Jhonatan Wijaya, seorang perwira TNI berpangkat Kapten. Berusia 31 tahun, Jabatannya sebagai Komandan Kompi membuat namanya dikenal sebagai sosok yang kaku, dingin, dan irit bicara. Di hadapan prajuritnya, ia adalah tokoh yang sangat tegas dan disiplin, namun sangat perhatian terhadap para prajuritnya. Orang lain mengira Jhonatan laki-laki anti perempuan sejak berpisah dengan mantan istrinya, bahkan banyak yang membicarakannya jika dia punya kelainan. Tapi tidak ada yang tahu, di balik semua itu, Jhonatan menyimpan satu kenangan yang ia simpan rapat-rapat selama sembilan tahun terakhir. Sebuah kenangan tentang seorang gadis.
Kehidupan Jhonatan adalah rutinitas yang monoton, penuh dengan disiplin dan aturan. Pagi buta, ia sudah harus memimpin latihan fisik. Siangnya, ia disibukkan dengan laporan dan strategi militer. Malamnya, ia seringkali hanya duduk sendirian di rumah dinas, menatap dinding kosong. Hubungannya dengan keluarga dekat, seperti dengan kakak perempuannya, Jessica Wijaya, dan suaminya yang juga seorang TNI berpangkat Letkol, sangat akrab. Namun, ia tidak pernah benar-benar membuka diri. Jessica sering mencoba menjodohkannya, tapi Jhonatan selalu punya alasan untuk menolak.
"Kamu ini, Nat. Mau sampai kapan mau sendiri?" tanya Jessica suatu kali, saat mereka berkumpul di rumahnya bersama kedua anaknya, Kenan dan Kinan. "Kinan sudah nanya, mama aku punya om kok galak sekali, kayak papa ya, tapi kok dia enggak punya tante."
Jhonatan hanya tersenyum tipis. "Nanti juga ada waktunya, Kak," jawabnya singkat, padat, dan tidak pernah memberikan harapan.
****
Semua rahasia itu berawal sembilan tahun lalu, di MPT (Malam Pengantar Tugas) di Akademi Militer. Aroma parfum mahal dan musik klasik memenuhi aula. Jhonatan berdiri di sudut ruangan, membiarkan suaranya tenggelam di antara keramaian. Namun, di antara semua orang yang berlalu lalang, matanya terpaku pada satu sudut ruangan. Di sana, seorang gadis remaja duduk sendirian. Usianya masih sangat muda, mungkin baru belasan tahun. Rambutnya terurai, matanya memancarkan kecerdasan yang unik, dan senyumnya... senyumnya membuat dunia Jhonatan seolah berhenti.
Ia tidak bisa bergerak. Ini bukan sekadar ketertarikan sesaat, ini adalah sesuatu yang lebih dalam. Jhonatan merasakan koneksi yang tak bisa dijelaskan. Ia merasa seperti sudah mengenalnya seumur hidup, seperti ia memang ditakdirkan untuk bertemu gadis itu. Ia ingin mendekat, menanyakan namanya, tapi gadis itu tiba-tiba bangkit. Ia melambaikan tangan pada seorang pria paruh baya, kemudian menghilang di antara kerumunan. Jhonatan kehilangan jejak. Ia berlari keluar, mencoba mencari, tapi gadis itu sudah lenyap seperti hantu.
Sejak malam itu, ia tidak bisa melupakan wajahnya. Ia mencoba mencari tahu. Ia bertanya pada setiap orang yang ia kenal, termasuk Alvino Alfarisi, teman baiknya sejak di akademi.
"Ada apa, Jo? Tumben kamu kelihatan gelisah," tanya Alvino, yang saat itu masih seorang letnan dua.
"Kamu kenal semua orang di acara semalam, kan? Ada kenalan mu yang punya adik perempuan rambutnya panjang, cantik, dan kelihatanya pintar?" tanya Jhonatan, suaranya terdengar tidak sabar.
Alvino hanya menggeleng. "Aku kenal hampir semua yang datang, Jo. Tapi tidak ada yang seperti itu."
Jawaban itu membuat Jhonatan frustrasi. Setelah beberapa bulan mencari tanpa hasil, ia memutuskan untuk pasrah. Ia melanjutkan hidupnya. Ia fokus pada karier militernya. Ia bahkan mencoba untuk menikah dengan wanita lain, mencoba membangun masa depan yang normal. Tapi takdir berkata lain. Pernikahannya kandas karena perbedaan prinsip dan jarak yang tak bisa ia jembatani.
****
Jhonatan kembali menjadi sosok yang dingin, galak, dan tak banyak bicara. Sampai hari ini. Ia punya janji dengan Alvino, salah satu prajurit terbaiknya dan juga teman seperjuangannya. Jhonatan melangkah masuk ke rumah dinas Alvino. Di sana, ia melihatnya. Di sofa, dengan pakaian santai, ada seorang perempuan. Rambutnya terurai. Wajahnya... itu dia. Gadis yang ia cari selama sembilan tahun. Tapi, ia ada di sini. Di rumah Alvino. Mungkinkah dia adiknya?. Jantung Jhonatan tiba-tiba terasa berdebar dengan cepat.
Ia tidak salah. Wajah itu, kecerdasan di matanya, dan aura yang sama kuatnya. Ia menemukannya. Setelah sembilan tahun, gadis itu ada di hadapannya, tanpa sadar bahwa ia adalah takdir yang selalu Jhonatan cari.
Namun Jhonatan tersadar dia tidak boleh terlalu berharap sudah sembilan tahun berlalu, mungkin saja dia sudah punya pacar bahkan bisa jadi dia sudah menikah.
Sembilan tahun berlalu tapi dia masih sama, dia makin terlihat cantik, tubuhnya sudah tinggi, kulitnya putih, tapi terlihat judes, dan seperti seorang pemalas.
Siapa dia sebenarnya? Kenapa dia bisa ada disini, siapa namanya?. Ah... Jhonatan sungguh sangat penasaran ia bahkan tertegun sangat lama di pintu.
Sebelum akhirnya vino menegurnya
"Kenapa jo, ada yang salah?" tanya vino hati-hati.
"Oh nggak, nggak papa" jawab Jhonatan gugup.
"Mari duduk Jo, gue tinggal kebelakang buat minuman dulu" ucap Vino sembari pergi ke belakang.
Dalam hati Jhonatan terus berbicara sendiri "Dia tertidur sangat cantik, ingin sekali ku gendong dan ku bawa ke rumah ku,ah gila bahkan perempuan itu belum tentu perempuan sembilan tahun lalu".
Gila Jhonatan merasa benar-benar gila, bahkan saat dulu dengan istrinya pun ia tidak pernah merasa seperti ini. Namun hanya melihat wanita itu, Jantungnya benar benar berdetak lebih kencang bahkan rasanya sampai ingin melompat keluar. Ia terus menatapnya lama karena perempuan itu tidur di sofa depan tv yang terhubung langsung dengan ruang tamu, hanya ada sekat, meja partisi kecil.
Jhonatan tersenyum sendiri, sangat tipis, benar-benar sangat tipis. Bahkan orang terdekatnya pun jarang sekali bisa melihat senyum sang kapten. Dia benar benar menjadi sosok yang sangat dingin, entah karena masa lalunya ataupun apa, tidak ada yang tahu hanya Jhonatan yang tahu.
Orang lain mengira perceraiannya dengan mantan istrinya tiga tahun lalu menyisakan trauma dan duka yang mendalam.
Ya, Jhonatan diceraikan saat sedang satgas di daerah konflik, mengharuskan untuk berpisah dengan istrinya. Baru tiga bulan di medan tugas ia mendapatkan kabar, bahwa sang istri menggugat cerai dirinya. Alasannya dia tidak bisa menjalani hubungan ldm, tapi setelah menjadi seorang istri prajurit harusnya dia paham bahwa ldm sudah menjadi resiko, bahkan tak jarang banyak prajurit yang pulang dari Medan perang hanya tinggal nama. Dan sampai sekarang pun Jhonatan tidak tahu alasan pastinya.
Lamunan Jhonatan buyar saat Alvino datang dengan membawa dua gelas kopi dan camilan. "Maaf Jo lama tadi istri gue minta dibantu masang gas dulu" ucap Alvino
"Iya nggak masalah," jawab Jhonatan santai
"Kan lo ini udah lama banget menyendiri apa nggak pingin nikah lagi haha, biar ada yang ngurusin gitu haha," canda Alvino diiringi tawa.
Aresa Alfarisi.
Bukan, bukan hanya itu. Ia adalah seorang perempuan berusia 22 tahun, sudah menyelesaikan study S2-nya dengan gelar ganda di salah satu Universitas ternama di Spanyol. Ia anak terakhir dari empat bersaudara dan anak perempuan satu satunya. Ia sekarang sudah bekerja di sebuah perusahaan motor ternama, menjadi seorang ahli telemetri yang terikat kontrak lima belas tahun dengan perusahaan motor tersebut. Ia bekerja dilingkungan dan di tim yang mayoritas didominasi kaum adam.
Saat libur musim panas, Ia memutuskan pulang ke Indonesia, dan sejak saat itu hidupnya berubah. Sejak seorang perwira tampan mencoba mendobrak pintu hatinya. Di matanya, pria berseragam adalah hal yang biasa saja. Ia tidak tergila-gila wajar, sebab ayahnya adalah seorang purnawirawan polisi. Pak dhe nya seorang purnawirawan TNI, Dan kakak sepupunya juga seorang TNI aktif.
Hidup di asrama sudah pernah ia alami saat kecil, karena mengikuti ayahnya yang sering berpindah-pindah tugas. Namun sejak SMP dia tidak ikut orang tuanya berpindah-pindah tempat lagi, ia menetap di Sleman, Yogyakarta bersama dengan Mbah ibu nya ( nenek dari pihak ayah) dan dengan kecerdasannya ia bisa mengikuti kelas akselerasi, sehingga ia lulus SMP dalam waktu dua tahun.
Setelah lulus SMA, Ia melanjutkan pendidikannya di sebuah Pondok Pesantren di Sidoarjo Jawa Timur, Ia juga melanjutkan pendidikan formalnya di Madrasah Aliyah yang masih satu yayasan dengan Pondok Pesantren tersebut. Ia mengenyam pendidikan di sana selama tiga tahun, tidak pernah pulang ke rumah orang tuanya karena jarak, sehingga ketika liburan tiba ia hanya pulang kerumah Bu lik nya dan ke rumah kakeknya , karena kebetulan kakeknya asli Sidoarjo. Dan semenjak bercerai dengan Mbah ibu, kakeknya pulang ke Sidoarjo dan menikah lagi.
****
Di mata publik, Aresa dikenal cerdas, disiplin, dan rajin, tapi di depan keluarga, ia adalah si pemalas dan tukang tidur.
Setelah menempuh penerbangan panjang, akhirnya Aresa menginjakkan kaki di tanah air. Di pintu kedatangan, ia melihat Arian, kakak keduanya, melambaikan tangan. Aresa berlari menghampiri kakaknya, Mereka berdua langsung berpelukan erat. Aresa merasakan kehangatan yang sudah lama ia rindukan.
"Mas Arian, aku kangen!" ucap Aresa sambil menepuk punggung kakaknya.
"Gila, Dek. Kamu makin kurus aja sih. Di sana makan apa?" goda Arian sambil menarik koper Aresa.
"Ya, makan yang ada. Namanya juga merantau," jawab Aresa sekenanya.
"Langsung aja yuk panas banget, takut gosong kulit mas dek," canda Arian.
"Kulit udah item gitu belagu banget mas, padahal aku pingin langsung jalan-jalan muterin Jakarta with you haha," jawab Aresa diiringi tawa.
"Muter-muter nya besok aja mas ngantuk pingin tidur siang, yok pulang ," ajaknya sambil menarik koper Aresa.
"Yaudah ayo,aku juga ngantuk" jawab Aresa sambil memonyongkan bibir.
"Ngga usah monyong gitu bibirnya, nanti kalau mau jalan-jalan mas bilang ke Vero buat nemenin kamu, mas beneran lagi sibuk banget habis ini ada kelas" Arian mencoba menenangkan.
****
Mereka tiba di apartemen Arian yang mewah.
Saat tiba Resa langsung ke kamarnya dan tidur, sedangkan sang kakak langsung berangkat ke kampus karena ada kelas dadakan.
Malam harinya, Sambil menikmati teh hangat, mereka terus mengobrol. Arian cerita tentang kesibukannya sebagai CEO dan dosen, ya Rian atau nama lengkapnya Arian Alfarisi kakak kedua Resa yang sangat dekat dengannya, Berprofesi sebagai Dosen di universitas ternama di Jakarta dan seorang Ceo perusahaan keluarganya yang dikenal dengan "Alfarisi Group".
Sementara Aresa bercerita tentang dunia kerjanya di dunia balap yang serba cepat. Ia menyukai kedekatan mereka yang tidak terpengaruh oleh jarak dan waktu.
"Besok aku akan ke tempat Mas Vino di batalyonnya," kata Aresa.
(Alvino Alfarisi atau yang biasa dipanggil Vino adalah kakak sepupu Aresa)
"Tumben kamu mau ke tempat yang panas begitu?" Arian menaikkan alisnya. "Bukannya kamu paling malas ke tempat seperti itu, yang kata mu ribet, yang ini itu?"
Aresa hanya tertawa. "Kan aku udah janji, mau ketemu Gio (anak sepupunya)."
"Ketemu Gio apa mau tebar pesona sama hallo dek hahaha," ledek Arian
"Apaan sih, cuma mau ketemu mas Vino sama keluarganya kok, ngapain tebar pesona ke hallo dek, seleraku itu bule loh mas, masa lama di Spanyol ngga dapat bule," jawab Aresa dengan sebal
"Lo deketnya bukannya sama si pembalap Spanyol itu ya," tanya Arian penasaran
"Hehe iya, mas tau sendiri kan benteng kita tinggi, apalagi sekarang Bapak udah jadi pengasuh Pesantren Mbah Kakung. Ya makin susah buat bersatu sama dia mas, tinggi banget bentengnya" jawab Aresa sedih
"Nyari yang seiman aja biar ngga mangu, Jangan salahkan faham ku kini.. tertuju.. oooo..
Siapa yang tahu? Siapa yang mau..?
Kau di sana, aku di seberangmu..
Cerita kita sulit dicerna..
Tak lagi sama cara berdoa..
Cerita kita sulit diterka..
Tak lagi sama arah kiblatnya," tiba-tiba saja Arian bernyanyi sambil berdiri berjalan ke kamarnya
"Awas lo mas, lo aja jomblo kok sombong banget" jawab Aresa
****
Keesokan harinya, Aresa pergi ke batalyon tempat Sepupunya tugas. Ia naik taksi online karena di Jakarta ia tidak punya kendaraan. Tibalah di gerbang utama, seorang provost gagah langsung mencegat taksinya. "Tujuan? Keperluan? Sudah buat janji?" tanyanya tanpa senyum. Raut wajahnya yang serius membuat Aresa merinding.
Ia hendak menjawab, tapi tiba-tiba Alvino muncul di samping taksi. "Ijin, Provost! Beliau sepupu saya!" ucapnya dengan sigap.
Provost itu langsung memberi hormat. "Siap, Kapt!" katanya sambil membiarkan taksinya masuk. Aresa menatap Mas Alvino heran. "Kamu Kapten mas?" tanyanya. "Aku kira masih Letda haha." Alvino hanya tersenyum. "Naik pangkat tiga bulan lalu, Res KTP mu mana, walaupun kamu sepupuku wajib ijin lapor ya." Ucap Alvino sambil menadahkan tangan menunggu Resa memberikan KTPnya.
Setelah ijin selesai, mereka menaiki sepeda motor menuju ke rumah dinas Alvino.
Mereka sampai di rumah dinas Alvino yang sederhana. Aresa segera masuk dan bersalaman dengan kakak iparnya.
"Hallo mba,aku kangen banget" ucap Aresa sambil memeluk ayu, istri dari sepupunya.
"Mba juga kangen Res, gimana udah kecantol bule belum," tanya Ayu menggoda.
"Apaan sih mba,jangan ngeledek deh," Aresa cemberut.
"Ganti baju sana dikamar Gio, mba mau masak buat makan siang," perintah Ayu.
"Iya mba, nanti aku bantuin kalau nggak ketiduran mba hehe," jawab Aresa dengan tawa.
Setibanya dikamar Resa langsung mengganti pakaiannya dengan kaos dan celana kulot yang nyaman, lalu keluar kamar dan merebahkan diri di sofa panjang depan TV.
Saat hendak memejamkan mata, Alvino tiba tiba masuk. "Eh, Res," katanya, "Sebaiknya kamu pakai jilbab ya."
Aresa yang sudah berbaring pun duduk mendadak kesal. "Ada apa, Mas? Tumben banget," tanyanya.
"Teman ku, sebentar lagi mau datang. Dia orang yang tegas dan terkenal galak. Lebih baik kamu pakai jilbabnya Res kalau mau tiduran disitu, apa kekamar aja sana," jelas Mas Alvino, terlihat cemas.
Ia mendengus. "Males banget, Mas," jawabku jujur, "Aku mau tidur, capek." Ia benar-benar sangat pemalas jika sudah dirumah.
Alvino hanya bisa menghela napas, tak mendebatnya lagi. Kemudian ia merebahkan diri kembali di sofa, memejamkan mata, membiarkan dirinya tenggelam dalam keheningan.
Ia tidak tahu, Mas Alvino sudah punya janji dengan temannya. Dan akan datang secepat ini. Pintu tiba-tiba terbuka. Suara langkah tegap mendekat, tapi ia tetap memejamkan mata. Tak lama ia dengar suara orang tertawa, ia buru-buru membuka mata dan kaget, di seberang sofanya ada seorang pria berseragam gagah duduk didepan mas Vino menatapku dengan tatapan yang sulit diartikan.
Matanya menatap Aresa lekat-lekat, membuatnya merinding. Ekspresinya misterius dan sulit dibaca. Pria itu diam di tempatnya, menatap tanpa berkedip. Yang bisa ia lakukan hanyalah berlari, buru-buru ke kamar, meninggalkan pria itu dan kebingungan di ruang tengah. Aresa tidak tahu bahwa tatapan itu akan menjadi awal dari kisah yang tak pernah ia bayangkan.
Jhonatan hanya bisa terdiam, matanya terpaku pada pintu kamar yang baru saja tertutup. Pikirannya kosong, namun hatinya bergemuruh. Perasaannya campur aduk antara keterkejutan, kelegaan, dan rasa ingin tahu yang tajam. Ia masih tak percaya. Gadis yang ia cari selama bertahun-tahun, yang ia kira hanya bayangan masa lalu, kini ada di hadapannya.
Alvino yang melihat tatapan Jhonatan mengikuti langkah Aresa, hanya bisa tersenyum. Ia tahu Jhonatan sedang kebingungan. "Jo, maafkan dia. Dia memang begitu," katanya.
Jhonatan menoleh pada Alvino, matanya penuh pertanyaan. "Jadi, dia… adikmu?" tanyanya, suaranya terdengar lebih lembut dari biasanya.
"Iya Jo," Alvino tersenyum samar, dan langsung buru buru mengurai ketegangan. "Dia sepupuku. Namanya Aresa."
Dunia Jhonatan seolah kembali berputar. Sebuah kelegaan besar membanjiri hatinya. Jadi dia adik Alvino, yang berarti masih ada kesempatan baginya. "Aresa," gumamnya, bibirnya membentuk senyum tipis yang jarang terlihat. "Namanya Aresa."
****
Mereka berdua duduk di ruang tamu. Alvino mengeluarkan beberapa berkas dan meletakkannya di meja. "Ini, Jo. Sudah aku siapkan semua data yang kita butuhkan untuk pembangunan bisnis kita," ucap Alvino, kembali ke mode profesional.
Jhonatan mengambil berkas itu, namun matanya terus-menerus melirik ke arah pintu kamar Aresa. Pikirannya tidak fokus pada data atau pun angka. Otaknya seolah hanya berisi satu nama, satu wajah.
"Jo!" panggil Alvino, menyadarkan Jhonatan dari lamunannya.
"Ya, Vin. Teruskan," kata Jhonatan, berusaha memaksakan diri untuk fokus.
"Kita sudah dapat lahan di Banjarnegara Jo, Tanah milik keluarga ku. Ayah ku sudah setuju, tinggal tunggu persetujuan terakhir dari Bapaknya Aresa," jelas Alvino.
"Kenapa kamu milih di Banjarnegara? Bukannya itu daerah tertinggal dan jauh dari pusat kota.?" Tanya Jhonatan.
"Jangan salah bro, justru karena masih daerah tertinggal kita bangun usaha disana mudah, kita bangun tempat-tempat yang hits dan aesthetic pasti bakal rame," jelas Alvino.
"Kamu ada kenalan disana yang bisa diajak kerja sama?." Tanya Jhonatan lebih lanjut.
"Tenang aja Bapaknya Resa udah menetap disana sama kakak pertamanya Resa, lagian disana banyak santrinya om ku itu yang bisa dipercaya" jawab Alvino.
"Kamu yakin vin.?" Ujar Jhonatan meyakinkan lagi.
"Yakin lagian Resa nanti juga bisa bantu-bantu kalau lagi dikampung, biasanya dia pulang ke Indonesia saat liburan musim panas sama akhir tahun, bisa lah nanti di suruh-suruh" jawab Alvino.
"Memangnya Dia tinggal dimana.?" Tanya Jhonatan penasaran
"Oh Aresa sejak usia 15 tahun, udah pindah ke Spanyol." pungkasnya
*****
Nama Aresa lagi-lagi membuat Jhonatan tersentak. Sebuah ide tiba-tiba muncul di kepalanya. "Kenapa dia di Spanyol? Apa pekerjaannya?" tanyanya, suaranya kini terdengar begitu tertarik, bahkan sedikit mendesak.
Alvino, yang sudah terbiasa dengan sikap dingin sahabatnya, heran melihat perubahan drastis ini. Ia akhirnya menceritakan tentang Aresa. "Dia ahli telemetri, Jo. Dia kerja di tim balap motor internasional. Kontraknya lima belas tahun dan otak cerdasnya dibeli puluhan miliar," jelas Alvino dengan nada bangga. "Jadi, kalau kamu mau bikin bisnis otomotif, dia orang yang paling tepat."
Jhonatan tertegun. Jadi, bukan hanya wajahnya yang mempesona, tapi juga otaknya. Sempurna. "Jadi dia... dia juga anak dari seorang kiyai?"
"Betul, Jo. Bapaknya kiyai meneruskan Pesantren milik mertuanya di Banjarnegara, selain itu Bapaknya juga seorang purnawirawan polisi pangkat terakhirnya Kombespol kalau nggak salah," jawab Alvino.
Jhonatan mengangguk. Sekarang ia mengerti mengapa ia tidak pernah bisa menemukan gadis itu. Dunia mereka memang berbeda. Jhonatan yang selama ini dikenal dingin dan irit bicara, tiba-tiba menjadi lebih cerewet dari biasanya. Ia terus bertanya tentang Aresa, tentang pekerjaannya, tentang kehidupannya. Jhonatan seolah tidak ingin obrolan ini berakhir. Ia ingin tahu semua hal tentang Aresa.
Alvino akhirnya tertawa. "Jo, aku tahu Kamu tertarik dengan Resa. Tapi kita harus fokus ke bisnis kita dulu. Kalau kita berhasil, kita bisa ajak Aresa bergabung dengan kita," canda Alvino.
Jhonatan hanya tersenyum tipis. Ia sudah punya rencana. Ia tidak akan membiarkan kesempatan ini hilang begitu saja.
*****
Di dalam kamar, Aresa masih dilanda rasa malu yang luar biasa. Ia memeluk guling, wajahnya memerah. "Bodoh! Kenapa aku lari?" gumamnya. Ia kesal pada dirinya sendiri. Seharusnya ia bersikap santai, lagi pula itu hanya pria biasa. Tapi tatapan pria itu membuatnya tak bisa berpikir jernih. Ada sesuatu yang dalam dan penuh makna di matanya, sesuatu yang membuatnya merasa seperti sedang ditelanjangi.
"Tante Resa, ada apa?"
Aresa menoleh. Di sudut kasur, ada anak kecil sedang berbaring, matanya menatap Aresa dengan penasaran. Dia adalah anak Alvino, Gio namanya.
"Tidak ada apa-apa," jawab Aresa singkat. "Kamu dari tadi di sini?"
"Iya tan. Ayah bilang, ada Komandan datang. Aku tidak mau bertemu, jadi lari ke kamar Tan," jawab Ziar, yang usianya sekitar lima tahun.
"Memang kenapa takut sama komandan?" tanya Aresa, mencoba mengalihkan pikirannya.
"Katanya galak. Suka marah-marah," timpal Gio, membuat Aresa terkekeh.
"Memangnya kamu pernah lihat dia marah?"
"Belum, sih. Tapi Ayah sama Bunda suka bilang, Komandan Jhonatan galak kalau di lapangan. Kalau tidak disiplin, pasti kena marah," cerita Gio dengan suara berbisik, seolah takut terdengar oleh sang Komandan.
Aresa hanya tersenyum kecil. Jadi, pria itu namanya Jhonatan. Ia mendengus dalam hati. "Pria berseragam memang begitu," pikirnya, tapi kali ini, ia merasa ada yang berbeda dari pria itu. Ada sesuatu dalam tatapannya yang membuat dadanya bergetar. Ia berusaha mengenyahkan perasaan itu. Ia tidak butuh drama, ia hanya butuh ketenangan. Ia memilih untuk memejamkan mata, berharap bisa tidur dan melupakan kejadian memalukan itu. Namun, bayangan mata Jhonatan terus muncul. Perasaan aneh itu masih tertinggal. Perasaan yang mengatakan bahwa pertemuan ini... bukan sekadar kebetulan.
"IHH kenapa kebayang muka dia terus sih, ganggu banget," ucap Resa sebal.
"Tante ngomong apa.?" Tanya Gio penasaran.
"Eh, nggak Tante nggak ngomong apa apa kok" jawab Resa malu.
"Tante suka ya sama kapten Jhonatan hihi" tebak Gio.
"Eh sembarangan Tante udah punya pacar ya, pacar Tante bule lebih ganteng dari dia" jawab Resa sewot.
"Tapi kata ayah, pacar Tante ngga bisa diajak menikah" jawab Gio lirih.
"Ih, kok kamu tahu si Gi Tante galau banget tahu, Tante pingin nikah tapi benteng kita terlalu tinggi Gi" jawab Resa dengan nada sedih.
"Bentengnya dirobohkan kan bisa tan" jawab Gio dengan enteng
"Enteng bener ngomongnya Gi, masih kecil kok udah ngomongin masalah orang dewasa" jawab Resa sembari mencubit pipi Gio.
"Kata Mbah Tante juga masih anak kecil, suka marah-marah lagi" jawab Gio sebal.
" Sembarangan kamu Gi Tante udah dewasa ya, yang masih kecil itu kamu," jawab Resa sembari berbaring kembali ke kasur sebelum akhirnya tertidur.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!