Aku sudah menunggu dan mengamati pendeta itu selama lima minggu. Selama itu pula sang Kebutuhan selalu menggoda dan mengusikku agar mencari korban baru.
Kali ini rupanya si pendeta. Dalam tiga minggu pertama aku langsung tau bahwa dialah orangnya. Korban berikut yang akan segera tenggelam dalam pelukan Sang Penumpang Gelap--sosok kesadaran lain dalam jiwaku. Selama tiga minggu ini pula aku berjuang menahan hasrat dan Kebutuhan yang makin menggila.
Tapi, waktu adalah sesuatu yang harus diperhitungkan dengan amat cermat. Semua harus dipastikan sejelas mungkin. Tidak boleh ada kesalahan mengenai orang itu. Dan kini aku yakin sepenuhnya. Prosesnya kelak juga harus benar. Harus rapi dan seapik mungkin.
Tidak boleh ada kesalahan. Aku tidak boleh tertangkap. Tidak sekarang. Begitu lama aku bekerja keras agar segalanya lancar.
Dan aku sudah terlanjur sangat senang untuk berhenti sekarang.
Aku selalu berhati-hati. Selalu rapi. Selalu bersiap ke depan, mempersiapkan segala sesuatunya sematang mungkin agar tugas dapat dilaksanakan dengan benar. Dan bila semua lancar, luangkan sedikit waktu untuk kembali. Begitulah kode etika dari Victor---Tuhan memberkatinya, almarhum ayah angkatku yang mantan polisi dan berpikiran jauh ke depan.
Malam ini, hal itu akan terjadi pada pendeta itu.
Namanya Bapa Gabriel. Dia mengajar musik dan paduan suara untuk anak-anak di Panti Asuhan Hope Haven Orphanage di Silentvale, Raven Brook. Anak-anak menyukainya. Dan dia juga mencintai mereka, tentu saja "Terlalu" mencintai, malah. Seluruh hidupnya dibaktikan untuk mereka. Semua demi anak-anak. Segala yang dilakukan, semua demi anak-anak.
Semuanya.
Kuawasi dia malam ini sebagaimana kebiasaan malam-malam sebelumnya. Aku melihatnya berhenti di pintu Panti Asuhan untuk berbicara dengan bocah perempuan kulit hitam yang mengikutinya keluar gedung. Bocah itu begitu kecil, tidak lebih dari delapan tahun.
Bapa Gabriel duduk di anak tangga, mengobrol dengannya selama lima menit. Si bocah ikut duduk, melonjak naik turun sewajarnya anak-anak yang tidak bisa diam. Mereka tertawa, lalu si bocah bersandar di dada si pendeta.
Sang Bapa mengelus rambutnya. Seorang biarawati muncul di pintu, menatap beberapa lama ke arah mereka sebelum bicara. Dia tersenyum, mengembangkan tangan. Si bocah memeluk erat, yang segera di balas Bapa Gabriel sebelum berdiri dan mengecup kening si bocah mengucap selamat malam. Si biarawati mengatakan sesuatu pada Bapa Gabriel. Si pendeta menjawab.
Akhirnya Bapa Gabriel berjalan pulang ke arah mobilnya.
Akhirnya.
Aku merunduk bersiap menyergap, lalu...
Belum. Ada minivan petugas kebersihan diperkirakan tidak sampai lima meter dari pintu mobil Bapa Gabriel. Begitu dipapasi, pintu sampingnya membuka. Seorang pria turun dari minivan, mengepulkan asap rokok dan menyapa sang Bapa yang kemudian ikut bersandar ke mobil, melayani mengobrol.
Beruntung. Lagi. Selalu begitu dalam malam seperti ini. Aku tidak melihat si perokok itu sebelumnya. Tidak menduga ada orang di minivan. Dia pasti bakal melihatku kalau tadi aku bertindak. Untung saja tidak.
Aku menghela nafas. Kuembuskan perlahan dan teratur. Mendinginkan diri, meyakinkan diri bahwa ini bukan apa-apa. Bukan berarti aku ceroboh. Langkah masih benar sampai detik ini. Maksudku pasti tercapai. Hanya soal waktu.
Sekarang.
Bapa Gabriel kembali ke mobilnya. Sekali dia berbalik dan memanggil sesuatu. Si petugas melambai dari pintu rumah piatu, lalu menginjak puntung rokok dan menghilang ke dalam gedung.
Beruntung. Beruntung lagi.
Gabriel sibuk memilah kunci mobil di rentang kunci yang dipegangnya, membuka pintu, lalu masuk. Kudengar derik putaran kuncinya, suara mesin mobil distater. Lalu...
SEKARANG.
Kutegakkan tubuh di kursi belakang, sambil melingkarkan seutas benang pancing ke lehernya. Dengan satu gerakan cepat dan tegas, kutarik jerat bening itu. Bapa Gabriel terkesiap panik. Tapi sudah terlambat.
"Kamu milikku sekarang," Kataku padanya. Gabriel langsung beku.
"Lakukan semua yang aku perintahkan," Kataku lagi.
Bapa Gabriel terlihat megap-megap sambil melirik kaca spion. Wajahku masih di situ, menunggu reaksinya. Terbungkus topeng putih yang hanya menampakkan bagian mata.
"Paham?" Aku menggertak Bapa Gabriel tidak menjawab. Hanya balas menatap. Kutarik bebatan tali.
"Paham tidak?" Ujarku mendesis.
Kali ini dia mengangguk. Tangannya melambai panik menunjuk jeratan. Aku tidak yakin apa tindakannya kalau aku kendurkan jeratan, tapi mukanya memang mulai mengungu.
Aku kendurkan jeratan. "Jangan macam-macam. Kalau mau hidup lebih lama."
Bapa Gabriel menghela nafas panjang. Bisa kudengar udara tertahan di kerongkongannya. Dia batuk dan bernapas lagi, tapi tetap tegak, diam dan tidak mencoba kabur.
Bagus sekali.
Kami berkendara. Bapa Gabriel mengikuti arahanku dengan patuh, tanpa ragu atau bertindak macam-macam. Kami meluncur ke arah selatan melewati kota Raven Brook dan terus ke Glimmering Grove Avenue. Kelihatan sekali bahwa betapa jalan sepi ini membuatnya gugup, tapi dia tidak mengeluh. Tidak mencoba berbicara padaku. Kedua tangan tetap berjalan di setir, pucat dan ketat, sampai buku-buku jari bertonjolan. Ini juga bagus.
Kami terus ke Selatan selama lima menit tanpa suara apa pun selain nyanyian roda, angin dan rembulan. Menciptakan komposisi nyaman di urat darahku.
"Belok di sini," Kataku.
Si pendeta melirik kaca sekilas, menatapku. Kepanikan hampir meloncat dari mata itu, lalu turun ke wajah dan mulutnya saat hendak berkata, tapi...
"Belok!" Aku membentak.
Bapa Gabriel menurut. Tubuhnya lumpuh, seolah telah lama menanti peristiwa ini. Menunggu sepanjang hidup. Tangannya memutar setir, berbelok.
Jalan tanah nan sempit itu nyaris tidak terlihat. Orang hampir tidak tau bahwa ada belokan di situ, tapi aku tau. Aku pernah kemari sebelumnya. Jalan kecil sepanjang dua setengah mil, berbelok tiga kali, melewati padang rumput tinggi dan pepohonan, menyusui jalan sampai akhirnya tiba di sebuah lapangan terbuka.
Lima puluh tahun lalu, ada orang yang membangun rumah di sini. Sudah bobrok, tapi sebagian besar bangunan masih utuh. Ukurannya lumayan besar. Mempunyai tiga kamar, separuh atapnya masih utuh. Bertahun-tahun terbengkalai dan dilupakan orang.
Kecuali sepetak taman sayuran tua di perkarangan samping. Jelas ada bekas-bekas seseorang melakukan penggalian belum lama ini.
"Hentikan mobil," ujarku saat lampu mobil menyoroti rumah.
Bapa Gabriel menurut. Ketakutan telah sepenuhnya mencengkeramnya, membuat tubuh dan pikirannya membeku.
"Matikan mesin," Sekali lagi kuperintah. Dia menurut.
Mendadak suasana jadi sangat lengang.
"Keluar."
Bapa Gabriel tidak bergeming. Matanya menatap kebun sayur di pinggir rumah.
Tampak tujuh gundukan kecil di situ. Lapisan tanahnya begitu gelap di terang bulan. Pasti tampak lebih gelap di mata Bapa Gabriel. Dia tetap bergeming.
Tali jerat kuhentak keras. Lebih keras dari sebelumnya, sampai Bapa Gabriel nyaris berharap bakal mati. Punggungnya menekuk keras di sandaran jok, urat bertonjolan di kening.
Tapi dia tidak mati. Belum. Nanti dulu. Aku belum selesai.
Aku buka pintu mobil dengan kasar, lalu menyeretnya turun. Sengaja, agar dia bisa merasakan kekuatanku. Tubuhnya menggelepar ke tanah. Ku tekan satu kaki ke dadanya sambil tetap menjaga jeratan tali.
"Turuti kata-kataku, kamu harus melakukan apa mauku. Jangan membantah. Ini penting." Aku mendesis penuh ancaman, sedikit mengendurkan jeratan.
Bapa Gabriel menurut. Matanya memerah karena pompaan darah ke kepala akibat jeratan, lelehan air mata membasahi wajah. Tatapan kami bertemu dalam satu pemahaman, bahwa segala yang akan terjadi malam ini digelar khusus untuk dia. Bapa Gabriel menyaksikan semua ini. Sadar betapa penting bagi dirinya agar bertindak sesuai kemauan lawan. Dia mulai paham.
"Bangun."
Perlahan---sangat perlahan, dengan mata yang tidak lepas dari mataku, dia bangkit. Lama kami berdiri berhadapan, saling menatap, sebelum akhirnya dia luluh gemetar. Satu tangan terangkat menutup wajah, lalu jatuh lagi.
"Masuk kerumah," desakku. Di dalam sana, semuanya udah siap.
Bapa Gabriel merunduk. Lalu mendongak tapi tidak berani lagi bertatapan denganku. Langkahnya terseok ke arah rumah, tapi terhenti saat melihat jejeran gundukan kecil di kegelapan pekarangan. Dia ingin menoleh padaku, tapi tidak sanggup. Terlebih setelah melihat gundukan-gundukan itu.
Lima langkah naik tangga beranda sampai ke depan pintu yang masih tertutup. Bapa Gabriel berhenti. Tidak mendongak. Tidak menatapku.
"Buka pintunya dan masuk," perintahku dengan suara rendah.
Bapa Gabriel gemetar.
"Masuk sekarang!"
Tapi dia tidak sanggup.
Aku menutup pintu, lalu menyalakan lampu baterai di lantai dekat situ.
"Lihatlah," Aku berbisik.
Dengan perlahan dan hati-hati Bapa Gabriel membuka mata.
Lalu membeku.
Waktu berhenti bagi Bapa Gabriel.
"Tidak," seraknya.
"Harus," Aku menyahut.
"Tidak," Dia mengeluh.
"Harus!" Aku membalas tegas.
Dia menjerit. "TIDAAAK!!!"
Aku tarik jeratan leher. Jeritannya terputus dan dia ambruk berlutut. Memperdengarkan lenguhan serak-serak basah sambil menutup wajah dengan kedua tangannya.
"Lihatlah, berantakan ya?" Ujarku.
Dia harus menyaksikan. Dan sekarang dia berusaha setengah mati untuk tidak melihat.
"Buka matamu, Bapa Gabriel. "
"Tolong, jangan paksa aku." Ibanya dengan isak tangis menjijikkan. Bikin naik darah.
Aku tendang kakinya sampai terjengkang. Aku angkat dia, lalu menyeretnya keras dengan jerat leher sambil mencengkeram belakang lehernya dengan tangan kanan, lalu menghempaskan wajahnya ke lantai kayu beralas debu dan kotoran. Cuma sedikit darah yang keluar dari hidung dan mulutnya. Hal itu membuat aku bertambah marah.
"Buka mata! Buka mata dan lihat! Buka sekarang! Lihat!" Bentakku lagi dan ku jambakkan rambutnya, memaksa kepalanya mendongak. "Lakukan perintahku, buka matamu. Atau aku lepaskan kelopak matamu." Ujarku geram.
Ancamanku cukup meyakinkan. Bapa Gabriel membuka mata. Mematuhi perintah, menatap ke depan.
Ada tujuh mayat di situ. Tujuh mayat kecil anak-anak yatim piatu yang kotor dan bau, aku baringkan di gelaran tirai karet agar lebih rapi dan tidak bocor serta menetes ke bawah. Tujuh mayat bergeser lurus dengan tatapan kosong ke seberang ruangan.
Menusuk tepat ke jantung Bapa Gabriel. Dia tau dan merasa akan segera bergabung dengan mereka.
"Bunda Maria suci, mohon pengampunan..." Dia mulai berdoa. Aku tarik lagi jerat leher agar dia bungkam.
"Tidak ada gunanya, Bapa. Tidak sekarang. Saat ini waktunya menatap kebenaran."
"Aku mohon..." Dia tersedak.
"Ya, memohonlah. Bagus begitu. Lebih baik. Apa memang cuma itu, Bapa? Cuma tujuh? Ini belum semua kan?"
"Ya Tuhan," dia mengeluh, menahan sakit.
"Bagaimana dengan kota-kota yang lain, Bapa? Ravenwood Falls? Mau bicara soal Ravenwood Falls?"
Sang Bapa sesenggukan tidak menjawab.
"Tidak? Twilight Wood kalau begitu. Ada tiga mayat di sana kan? Atau aku kelewatan satu? Sulit memastikan. Apa ada empat mayat di Twilight Woods, Bapa?"
Tubuhnya gemetar tidak terkendali. Celananya basah karena air seni. Dagunya berleleran iler.
"Aku mohon... mengertilah. Aku tidak mampu menahan diri. Tidak sanggup. Aku mohon, mengertilah..." Dia merengek.
"Aku paham, Bapa," jawabku dengan lirih. Bapa Gabriel terpaku ngeri. Wajahnya mendongak perlahan menatapku. Yang dia lihat di mataku membuat tubuhnya diam.
"Aku paham sepenuhnya, asal kamu tau saja. Aku juga begitu." Aku berkata lagi, mendekatkan wajah sampai begitu dekat. Keringat di pipinya merinding membeku.
Kami begitu dekat sekarang. Hampir bersentuhan. Hawa kotornya membuat aku jijik. Aku sentakkan dia dan menendang kakinya lagi sampai dia jatuh. Bapa Gabriel terkapar di lantai.
"Tapi terhadap anak-anak? Aku tidak akan mungkin melakukan hal itu pada anak-anak." Lirihku menyusul. Aku injak kepalanya dengan sepatu bot, menghantam wajahnya ke lantai. "Tidak seperti kamu, Bapa. Tidak pernah aku lakukan terhadap anak-anak. Kekejianku hanya untuk orang-orang sepertimu!"
"Kamu... makhluk apa sebenarnya?" Bisik Bapa Gabriel.
"Aku adalah Awal," Aku menjawab dramatis. "Sekaligus Akhir. Malaikat Pencabut Nyawamu, Bapa."
Jarum suntik yang sudah aku siapkan, menusuk lehernya dengan mulus. Memperoleh sedikit perlawanan dari refleksi otot, tapi tidak dari si pendeta itu sendiri. Aku dorong serumnya sampai kosong, mengisi tubuh Bapa Gabriel dengan bius yang cepat dan menenangkan. Sekejap kemudian dia terkulai.
Imajinasi "sakit" si pendeta tidak memungkinkan dia melihat diri sebagai satu spesies yang sama dengan korban. Dan ini ada benarnya. Gaya kerjaku tidak begitu. Tidak mungkin begitu. Aku tidak seperti Bapa Gabriel. Bukan monster seperti itu.
Aku monster yang sangat rapi.
Ada waktu sekitar delapan jam sebelum aku terpaksa meninggalkan tempat ini. Setiap detik harus aku pakai untuk melakukan semuanya dengan benar.
Aku baringkan dan aku amankan posisi Bapa Gabriel di atas meja dengan bantuan plastik dan plester pipa setelah pakaiannya aku lepas. Pekerjaan awal kulakukan dengan cepat---mencukur bulu rambut, mencabuti semua yang menonjol tidak rapi. Seperti biasa, aku rasakan sensasi nikmat membuncah amat perlahan menuju pelepasan, menggetarkan seluruh tubuh sementara aku bekerja.
Persis sebelum aku mulai melakukan tugas sesungguhnya, Bapa Gabriel membuka mata menatapku. Tidak nampak ketakutan. Ini kadang terjadi. Tegas menatap, belahan bibir bergerak.
"Apa?" Kataku. Kudekatkan telinga agar lebih jelas. "Aku tidak dengar."
Terdengar desah napas lambat-lambat dan tenang. Bapa Gabriel mengulang ucapan sebelum menutup mata.
"Sama-sama," Aku mengangguk lalu mulai bekerja.
Jam empat lewat tiga puluh pagi, jasad si pendeta sudah rapi. Aku merasa jauh lebih baik. Selalu begitu setelah selesai mencacah korban. Membunuh membuatku merasa enak. Seperti baru selesai ejakulasi---hanya lebih nikmat. Pelepasan yang memang dibutuhkan dari tekanan hidraulik relung batin.
Aku kembalikan semua mayat ke kebun samping bersama tetangga baru yang lebih besar, lalu merapikan kembali rumah reyot itu sebaik mungkin. Aku bereskan peralatan ke mobil almarhum Bapa Gabriel dan berkendara ke Selatan, ke sebuah kanal kecil di tepian sungai tempat aku memarkir kapal. Aku dorong mobil almarhum masuk ke kanal di belakang kapal, lalu naik. Aku pandangi mobil itu perlahan tenggelam dan menghilang. Setelah itu aku nyalakan kapal, berlayar mengarungi kanal ke teluk di utara.
Jam enam lewat tiga puluh pagi aku tiba dirumah, di kompleks apartemen Crystal Residence. Aku keluarkan kaca mikroskop dari saku, berisi setitik darah almarhum Bapa Gabriel yang membercak persis di tengah. Rapi dan bersih, siap di selipkan di bawah mikroskop setiap kali mau bernostalgia. Aku letakkan bersama tiga puluh enam potongan kaca lain dalam kotak kayu khusus.
Aku sengaja mandi lebih lama. Membiarkan pancuran air panas membilas sisa ketegangan, melemaskan otot, merontokkan bekas akhir aroma si pendeta dan bau kebun dari rumah kecil dekat rawa tadi malam.
Membunuh anak-anak. Huh! Harusnya aku bunuh dia dua kali.
Sejarah kelam apa pun yang membuat aku seperti sekarang, telah meninggalkan kekosongan luar biasa. Kosong di dalam.
Meskipun begitu aku suka anak-anak. Aku sadar tidak akan pernah memperoleh anak karena aku benci seks.
Membayangkannya saja sudah bergidik---kok bisa ya? Kehilangan martabat hanya untuk hal seremeh itu? Tapi anak-anak lain soal---mereka istimewa. Bapa Gabriel pantas mati.
Jam tujuh lima belas, aku merasa bersih lagi. Setelah minum kopi dan sarapan, aku bergegas ke kantor.
Aku bekerja di gedung besar bergaya modern, lengkap dengan pintu kaca, dekat bandara. Lab-ku di lantai dua, di pojok belakang. Aku mempunyai ruang kantor kecil persis di sebelahnya. Tidak mewah, tapi yang penting milikku. Sepenuhnya milikku. Tidak ada yang boleh masuk, tidak berbagi dengan siapa pun, jadi tidak ada yang lancang mengacak-acak sembarangan. Ada meja dengan kursi, dan satu kursi lagi untuk tamu---itupun kalau tamunya tidak terlalu gemuk.
Lalu komputer, rak, lemari dokumen.
Ponselku berbunyi saat aku masuk. Tumben. Tidak biasanya ada pesan. Entah kenapa, tidak ada kolega yang mau membuang waktu mengobrol denganku---seorang analis pola cipratan darah Departemen Kepolisian Shadowfall City.
Apa lagi pada jam kerja. Satu dari sedikit orang yang sudi begitu hanya Nadia Cross, adik angkatku. Dia seorang polisi, sebagaimana almarhum ayah kami, Victor.
Pesan itu memang dari Nadia.
~"Dante, tolong aku cepat, begitu kamu sampai di kantor. Aku di TKP di luar Willow Lane, tepatnya di Motel Moonlight Lodge, kamu bisa kemari secepatnya? Tolong Dante?"~
Telepon di tutup.
Aku tidak punya keluarga. Maksudku, sejauh yang aku tau. Aku yakin pasti ada saudara atau kerabatku di luar sana.
Aku tidak mencoba mencari dan mereka juga tidak pernah berusaha mencariku. Aku anak adopsi, di besarkan oleh keluarga Victor dan Evelyn Cross---orang tua kandung Nadia.
Keduanya sudah almarhum. Nadia, jadi satu-satunya orang di dunia yang peduli hidup-matiku. Dan untuk alasan tertentu yang sampai sekarang tidak kunjung aku pahami, dia lebih suka melihat aku hidup ketimbang mati. Aku pikir itu manis sekali.
Jadi, akupun pergi. Berkendara keluar dari parkiran Departemen Of Occult Investigation ke jalur cepat jalan raya dekat situ, mengarah ke sebelah Selatan Willow Lane, tempat Motel Moonlight Lodge dan ratusan motel sejenis berada. Kalau kamu seekor kecoa, tempat ini pasti berasa surga.
Deretan gedungnya berkilau, lampu neonnya dari zaman purba, bertembok kotor, jorok dan pasti bau. Hanya sedap di pandang saat malam, karena siang hari begitu kental menggambarkan kontrak kumuh pengumuman kita dengan hidup.
Setiap kota besar pasti punya bagian kumuh. Intinya : tidak ada yang peduli tamu macam apa yang datang selama tamu tersebut lancar memberi tips.
Nadia terlalu sering menghabiskan waktu di sini beberapa minggu terakhir. Itu dia sendiri yang bilang, bukan aku. Sejauh yang aku tau, tempat ini cocok aja dijadikan tempat tongkrongan polisi. Apalagi di tambah dengan niat meningkatkan peluang statistik menangkap basah perbuatan kriminal.
Nadia tidak sependapat. Mungkin karena dia mengalami sendiri, berhubung statusnya sebagai polisi susila. Petugas susila cantik di Willow Lane biasanya berakhir jadi umpan, berdiri nyaris telanjang di jalanan demi menangkap pria-pria hidung belang.
Nadia benci sekali. Tidak pernah bisa akur soal prostitusi, kecuali dari sudut pandang sosiologi. Tidak pernah setuju bahwa menangkap hidung belang terhitung tugas polisi sungguhan.
Di atas segalanya, dia benci apa pun yang mengekspos berlebihan tubuh seksi dan sisi kewanitaan. Jadi, selain padaku, di hadapan orang lain Nadia selalu berlagak tegas. Apalagi di kepolisian yang notabene delapan puluh persen pria, ini penting, kalau tidak mau di remehkan.
Setidaknya begitu dia pikir. Dari dulu Nadia selalu ingin jadi polisi dan bukan salahnya kalau dia lebih mirip model halaman tengah majalah porno.
Ironisnya, saat aku memarkir mobil di parkiran yang menghubungkan Motel Moonlight Lodge dan Mystic Brew Cafe, Nadine malah tampak begitu menekankan keseksian tubuh---meski aku yakin tidak di sengaja. Bagaimana Tidak? Dalam balutan tank top pendek merah muda, rok spandex ketat dan pendek, stoking jaring hitam dan sepatu hak tinggi.
Beberapa tahun lalu, seseorang di Bagian Susila Kepolisian Shadowfall City memperoleh kabar bahwa kalangan mucikari menertawakan mereka. Pilihan busana mereka membongkar begitu banyak preferensi seksual, tapi sama sekali tidak mirip dengan yang biasa di pakai pelacur asli. Akibatnya, orang bisa dengan mudah menebak gadis mana yang menyembunyikan lencana dan pistol di dompet.
Sejak itu para petugas susila mulai menekankan agar petugas wanita yang bersangkutan dibiarkan memilih pakaian sendiri saat bertugas.
Tapi Nadia tidak pernah suka pakai apa pun selain blus. Dan sekarang---sungguh aku tidak pernah melihat wanita cantik dalam kostum merangsang melebihi Nadia.
Meski tidak di niatkan, dia tetap tampak menonjol. Saat itu dia sedang menenangkan kerumunan penonton TKP. Lencananya di sematkan di tank top atas.
Nadia menyingkir ke salah satu pojok parkiran, menghalau kerumunan agar tidak mengganggu teknisi lab yang tengah memproses tong sampah milik kedai kopi. Aku bersyukur tidak di tugaskan di tim ini. Baunya mengambang sampai ke seluruh area parkir dan jendela mobilku.
Petugas di pintu masuk parkiran kebetulan kenalanku di kantor. Dia melambaikan tangan memberi ruang ke TKP.
"Nad," panggilku begitu masuk. "Baju kamu heboh sekali. Membuat kamu tampak seksi."
"Sialan kamu," sungut Nadia tersipu. Pemandangan langka.
"Polisi menemukan korban lagi... seorang pelacur. Setidaknya diduga sebagai pelacur. Sulit memastikan dari jasadnya." Katanya.
"Ini korban ketiga dalam lima bulan terakhir kalau gitu."
"Kelima," Nadia mengoreksi. "Dua lagi ada di Groove Street." Dia menggeleng sebaliknya. "Meskipun begitu, mereka tetap bilang itu tidak berkaitan."
"Mungkin karena malas dengan proses laporan dan dokumentasi," Aku tersenyum membela.
Nadia balas meringis. "Absurd! Ade-ade aje Loe Bang." Dia menggeram gemas. "Dari logika polisi aja sudah tidak masuk akal. Orang bodoh juga tau Kelima pembunuhan itu berkaitan." Dia terlihat sedikit gemetar.
Ku pandangi dia. Takjub. Nadia seorang polisi, putri seorang polisi juga. Tidak mudah geger oleh hal hal miris. Waktu masih jadi polisi baru dan petugas senior mengerjainya---dengan menunjukan mayat-mayat rusak yang sering muncul di pelosok Shadowfall City setiap hari---agar dia muntah-muntah, dia tidak berkedip. Nadia sudah melihat semuanya. Berpengalaman di lapangan akibat didikan Victor.
Tapi kasus kali ini sanggup membuatnya bergidik. Merinding.
Menarik.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!