NovelToon NovelToon

MALAM TELAH TIBA

Prolog

"Bima mafianya!" Sinta berseru, membalas Bima yang sempat menyebutnya sebagai Mafia, dalam permainan yang sedang mereka lakukan.

"Enggak, lo yang mafia!" Balas Bima sedikit merutuk. Membuat mereka saling menunjuk satu sama lain karena tidak terima.

"Udahlah!" Endru menyela, dengan tangan terulur disela-sela pertengkaran teman-temannya, "Jadi, Warga yang nggak bersalah udah Mati dan Mafia yang menang"

"Tapi siapa Mafianya!?" Sinta bertanya dengan suara keras dan tentu dengan kebingungan karena belum kunjung menemukan siapa dalang dibalik permainan yang mereka lekukan.

"Ya jelas, itu lo!" Ujar Bima sontak, membuat mereka tertawa bersama dibelakang dengan suara yang sedikit mengganggu yang lain.

"Bukan gue! Ayo kita main ulang!" Sinta mendengus kesal saat Bima menuduh dirinya lagi. Lantas mereka serempak setuju untuk mengulang permainannya.

"Cih, berisik banget sih!" Hagian berdecak kesal. Harusnya perjalanan menuju karyawisata siang ini bisa dia nikmati dengan damai di alam mimpi, tapi mereka justru menganggu tidur siangnya.

Jihan beranjak dan memukul kedua orang yang duduk di depannya. Lantas berbalik pada Wira yang terduduk di bangku belakangnya, "Lo bisa pukul mereka biar diam nggak sih!?"

Wira berdecih, lalu memukul kursi nya, "Brengsek! Tutup mulut kalian atau gue pukul satu-satu!" Wira berteriak mengancam, membuat sekelompok murid yang menguasai kursi belakang bus dengan permainan mafia mereka, terdiam.

Bicara soal Hagian, Jihan, dan Wira. Mereka itu satu geng alias brandalan di kelas yang suka sekali berkuasa. Jadi tak heran kalau semua siswa di kelas malas berurusan dengan mereka. Yang notabennya suka sekali menggunakan kekerasan, jika keinginan bosnya (Hagian) tidak di turuti.

"Huh! Sok berkuasa banget sih!" Melanie berdecak, lantas memilih bermain dengan ponselnya.

Pada sisi yang lain, sebuah buku yang tergenggam erat terjatuh, membuat sang empu terbangun dengan cukup kejut. Entah mimpi atau kenyataan, sesuatu membuatnya kebingungan.

"Lo mimpi buruk lagi?" Dion tersenyum tipis sambil meraih buku teman sebelahnya, menatap wajah khas bangun tidur Khalil sebelum memberikannya.

"Mm, kayaknya. Makasih” Khalil menyahut, menyimpan buku bacaan ke dalam tas sebelum mendongak saat kebisingan dibelakang membuatnya sedikit penasaran.

Ada banyak tipe manusia di bumi, dikemas lebih ringkas di dalam kelompok belajar. Termasuk kelasnya, banyak sekali manusia-manusia unik. Sekelompok murid yang suka membuat kegaduhan, kelompok yang mencairkan suasana, kelompok yang tidak suka kebisingan, atau salah satunya Khalil, yang tidak begitu peduli dengan kepribadian teman-temannya.

"Mereka kasar banget” Khalil kembali duduk.

"Biarin aja, mereka nggak akan berhenti” Dion menyahut dengan kedua mata tertutup dan kepalanya yang menyandar pada kursi.

"Bener juga sih" Khalil bergumam, senyuman tipis terukir di wajahnya, lantas berbisik kepada Dion "Arsya ngelihatin lo tuh”

Tanpa banyak bicara, Dion membuka matanya, melihat kearah Arsya lantas kembali mengalihkan pandangannya dengan cepat kearah Khalil.

"Jangan sok tahu"

Khalil tertawa kecil saat melihat reaksi Dion. Mungkin beberapa murid yang paham, mereka memang punya kedekatan khusus. Maksudnya Dion dan Arsya, terlihat seperti saling suka.

Pandangannya lantas teralih ke bagian depan, pada supir bus yang tengah sibuk menelpon seseorang.

"Halo? Maaf, apa yang anda katakan? Bisa katakan sekalu lagi, Pak? Bisa dengar saya? Halo?"

Khalil menghela napas setelah kebingungan tiba-tiba menguasai dirinya. Gerak-gerik yang mencurigakan, terkesan aneh bagi pria itu. Namun, Khalil berusaha mengabai, mengalihkan pandangannya ke arah jendela. Menikmati perjalanan panjang yang jarang sekali dia rasakan.

Khalil mengrejab, “kok kaya nggak asing ya?”

Tidak ada satupun rumah yang terbangun disepanjang jalan, bahkan tidak ada orang atau burung beterbangan di langit. Hanya hening, seperti tidak ada kehidupan, dan menimbulkan pertanyaan dipikiran Khalil.

Namun kembali lagi, Khalil berusaha mengabaikannya dan beranggapan semua hanya perasaannya saja. Pria itu menetralkan isi pikirannya yang tegang. Lantas menyandarkan tubuhnya kembali ke kursi bus.

"Heh! Coba lihat, cakep banget kan?" Yuna tersenyum senang melihat hasil foto yang baru saja dia ambil, tentu dengan segala obsesinya dengan Dion, memotret pria itu saat sedang tertidur pulas.

Tepat saat Yuna memperlihatkan foto itu kepada teman-temannya. Khalil hanya melirik, seperti cinta segitiga, begitulah Yuna menyukai Dion saat Dion dan Arsya di gosipkan saling suka.

"Dion lagi? Gue bakal bilang sama Dion kalo lo diem-diem fotoin dia” Fattah berujar, sambil menunjuk kearah Dion.

Mendengar ujaran Fattah, Yuna tentunya tidak terlalu memperdulikan, "bilang aja, lagian apa peduli gue sih, Fat"

"Oh kalau begitu biar gue bilang sekarang!" Olive berujar.

"Stt, berhenti nggak lo!" Yuna menutup mulut Olive sebelum benar-benar berseru dan mempermalukan dirinya didalam bus ini. Walaupun begitu, dia tetap saja malu karena sebagian dari meraka juga sudah melihat wajahnya yang memerah.

Selamat Datang

Menjelang sore, bus melanju sedikit lebih cepat menuju penginapan retret. Bangunan yang jadi tempat perjalanan karyawisata murid-murid kelas 11 SMA Bunga Bangsa. Tempat dimana mereka akan bersenang-senang dan sejenak menjauh dari dunia yang penat.

Pada halaman yang terlihat asri. Sebagian murid menghirup udara sejuk dengan bahagia, sisanya hanya menghela napas malas. Mereka memutuskan untuk segera menurunkan barang bawaan dari bagasi.

"Arsya!" Dion berteriak kecil, mendekat kearah Arsya yang sedang berusaha mengangkat koper miliknya.

"Biar gue bantu”

"Eh? Nggak usah, lo juga lagi repot bawa barang bawaan lo” Arsya berujar, menatap kearah Dion yang sudah lebih dulu meraih koper miliknya.

"Nggak papa, gue nggak repot kok” Balas Dion dengan senyum tipis. Sebelum mereka lantas berjalan berdampingan, memasuki halaman pusat retret.

"Makasih, Dion" Arsya berucap cukup gugup, dengan wajah memerah akibat perlakuan Dion.

Jauh dari sana, Yuna berdecak kesal karena perlakuan yang dia inginkan justru didapatkan Arsya, bahkan tanpa dia minta. Gadis itu menarik kopernya kasar sebelum menyusul murid lain yang memasuki tempat penginapan.

"Dasar bucin” Khalil menghembuskan napasnya, melihat bagaimana perlakuan Dion kepada Arsya dan melihat raut wajah cemburu Yuna.

Khalil mengerenyitkan dahi sambil menatap sekeliling tempat, "Kayaknya nggak asing deh? Tapi emang gue pernah kesini?” Khalil bergumam pada dirinya sendiri.

"Heh, brengsek! Lo bakal terus disitu kayak patung?!” Suara Jihan terdengar mendominasi. Khalil mengalihkan pandangan kedepan, dimana Jihan, Wira, dan Hagian berada.

"Oh—Ya" Khalil bergumam pelan. Lantas berjalan memasuki tempat itu, berdampingan dengan Hagian dan kedua teman nya, atau musuh?

Sampai di dalam hall, hal pertama yang mereka lihat adalah sebuah patung wanita berkarisma indah, dengan posisi duduk anggun, dan bercat putih. Seperti pada gallery seni, yang sempat sesekali Khalil temui.

"Kenapa familiar banget?" Khalil bergumam kembali dan menatap sekeliling, untuk yang kesekian kali ia merasa ada keanehan ditempat ini.

Pindai Kode QR Untuk Terhubung ke Wifi.

"Apa sih, Khal?" Hagian membuka suara. Pria itu sempat mendengar gumaman Khalil, namun tidak terdengar dengan jelas karena bising teman-temannya memenuhi ruangan.

"Enggak” Sahut Khalil, lantas memindai kode QR yang ada di depan patung itu tanpa banyak berpikir. Disusul Hagian dan semua murid yang belum sempat memindai kode.

— 

..."Selamat Datang Di Pusat Retret Bunga Bangsa"...

Fattah merekam teman-teman kelasnya yang sedang melakukan kegiatan mereka di Aula. Tapi lebih memilih menyorot pada Lisa daripada yang lainnya. Bisa dibilang, Fattah menyukai Lisa. Gadis dengan tubuh jenjang yang menguasai klub tari sekolah, jadi salah satu idola di SMA Bunga Bangsa.

Pria itu mengalihkan kameranya setelah sorot itu diketahui Lisa, mengarah pada Dion dan Yuna yang duduk berdampingan.

"Ah, Yuna pasti godain dia" Gumam Fattah.

Sejauh ini, Lisa adalah objek paling indah untuk di sorot kamera miliknya. Namun entahlah, Fattah masih terlalu gengsi untuk mengakui perasaannya, dan memilih menyorot orang lain saat lagi dan lagi Lisa mengetahui keberadaannya.

Dari kejauhan, Fattah dapat menyaksikan bagaimana Arsya menatap ke arah Dion. Padahal ada Merah yang tengah duduk bersamanya, yang terasa terabaikan.

"Sya" Merah berujar, tangan nya memukul bahu Arsya dengan pelan "Lo ngeliatin dia?"

"Uh? Gue nggak ngeliatin siapa-siapa!" Elak Arsya.

Tentu saja, Merah tak percaya dengan jawaban yang keluar dari bibir Arsya. Lagian, jelas sekali kalau gadis ini sedang menguntit Yuna yang asik berbincang dengan Dion.

"Masa sih? Denial banget sih lo, Sya. Ketara banget kok lagi ngelihatin Dion sama Yuna, lo cemburu?" Ujar Merah, sembari memainkan ponselnya.

Walaupun terkesan cuek dan tidak banyak bicara, Merah cukup peka, dan peduli. Apalagi soal sahabatnya ini.

"Apaan sih, enggak kok" Arsya mendesah kecewa. Lantas mengalihkan tatapan jauh dari Dion. Membuat Fattah terkekeh pelan dibalik kamera yang masih sibuk menyorot ke arah Arsya.

"Jadi ini segitiga?" Gumamnya, mengajukan pertanyaan pada dirinya sendiri.

"Kenapa Wifi nya nggak nyambung sih?!" Khalil mendesah kecewa, ia terduduk dan menyandarkan tubuhnya pada tembok.

"Bahkan nggak ada sinyal, anjir!" Khalil berujar lagi sambil menghembuskan nafas beratnya, lantas mengalihkan pandangan kearah Dion yang berlari menghampiri Pak Cipto, guru mereka.

"Ketua kelas! Bapak harus pergi menjemput teman-teman yang lain, jadi kau bertanggung jawab untuk menjaga teman-temanmu disini, ya!?" Suara Pak Cipto terdengar tegas.

Sementara yang lainnya menghentikan kegiatan mereka, terdiam sambil menyimak agaknya percakapan Pak Cipto, dan ketua kelas terarah pada semua murid yang ada di aula.

"Jangan melakukan apapun dan tetaplah dikamar kalian. Ketua kelas, tolong awasi mereka semua agar tidak membuat kekacauan" Pak Cipto berujar lagi.

"Baik, Pak. Terima kasih atas kepercayaan Bapak, saya akan berusaha mengawasi teman-teman dengan baik" Dion sedikit membungkukkan tubuhnya, memberikan penghormatan sebelum Pak Cipto beranjak.

"Bagus, bapak akan pergi sekarang. Jadi mungkin bapak akan kembali besok pagi. Tetaplah memakai seragam"

Setelah Pak Cipto pergi, suasana aula kembali jauh lebih berisik. Kegiatan awal, dance dengan speaker yang di sediakan, saling membentuk kelompok bicara, atau sibuk dengan ponsel masing-masing.

"Liat deh, dia ngerekam kita lagi" Melanie berujar pada teman-temannya, saat melihat Fattah masih merekam ke arah mereka.

Duarrr…

Tepat saat suara terdengar cukup menggelegar didalam aula, lampu padam bersama kericuhan dari masing-masing murid. Sebagian besar merancau ketakutan, sisanya masih berusaha tetap tenang sambil mengintai ruangan. Berharap hanya sebuah candaan semata.

"Oh! Ayolah!"

"Apa-apaan sih?"

"Hidupkan senternya!"

"Woi! Apaan sih itu, nggak usah bercanda?" Khalil berujar, menunjuk kearah tengah aula. Menyipitkan kedua matanya agar terlihat lebih jelas. Bersama seru kejut dari semua orang.

"Jangan bercanda!" Agil melempar bola yang sembari tadi menemaninya bermain, kearah seseorang yang menyelimuti tubuhnya sendiri dengan kain berwarna putih.

"Astaga, dia kenapa sih!"

"Lo serius?"

"Aish, Dasar gila!"

"Dia ngeselin banget!"

Mereka berujar dengan kesal, melihat tubuh Bima dibalik selimut putih itu, tersungkur ke lantai sambil meringis kesakitan.

"Hei! Dengerin baik-baik!” Bima berdiri dan menatap satu persatu teman kelasnya yang tersebar didalam aula.

"Ini yang gue denger dulu ya! Ada anak SMA cewek, yang bunuh diri disini,"

Bima menelan ludahnya susah payah. Sangat berat menceritakan fakta disaat semua orang sudah lebih dulu tidak percaya dengan kata yang keluar dari mulutnya.

"Jadi ada beberapa hal yang nggak boleh kalian lakukan di tempat ini, contohnya jangan ngaca pas malem"

"Terus kalok ada orang yang megang pergelangan kaki kalian pas malem, jangan melihat kebawah! Kalok aja kalian ngelanggar peraturan itu ..."

"HANTU BAKAL MUNCUL!!!" Bima tiba-tiba berteriak dan berlari mengelilingi mereka, lantas membuat semua orang ikutan berteriak histeris. 

"HEI!"

"Enyahlah! Si brengsek gila!"

Mereka berujar, sesekali melempari Bima dengan botol plastik.

"Dasar gila!" Endru memukul kepala Bima dengan sedikit keras.

"Kalian takut?" Bima tertawa melihat reaksi teman-temannya, lantas ia berjalan pergi dari tempat itu. Tidak peduli dengan tatapan kesal dari semua orang.

"Aish! Sialan!"

"Udahlah, biarin aja si brengsek itu! Ayo balik ke kamar kita" Mereka mengangguk. Lantas segera berkemas dan berjalan keluar aula. Lagi pula malam juga sudah datang dan ini waktunya untuk beristirahat.

"Dasar Bima gila!" Khalil terkekeh pelan.

Permainan Dimulai

Farhan dan Rizal berjalan berdampingan, terlihat gugup dan takut. Berusaha seberani mungkin menatap kearah Hagian dan kedua temannya. Siapa lagi kalau bukan Jihan dan Wira.

"Kapan lo bisa balikin uang gue?" Rizal berujar dengan gagap "Gue harus bayar uang spp"

Wira tampak menundukkan kepala sesaat, sebelum berjalan mendekat kearah Rizal, dan menepuk bahunya cukup keras.

"Ah, jangan gitu, kita kan teman" Wira berujar, sambil mencekam bahu Rizal, membuat pria itu sempat meringis kesakitan "udah gue bilang, gue juga bakal bayar bunganya!" Lanjut Wira, geram yang tampak, seperti Wira ingin memukul Rizal saat itu juga.

"Kasih gue waktu lagi" Wira memilih mendekat kearah Hagian dan Jihan, daripada harus berurusan dengan Rizal yang berujung memancing emosinya lebih parah.

"Tapi, gue butuh," Ucapan Rizal terhenti saat mendengar teriakan dari Jihan. Pria itu melangkah mendekati Rizal, memberikan sensasi ketakutan dari dua belah pihak. Farhan dan Rizal, dua pria yang sering sekali jadi target empuk geng Hagian.

"Lo bukan rentenir!? Kita kesini buat liburan, bukan nagih hutang, brengsek!" Ujar Jihan lagi dengan gema berulang didalam aula.

Rizal hanya dapat menundukkan kepalanya karena takut. Sementara Hagian yang sembari tadi diam, mulai bergerak melangkah kearah Jihan, memukul kepala sahabatnya cukup keras.

"Diamlah!" Desis Hagian, lantas bergerak mendekat kearah Farhan, "Hey, bajingan! Lo juga minjemin mereka uang?"

"Iya. Tapi gue bisa nunggu, nggak usah buru-buru balikinnya" Farhan menyahut.

"Berapa totalnya?" Hagian mendorong bahu Farhan, dengan seringai di wajahnya, "Gue yang bakal bayar”

"Dan sebagai balasannya, lo harus mau main basket sama gue, Farhan" Hagian berujar dengan suara menuntut, bersama tangannya yang meremat celah rambut di kepala Farhan.

Farhan menatap takut pada pandangan intimidasi dari ketiga brandalan itu. Farhan bahkan tidak mempunyai alasan untuk menolak ajakan kasar Hagian, walaupun ia tahu bahwa ia akan dipukuli lagi.

Khalil berdecak kesal. Sesekali mengotak-atik ponselnya dengan kasar, "Sialan!! Kenapa HP gue jadi gini sih!?"

"Khal! Lo berisik banget, emangnya HP lo kenapa dah?" Endru bertanya cukup bingung, mendapati perlakuan Khalil yang terlihat sedang merutuki ponselnya sendiri.

Khalil menghembuskan nafas beratnya, lalu menunjukkan benda pipih itu pada Endru "Liatin!" ia menggerakkan layar dengan telunjuknya, namun tidak ada pergerakan sama sekali.

"Gue nggak bisa buka aplikasi apapun, sialan! Gue bosen banget” runtuknya.

"Paling juga lagi nge-lag, tunggu aja bentar” Sahut Endru.

Bisa saja di tempat baru, sesimple hal yang sedang di alami Khalil terjadi. Apalagi tempat retret yang dipilih sekolahnya juga terbilang jangkauan yang sulit mendapatkan sinyal.

"Wait! Lo masang aplikasi baru ya? Gimana caranya? Padahal disini nggak ada wifi sama internet” Endru lantas berlontar kembali sambil melirik pada ponsel Khalil.

"Ha? Aplikasi?" Khalil mengenyit bingung. Ia lantas memeriksa ponselnya kembali "Gue nggak pernah masang aplikasi baru. Coba lihat HP lo, gue pastiin juga”

Endru lantas memberikan ponselnya pada Khalil, kebingungan dengan situasi yang sedang terjadi pada mereka berdua.

Harusnya dengan kode QR yang di berikan, membuat akses internet jauh lebih mudah, dan membuat mereka menikmati karyawisata dengan nyaman. Tapi kenapa tiba-tiba semua sinyal hilang dan tidak ada jaringan yang tersambung?

"Udah gue duga! Ini terpasang secara otomatis! HP lo juga lagi masang aplikasi ini” Sentak Khalil, memberikan ponsel itu kembali ke Endru.

"Serius? Gue nggak pernah memasang aplikasi ini”

Tut…

Khalil menekan aplikasi yang telah terinstall di ponselnya, tanpa peduli Endru juga melakukan hal yang sama. Tampilan layar yang tidak pernah mereka temui di beberapa aplikasi sebelumnya.

"Ini aplikasi apaan dah? Baru rilis banget sampe marketingnya aja langsung maksa orang buat cuman bisa buka ini doang?"

"Ini pasti perbuatan Bima si gila itu” Gumam Khalil.

...Selamat Datang......

...Permainan Mafia akan dimulai sekarang....

...Periksa identitasmu....

Khalil dan Endru sejenak diam dalam kebingungan mereka, "Permainan Mafia? Yang bener aja"

"Gue makin yakin sama ucapan lo barusan. Ini pasti perbuatan Bima" Ujar Endru sebelum benar-benar menekan lagi layar ponsel miliknya.

Endru, identitasmu adalah Warga.

"Btw, gue warga, Khal. Lo dapet apa?" Endru mendongak, menatap Khalil yang masih fokus dengan layar miliknya.

"Gue ..."

Khalil, identitasmu adalah Polisi.

"–Warga." Lanjutnya. Dia masih berpikir, jika ini hanya permainan belaka dari Bima, jadi dia tidak perlu membongkar identitasnya kan?

"Aish, payah banget! Gue pikir kita berdua bakal dapet peran penting” Endru mendesah kecewa.

"Ya udahlah, lagipula ini cuman permainan aja kan? Jadi lo nggak usah anggep serius" Ujar Khalil sambil terkekeh pelan.

Ponsel yang masih setia ada di genggaman, menampilkan notifikasi baru. Masing-masing dari mereka melihat kearah layar, tentu masih dengan keraguan sekaligus rasa penasaran.

Terdapat beberapa kolom pilihan seperti, Menu Utama, Obrolan, Pilihan, Aturan, Status Pemilihan, Peserta.

1. "Identitas peserta akan ditetapkan diam-diam. Identitasnya adalah Warga, Dokter, Polisi, dan Mafia” Seperti, Dokter bisa mencegah peserta pilihan dieksekusi.

"Para Peserta mempunyai waktu dari pukul 8 pagi hingga tengah malam” Untuk mencari Mafia melalui pemungutan suara.

"Pada tengah malam, orang dengan suara terbanyak akan di eksekusi" Lalu, identitas peserta dieksekusi akan terungkap.

"Setelah pemungutan suara tengah malam, semua peserta kecuali Mafia akan tertidur"

"Saat para peserta tertidur di malam hari, Mafia punya waktu sampai pukul 6 pagi untuk mengeksekusi sendiri partisipannya"

"Jika tim Warga atau tim Mafia mengalahkan tim lain dan menang maka permainan akan berakhir" Warga, Polisi, dan Dokter satu tim.

“Gue nggak nyangka Bima bakal seniat ini buat aplikasi" Endru bergumam, lantas menatap kearah Khalil yang masih terfokus pada ponselnya.

Semua peserta identifikasi Mafia dan mulai memilih.

Tinggg…

Pesan dari Bima

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!