NovelToon NovelToon

Aku Bukan Mesin ATM Keluargamu Mas

mesin ATM keluarga suamiku

Rani baru saja meletakkan tas kerjanya ketika suara Andi terdengar dari ruang tamu.

“Rani, apa kamu sudah mengirimkan uang untuk orang tuaku?” tanya Andi tanpa basa-basi.

Rani menahan helaan napas, tubuhnya masih terasa pegal setelah seharian berdiri di pabrik.

“Belum, Mas…” jawabnya lirih.

Mata Andi langsung melotot. Ia berdiri dengan kasar, kursi kayu di belakangnya sampai bergeser.

“Apa? Bagaimana bisa kamu belum mengirimkan uang? Rani, mereka butuh! Adikku harus bayar uang kuliah. Kamu tega kalau sampai dia berhenti sekolah?” bentaknya keras.

Rani menunduk, mencoba meredam gejolak hatinya. Wajah cantiknya tampak letih, rambut yang terurai sedikit berantakan.

“Mas… gajiku belum cair semua. Baru setengah, itu pun sudah habis untuk bayar listrik, cicilan, sama belanja kebutuhan kita. Aku… aku janji akan mengirim sisanya begitu dapat tambahan lembur.”

Andi mendengus kasar.

“Selalu alasan! Kamu pikir keluarga aku bisa makan dengan janji? Kamu istri macam apa, Rani?”

Rani menggigit bibir, matanya mulai berkaca-kaca.

“Aku sudah berusaha, Mas. Aku kerja dari pagi sampai malam, sementara Mas… uang Mas bahkan tidak pernah aku lihat untuk kebutuhan rumah.”

Andi membanting meja.

“Jangan balik nuduh aku! Aku sudah capek kerja jaga malam. Kalau uangku habis buatku sendiri, itu urusan aku! Tugasmu sebagai istri ya nurut, ngerti?”

Air mata Rani menetes, tapi ia menatap Andi dengan keberanian yang jarang ia tunjukkan.

“Aku ini istri, Mas. Bukan mesin ATM untuk semua keluargamu. Aku juga manusia, aku juga capek…”

Andi terdiam sejenak, wajahnya memerah menahan amarah. Tangannya mengepal.

“Rani, jangan coba-coba melawan aku! Kalau kamu nggak suka, pulang saja ke rumah orang tuamu! Tapi ingat, jangan pernah nyesel kalau aku beneran cari perempuan lain yang lebih nurut daripada kamu.”

Rani terhenyak. Dadanya bergetar menahan luka.

“Jadi… segitu saja nilai aku di mata Mas?” tanyanya pelan, hampir berbisik.

Andi tidak menjawab. Ia hanya mendengus, lalu mengambil jaketnya dan keluar rumah dengan langkah kasar, meninggalkan pintu berderit keras.

Rani terduduk di kursi, menutup wajahnya dengan kedua tangan. Untuk pertama kalinya, ia mulai bertanya pada dirinya sendiri… apakah cinta ini benar-benar layak dipertahankan?

Langkah Rani terasa berat ketika ia masuk ke kamar. Air matanya belum benar-benar kering, tapi ia berusaha menenangkan diri. Di balik lemari tua yang mulai berderit, ada sebuah kaleng biskuit berkarat.

Rani menariknya perlahan, memastikan tak ada yang melihat. Dengan hati-hati ia membuka tutupnya. Lembaran-lembaran uang kertas tampak tersusun, tidak banyak, tapi cukup untuk sekadar menjadi pegangan darurat.

Sambil memasukkan beberapa lembar dari gajinya tadi sore, ia berbisik lirih, seolah berbicara dengan dirinya sendiri.

“Aku harus punya simpanan… kalau-kalau Mas Andi benar-benar meninggalkan aku, atau kalau keadaan makin sulit. Aku nggak boleh terus-terusan bodoh.”

Tangannya bergetar saat merapikan uang itu. Bayangan wajah Andi yang penuh amarah masih terngiang di kepalanya.

Tiba-tiba pintu kamar berderit pelan. Rani terlonjak, cepat-cepat menutup kaleng itu dan menyelipkannya kembali di balik tumpukan kain.

Ternyata hanya angin. Ia menahan napas lega, lalu duduk di tepi ranjang.

“Andi nggak boleh tahu… kalau sampai dia tahu, tabungan ini pasti raib untuk keluarganya lagi.”

Rani mengelus perutnya yang kosong, tubuhnya terasa lemah. Ia sadar sudah jarang makan dengan benar demi menabung lebih banyak.

Dalam hati, ia berdoa lirih.

“Ya Tuhan… beri aku kekuatan. Jangan biarkan aku terus-terusan jadi budak cinta. Aku ingin bahagia, aku ingin hidupku berarti…”

Air matanya kembali jatuh, namun kali ini ada secercah tekaddalam sorot matanya.

Dengan langkah lunglai Rani mulai berjalan ke belakang dan mengerjakan pekerjaan rumah.

Rani baru saja selesai mencuci, terdengar suara ketukan keras di pintu. Tanpa menunggu dipersilakan, seorang wanita paruh baya masuk begitu saja. Wajahnya kaku, sorot matanya tajam penuh kecurigaan.

“Rani!” suara itu melengking. “Kamu ini gimana sih? Masa sampai sekarang belum juga kirim uang ke rumah? Menantu macam apa kamu, nggak tahu diri! Udah nggak bisa kasih cucu, sekarang malah bikin anakku pusing terus!”

Rani buru-buru mengeringkan tangannya dengan kain.

“Ibu… saya sudah jelaskan ke Mas Andi, gaji saya baru cair setengah. Sisanya masih dipotong cicilan, Bu.”

Bu Marni mendengus, tangannya bersedekap di dada.

“Alasan! Dari dulu selalu begitu. Kamu itu boros, Rani! Uangmu pasti habis buat dandanan sama beli barang-barang nggak penting. Coba lihat tuh, lipstikmu banyak, bajumu numpuk. Pura-pura miskin padahal jelas-jelas ngabisin uang buat diri sendiri!”

Rani menunduk, menahan perih di dada.

“Saya tidak pernah foya-foya, Bu. Semua gaji saya untuk kebutuhan rumah, untuk Andi, bahkan untuk adik Andi bayar kuliah. Saya hanya… menyisakan sedikit untuk…” kalimatnya tercekat, ia tak berani melanjutkan.

Bu Marni mendekat, menunjuk wajah Rani dengan telunjuknya.

“Kamu jangan banyak alasan! Kalau bukan karena kamu, Andi nggak akan hidup susah begini. Coba kalau dia nikah sama pilihan saya dulu—pasti sudah enak, nggak perlu repot kerja di pabrik segala!”

Air mata Rani jatuh, tapi ia menggenggam erat ujung kain di tangannya.

“Bu… saya sudah berusaha sekuat tenaga. Saya kerja siang malam demi rumah tangga ini. Apa salah saya kalau semua masih terasa kurang?”

Bukannya luluh, Bu Marni malah tertawa sinis.

“Salahmu jelas, Rani! Kamu yang nggak bisa ngatur uang. Kamu cuma bikin anak saya sengsara. Ingat, kamu itu cuma numpang hidup. Jangan sampai aku bener-bener usir kamu dari rumah ini!”

Pintu kembali terbuka. Andi pulang lebih cepat dari biasanya. Wajahnya terkejut melihat ibunya sedang berdiri dengan wajah merah padam, sementara Rani tertunduk dengan mata sembab.

“Ada apa ini, Bu?” tanya Andi.

Bu Marni langsung mengadu dengan suara lantang.

“Ndiiii! Istri kamu ini keterlaluan. Uangmu entah kemana, dia boros, nggak tahu diri, bikin kita semua susah! Kamu harus tegas, jangan mau diinjak-injak sama perempuan kayak dia!”

Andi menoleh ke Rani, wajahnya kembali diliputi

amarah yang tadi sempat reda.

“iBu benar, Rani!” suaranya meninggi. “Kamu itu boros! Aku capek kerja malam-malam, tapi kamu nggak bisa ngatur gaji. Lihat sekarang, ibu sampai harus datang sendiri ke rumah, malu aku!”

Rani menatap suaminya dengan mata yang sudah sembab.

“Mas… tolong dengarkan aku. Aku nggak boros. Semua uang itu aku pakai buat bayar kebutuhan rumah—listrik, cicilan, belanja, bahkan uang kuliah adikmu. Aku tidak pernah—”

“Cukup, Rani!” potong Andi, membanting tangannya ke meja hingga gelas di atasnya bergetar. “Kamu selalu merasa paling capek, paling berkorban. Kalau memang kamu merasa susah hidup sama aku, bilang saja! Jangan sok jadi korban di depan ibuku!”

Bu Marni mengangguk setuju, menambahkan minyak ke api.

“Betul, Ndi! Dari dulu aku udah bilang, perempuan ini cuma bikin repot. Kalau bukan karena Rani, kamu pasti hidup enak. Coba lihat, hampir lima tahun menikah, cucu pun nggak ada! Istri apa namanya kalau nggak bisa kasih keturunan?”

Ucapan itu menusuk hati Rani paling dalam. Air matanya jatuh deras, tangannya gemetar.

“Bu… jangan bawa-bawa itu. Saya juga ingin punya anak, tapi Tuhan belum kasih rezeki. Apa salah saya?” suaranya pecah, penuh luka.

Andi malah menggeleng keras.

“Salahmu, Rani! Kalau kamu benar-benar istri yang baik, pasti Tuhan udah kasih anak buat kita. Jangan nyalahin takdir kalau nyatanya kamu yang nggak becus jadi istri!”

Rani terisak hebat. Dadanya terasa sesak. Untuk pertama kalinya ia menatap Andi dengan pandangan yang tidak hanya penuh sedih, tapi juga getir.

“Jadi… semua ini salahku? Semua yang aku lakukan selama ini nggak ada artinya? Aku kerja banting tulang, aku berusaha jadi istri yang baik… tapi yang kalian lihat cuma kekuranganku?”

Andi tidak menjawab, hanya mengalihkan pandangan seolah merasa terganggu dengan tangisan istrinya. Bu Marni justru bersuara lagi, lebih tajam.

“Kalau kamu sadar diri, Rani, kamu harusnya pergi. Jangan bikin anakku susah terus. Kamu itu cuma beban!”

Rani terdiam. Air matanya berhenti seketika, diganti tatapan kosong. Hatinya remuk, tapi di balik keterpurukan itu, ada percikan kecil yang mulai menyala—pertanyaan yang sama terus menggema di kepalanya: Apakah aku masih sanggup bertahan di rumah ini?

Bu Marni

“Sudahlah, Andi! Ceraikan saja wanita seperti dia!” ucap Bu Marni dengan nada sinis, matanya melirik tajam ke arah Rani.

Andi mengepalkan tangan, wajahnya tegang.

“Dengar, Rani! Aku nggak mau tahu. Malam ini juga kamu harus kasih uang buat ibu! Jangan banyak alasan lagi!” bentaknya.

Rani terdiam. Tangisnya sudah habis, digantikan rasa perih yang menusuk hingga ke tulang. Ia tahu, membantah hanya akan membuat keadaan semakin buruk.

Perlahan, ia mengangguk.

“Baik, Mas… saya akan cari uangnya.”

Andi hanya mendengus, sementara Bu Marni menatapnya penuh ejekan.

“Huh! Dasar nggak tahu diri. Cepat, sebelum terlambat!”

---

Malam itu, Rani melangkah keluar rumah dengan langkah gontai. Angin malam menusuk kulitnya, namun hatinya jauh lebih beku. Ia memeluk tas kecilnya erat-erat, menelusuri jalanan menuju rumah tetangga yang sering ia mintai bantuan.

Ia mengetuk pelan pintu rumah seorang kenalan, Mbak Sari, tetangga yang bekerja sebagai pedagang kecil.

Pintu terbuka. Seorang wanita berusia tiga puluhan muncul dengan wajah heran.

“Rani? Malam-malam begini… ada apa, Mbak?”

Rani menunduk, suaranya bergetar.

“Mbak Sari… maaf mengganggu. Aku… aku butuh pinjaman uang. Besok akan aku ganti begitu gajiku cair lagi. Tolong, Mbak… ini penting.”

Mbak Sari menghela napas, raut wajahnya ragu.

“Ran, kamu sering banget minjam akhir-akhir ini. Uangku juga pas-pasan buat dagangan besok…”

Rani hampir menangis di tempat.

“Aku mohon, Mbak. Kalau tidak, aku bisa… aku bisa diusir dari rumah. Tolonglah…”

Hening sejenak. Mbak Sari akhirnya melangkah masuk, lalu kembali dengan beberapa lembar uang lusuh.

“Ini cuma ada segini. Aku nggak bisa kasih lebih. Jangan lupa balikin ya, Ran.”

Rani menerima uang itu dengan tangan gemetar.

“Terima kasih, Mbak… terima kasih banyak. Semoga Tuhan membalas kebaikanmu.”

Ia berjalan pulang dengan hati yang kian hancur. Uang itu memang bisa meredakan amarah Andi dan ibunya untuk sementara, tapi Rani sadar—semakin lama ia bertahan, semakin dalam luka yang harus ia tanggung.

Dengan rasa lelah rani mulai berjalan perlahan menuju rumahnya.

Dengan tangan gemetar, Rani meletakkan beberapa lembar uang lusuh di atas meja. Wajahnya pucat, matanya sembab karena tangis yang ditahan sejak tadi.

“Ini, Mas… Bu. Uang yang kalian minta. Maaf kalau tidak banyak, tapi semoga cukup untuk kebutuhan sementara.” ucap Rani lirih.

Andi langsung meraih uang itu dengan kasar, menghitungnya cepat. Wajahnya berubah sinis.

“Segini doang? Rani, kamu pikir kebutuhan keluarga sebesar ini bisa cukup? Jangan main-main sama aku!”

Bu Marni menatap uang itu dengan tatapan jijik, lalu melirik Rani dari ujung kepala hingga kaki.

“Astaga… segini saja susah payah? Malu aku punya menantu kayak kamu, Ran. Ibarat kata, kamu itu cuma numpang hidup, tapi masih juga nggak bisa ngangkat derajat keluarga ini.”

Rani mencoba menahan air matanya, ia menunduk.

“Maaf, Bu… saya sudah berusaha. Besok saya akan lembur lagi, mungkin bisa dapat tambahan…”

Belum sempat menyelesaikan kalimatnya, Andi membanting uang itu ke meja.

“Aku bosan dengan alasanmu, Rani! Kamu itu nggak becus jadi istri. Uangmu selalu habis, nggak pernah cukup. Kamu itu cuma beban!”

Kata-kata itu menusuk dada Rani lebih dalam daripada pukulan mana pun. Tubuhnya bergetar, tapi ia tetap berdiri, mencoba mempertahankan sisa harga dirinya.

“Mas… aku kerja siang malam, sampai tubuhku nyaris tumbang. Semua demi kamu, demi keluarga ini. Apa salahku kalau semua masih terasa kurang? Apa aku begitu tidak berarti di mata kalian?”

Bu Marni terkekeh sinis, suaranya tajam bagaikan pisau.

“Tidak berarti? Betul sekali! Kamu nggak bisa kasih anak, nggak bisa kasih kecukupan, cuma bisa nangis dan nyusahin. Kalau kamu punya malu, Rani, kamu harusnya pergi dari rumah ini!”

Andi menatap istrinya dengan dingin, tanpa sedikit pun empati.

“Kalau kamu nggak bisa berubah, Ran… jangan salahkan aku kalau aku benar-benar menuruti kata ibu.”

Rani terdiam. Dadanya sesak, matanya kosong. Tangannya mengepal di sisi tubuh, berusaha menahan gemuruh hatinya. Malam itu, ia benar-benar sadar… sekeras apa pun ia berkorban, tidak akan pernah cukup bagi mereka.

Setelah puas menerima uang lusuh dari tangan Rani, Andi dan Bu Marni saling bertukar pandang. Andi menyelipkan uang itu ke saku celananya tanpa sepatah kata pun.

“Sudah, Ndi. Ayo pulang. Malas aku berlama-lama di sini. Kalau terus sama dia, darahku bisa naik.” gerutu Bu Marni.

Andi hanya mengangguk, menatap istrinya sekilas tanpa rasa bersalah, lalu melangkah keluar bersama ibunya. Pintu menutup dengan bunyi keras, meninggalkan Rani seorang diri di ruang tamu yang hening.

Rani menatap pintu itu lama sekali. Wajahnya pucat, matanya kosong. Hatinya perih seolah teriris ribuan pisau. Tubuhnya begitu lelah, baik fisik maupun jiwa. Ia tahu, air matanya sudah tak berguna.

Perlahan, ia menyeret langkah masuk ke kamar. Lampu tetap padam, hanya cahaya redup dari luar yang menembus tirai tipis. Rani merebahkan tubuhnya di ranjang, menarik selimut tipis untuk menutupi tubuh yang menggigil. Perutnya keroncongan, tapi ia tak punya tenaga untuk memasak atau sekadar mencari makanan.

“Aku lapar… tapi biarlah. Mungkin tidur bisa mengusir rasa sakit ini…” bisiknya pada diri sendiri.

Mata Rani terpejam, meski hatinya terus terjaga oleh luka.

---

Pagi harinya, alarm ponsel tua berbunyi nyaring. Rani membuka mata dengan kantung mata membiru, tubuhnya masih terasa berat. Ia bangkit perlahan, menatap bayangan dirinya di kaca yang kusam. Wajah cantiknya tampak pucat, bibirnya kering.

Ia membuka lemari, memilih seragam kerjanya yang sudah mulai pudar warnanya. Setelah berganti pakaian, ia langsung mengambil tas usang yang sudah menemaninya bertahun-tahun bekerja di pabrik.

Tanpa sempat makan atau sekadar meneguk air hangat, Rani keluar rumah. Perutnya kosong, tapi waktu tak bisa ditawar. Pabrik menunggu, mesin-mesin menunggu, lembur panjang menunggu.

Di sepanjang jalan, langkahnya gontai. Sesekali ia merasakan pusing yang menusuk kepala. Namun di wajahnya, ia tetap berusaha memasang senyum tipis ketika berpapasan dengan tetangga. Ia tidak ingin ada yang tahu, bahwa di balik senyum itu, ia sedang menahan lapar… dan luka.

Dalam hatinya, Rani berbisik lirih,

“Semoga hari ini aku kuat. Aku harus kuat… meski untuk diriku sendiri tak ada yang peduli.”

Mesin-mesin pabrik berderu, suara logam beradu tak henti. Rani duduk sejenak di sudut ruang istirahat, mencoba meneguk air putih dari botol minumnya. Wajahnya masih pucat, tubuhnya lemas karena belum sarapan.

Tak lama kemudian, seorang wanita dengan rambut diikat tinggi dan wajah penuh ekspresi kesal menghampirinya. Dia adalah Nadia, sahabat dekat Rani yang sudah lama tahu lika-liku rumah tangganya.

“Ran, aku nggak habis pikir sama kamu!” suara Nadia terdengar tajam. “Kamu kerja banting tulang tiap hari, tapi uangmu habis buat suami dan keluarganya. Kamu ini sadar nggak sih, kamu cuma dijadiin mesin ATM, bukan istri!”

Rani menunduk, menatap jemarinya yang saling meremas.

“Nad… jangan bilang gitu. Bagaimanapun, mereka keluarga Mas Andi. Aku… aku hanya berusaha jadi istri yang baik.”

Nadia mendengus, meletakkan tangannya di pinggang.

“Istri baik? Istri baik itu bukan berarti ngorbanin diri sendiri sampai kelaparan, Ran! Lihat kamu sekarang, pucat, kurus, hampir roboh. Itu bukan pengorbanan, itu penyiksaan! Kamu sadar nggak, mereka nggak pernah mikirin kamu?”

Rani menghela napas panjang. Matanya berkaca-kaca, tapi bibirnya memaksa tersenyum getir.

“Aku tahu, Nad… tapi aku masih mencintai Andi. Aku nggak mau rumah tangga ini hancur.”

Nadia menepuk meja kecil di hadapan mereka, emosinya meledak.

“Ran! Cinta itu nggak buta kayak gini. Kalau Andi benar cinta sama kamu, dia nggak bakal biarin kamu menderita sendirian. Dia nggak bakal nurutin ibunya terus sampai kamu diperas habis-habisan!”

Rani terdiam. Kata-kata Nadia menusuk hatinya, karena itulah yang sering ia tanyakan pada dirinya sendiri tiap malam.

Dengan suara serak, ia berbisik,

“Kalau aku pergi, Nad… aku takut. Aku nggak punya siapa-siapa. Aku… aku cuma punya Andi.”

Nadia menatapnya iba, meski wajahnya masih kesal.

“Ran… kamu salah. Kamu masih punya dirimu sendiri. Jangan sampai kamu kehilangan harga dirimu gara-gara orang yang nggak tahu berterima kasih. Suatu hari, kalau kamu terus begini, kamu bisa benar-benar hancur.”

Rani menunduk semakin dalam, air matanya jatuh diam-diam ke lantai. Ia tahu sahabatnya benar. Tapi hatinya… masih terikat pada cinta yang kian lama hanya memberinya luka.

tak pernah perduli

Siang itu, suhu di dalam pabrik semakin panas. Mesin-mesin berputar kencang, suara bising membuat kepala Rani terasa berdenyut. Keringatnya bercucuran, tubuhnya kian melemah.

Ia mencoba berdiri tegak, tetap bekerja seperti biasa. Tapi perut kosong sejak semalam membuat tenaganya terkuras habis. Pandangannya mulai berkunang-kunang, langkahnya goyah.

“Ran! Kamu nggak apa-apa?” suara Nadia terdengar dari kejauhan, tapi bagi Rani, suara itu samar.

Dalam hitungan detik, tubuh Rani ambruk ke lantai dingin. Semua pekerja di sekitarnya menjerit kecil, beberapa buru-buru menghampiri.

“Rani! Astaga, Rani!” Nadia segera berlari, memeluk tubuh sahabatnya yang lunglai. Wajah Rani pucat pasi, napasnya tersengal lemah.

“Seseorang tolong ambil air! Cepat!” teriak Nadia panik.

Seorang rekan kerja menyerahkan botol air, Nadia segera membasahi bibir Rani perlahan. Tangannya gemetar, tapi matanya menyala dengan amarah sekaligus kepedihan.

“Ran… kamu denger aku nggak? Ini aku, Nad. Jangan paksain diri kayak gini, tolong…” suaranya bergetar.

Rani membuka mata setengah, pandangannya buram. Bibirnya bergetar, hampir tak terdengar.

“Aku… aku cuma… capek, Nad.”

Air mata Nadia jatuh. Ia menggenggam erat tangan sahabatnya.

“Ya Allah, Rani… lihat apa yang kamu lakukan pada dirimu sendiri. Demi orang yang bahkan nggak pernah peduli sama kamu! Ini sudah kelewatan, Ran. Kamu harus sadar!”

Rekan-rekan lain membantu mengangkat Rani ke ruang istirahat kecil di pabrik. Nadia terus mendampingi, menyeka keringat dari wajah sahabatnya dengan kain.

Dalam hati, Nadia bersumpah—ia tidak akan tinggal diam lagi melihat Rani dihancurkan oleh suami dan mertua yang hanya tahu menuntut.

Rani terbaring di ranjang sempit klinik pabrik. Selang infus menempel di tangannya, sementara wajahnya masih pucat pasi. Di sampingnya, Nadia duduk dengan tatapan penuh khawatir, tak lepas menggenggam tangan sahabatnya.

“Ran, kamu nggak mau pergi aja dari rumah itu?” tanya Nadia pelan, tapi tegas. Ada getar emosi dalam suaranya, seolah menahan amarah pada Andi dan keluarganya.

Rani hanya menggeleng lemah, matanya berkaca-kaca.

“Kalau aku pergi… aku harus pergi ke mana, Nad? Aku nggak punya siapa-siapa. Aku nggak punya tempat untuk pulang.”

Nadia mencondongkan tubuh, suaranya terdengar lembut tapi penuh tekad.

“Kamu bisa tinggal di rumahku yang lama. Masih kosong, nggak ada yang menempati. Aku bisa bantuin kamu mulai hidup baru, Ran. Tolong jangan terus-terusan menyiksa diri begini.”

Namun lagi-lagi, Rani menggeleng. Air mata jatuh pelan di pipinya.

“Aku takut, Nad… Aku nggak bisa bayangin hidup tanpa Andi. Meskipun dia sering menyakitiku… dia satu-satunya yang kupunya sekarang.”

Nadia menatap Rani lama sekali, hatinya remuk melihat sahabat yang begitu terikat oleh cinta yang salah. Ia menarik napas dalam, lalu berkata tegas,

“Ran… yang kamu punya sekarang bukan cinta, tapi belenggu. Kamu terus bertahan di dalam rumah yang membunuhmu pelan-pelan. Aku nggak mau suatu hari nanti cuma bisa dengar kabar kalau kamu benar-benar jatuh dan nggak bangkit lagi.”

Rani terdiam. Kata-kata itu menghantam hatinya seperti petir. Ia menatap Nadia, lalu menunduk lagi, menahan perasaan yang campur aduk—antara cinta, takut, dan juga keraguan yang mulai merobek keyakinannya sendiri.

---

Siang itu, setelah diperiksa oleh perawat di klinik pabrik, mandor datang menjenguk. Lelaki berperawakan tegap itu menatap Rani dengan wajah prihatin.

“Rani, kondisi kamu lemah sekali. Hari ini jangan kerja dulu. Pulanglah, istirahat di rumah. Nanti kalau sudah lebih baik, baru masuk lagi.” ucapnya tegas tapi lembut.

Rani ingin menolak, ingin tetap bekerja karena takut kehilangan upah. Namun tubuhnya benar-benar tak sanggup. Akhirnya ia hanya mengangguk pelan.

“Baik, Pak… terima kasih.”

Dengan langkah gontai, ditemani Nadia, Rani pulang ke rumah. Hatinya waswas, tapi ia mencoba meyakinkan diri bahwa Andi akan mengerti.

Namun sesampainya di rumah, ketakutannya terbukti. Andi sudah duduk di ruang tamu bersama Bu Marni, wajah keduanya menegang.

Begitu melihat Rani, Andi langsung berdiri.

“Kamu ini apa-apaan, Ran? Baru juga siang sudah pulang? Seenaknya aja bolos kerja! Kamu kira uang jatuh dari langit?!”

Rani terlonjak, buru-buru menjelaskan.

“Mas, aku… aku pingsan di pabrik. Mandor yang suruh aku pulang istirahat. Aku—”

Belum selesai bicara, Bu Marni menyambar dengan suara lantang.

“Alasan! Pingsan apanya? Pura-pura sakit biar nggak kerja, ya? Memangnya kamu pikir bisa hidup enak di rumah anakku kalau cuma ongkang-ongkang kaki? Dasar pemalas!”

Air mata Rani langsung mengalir, ia menunduk, tubuhnya gemetar.

“Aku sungguh sakit, Bu. Badanku lemah, aku bahkan belum makan dari kemarin…”

Andi mendengus, matanya melotot penuh amarah.

“Itu salahmu sendiri! Kamu yang nggak bisa atur badanmu, nggak bisa atur uang, nggak bisa atur apa-apa! Jangan manja, Ran. Kalau sakit sedikit aja udah tumbang, gimana bisa aku andalkan kamu sebagai istri?!”

Rani menatap suaminya dengan pandangan penuh luka, suaranya lirih bergetar.

“Mas… aku sudah berusaha. Aku kerja sampai habis tenagaku, semua demi kamu, demi keluarga ini. Apa masih kurang… pengorbananku?”

Namun, jawaban yang ia dapat hanyalah tawa sinis Bu Marni.

“Kurang? Jelas kurang! Selama kamu masih ada di rumah ini, anakku nggak bakal pernah bahagia. Kalau aku jadi Andi, udah kuceraikan kamu sejak lama!”

Andi terdiam sejenak, wajahnya dingin. Kata-kata ibunya seperti mengendap di pikirannya. Sementara Rani berdiri kaku, air matanya jatuh semakin deras. Saat itu ia sadar… tubuhnya boleh saja pulang untuk beristirahat, tapi hatinya tak lagi punya tempat untuk pulang.

Setelah puas melontarkan amarah dan caci maki, Andi meraih kunci motornya. Ia menatap ibunya lalu berkata pendek,

“Ayo, Bu. Kita pergi saja. Males aku lihat dia nangis mulu.”

Bu Marni berdiri sambil mendengus sinis.

“Iya, Ndi. Biarkan saja. Percuma ngomong sama perempuan nggak tahu diri.”

Keduanya keluar, meninggalkan pintu terbuka begitu saja. Rani berdiri kaku di ruang tamu, matanya masih sembab, tubuhnya lemah. Hening menusuk telinga, hanya suara detak jam dinding yang terdengar.

Perlahan, ia menyeret langkah menuju dapur. Perutnya perih minta diisi, tapi ia masih menyimpan harapan bisa menemukan sisa lauk yang dimasaknya pagi tadi.

Namun, yang tersisa di meja hanya piring kosong berlumur minyak. Lauk-pauk yang ia siapkan—sayur bening, ikan goreng, tempe—semuanya sudah habis. Yang tersisa hanyalah sepotong kecil singkong rebus di panci tua.

Rani menatap singkong itu lama sekali. Air matanya kembali jatuh.

“Aku masak untuk mereka… tapi tak sepotong pun tersisa untukku.” bisiknya lirih.

Dengan tangan gemetar, ia mengambil singkong itu, menaruhnya di piring, lalu duduk di kursi kayu. Giginya hampir tak sanggup mengunyah, bukan karena kerasnya singkong, tapi karena hatinya sudah terlalu lemah.

Saat itu, suara pintu pagar kecil terdengar. Seorang wanita paruh baya, tetangganya, Bu Wati, muncul sambil membawa kantong plastik berisi makanan. Wajahnya teduh, penuh iba.

“Rani…” panggilnya pelan. “Kamu nggak apa-apa, Nak? Dari tadi saya dengar ribut-ribut di rumahmu.”

Rani buru-buru menyeka air matanya, memaksa tersenyum.

“Aku… aku nggak apa-apa, Bu.”

Bu Wati menatap singkong di piring, lalu menatap wajah Rani yang pucat. Ia menghela napas dalam, lalu meletakkan kantong plastik di meja.

“Ini ada ayam goreng, sayur asem, sama obat penurun panas. Saya sengaja bawain buat kamu. Kamu butuh makan yang layak, Ran. Tubuhmu udah terlalu kurus.”

Rani tertegun, hatinya tersentuh. Air matanya jatuh lagi, kali ini karena rasa haru. Ia menggenggam tangan Bu Wati erat-erat.

“Terima kasih, Bu… terima kasih banyak. Saya… saya benar-benar nggak tahu harus bagaimana kalau bukan karena kebaikan Ibu.”

Bu Wati tersenyum hangat, menepuk punggung tangan Rani.

“Kamu jangan terus-terusan begini, Nak. Hidupmu masih panjang. Jangan habiskan dirimu untuk orang-orang yang nggak pernah menghargaimu.”

Rani menunduk, hatinya bergetar hebat. Kata-kata Bu Wati dan Nadia bergema di kepalanya. Mungkin, sudah waktunya ia benar-benar memikirkan jalan keluar.

---

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!