Jhonatan Wijaya adalah seorang perwira TNI berpangkat kapten berusia tiga puluh satu tahun. Jabatannya sebagai komandan kompi membuat namanya dikenal sebagai sosok yang kaku, dingin, dan irit bicara. Di hadapan prajuritnya, ia dikenal tegas dan disiplin, tetapi juga sangat perhatian terhadap anak buahnya.
Orang-orang mengira Jhonatan adalah laki-laki yang anti terhadap perempuan sejak berpisah dengan mantan istrinya. Bahkan, ada yang berbisik bahwa ia memiliki kelainan. Namun, tidak ada yang tahu bahwa di balik semua itu, Jhonatan menyimpan satu kenangan yang ia jaga rapat-rapat selama sembilan tahun terakhir—kenangan tentang seorang gadis.
Kehidupan Jhonatan berjalan monoton, penuh disiplin dan aturan. Pagi hari, ia sudah memimpin latihan fisik. Siang hari, ia disibukkan dengan laporan dan strategi militer. Malam hari, ia sering duduk sendirian di rumah dinas, menatap dinding kosong.
Hubungannya dengan keluarga dekat, seperti kakak perempuannya, Jessica Wijaya, dan suaminya yang juga seorang TNI berpangkat letnan kolonel, sangat akrab. Namun, Jhonatan tidak pernah benar-benar membuka diri. Jessica sering mencoba menjodohkannya, tetapi Jhonatan selalu punya alasan untuk menolak.
"Kamu ini, Nat. Mau sampai kapan mau sendiri?" tanya Jessica suatu kali, saat mereka berkumpul di rumah bersama kedua anaknya, Kenan dan Kinan. "Kinan sudah nanya sama aku, 'Mama aku punya om kok galak sekali?Seperti papa, ya? Tapi kok dia enggak punya tante?"
Jhonatan hanya tersenyum tipis.
"Nanti juga ada waktunya, Kak," jawabnya singkat, tanpa memberi harapan.
****
Semua rahasia itu berawal sembilan tahun lalu, pada malam MPT (Malam Pengantar Tugas) di Akademi Militer. Aroma parfum mahal dan musik klasik memenuhi aula. Jhonatan berdiri di sudut ruangan, membiarkan dirinya tenggelam dalam keramaian.
Namun, di antara semua orang yang berlalu-lalang, matanya terpaku pada satu sudut ruangan. Di sana, seorang gadis remaja duduk sendirian. Usianya masih sangat muda, mungkin baru belasan tahun. Rambutnya terurai, matanya memancarkan kecerdasan yang unik, dan senyumnya... senyum itu membuat dunia Jhonatan seolah berhenti.
Ia tidak bisa bergerak. Ini bukan sekadar ketertarikan sesaat. Ada sesuatu yang lebih dalam. Jhonatan merasakan koneksi yang tidak bisa dijelaskan. Ia merasa seperti sudah mengenalnya seumur hidup, seolah memang ditakdirkan untuk bertemu gadis itu. Ia ingin mendekat, menanyakan namanya, tetapi gadis itu tiba-tiba bangkit, melambaikan tangan kepada seorang pria paruh baya, lalu menghilang di antara kerumunan.
Jhonatan kehilangan jejak. Ia berlari keluar, mencoba mencari, tetapi gadis itu sudah lenyap seperti hantu.
Sejak malam itu, ia tidak bisa melupakan wajahnya. Ia mencoba mencari tahu. Ia bertanya kepada setiap orang yang ia kenal, termasuk Alvino Alfarisi, teman baiknya sejak di akademi.
“Ada apa, Jo? Tumben kamu kelihatan gelisah,” tanya Alvino yang saat itu masih berpangkat letnan dua.
“Kamu kenal semua orang di acara semalam, kan? Ada kenalan mu yang punya adik perempuan rambutnya panjang, cantik, dan kelihatannya pintar?” tanya Jhonatan dengan nada tidak sabar.
Alvino menggeleng.
“Aku kenal hampir semua yang datang, Jo, tapi tidak ada yang seperti itu.”
Jawaban itu membuat Jhonatan frustrasi. Setelah berbulan-bulan mencari tanpa hasil, ia akhirnya pasrah. Ia melanjutkan hidup, fokus pada karier militernya. Ia bahkan mencoba menikah dengan perempuan lain, berusaha membangun masa depan yang normal. Namun, takdir berkata lain. Pernikahannya kandas karena perbedaan prinsip dan jarak yang tidak bisa dijembatani.
****
Sejak itu, Jhonatan kembali menjadi sosok yang dingin, galak, dan tertutup. Sampai hari ini.
Ia memiliki janji dengan Alvino, salah satu prajurit terbaiknya sekaligus teman seperjuangannya. Jhonatan melangkah masuk ke rumah dinas Alvino. Di sana, matanya tertuju pada seseorang yang terbaring di sofa.
Seorang perempuan, dengan pakaian santai dan rambut terurai. Wajahnya... ya, wajah itu. Gadis yang selama sembilan tahun menghantui pikirannya. Tapi kenapa dia ada di sini? Di rumah Alvino? Mungkinkah dia adiknya?
Jantung Jhonatan berdebar cepat. Ia tidak salah mengenali. Wajah itu, sorot mata itu, dan aura yang sama kuatnya. Ia menemukannya. Setelah sembilan tahun, gadis itu kini ada di hadapannya—tanpa sadar bahwa dialah takdir yang selama ini dicari Jhonatan.
Namun, ia tahu dirinya tidak boleh terlalu berharap. Sembilan tahun telah berlalu. Mungkin saja gadis itu sudah punya kekasih, bahkan mungkin sudah menikah. Tapi meskipun waktu berjalan begitu lama, gadis itu tetap sama—hanya saja kini lebih dewasa, lebih cantik, tubuhnya tinggi, kulitnya putih, meski terlihat sedikit judes dan pemalas.
Siapa dia sebenarnya? Mengapa dia bisa ada di sini? Siapa namanya?
Ah... Jhonatan benar-benar penasaran. Ia bahkan tertegun lama di depan pintu, sampai akhirnya Alvino menegurnya.
“Kenapa, Jo? Ada yang salah?” tanya Alvino hati-hati.
“Oh, tidak... tidak apa-apa,” jawab Jhonatan gugup.
“Mari duduk, Jo. Gue ke belakang sebentar, bikin minuman dulu,” ujar Alvino sambil berjalan pergi.
Dalam hati, Jhonatan berbicara sendiri,
“Dia tertidur dengan sangat cantik. Rasanya ingin ku gendong dan kubawa ke rumahku. Ah, gila. Bahkan aku belum tahu apakah dia perempuan yang sama seperti sembilan tahun lalu. Tapi... entah kenapa aku benar-benar ingin memilikinya.”
Gila. Jhonatan merasa benar-benar gila. Bahkan saat dulu bersama istrinya pun, ia tidak pernah merasakan hal seperti ini. Hanya dengan melihat perempuan itu, jantungnya berdebar kencang—seolah ingin melompat keluar dari dadanya.
Ia terus menatapnya lama. Perempuan itu tidur di sofa depan televisi yang terhubung langsung dengan ruang tamu, hanya dipisahkan oleh meja partisi kecil.
Jhonatan tersenyum tipis. Sangat tipis. Bahkan orang terdekatnya pun jarang melihat senyum sang kapten. Ia benar-benar telah menjadi sosok yang dingin—entah karena masa lalunya atau sesuatu yang lain. Tidak ada yang tahu, kecuali dirinya sendiri.
Orang-orang mengira perceraiannya tiga tahun lalu meninggalkan trauma dan duka yang mendalam. Ya, Jhonatan diceraikan saat sedang menjalankan tugas di daerah konflik. Baru tiga bulan di medan tugas, ia menerima kabar bahwa sang istri menggugat cerai. Alasannya, ia tidak sanggup menjalani hubungan jarak jauh. Padahal, sebagai istri prajurit, seharusnya ia paham bahwa hidup terpisah dengan suami adalah risiko. Bahkan banyak prajurit yang pulang dari medan tugas hanya tinggal nama. Sampai sekarang pun Jhonatan tidak tahu alasan pastinya.
Lamunannya buyar ketika Alvino datang membawa dua gelas kopi dan camilan.
“Maaf, Jo, lama. Tadi istri gue minta bantu pasang gas dulu,” ujar Alvino.
“Iya, tidak masalah,” jawab Jhonatan santai.
“Kan lo ini udah lama banget menyendiri. Nggak kepikiran nikah lagi? Biar ada yang ngurusin,” canda Alvino sambil tertawa.
Aresa Alfarisi.
Bukan, bukan hanya itu. Ia adalah seorang perempuan berusia dua puluh dua tahun yang telah menyelesaikan studi S2-nya dengan gelar ganda di salah satu universitas ternama di Spanyol. Ia anak terakhir dari empat bersaudara dan satu-satunya anak perempuan dalam keluarga. Sekarang, ia bekerja di sebuah perusahaan motor ternama sebagai ahli telemetri, dan ia juga terikat kontrak selama lima belas tahun. Ia bekerja di lingkungan dan tim yang mayoritas didominasi kaum pria.
Saat libur musim panas, ia memutuskan pulang ke Indonesia. Sejak saat itu, hidupnya berubah—sejak seorang perwira tampan mencoba mendobrak pintu hatinya. Di matanya, pria berseragam adalah hal yang biasa. Ia tidak tergila-gila, wajar saja, sebab ayahnya adalah seorang purnawirawan polisi. Paman dari pihak ayahnya seorang purnawirawan TNI, dan kakak sepupunya juga seorang TNI aktif.
Hidup di asrama bukan hal baru baginya. Sejak kecil ia sudah terbiasa berpindah-pindah mengikuti ayahnya yang sering bertugas ke berbagai daerah. Namun, sejak SMP, ia tak lagi ikut orang tuanya berpindah tempat. Ia menetap di Sleman, Yogyakarta, bersama Mbah ibu, nenek dari pihak ayah. Dengan kecerdasannya, ia berhasil mengikuti kelas akselerasi dan lulus SMP dalam waktu dua tahun.
Setelah lulus SMA, Aresa melanjutkan pendidikannya di sebuah pondok pesantren di Sidoarjo, Jawa Timur. Ia juga menempuh pendidikan formal di madrasah aliyah yang masih satu yayasan dengan pondok tersebut. Selama tiga tahun di sana, ia jarang pulang karena jarak yang jauh. Saat liburan tiba, ia hanya pulang ke rumah bibi atau kakeknya yang tinggal di Sidoarjo. Kakek dari pihak ayahnya memang asli Sidoarjo, dan setelah bercerai dengan neneknya, beliau kembali ke kampung halaman dan menikah lagi.
****
Di mata publik, Aresa dikenal cerdas, disiplin, dan rajin. Namun, di depan keluarga, ia justru dikenal sebagai si pemalas dan tukang tidur.
Setelah menempuh penerbangan panjang, akhirnya Aresa menginjakkan kaki di tanah air. Di pintu kedatangan, ia melihat Arian, kakak keduanya, melambaikan tangan. Aresa berlari menghampiri sang kakak. Mereka langsung berpelukan erat; kehangatan yang lama dirindukannya seakan kembali hadir.
“Mas Arian, aku kangen!” seru Aresa sambil menepuk punggung kakaknya.
“Gila, Dek. Kamu makin kurus aja sih. Di sana makan apa?” goda Arian sambil menarik koper adiknya.
“Ya makan yang ada, Mas. Namanya juga merantau,” jawab Aresa sekenanya.
“Langsung aja yuk, panas banget. Takut kulit mas gosong dek,” canda Arian.
“Kulit udah item gitu belagu banget, Mas. Padahal aku pengin langsung jalan-jalan muterin Jakarta bareng mas,” ujar Aresa sambil tertawa.
“Muter-muter nya besok aja. Mas ngantuk, mau tidur siang. Yuk, pulang,” ajaknya sambil menarik koper Aresa.
“Ya udah, ayo. Aku juga ngantuk,” jawab Aresa sambil memonyongkan bibir.
“Nggak usah monyong gitu, nanti kalau mau jalan-jalan mas suruh Vero nemenin kamu. Mas lagi sibuk banget, habis ini ada kelas,” ucap Arian menenangkan.
****
Mereka tiba di apartemen Arian yang mewah.
Begitu sampai, Aresa langsung ke kamarnya dan tidur. Sementara sang kakak bergegas ke kampus karena ada kelas dadakan.
Malam harinya, sambil menikmati teh hangat, mereka mengobrol panjang. Arian bercerita tentang kesibukannya sebagai dosen dan CEO. Ya, Arian Alfarisi—kakak kedua Aresa—adalah pria yang sangat dekat dengannya. Ia dosen di universitas ternama di Jakarta sekaligus CEO Alfarisi Group, perusahaan keluarga mereka.
Sementara Aresa bercerita tentang dunia kerjanya di dunia balap yang serba cepat. Ia menyukai kedekatan mereka yang tak berubah, meski jarak dan waktu memisahkan.
“Besok aku mau ke tempat Mas Vino, di batalyonnya,” kata Aresa.
Alvino Alfarisi atau yang biasa dipanggil Vino adalah kakak sepupu Aresa.
“Tumben kamu mau ke tempat panas begitu?” Arian menaikkan alis. “Bukannya kamu paling malas ke tempat kayak gitu? Katanya ribet ini itu?”
Aresa tertawa. “Kan aku udah janji, mau ketemu Gio.”
“Ketemu Gio atau mau tebar pesona sama ‘halo dek’, hahahaha?” ledek Arian.
“Apaan sih, cuma mau ketemu Mas Vino sama keluarganya. Ngapain tebar pesona ke ‘halo dek’? Seleraku itu bule, loh, Mas. Masa lama di Spanyol nggak dapet bule,” sahut Aresa kesal.
“Lho, bukannya kamu deket sama pembalap Spanyol itu?” tanya Arian penasaran.
“Hehe, iya. Tapi kan Mas tahu sendiri, benteng kita tinggi. Apalagi sekarang Bapak udah jadi pengasuh pesantren Mbah Kakung. Ya makin susah buat bersatu sama dia, Mas. Tinggi banget bentengnya,” jawab Aresa sedih.
Arian lalu bersenandung sambil berdiri menuju kamarnya,
“Nyari yang seiman aja biar nggak mangu... Jangan salahkan, pahamku kini tertuju...”
“Siapa yang tahu? Siapa yang mau? Kau di sana, aku di seberangmu... Cerita kita sulit dicerna, tak lagi sama cara berdoa...”
“Awas, lo, Mas. Lo aja jomblo kok sombong banget,” sahut Aresa gemas.
****
Keesokan harinya, Aresa pergi ke batalyon tempat sepupunya bertugas. Ia naik taksi online karena tidak memiliki kendaraan di Jakarta.
Setibanya di gerbang utama, seorang provost gagah langsung mencegat taksinya.
“Tujuan? Keperluan? Sudah buat janji?” tanyanya tanpa senyum.
Raut wajahnya yang serius membuat Aresa agak gugup. Ia hendak menjawab, tapi tiba-tiba Alvino muncul di samping taksi.
“Izin, Provost! Beliau sepupu saya,” ucapnya sigap.
Provost itu langsung memberi hormat.
“Siap, Kapt!” katanya sambil mempersilakan taksi masuk.
Aresa menatap sepupunya heran.
“Kamu Kapten, Mas? Kukira masih Letnan, hahaha.” ucap Aresa dengan tawa.
“Naik pangkat tiga bulan lalu, Res. KTP-mu mana? Walaupun kamu sepupuku, tetap wajib lapor ya,” ujar Alvino sambil menadahkan tangan.
Setelah izin selesai, mereka menaiki sepeda motor menuju rumah dinas Alvino.
Rumah dinasnya sederhana, tapi rapi dan nyaman. Aresa segera masuk dan menyalami Ayu, istri Alvino.
“Halo, Mbak! Aku kangen banget,” ucap Aresa sambil memeluknya.
“Mbak juga kangen, Res. Gimana, udah kecantol bule belum?” goda Ayu.
“Apaan sih, Mbak. Jangan ngeledek deh,” cemberut Aresa.
“Ganti baju sana, di kamar Gio. Mbak mau masak buat makan siang,” ujar Ayu.
“Iya, Mbak. Nanti aku bantuin... kalau nggak ketiduran, hehe,” jawab Aresa sambil tertawa.
Setelah berganti pakaian dengan kaus dan celana kulot yang nyaman, Aresa merebahkan diri di sofa depan televisi.
Saat hendak memejamkan mata, Alvino tiba-tiba masuk.
“Eh, Res. Sebaiknya kamu pakai jilbab, ya,” katanya.
Aresa langsung duduk dan menatapnya kesal.
“Ada apa, Mas? Tumben banget,” tanyanya.
“Temanku sebentar lagi datang. Dia orangnya tegas dan galak. Lebih baik kamu pakai jilbab kalau mau di sini. Atau ke kamar aja sana,” jelas Alvino cemas.
“Males banget, Mas. Aku mau tidur, capek,” jawab Aresa.
Alvino hanya menghela napas. Ia tak ingin memperpanjang. Aresa kembali merebahkan diri, memejamkan mata, menikmati keheningan.
Namun, tak lama kemudian, pintu tiba-tiba terbuka. Suara langkah tegap terdengar mendekat. Ia tetap memejamkan mata, berpura-pura tidur. Lalu, terdengar suara tawa—dan ia buru-buru membuka mata.
Di seberang sofa, seorang pria berseragam gagah duduk berhadapan dengan Alvino. Tatapannya tajam, misterius, dan sulit diartikan.
Mata mereka bertemu sejenak. Jantung Aresa berdebar tak karuan. Tanpa berpikir panjang, ia berlari ke kamar, meninggalkan pria itu dan kebingungan di ruang tengah. Ia tidak tahu bahwa tatapan itu akan menjadi awal dari kisah yang tak pernah ia bayangkan.
Jhonatan hanya bisa terdiam. Matanya terpaku pada pintu kamar yang baru saja tertutup. Pikirannya kosong, namun hatinya bergemuruh. Perasaannya campur aduk antara keterkejutan, kelegaan, dan rasa ingin tahu yang tajam. Ia masih tak percaya—gadis yang ia cari selama bertahun-tahun, yang ia kira hanya bayangan masa lalu, kini ada di hadapannya.
Alvino yang melihat tatapan Jhonatan mengikuti langkah Aresa hanya bisa tersenyum. Ia tahu Jhonatan sedang kebingungan.
“Jo, maafkan dia. Dia memang begitu,” katanya.
Jhonatan menoleh pada Alvino, matanya penuh pertanyaan.
“Jadi, dia… adikmu?” tanyanya, suaranya terdengar lebih lembut dari biasanya.
“Iya, Jo,” Alvino tersenyum samar, lalu buru-buru mengurai ketegangan. “Dia sepupuku. Namanya Aresa.”
Dunia Jhonatan seolah kembali berputar. Sebuah kelegaan besar membanjiri hatinya. Jadi, dia adik Alvino—berarti masih ada kesempatan baginya.
“Aresa,” gumamnya, bibirnya membentuk senyum tipis yang jarang terlihat. “Namanya Aresa.”
****
Mereka berdua duduk di ruang tamu. Alvino mengeluarkan beberapa berkas dan meletakkannya di meja.
“Ini, Jo. Sudah aku siapkan semua data yang kita butuhkan untuk pembangunan bisnis kita,” ucap Alvino, kembali ke mode profesional.
Jhonatan mengambil berkas itu, tapi matanya terus-menerus melirik ke arah pintu kamar Aresa. Pikirannya tidak fokus pada data atau angka. Otaknya seolah hanya berisi satu nama, satu wajah.
“Jo!” panggil Alvino, menyadarkannya dari lamunan.
“Ya, Vin. Teruskan,” kata Jhonatan, berusaha fokus.
“Aku sudah dapat info lahan di Banjarnegara, Jo. Tanah milik keluargaku. Ayahku sudah setuju, tinggal tunggu persetujuan terakhir dari Bapaknya Aresa,” jelas Alvino.
“Kenapa kamu milih Banjarnegara? Bukannya itu daerah tertinggal dan jauh dari pusat kota?” tanya Jhonatan.
“Jangan salah, Bro. Justru karena masih daerah tertinggal, kita bisa bangun usaha di sana dengan mudah. Kalau kita bangun tempat-tempat yang hits dan estetik, pasti bakal ramai,” jelas Alvino.
“Kamu ada kenalan di sana yang bisa diajak kerja sama?” tanya Jhonatan lagi.
“Tenang aja. Bapaknya Resa udah menetap di sana sama kakak pertamanya Resa. Lagi pula, di sana banyak santri Om ku yang bisa dipercaya,” jawab Alvino.
“Kamu yakin, Vin?”
“Yakin. Lagi pula, Resa nanti juga bisa bantu-bantu kalau lagi di kampung. Biasanya dia pulang ke Indonesia pas liburan musim panas atau akhir tahun. Bisa lah nanti disuruh-suruh,” ucap Alvino santai.
“Memangnya dia tinggal di mana?" tanya Jhonatan penasaran.
"Oh Aresa sejak usia 15 tahun, udah pindah ke Spanyol." pungkasnya
*****
Nama Aresa lagi-lagi membuat Jhonatan tersentak. Sebuah ide tiba-tiba muncul di kepalanya.
“Kenapa dia di Spanyol? Apa pekerjaannya?” tanyanya. Suaranya terdengar sangat tertarik, bahkan sedikit mendesak.
Alvino yang sudah terbiasa dengan sikap dingin sahabatnya agak heran melihat perubahan drastis itu. Ia akhirnya menjelaskan.
“Dia ahli telemetri, Jo. Kerja di tim balap motor internasional. Kontraknya lima belas tahun, dan otaknya dibayar puluhan miliar,” jelas Alvino dengan nada bangga. “Kalau kamu mau bikin bisnis otomotif, dia orang yang paling tepat.”
Jhonatan tertegun. Jadi, bukan hanya wajahnya yang mempesona, tapi juga otaknya. Sempurna.
“Jadi dia... juga anak seorang kiai?”
“Betul, Jo. Bapaknya kiai, meneruskan pesantren milik mertuanya di Banjarnegara. Selain itu, Bapaknya juga purnawirawan polisi, pangkat terakhirnya Kombespol kalau nggak salah,” jawab Alvino.
Jhonatan mengangguk pelan. Sekarang ia mengerti kenapa ia tak pernah menemukan gadis itu. Dunia mereka memang berbeda.
Jhonatan yang selama ini dikenal dingin dan irit bicara, tiba-tiba jadi lebih cerewet dari biasanya. Ia terus bertanya tentang Aresa—tentang pekerjaannya, kehidupannya, bahkan kebiasaannya. Ia seolah tak ingin obrolan itu berakhir.
Alvino akhirnya tertawa.
“Jo, aku tahu kamu tertarik sama Resa. Tapi kita fokus dulu ke bisnis kita, ya. Kalau nanti berhasil, baru deh kita ajak dia gabung,” canda Alvino.
Jhonatan hanya tersenyum tipis. Tapi dalam hatinya, ia sudah punya rencana. Ia tidak akan membiarkan kesempatan itu hilang begitu saja.
*****
Di dalam kamar, Aresa masih dilanda rasa malu yang luar biasa. Ia memeluk guling, wajahnya memerah.
“Bodoh! Kenapa aku lari?” gumamnya kesal.
Ia marah pada dirinya sendiri. Seharusnya ia bisa bersikap santai. Lagi pula, itu hanya pria biasa. Tapi tatapan pria itu membuatnya tak bisa berpikir jernih. Ada sesuatu yang dalam dan penuh makna di matanya—sesuatu yang membuatnya merasa seperti sedang ditelanjangi oleh pandangan.
“Tante Resa, ada apa?”
Aresa menoleh. Di sudut kasur, ada anak kecil yang sedang berbaring, menatapnya dengan penasaran. Anak itu adalah Gio, putra Alvino.
“Nggak ada apa-apa,” jawab Aresa singkat.
“Kamu dari tadi di sini?”
“Iya, Tan. Ayah bilang ada komandan datang. Aku nggak mau ketemu, jadi lari ke kamar Tan,” jawab Gio polos.
“Memangnya kenapa, takut sama komandan?” tanya Aresa sambil tersenyum.
“Katanya galak, suka marah-marah,” bisik Gio, membuat Aresa terkekeh.
“Memangnya kamu pernah lihat dia marah?”
“Belum, sih. Tapi Ayah sama Bunda suka bilang, Komandan Jhonatan galak kalau di lapangan. Kalau nggak disiplin, pasti kena marah,” ucap Gio lirih.
Aresa hanya tersenyum kecil. Jadi, pria itu namanya Jhonatan. Ia mendengus pelan. Pria berseragam memang begitu, pikirnya. Tapi kali ini, ada yang berbeda. Ada sesuatu di tatapan pria itu yang membuat dadanya bergetar.
Ia berusaha mengenyahkan perasaan itu. Ia tidak butuh drama. Ia hanya ingin tenang. Ia memejamkan mata, berharap bisa tidur dan melupakan kejadian memalukan tadi. Namun, bayangan mata Jhonatan terus muncul di benaknya. Perasaan aneh itu masih tertinggal—perasaan yang mengatakan bahwa pertemuan ini... bukan sekadar kebetulan.
“Ih, kenapa kebayang muka dia terus, sih. Ganggu banget,” gumam Aresa kesal.
“Tante ngomong apa?” tanya Gio penasaran.
“Eh, nggak. Tante nggak ngomong apa-apa kok,” jawab Aresa buru-buru.
“Tante suka ya sama Kapten Jhonatan? Hihi,” tebak Gio polos.
“Eh, sembarangan! Tante udah punya pacar, ya. Pacar Tante bule, lebih ganteng dari dia,” jawab Aresa sewot.
“Tapi kata Ayah, pacar Tante nggak bisa diajak nikah,” ujar Gio lirih.
“Ih, kok kamu tahu sih, Gi. Tante galau banget tahu. Tante pengin nikah, tapi benteng kita terlalu tinggi,” jawab Aresa dengan nada sedih.
“Bentengnya di robohin aja kan bisa, Tan,” jawab Gio enteng.
“Enteng banget ngomongnya, Gi. Masih kecil kok udah ngomongin masalah orang dewasa,” ujar Aresa sambil mencubit pipi Gio.
“Kata Mbah, Tante juga masih anak kecil. Suka marah-marah lagi,” balas Gio sebal.
“Sembarangan kamu, Gi. Tante udah dewasa, ya. Yang masih kecil itu kamu,” sahut Aresa sambil berbaring lagi, sebelum akhirnya tertidur.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!