tiba-tiba error, menuntunnya masuk ke jalan yang bahkan tidak ada di peta. Jalanan itu sempit, dikelilingi pepohonan tinggi yang seolah menutup langit.
Di dalam mobil, hanya suara mesin dan detak jantungnya yang terdengar. Sooya berulang kali menoleh ke spion, merasa ada sesuatu yang mengikuti, meski jalanan benar-benar sepi.
Petir menyambar, menerangi hutan gelap hanya untuk sesaat. Dalam kilatan cahaya itu, Sooya sempat melihat siluet bayangan tinggi di pinggir jalan. Ia cepat-cepat mengedipkan mata—dan sosok itu lenyap begitu saja.
Tangannya gemetar, namun ia tetap menekan pedal gas. Hatinya dipenuhi rasa cemas, tapi juga penasaran. Hutan itu seperti memanggilnya, menuntunnya semakin jauh dari peradaban.
Hingga tiba-tiba… mesin mobilnya bergetar keras, lalu mati begitu saja. Lampu padam, meninggalkan Sooya dalam kegelapan total, hanya ditemani suara hujan dan desir angin malam.
Ia mencoba menyalakan mesin lagi. Gagal. Ponselnya pun hampir kehabisan baterai, sinyal sama sekali tidak ada.
Dan di tengah keputusasaan itu, pandangannya menangkap sesuatu di kejauhan—sebuah cahaya samar, seperti nyala api lilin, memantul dari kaca jendela tinggi sebuah bangunan tua. Sebuah kastil… berdiri megah di balik kabut, seakan sudah menantinya sejak lama.
Sooya menelan ludah.