Akhri dari awal sebenarnya....
"Penerbangan dari Tokyo tadi lumayan lancar. Aku sempat lihat bintang. Banyak sekali." Kata Asmara sembari tersenyum manis.
Laki-laki yang duduk di sebelahnya, hanya menatap ke depan, ia bergumam lirih.
"Aku tidak bisa, Asmara."
Asmara menghela napas.
"Tidak bisa apa, Van? apa kamu baru saja mencoba bicara pada Ayahmu, lagi ?
Devanka menoleh, matanya terlihat lelah.
"Maaf.. Aku... aku tidak bisa meyakinkan mereka. Mereka bilang, ini bukan soal cinta, tapi soal masa depan. Soal keyakinan yang kita bawa ke anak-anak kita nanti."
"Lalu? Apa maumu sekarang ?apa kita harus menyerah begitu saja? Tiga tahun ini, Devanka. Tiga tahun kita jalani ini bersama-sama. Hanya untuk berakhir karena... karena perbedaan yang sudah kita tahu sejak awal?" suara Asmara bergetar.
"Aku tahu, Sayang. Aku tahu. Tapi aku juga tidak bisa memilih antara kamu dan keluargaku. Ini seperti... meminta aku membelah diri." kata Devanka dengan raut wajah gusar.
Asmara menarik napas dalam-dalam, menatap Devanka lekat-lekat.
"Aku tidak memintamu membelah diri. Aku hanya memintamu untuk berjuang bersamaku. Aku tidak pernah memintamu untuk berubah, Devanka. Tapi ternyata sekarang mereka memintaku pergi."
Devanka menggenggam tangan Asmara erat.
"Jika ada cara, Asmara. Percayalah, aku akan melakukan apa pun. Tapi ini buntu. Ayah bilang, jika aku tetap bersamamu, mereka tidak akan pernah merestui."
Asmara melepaskan genggaman tangannya, air mata mulai menetes.
"Jadi, apa ini berarti jika kita harus benar-benar berhenti ?"
Devanka menunduk, suaranya tercekat.
"Aku... aku tidak tahu lagi, Asmara. Tolong berikan aku waktu. Untuk mencari jalan. Atau..." Devanka mengangkat kepala, menatap Asmara dengan tatapan penuh rasa sakit.
Asmara mengangguk perlahan, meski hatinya terasa hancur.
"Baiklah. Aku akan memberimu waktu. Tapi ingat, Devanka. Waktu bukan cuma menyembuhkan, waktu juga bisa membuat orang lupa bagaimana rasanya berjuang untuk cinta."
...✈️🌸✈️...
Setelah percakapan itu, jarak mulai tercipta. Asmara semakin sibuk dengan jadwal penerbangannya. Ia sering meminta jadwal terbang lebih padat, seolah ingin menghindari kenyataan yang menunggunya di darat. Di ketinggian jarak 30.000 kaki, di antara senyum para penumpang dan suara mesin pesawat, Asmara mencoba melupakan kekosongan di hatinya.
Hingga suatu hari, di sebuah kota di luar negeri, ia mendapat pesan dari Devanka. Pesan itu hanya berisi foto dan sebuah kalimat pendek. Foto itu adalah tangan Arjuna dan seorang wanita lain. Kalimatnya berbunyi,
^^^"Ini pilihanku, As. Maaf."'^^^
Dunia Asmara runtuh.
Asmara menangis di kamar hotelnya yang asing. Ia merasa seperti pesawat yang kehilangan arah. Cinta yang ia kira akan menjadi tujuan, ternyata hanya persinggahan sementara. Patah hati ini jauh lebih menyakitkan daripada jetlag terburuk sekalipun.
Setelah badai tangisnya reda, Asmara melihat ke cermin. Ia melihat seorang wanita yang lebih kuat. Wanita yang sadar bahwa kebahagiaannya bukan lagi tergantung pada restu orang lain, melainkan pada dirinya sendiri.
...✈️🌸✈️...
Dua tahun kemudian, Asmara tidak lagi sama. Ia kini adalah senior pramugari yang disegani. Senyumnya tidak lagi hanya sekadar formalitas, tapi terpancar dari hati yang tulus. Ia masih bekerja meniti karir di ketinggian, tapi kakinya kini lebih kokoh jika harus kembali untuk menjejak bumi. Ia belajar mencintai dirinya sendiri, dan menemukan kedamaian dalam kesendirian.
Suatu hari, di terminal kedatangan, ia tak sengaja berpapasan dengan Devanka. Pria itu tampak berbeda, lebih tua dan raut wajahnya terlihat lelah. Di sampingnya, ada seorang wanita berhijab yang tersenyum padanya. Asmara membalas senyum itu.
Devanka menatapnya dengan tatapan penuh penyesalan. "As... kamu terlihat bahagia."
Asmara tersenyum, senyum yang tulus, bukan senyum formal. "Aku memang bahagia, Devan. Dan kamu? Semoga kamu juga bahagia."
Asmara berjalan melewatinya, melangkah menuju gerbang keberangkatan. Ia tidak lagi melihat ke belakang. Ia tahu, kebahagiaannya bukan di terminal kedatangan, tapi di langit yang luas, di mana ia bisa terbang bebas tanpa batasan. Di antara awan, ia menemukan dirinya yang sejati.
Asmara melanjutkan langkahnya, berjalan tegap di koridor, beberapa kolega masih saja memandangnya aneh setiap kali ia melangkahi Devanka dan istrinya tanpa menoleh. Hatinya telah berdamai. Ia telah menutup pintu masa lalu itu rapat-rapat. Tujuan hidupnya kini lebih jelas, terbang tinggi, mencapai impian-impian baru yang tak terikat pada orang lain.
Saat ia berbelok di salah satu lorong menuju ruang kru, tiba-tiba seorang pria berpapasan dengannya. Tubuhnya tinggi semampai, mengenakan seragam pilot baru yang rapi, dengan pangkat yang berkilauan di pundaknya. Wajahnya... memang tampan, seperti pahatan dewa-dewa Yunani, dengan rahang tegas dan hidung mancung.
Namun, ada aura dingin yang menyelubungi. Sorot matanya tajam, seolah sedang memindai setiap inci sekitarnya, namun tanpa emosi. Bibirnya terkatup rapat, menciptakan garis lurus yang kaku.
Asmara melihatnya sekilas. "Pilot baru, ya?" batinnya datar.
Memang, beberapa hari terakhir ini gosip tentang pilot baru yang katanya "tampan tapi beku" sudah menyebar di kalangan pramugari. Beberapa bahkan sempat histeris melihat ketampanannya, tapi tidak bagi Asmara. Baginya, ketampanan tanpa kehangatan adalah sesuatu yang... membosankan.
Ia hanya mengangguk sopan, melewati pria itu tanpa kesan berarti.
Pria itu adalah Kapten Ryan.
Kapten Ryan Pratama.
Ryan yang berada di sisi lain, sempat melirik Asmara. Seorang pramugari yang berparas cantik, bermake up natural. Ia tak melihat tatapan kagum atau rasa ingin tahu yang biasa ia terima dari kru wanita lain. Hanya sebuah anggukan profesional yang nyaris tak terlihat. dan Itu menarik perhatiannya, sejenak. Namun, seperti biasanya, ia mengabaikannya, melanjutkan langkahnya dengan ekspresi dingin yang tak berubah.
Beberapa hari kemudian, Asmara mendapat jadwal penerbangan ke Sydney. Kali ini, ia bertugas di kelas bisnis.
Seperti biasa, ia memastikan segala persiapan berjalan lancar, dari ketersediaan majalah hingga suhu kabin.
Saat ia sedang sibuk memeriksa isi galley—dapur pesawat—sebelum penumpang masuk, pintu kokpit terbuka.
Ryan keluar, memegang cangkir kopi panas di tangannya. Raut wajahnya masih sama, kaku dan tanpa ekspresi, seolah ia baru saja terbangun dari tidur yang tidak nyaman. Ia berjalan menuju konter galley, tak menyadari ada Asmara yang sedang membungkuk di balik meja, mengambil beberapa sachet teh herbal.
Tiba-tiba, pesawat mengalami sedikit guncangan saat roda pendaratan bergerak di runway. Ryan yang sedang melamun, kehilangan keseimbangan sesaat. Cangkir kopi di tangannya terlepas!
Panik, Asmara refleks menegakkan tubuh. Ia melihat cangkir itu terbang ke arahnya. Tanpa berpikir panjang, ia mengulurkan tangannya, mencoba menangkap atau setidaknya menahan agar kopi panas itu tidak tumpah ke lantai atau, lebih buruk lagi, mengenai instrumen pesawat.
DUK!
Cangkir kopi itu memang tidak tumpah ke lantai, tetapi mengenai tangan Asmara dengan cukup keras. Untungnya, kopi yang tumpah tidak terlalu banyak. Namun, rasa panas dan perih langsung menjalar di punggung tangannya yang kini memerah.
Asmara meringis kecil. "Aduh!"
Ryan yang sedari tadi terkejut, kini menatap Asmara dengan mata sedikit melebar. Itu adalah ekspresi paling jelas yang pernah ia tunjukkan sejak pertama kali ia bergabung.
"Maaf. Anda... baik-baik saja?" kata Ryan dengan nada datar, namun ada sedikit keterkejutan.
Asmara mengibas-ngibaskan tangannya yang perih. Ia menatap Ryan dengan tatapan kesal, campuran antara rasa sakit dan jengkel.
"Menurut Anda? Tangan saya barusan jadi sasaran empuk kopi panas Anda, Kapten!" jawab Asmara sedikit ketus.
Ryan menunduk melihat tangan Asmara yang memerah. Kemudian, pandangannya kembali ke mata Asmara. Untuk pertama kalinya, Asmara melihat sedikit... sesuatu di mata dingin itu.
Entah itu rasa bersalah, atau mungkin terkejut.
Ryan berkata dengan nada suara sedikit melunak meski masih terdengar kaku. "Saya tidak sengaja. Biar saya lihat."
Ia melangkah mendekat, namun Asmara mundur selangkah.
"Tidak perlu. Saya bisa mengurusnya sendiri."
Ia mengambil beberapa lembar tisu dari dispenser, membasahinya sedikit, dan menempelkannya perlahan ke tangannya yang sakit.
Ryan hanya berdiri diam, mengamati. Ekspresi datarnya perlahan kembali, namun matanya tetap fokus pada Asmara. Ada sesuatu dalam respons pramugari ini yang berbeda. Tidak ada raut kaget berlebihan, tidak ada rengekan, hanya kejengkelan jujur dan kemandirian.
Ia bahkan tidak berusaha mencuri perhatian atau memuji ketampanannya setelah insiden ini.
Setelah beberapa saat hening, Ryan kembali bersuara. "Seragam Anda juga sedikit terkena noda. Anda harus menggantinya."
Asmara melirik noda kopi kecil di lengannya.
"Nanti saja. Sekarang saya harus memastikan semua siap sebelum boarding."
Ia kembali melanjutkan pekerjaannya, mengabaikan Ryan yang masih berdiri di sana.
Pilot itu masih diam, namun ada kerutan samar di dahinya. Ia masih memikirkan respons Asmara. Gadis itu tidak peduli dengan siapa dia, seorang kapten pilot tampan yang baru. Dia hanya fokus pada pekerjaannya, dan sedikit kesal karena ulahnya.
Menarik. Pikir Ryan. Selama ini, semua wanita memperlakukannya dengan cara yang sama, kagum, penasaran, atau mencoba menarik perhatian. Asmara adalah yang pertama yang memperlakukannya... biasa saja, bahkan cenderung jengkel.
Ketika Asmara berbalik untuk mengambil sesuatu, Ryan sudah tidak ada. Ia kembali ke kokpit tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Tapi ada sesuatu yang berbeda di benaknya. Sosok pramugari dengan tangan memerah itu, dan tatapan kesalnya, terukir jelas.
...✈️...
...✈️...
...✈️...
^^^Bersambung^^^
Terabaikan dan tetap profesional....
Beberapa hari kemudian, takdir kembali mempertemukan Asmara dan Ryan.
Jadwal mereka secara tak terduga ditempatkan pada penerbangan yang sama ke Tokyo. Saat briefing kru sebelum penerbangan, Ryan duduk di ujung ruangan, matanya hanya sesekali melirik pada Asmara. Asmara pura-pura tidak menyadari, ia tetap profesional dan fokus pada instruksi.
"Kapten Ryan akan menjadi pilot kita hari ini," kata manajer kru. "Semua kru harap bekerja sama dengan baik."
Para pramugari lain terlihat berbisik-bisik dan tersenyum, seolah senang bisa terbang bersama pilot tampan itu. Asmara hanya menghela napas. "Semoga penerbangan ini cepat berlalu," batinnya.
Saat pesawat mengudara, suasana di kelas bisnis terasa tenang. Asmara berkeliling menawarkan minuman. Ia melihat Ryan keluar dari kokpit. Pria itu menunjuk ke arahnya, lalu memberikan isyarat untuk mengikutinya.
Asmara merasa bingung, namun ia tetap menurut. Ryan membawanya ke bagian belakang pesawat, jauh dari pandangan penumpang.
"Tanganmu... apakah sudah sembuh?" tanya Ryan, suaranya pelan dan masih kaku.
"Sudah, Kapten," jawab Asmara singkat.
"Saya ingin minta maaf lagi. Itu kecerobohan saya."
"Sudah saya bilang, tidak apa-apa," jawab Asmara, mulai merasa tidak nyaman. "Bisakah kita kembali ke pekerjaan kita, Kapten? Penumpang dan kru yang lain bisa curiga."
Ryan tidak peduli. Matanya lurus menatap Asmara. "Saya tidak pernah ceroboh seperti itu sebelumnya," katanya, lebih kepada dirinya sendiri. "Entah kenapa, waktu itu saya kurang fokus."
Asmara mengangkat bahu. "Mungkin karena Anda kurang tidur?"
Ryan tidak menjawab. Ia hanya terus menatap Asmara, seolah mencoba membaca sesuatu yang tersembunyi. Asmara merasa risih dengan tatapannya.
"Jika tidak ada lagi yang bisa saya bantu, saya permisi, Kapten," ujar Asmara, berbalik pergi.
Ryan tidak menahannya. Ia kembali ke kokpit, namun pikirannya tak lagi sepenuhnya pada penerbangan. Ada sesuatu tentang Asmara yang menariknya. Sikap acuh tak acuhnya, kemandiriannya, dan yang paling penting, tatapan matanya yang tulus. Asmara berbeda dari wanita lain yang pernah ia temui.
Sejak kejadian itu, Ryan mulai mencari cara untuk berinteraksi dengan Asmara. Setiap kali mereka berada dalam penerbangan yang sama, ia selalu mencari kesempatan untuk bicara. Namun, setiap percakapan mereka selalu canggung.
Ryan tidak pandai memulai percakapan, dan Asmara selalu berusaha menjaga jarak.
Suatu hari, setelah pendaratan, Asmara sedang menunggu taksi online di luar bandara. Tiba-tiba sebuah mobil mewah berhenti di depannya.
Jendela mobil terbuka, menampakkan Ryan di balik kemudi.
"Anda butuh tumpangan?" tawarnya tanpa senyum.
Asmara menggeleng. "Tidak, terima kasih. Saya sudah pesan taksi."
"Batalkan saja. Saya akan mengantarmu," kata Ryan, suaranya seperti perintah.
Asmara merasa kesal. "Saya bisa pulang sendiri, Kapten."
"Saya tahu. Tapi saya ingin mengantarmu," kata Ryan bersikeras.
Merasa lelah berdebat, Asmara akhirnya mengalah. Ia masuk ke dalam mobil Ryan.
Sepanjang perjalanan, tidak ada percakapan. Hening yang canggung memenuhi mobil. Asmara hanya melihat keluar jendela, sementara Ryan fokus mengemudi.
Tiba di depan apartemen Asmara, ia bergegas turun. "Terima kasih, Kapten," ucapnya sopan.
Ryan menahan pintu mobil. "Kenapa kamu selalu memanggilku Kapten?" tanyanya.
"Karena Anda memang Kapten. Dan kita rekan kerja," jawab Asmara.
"Panggil saya Ryan, kalau sedang di luar jam kerja begini." katanya. "Dan kenapa kamu... seperti berbeda ?"
Asmara terdiam. Ia tidak tahu harus menjawab apa. "Berbeda bagaimana?"
"Kamu tidak terkesan dengan saya," kata Ryan berterus terang. "Kamu tidak pernah berusaha membuat saya terkesan."
"Kenapa saya harus terkesan ?" Asmara balik bertanya. "Saya hanya ingin menjadi diri sendiri."
Ryan menatapnya dengan pandangan yang sulit diartikan. "Itulah bedanya," bisiknya.
...✈️🌸✈️...
Beberapa minggu berlalu sejak insiden kopi dan tumpangan mobil yang canggung itu. Asmara dan Kapten Ryan terus saja dipertemukan dalam jadwal penerbangan yang sama, seolah ada magnet tak terlihat yang menyatukan orbit kerja mereka. Namun, di hadapan rekan kerja dan di dalam pesawat, mereka menjaga jarak profesional yang ketat, bahkan bisa dibilang terlalu ketat.
Di ruang briefing, Ryan selalu menjadi yang pertama datang dan yang pertama pergi.
Tatapan matanya yang dingin dan raut wajahnya yang kaku kembali menjadi perisai utamanya. Ia berbicara hanya seperlunya, hanya tentang prosedur penerbangan, kecepatan angin, atau turbulensi.
Asmara pun melakukan hal yang sama. Ia memperlakukan Ryan persis seperti pilot lain, dengan hormat, sopan, namun tanpa kehangatan pribadi. Ia menghindari kontak mata yang terlalu lama dan selalu memastikan interaksi mereka singkat dan padat. Ia telah belajar bahwa mendekati pria dingin seperti Ryan hanya akan menguras energinya, dan ia tidak mau jatuh ke lubang yang sama setelah perpisahan menyakitkan dengan Devanka.
...✈️...
Penerbangan Malam yang Sunyi ✈️
Suatu malam, mereka berada dalam penerbangan jarak jauh melintasi Samudra Pasifik. Setelah semua penumpang terlelap dan lampu kabin diredupkan, suasana pesawat terasa sunyi, hanya terdengar dengungan halus mesin.
Asmara sedang bertugas di galley tengah, mengisi ulang persediaan minuman.
Tiba-tiba, pintu kokpit terbuka, dan Ryan keluar. Ia berjalan menuju galley tanpa mengeluarkan suara.
"Bisa buatkan saya black coffee, Asmara? Tanpa gula." Ryan berkata sangat pelan, bahkan nyaris berbisik.
Asmara terkejut dengan permintaan itu. Biasanya, pilot akan meminta melalui interkom atau meminta pramugari senior lain. Ia menegakkan punggung, menatap Ryan yang berdiri dihadapannya.
Dengan Nada datar dan profesional, Asmara menjawab."Tentu, Kapten. Tunggu sebentar."
Ia mulai meracik kopi untuk Ryan. Keheningan di antara mereka terasa tebal, dipenuhi oleh memori percakapan canggung di mobil beberapa waktu lalu. Ryan berdiri diam, menyandarkan bahunya ke dinding, mengamati gerakan Asmara.
"Saya dengar... kamu baru saja mengajukan pelatihan tambahan untuk penerbangan jarak jauh?"
Asmara sedikit terkejut, tidak menyangka Ryan tahu detail rencananya itu. "Ya, Kapten. Saya ingin meningkatkan spesialisasi saya."
"Bagus. Itu keputusan yang tepat. Tapi, jadwalmu akan semakin padat."
"Itu risiko pekerjaan, Kapten. Saya menyukai tantangan." jawab Asmara sambil mengambil cangkir kopi.
Ia menyodorkan cangkir kopi itu. Tangan mereka bersentuhan sesaat. Kilasan panas itu terasa lagi, namun segera menghilang.
Ryan menerima cangkir itu, namun ia tidak segera kembali. Ia malah menyesap kopi itu pelan.
"Kenapa kamu melakukan itu, Asmara?" tanya Ryan sambil menatap cangkir kopi buatan Asmara.
Asmara menoleh. "Melakukan apa, Kapten?"
"Mengabaikan saya." kata Ryan terang-terangan.
Pertanyaan itu sungguh telak dan tidak terduga, jauh dari profesional. Asmara membuang napas pelan, menjaga agar wajahnya tetap tenang.
"Saya tidak mengabaikan Anda, Kapten. Saya hanya profesional. Bukankah itu yang Anda inginkan? Kita adalah rekan kerja."
Ryan mengangkat pandangannya, matanya yang dingin kini menunjukkan sedikit kejujuran. "Di darat, kita bisa menjadi yang lain."
Asmara Tersenyum getir. "Di darat, saya sibuk, Kapten. Saya punya kehidupan yang ingin saya fokuskan. Saya tidak punya waktu untuk... hal-hal yang tidak pasti."
Kata-kata Asmara menusuk Ryan. Ia langsung tahu Asmara membangun tembok.
"Kamu takut?"
Mendengar pertanyaan itu, membuat mata Asmara menjadi lebih tajam. "Saya berhati-hati. Dunia ini sudah cukup menyakitkan, Kapten. Saya tidak ingin menambah rasa sakit hanya demi rasa penasaran sesaat."
Ryan terdiam. Ia menghabiskan kopinya, lalu meletakkan cangkir kosong itu kembali ke meja.
"Sepertinnya anda begitu paham. Penerbangan ini lancar. Jaga agar tetap seperti itu." suaranya kembali dingin, seolah ia menutup diri lagi.
Ia berbalik, kembali ke kokpit, meninggalkan Asmara sendirian dalam keheningan yang kini terasa lebih dingin dari sebelumnya.
Asmara bersandar pada meja galley, memejamkan mata. Ia tahu, di balik wajah kaku Ryan, ada usaha untuk mendekat. Tapi ia tidak akan memberinya jalan mudah. Ia tidak akan membiarkan hati dan kariernya kembali terancam oleh ketidakpastian. Mereka harus tetap profesional. Itu yang terbaik. Setidaknya, itulah yang ia yakini.
...✈️...
...✈️...
...✈️...
^^^Bersambung^^^
Pertolongan pertama Ryan...
Pintu Rumah mewah itu terbuka. Ryan melangkah masuk, menjatuhkan tas dan koper pilotnya yang berat ke lantai hingga berbunyi 'Dhug' yang memecah kesunyian.
Ia melepas topi seragamnya, mengusap wajahnya yang lelah. Penerbangan malam yang sunyi itu terasa lebih menguras tenaga, bukan karena jaraknya, melainkan karena percakapannya yang tegang dengan Asmara.
Belum sempat ia melepas dasi, suara ceria yang familier langsung menyambutnya dari ruang tengah.
"Astaga, Anak Mami sudah pulang!"
Mami Rosa muncul dari balik pintu kamarnya, wajahnya berseri-seri dan penuh semangat, kontras sekali dengan raut wajah lelah Ryan. Mami Rosa adalah seorang wanita sosialita yang selalu stylish dan penuh energi, bahkan di tengah malam sekalipun. Ia bergerak cepat, memeluk Ryan erat.
"Mami sudah bilang, jangan ambil jadwal malam terus. Lihat wajah kamu, mata panda seperti ini! Ayo, duduk! Mami sudah siapkan teh jahe hangat," celoteh Mami Rosa tanpa henti.
Ryan hanya mengangguk lemas, membiarkan sang mami membimbingnya ke sofa. Ia hanya ingin mandi air hangat dan tidur, melupakan keheningan canggung di galley pesawat dan kejujuran tajam dari Asmara.
"Mami, aku capek sekali. Boleh aku istirahat sebentar?" pinta Ryan, nadanya datar.
"Tentu, tentu. Tapi sebentar saja. Mami mau bicara, ada kabar bagus," Mami Rosa tersenyum lebar, senyum yang selalu membuat Ryan waspada.
"Kabar apa lagi, Mi?" Ryan meneguk tehnya, berusaha menenangkan diri.
"Tentang Clarissa!" seru Mami Rosa, matanya berbinar. "Anak Tante Miranda itu lho, yang punya butik di Senopati. Dia baru pulang dari Paris dan dia cantik sekali, lulusan luar negeri, dan yang paling penting... Dia settled."
Napas Ryan tertahan. Ia menjatuhkan cangkir tehnya ke meja, untung tidak tumpah.
"Mami! Kenapa lagi-lagi ini? Aku baru pulang terbang, dan ini yang Mami bahas? Clarissa lagi, anak Tante Miranda lagi? Aku sudah bilang, aku tidak suka dijodoh-jodohkan!" Ryan menanggapi dengan suara meninggi, menunjukan rasa frustasi.
Wajah Mami Rosa langsung berubah muram, khas ekspresi yang selalu ia gunakan untuk membuat Ryan merasa bersalah.
"Kenapa kamu selalu marah, Ryan? Mami cuma ingin yang terbaik untukmu! Mami ingin melihatmu bahagia, melihatmu punya istri, punya keluarga. Usiamu sudah nyaris tiga puluh, kapan lagi?"
"Aku akan menikah kalau aku menemukan orang yang tepat. Bukan orang yang Mami pilihkan hanya karena dia anak teman Mami atau karena gelarnya bagus!" jawab Ryan tegas.
"Tapi Mami hanya mencoba membantu! Kamu terlalu dingin, terlalu kaku! Mana ada wanita yang mau mendekati pilot beku seperti kamu, kecuali kalau Mami yang mengenalkannya!" kata Mami Rosa tak mau menyerah.
Kata-kata Mami Rosa menghantam benak Ryan. Ia tahu ia memang kaku dan sulit didekati, persis seperti yang Asmara katakan secara tersirat.
Ryan bangkit dari sofa, membalas perkataan Maminya dengan nada tegas. "Aku tidak butuh bantuan Mami untuk urusan ini. Aku bisa mencari wanita itu sendiri."
Ia berjalan menuju kamarnya, meninggalkan Mami Rosa yang kini mulai terisak pelan.
"Mami hanya ingin cepat punya cucu! Cepatlah menikah, Ryan! Mami tidak muda lagi!" teriak Mami Rosa pelan.
Ryan menutup pintu kamarnya tanpa menjawab. Ia bersandar di pintu, menarik napas panjang. Desakan untuk segera menikah, wajah Mami Rosa yang sedih, dan tatapan penuh pertahanan dari Asmara, semua itu berputar di kepalanya.
'Aku tidak dingin' pikir Ryan. Aku hanya terlalu berhati-hati, aku tak ingin salah memilih lagi.
Ia tahu, satu-satunya cara menghentikan perjodohan dari Mami Rosa adalah dengan membuktikan bahwa ia sudah menemukan seseorang. Seseorang yang nyata. Seseorang yang... tiba-tiba terlintas sosok wajah Asmara. Seseorang yang tulus dan tidak peduli dengan statusnya.
Ryan mengusap wajahnya dengan gusar. ia tidak mengerti mengapa wajah kesal Asmara terus memenuhi bayangannya sejak kejadian kopinya tadi.
Dua hari libur yang seharusnya menjadi waktu istirahat, justru dihabiskan Ryan untuk menghadapi desakan Mami Rosa. Pikirannya penuh dengan rencana untuk segera mencari wanita yang pantas untuk dirinya, itu adalah satu-satunya solusi yang terlintas untuk meredam drama perjodohan di rumah ini. Ia kembali bekerja dengan tekad baru, meskipun hatinya masih diselimuti kecanggungan.
...🌸...
Pagi hari di Bandara ✈️
Saat mobilnya baru saja terparkir rapi di area khusus kru bandara, Ryan meraih tas pilotnya. Namun, pandangannya langsung tertuju pada sebuah keributan kecil beberapa meter di depannya.
Ia melihat Asmara. Wanita itu mengenakan seragam pramugarinya yang rapi, namun wajahnya tampak tegang. Di hadapannya, berdiri seorang pria berseragam staf operasional bandara, seragam yang familier, meskipun belum lama bergabung, namun Ryan mengenal pria itu,. Pria itu adalah Devanka, Ryan sempat mendengar jika Devanka adalah mantan kekasih Asmara dua tahun yang lalu, dan Devanka sudah menikah dengan anak salah satu petinggi Bandara.
Ryan mengamati. Asmara terlihat menahan emosi, sementara Devanka berbicara dengan nada yang memaksa.
Devanka terlihat menampakan wajah yang memelas, namun ada nada bicaranya terdengar mengancam.
"Asmara, dengar! Aku serius. Aku tidak pernah bisa melupakanmu. Pernikahanku itu... itu hanya kesalahan! Kenapa kamu sekarang keras kepala sekali?"
"Kesalahan? Devanka, pernikahanmu sudah berjalan dua tahun! Istrimu sedang mengandung anakmu! Tolong sadar diri! Urusan kita sudah selesai, dua tahun lalu, di tempat ini juga!" suara Asmara terdengar bergetar, menahan amarah.
"Tapi aku mencintaimu! Dia tidak seperti kamu! Dia tidak seperti kita dulu. Aku akan tinggalkan dia, Mara. Beri aku satu kesempatan lagi. Aku yakin kamu juga masih....."
"Cukup! Jangan pernah lagi berkata kamu mencintaiku. Kamu egois! Kamu merusak segalanya dan sekarang kamu datang lagi ingin merusak hidupku dan hidup istrimu?" Asmara memotong cepat, matanya memancarkan kekecewaan dan kemarahan.
Devanka mencoba meraih tangan Asmara, tetapi Asmara menghindar. Pria itu tampak tidak terima dan semakin mendesak, berdiri terlalu dekat hingga Asmara harus mundur selangkah.
Saat itulah Ryan memutuskan untuk bergerak. Ia tidak tahu apa-apa tentang sejarah mereka, tetapi ia tahu satu hal, Asmara terlihat tidak nyaman dan terancam. Instingnya, sebagai Kapten dan sebagai seorang pria, mengambil alih. Wajahnya yang kaku kini menampilkan ekspresi dingin yang lebih tajam, aura otoritasnya langsung menyelimuti.
Ryan berjalan mendekat dengan langkah tegap, tanpa ragu. Ia berdiri tepat di samping Asmara, menciptakan jarak antara Asmara dan Devanka.
"Ada masalah di sini?" Ryan berkata dengan suara rendah dan menusuk, penuh wibawa seorang kapten.
Devanka terkejut. Ia menoleh ke arah Ryan, melihat seragam pilot yang pangkatnya lebih tinggi. Wajahnya langsung pucat.
"Kapten Ryan? Tidak ada, Kapten. Ini... hanya salah paham antar rekan kerja." kata Devanka gugup.
Ryan menatap Devanka lurus, tanpa ekspresi. "Terlihat bukan seperti kesalahpahaman biasa. Pramugari Asmara terlihat sangat tidak nyaman. Urusan pribadi tidak seharusnya dilakukan di area operasional bandara, terutama jika itu mengganggu rekan kerja."
Ryan kemudian menoleh sedikit ke Asmara.
"Asmara, apakah Anda ingin saya memanggil keamanan bandara? Pria ini mengganggu Anda?"
Asmara, yang masih terkejut dengan intervensi Ryan, menatapnya. Entah kenapa, kehadiran Ryan yang dingin dan tegas justru terasa seperti perisai terkuat yang pernah ia miliki. Rasa takutnya tiba-tiba menghilang.
Asmara mencoba mengendalikan suaranya. "Tidak perlu, Kapten. Saya rasa dia sudah mengerti."
Ryan kembali menatap Devanka, tatapannya tidak goyah.
"Anda dengar? Jika Anda masih ingin bekerja di sini, saya sarankan Anda pergi sekarang, Devanka. Dan jangan pernah mendekati pramugari saya lagi di luar urusan pekerjaan." kata Ryan penuh peringatan.
Devanka benar-benar terintimidasi. Ia mengangguk cepat, wajahnya menunduk.
"Baik, Kapten. Maaf. Saya permisi."
Pria itu berbalik dan berjalan cepat menjauhi mereka, nyaris berlari menuju pintu masuk staf.
Setelah Devanka hilang dari pandangan, suasana kembali hening. Ryan berbalik penuh, kini menghadap Asmara.
Asmara melihat Ryan dengan campuran rasa terima kasih dan kebingungan. "Kapten... terima kasih. Anda tidak seharusnya ikut campur."
Ryan menatap Asmara sejenak, wajahnya kembali kaku, seolah ia baru sadar telah melakukan hal yang 'tidak profesional'.
"Saya tidak ikut campur. Saya hanya memastikan lingkungan kerja aman dari gangguan, Asmara."
Ryan kemudian mengulurkan tas pilotnya, yang sedari tadi ia pegang.
"Ayo. Kita ada briefing lima belas menit lagi."
Ia berbalik dan mulai berjalan menuju pintu masuk kru, meninggalkan Asmara yang masih berdiri mematung di tempat parkir. Asmara menatap punggung Ryan. Pria itu memang kaku, dingin, dan acuh. Tapi hari ini, di balik semua kebekuan itu, ia telah melihat sebuah tindakan perlindungan yang tidak pernah ia duga.
'Kenapa dia melakukan itu?' batin Asmara. Untuk pertama kalinya, ia tidak bisa mengabaikan Kapten Ryan.
...✈️...
...✈️...
...✈️ ...
^^^...Bersambung......^^^
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!