NovelToon NovelToon

MISTERI TELAGA GINTUNG

Prolog

Pada tahun 1968, disebuah desa bernama Tiga Sari (Nama samaran) yang terletak di Kecamatan Jatinegara. Tegal-Jawa Tengah, terlihat suasana yang begitu sangat tentram dan damai.

Para warganya bekerja sebagai petani dan juga memelihara hewan kerbau. Kehidupan mereka tidak ada yang mewah, dan terkesan sangat sederhana.

Rumah-rumah masih terbuat dari anyaman bambu atau biasa disebut gedek/tepas, dan atapnya juga terbuat dari daun kelapa ataupun daun pohon aren yang disemat menggunakan sembilu.

Lantainya masih terbuat dari tanah merah yang dipadatkan, dan makanan khasnya adalah sega jagung atau dikenal jagung tua yang ditumbuk kasar dan dimasak hingga lunak, lalu disajikan dengan sambal teri.

Desa ini dikelilingi oleh perbukitan dan hutan yang masih rimbun serta juga lebat. Disetiap paginya, terlihat kabut tebal yang menyelimuti desa dan memberikan rasa dingin yang cukup membekukan tulang.

Di desa itu juga memiliki sebuah kali yang cukup besar dan juga panjang, serta kedalaman yang sedang, dimana kali itu disebut Kali Gede.

Didesa ini juga, terdapat sebuah pohon Gintung (Guntung, Sikkam, gadog, sesuai daerah masing-masing), yang mana pohon itu tumbuh dengan ukuran sangat besar dan tinggi menjulang hingga setinggi lima puluh meter.

Pohon ini diperkirakan berusia ratusan tahun, dan dari bawah akar pohon gintung tersebut, terdapat mata air yang mengalir membentuk sebuah cekungan yang lama-kelamaan menjadi sebuah telaga yang kurang lebih seluas sepuluh meter.

Dimana telaga yang memiliki air jernih tersebut tidak pernah kering meski kemarau panjang melanda.

Didesa nan damai itu pula, hidup seorang pemuda yang bernama Saryat. Ia adalah sosok yang biasa saja dan memiliki wajah yang juga biasa, dan tidak ada hal istimewa dalam dirinya. Ia juga hanya lulusan kelas dua Sekolah Dasar, sebab sekolah begitu sangat jauh sehingga membuatnya harus putus sekolah karena jalan yang dilalui sejauh sepuluh kilometer dari kediamannya.

Hal itu bukan hanya dirinya saja, tetapi ada banyak anak yang terpaksa putus sekolah dan akhirnya membantu orangtua mereka dikebun dan juga sawah untuk bertani, dan nantinya hasil pertanian akan dijemput oleh pengepul, dan dijual ke kota, hasilnya akan digunakan membeli kebutuhan sandang pangan dan keperluan lainnya.

Saryat, pemuda berusia dua puluh tahun, yang memiliki kulit kecoklatan dan cenderung gelap karena seringnya berjemur dibawah terik matahari.

Dihari yang masih terlalu pagi, ia sedang duduk melamun sembari mengunyah potongan singkong rebus dengan taburan parutan kelapa yang diberi garam dan ditemani secangkir kopi hitam.

Angannya sedang melambung, sebab ia memikirkan kapan mendapatkan jodohnya, karena usianya yang masa itu dianggap sudah pantas berumah tangga, dan ditambah teman sebayanya sudah banyak yang menikah, membuat ia begitu sangat minder dan juga ingin segera mendapatkan jodoh.

Sarimah, gadis yang merupakan kembang desa Tiga Sari, dan seorang dara yang begitu sangat cantik dan lembut hati menjadi sosok yang paling ia inginkan untuk menjadi pendamping hidupnya.

Akan tetapi, kondisi keuangannya yang tidak memadai, membuat ia harus bekerja lebih keras dan banting tulang untuk mengumpulkan pundi-pundi uangnya.

"Kang, sudah siang, kamu gak ke sawahnya Kang Suta?!" tanya Ayu, membuyarkan lamunan sang pemuda.

Ia terlihat sedang membawa sebuah ember berwarna hitam diatas kepalanya dan berisi pakaian kotor untuk dicuci dikali.

Ayu adalah adik bungsu Saryat. Mereka sudah Yatim sejak masih kecil, sebab ayahnya meninggal tergigit ular gibug saat sedang bertani, dan membuat kulit kakinya melepuh. Karena lambatnya penangangan, dan pada masa itu belum ada anti venomnya, dan juga rumah sakit yang cukup jauh, membuat ayahnya tidak tertolong, dan akhirnya meninggal dunia.

Suara omelan Ayu yang cukup keras, membuat Saryat tersentak, dan tentu saja ia terkejut, lalu menatap adiknya dengan wajah melongo. "Sudah jam berapa?" tanyanya dengan panik, dan menyambar topi capilnya yang ia letakkan diatas balai bambu dan berada disisi kanannya.

"Sudah jam delapan. Kebanyak ngelamun, entah apa yang dikhayalkannya," sindir Ayu dengan nada mencibir, sebab akhir-akhir ini melihat kakak lelakinya sering banyak merenung. "Pasti lagi mikirin mbak Sarimah, ya? si Kembang Desa? Ngaca, Kang, ngaca, kita ini cuma orang gak punya jangan mengkhayal terlalu tinggi, nanti kalau jatuh, sakit," ledek Ayu, dan mencoba menyadarkan angan kakak lelakinya, jika semua itu hanyalah mimpi yang tak kan jadi nyata.

"Kamu ini, loh, Yu. Seharusnya kamu dukung Kakang-mu ini, kasih semangat gitu lho, ini kok justru diledekin," sahut pemuda itu dengan santai. Pembawaannya yang kalem tak membuatnya marah apalagi tersulut emosi dengan ledekan adiknya yang bawel, tetapi baginya, Ayu adalah gadis yang baik, meski sedikit ceriwis.

Mendengar keributan diluar, Tainah yang baru saja selesai dari dapur menghampiri kedua anaknya ke teras rumah. Disana terdapat balai bambu dan hasil karya Saryat yang perlu diapresiasi, meskipun kaki balai itu tinggi sebelah.

"Ada apa ini, kenapa sangat berisik sekali? Malu, Nduk didengar tetangga," ucap Tainah, sembari membenahi gelungan rambutnya yang sudah memutih. Ia mengenakan kemben yang dipadu cardigen kebaya tanpa kancing, dan dibalut dengan kain jarik bermotif lintah yang dililit stagen warna hitam. Wanita berusia empat puluh tahun itu terlihat membawa sabit dan juga akan berangkat kekebun, untuk mengambil upah dikebun Kang Karyo.

"Ini, Mbok. Kang Saryat berkhayal pengen nikahi mbak Sarimah si Kembang Desa," Ayu memanyunkan bibirnya.

Tainah menoleh kearah puteranya. Pada masa tahun itu, umur Saryat sudah pantas untuk berumah tangga, dan bahkan terbilang sudah lewat tua, maka wajar jika sudah menikah. Tetapi menikahi Sarimah adalah hal mustahil, sebab ada banyak juragan dari kota, terutam pengepul hasil pertanian yang kabarnya akan dijodohkan dengan Sarimah, meskipun gadis itu masih berusia empat belas tahun.

"Bener, Yat? Kamu naksir puterinya Kang Tejo?" tanya Tainah dengan penuh selidik.

"Kalau cuma mengagumi gak ada salahnya, toh--Bu? Kan wajar, anakmu ini laki-laki, dan memilih yang cantik itu adalah hal sangat normal," Saryat membela dirinya.

Tainah mendengkuskan nafasnya. Ia sangat prihatin pada puteranya, sebab mengkhayal terlalu tinggi. "Bagaikan punggguk merindukan bulan, tak pernah sampai mencapai tujuannya, dan sebaiknya kamu itu bekerja lebih keras lagi, Yat. Setelah kamu sukses, baru kami pilih wanita manapun yang ingin kamu jadikan istri." pesan Tainah kepada putranya.

"Kalau sudah jodoh, Mbok. Gak ada yang gak mungkin," sahut Saryat dengan santai.

"Sekarepmu, lah, Yat. Si Mbok cuma mengingatkan saja." wanita itu keluar dari teras dan berjalan tanpa alas kaki menuju kebun milik Kang Karyo yang berada dihilir sungai kali gede, sedangkan Saryat bekerja dikebun milik Kang Suta yang ada dibagian hulu, dan letaknya cukup jauh.

Sesaat Saryat kembali kaget, ia melihat mentari sudah semakin naik, dan itu tandanya sudah sangat siang. "Waduh, mati, Aku. Kesiangan--toh." Saryat mengumpat dirinya sendiri, dan meraih cangkul dengan tergesa-gesa dan meletakkan dipundaknya. Tak lupa ia menyeruput habis kopinya, dan mengambil sepotong singkong rebus untuk dimakannya sembari berjalan, dan ia juga membawa kantong kresek berisi bekal makan siang dengan menu sega jagung bersama lauk ikan teri sambal.

Langkahnya begitu ringan, ia seolah tak merasakan beban apapun dalam hidupnya. ia kembali mengunyah singkong rebus dengan parutan kelapa yang dibubuhi garam, dan menghabiskannya dengan cepat.

Kondisi desa yang berkabut saat pagi hari, tetapi nara sumber kesiangan, hingga mentari lebih dahulu masuk dan menyapu kabut embun

Bukitnya tidak begitu tinggi, tetapi desa ini dikelilingi banyak bukit, dan sekitar tahun 2000 baru ada penerangan listrik.

Tidak terbayangkan mereka terisolasi dari dunia luar.

Dan reader bisa bayangkan bagaimana kondisii kecamatan Jatinegara. Tegal-Jawa Tengah tahun 1968 didesa Tiga Sari (Desa Samaran) sedangkan tahun 2025 saja masih asri seperti ini.

Desa sebelah saat nara sumber mengambil foto pohon Gintung dari atas bukit, dan berada disebelah balik bukit.

Pohon Gintung

Saryat berjalan menanjaki bukit, dimana dikanan dan kirinya masih terdapat rimbunan pohon yang masih tergolong sangat liar. Sepanjang perjalanan ia bersiul seolah hatinya begitu sangat riang pagi ini.

Sesaaat ia memasuki kebun milik warga. Terlihat deretan pohon pisang, singkong, jagung dan juga tanaman padi gogoh yang batu saja ditanam yang membentang luas. Tanah itu adalah hasil garapan warga yang membuka hutan untuk dijadikan lahan

Rumah-rumah masih berjarak cukup berjauhan satu sama lainnya. Dan para warga memiliki tanah yang sangat luas, sehingga hal itu yang membuat jarak rumah yang cukup jauh antara satu dengan yang lainnya .

Saat ia akan menanjaki bukit, terlihat seorang gadis belia yang memiliki wajah ayu rupawan dengan mata berbentuk bulat, manik kecoklatan dan rambutnya panjang sepunggung, lebat, serta sedikit pirang.

Bahkan rambut bergelombang, bagaikan ikal mayang yang tergerai begitu indah. Karena kecantikannya, membuat warga menyebutnya bule kampung.

Kulitnya sangat putih bersih, dan bibirnya tipis, tampak merah muda bagaikan buah jambu air yang sedang ranum, sungguh ciptaan yang sangat menakjubkan.

Saryat berhenti sejenak, memandang sang dara jelita yang sedang melintas membawa rantang berisi makanan, dan sepertinya itu akan dibawa untuk ayahnya yang saat ini sedang masa panen padi disawah.

Ia diam mematung, hanya sekedar menatap dan mengagumi kecantikan yang dimiliki oleh sang dara jelita, dan hal itu sudah sangat membuat dahaga kerinduannya terobati.

Hatinya saat ini dipenuhi debaran yang bergelora, dan rasa ingin memiliki begitu sangat kuat dalam dirinya.

Saat langkah gadis itu semakin dekat dan berjarak hanya dua meter dari dirinya, ia mencoba memberanikan diri untuk menyapanya. "Mau kemana, Cah Ayu?" tanya Saryat dengan nada yang sedikit gugup, namun ia mencoba menutupinya dengan sebuah senyuman.

Gadis yang disapa tersipu malu, dan wajahnya bersemu merah, menggambarkan jika ucapan Saryat barusan sudah mampu membuatnya salah tingkah pagi ini.

Sang dara jelita menundukkan kepalanya, sembari mengulas senyum tipis dibibir ranumnya, yang mana hal itu menambah kecantikannya semakin berlipat.

"Mau kesawah, Kang. Antar bekal buat Bapak," sahutnya dengan sangat sopan. "Mari, Kang," ia berpamitan pada Saryat yang masih menatapnya dengan begitu sangat dalam.

Gadis bernama Sarimah itu berlalu meninggalkannya dengan langkah yang begitu anggun. Liukan tubuhnya yang melenggang dengan balutan kebaya dan bermotif kembang sepatu yang berwana dasar biru tua, dan berpadu kain jarik, memperlihatkan lekukan tubuhnya yang sangat sintal.

Pinggang ramping, pinggul yang lebar, dan disertai bokong yang menonjol, membuat ia terlihat semakin sempurna.

Meskipun usianya baru empat belas tahun, tetapi pada masa zaman itu, pertumbuhan manusia berbeda dengan masa sekarang, dan tentu saja gadis itu sudah dapat menikah pada masanya.

Saryat tak berhenti menatapnya, seolah tak ingin melewatkan apapun dari sang gadis. Hingga saat sang gadis menghilang ditikungan jalan, dan terhalang oleh pohon mangga yang tumbuh besar, pemuda itu berkedip dan menghela nafasnya dengan dalam..

Pemuda itu masih diam terpaku, seolah kehadiran sang gadis telah menyihirnya pagi ini. Ia merasakan deguban jantungnya yang begitu menderu, seolah nama Sarimah sudah terukir didalam hatinya, dan tak tergantikan dengan siapapun.

Ia kembali mendaki bukit, yang mana tempatnya bekerja berada dibagian baliknya.

Terlihat mentari bersinar cukup terang dan membuat ia mempercepat langkahnya, sebab sudah sangat terlambat.

Saat hampir mencapai kebun milik Kang Suta, ia melirik sebatang pohon Gintung yang tumbuh tinggi menjulang dengan daunnya yang rimbun, dan dibawahnya terdapat sebuah mata air yang membuat ceruk dan akhirnya membentuk telaga.

Airnya sangat jernih dan akan membuat siapa saja akan tergoda untuk meminum airnya.

"Yat, kamu liatin apaan?" tegur seseorang dari arah belakang dan membuat Saryat tersentak kaget.

Ia menoleh ke arah belakang, dan terlihat seorang pria bertubuh kurus tinggi, dengan rambutnya yang ikal, sedang berdiri menatapnya bingung.

"Eh, Kang Suta. Ngagetin aja." ucapnya sembari mengusap dadanya yang bergemuruh.

"Kamu ini, masih pagi sudah mengkhayal, mana terlambat, lagi." omel pria tersebut.

"Maaf, Kang. Nanti aku pulangnya sorean dikit, buat ganti waktu yang terbuang," sahut Saryat untuk menutupi kesalahannya.

"Ya, sudah, ayo. bibit padinya yang mau ditanam masih banyak, mumpung musim penghujan" ajak Suta pada Saryat.

Pemuda itu menganggukkan kepalanya, dan mengekori dari arah belakang.

Sssssttttssssshhhss

Terdengar suara seolah seperti desisan ular yang berasal dari pohon gintung tersebut, dan entah mengapa hal itu membuat bulu kuduk Saryat meremang. Ia mengusap punggungnya yang terasa menebal dengan tiba-tiba, dan ia merasakan sesuatu yang tak biasa berada dibalik pohon Gintung tersebut.

Pemuda itu menggidikkan pundaknya, dan bergegas menyusul Kang Suta yang berada didepannya.

"Kang, si Karmin gak masuk, ya?" tanyanya dengan mencoba mensejajarkan langkahnya dengan sang juragan padi.

"Tadi dia ngabari katanya gak kerja, sebab istrinya sudah merasakan mulas dan mau lahiran. Bahkan si Mbok-mu tadi dijemput dari kebun untuk membantu proses persalinan istrinya," Suta menjelaskan hal tersebut secara terang benderang.

"Waduh, aku kerja sendiri kalau begitu ceritanya," Saryat merasa sedikit tak nyaman, tetapi mau bagaimana lagi, ia membutuhkan uang, dan harus bekerja keras untuk mengumpulkan pundi-pundi keuangannya.

"Kan ada akang, lagian takut sama apaan, sih?" Suta seperti tampak biasa saja, ia berjalan dengan begitu santai.

Suta berusia sekitar tiga puluh tahun dan lebih tua darinya. Tetapi ia belum menikah, meskipun didesanya pria itu cukup terpandang dan banyak uang karena hasil panen yang cukup berlimpah.

Pria yang merupakan bujang lapuk itu ikut menanam padi gogoh dilereng bukit, agar pekerjaan segera selesai.

Saat waktu memperlihatkan pukul setengah dua belas siang, mereka berdua beristirahat dibawah pohon mangga yang sedang berbunga, sembari menikmati bekal mereka.

"Yat. Kamu tau gak Sarimah anaknya Kang Tejo?" tiba-tiba Suta membuka pembicaraan ditengah suapannya yang memakan nasi putih bersama ikan bandeng yang digoreng sambal. Tentu saja itu makanan terenak pada masanya.

Sontak saja itu membuat Saryat terkejut. Meskipun Suta belum melanjutkan ucapannya, tetapi ia sudah tau arah pembicaraan itu kemana.

"Uhuuuk." Saryat terbatuk, dan kali ini seolah merasakan jika butiran sega jagung menyumbat pernafasannya. Pertanyaan Suta membuat semangatnya lemah siang ini.

Bagaimanapun, siapa lelaki yang tidak tahu akan kecantikan Sarimah yang menyebar hingga ke desa tetangga, apalagi jika hanya untuk desa Tiga Sari, pasti sangat mudah untuk dikenali.

Saryat mengambil wadah minumnya yang terbuat dari buluh atau batang bambu, lalu meneguknya untuk melancarkan pernafasannya.

Sebenarnya ia sangat enggan untuk menjawab, tetapi rasa sungkan yang diakibatkan karena Suta adalah pria yang sudah memberikannya pekerjaan dan selama ini berbuat sangat baik padanya, dan tentu saja memaksa hatinya harus menjawab.

"Oh, iya. Dia gadis yang cantik," jawab Saryat cepat, meskipun debaran dihatinya memburu.

"Kakang berniat untuk melamarnya." Suta mengungkapkan isi hatinya, dan ia terlihat sangat serius dengan ucapannya.

Deeeeegh

Saryat semakin merasakan hatinya begitu miris, dan perih, sakit tak berdarah.

"Oh, begitu. Mungkin bisa tanya langsung saja sama Kang Tejo selaku bapaknya," saran Saryat, meskipun hatinya tak rela.

Pohon Gintung-2

Suta terlihat berbinar mendengar saran dari Saryat. Tentu saja itu akan akan menjadi jalan pembuka bagi ia nantinya untuk memberanikan diri bertemu dengan Kang Tejo.

"Wah, idemu bagus sekali, Yat. Aku akan coba dekati Kang Tejo, semoga saja nanti niat baikku diterima, apalagi aku sudah banyak mengumpulkan uang dan hanya tinggal menunggu persetujuannya saja," sahut Suta dengan wajah berbinar. Ia bahkan makan dengan lahap sekali.

Bayangan wajah Sarimah yang cantik membuatnya tak dapat tidur untuk beberapa hari ini. Ia ingin sekali mengungkapkan rasa cintanya pada gadis pendiam itu, tetapi tak memiliki keberanian, karena jika berhadapan langsung, membuat nyalinya ciut hanya dengan menatap dua bola mata indah itu.

Akan tetapi, Saryat justru terlihat miris dan murung, akankah cintanya kandas ditengah jalan, ditikung sang Juragan beras yang mana lebih dahulu akan menyampaikan niat baiknya pada kedua orangtua Sarimah.

"Doain, Ya--Yat. Moga saja lamaranku diterima," Suta menyuapkan nasi terakhirnya, dan ia tampak begitu berbahagia siang ini.

"Ya," jawab Saryat dengan datar, sembari tersenyum dengan tipis yang dipaksakan.

"Kamu memang teman yang terbaik, Yat. Akang mau pulang dulu. Nanti malam ada acara nikahan dan hiburannya gamelan didesa tetangga. Yang punya hajatan Juragan kaya raya, pasti ada banyak gadis yang hadir. Aku coba ajak Sarimah, semoga saja dia mau," Suta tampak berbinar. Ia bersiap untuk beranjak dari tempatnya.

Saryat hanya mengulas senyum miris, tapi apa hak nya untuk melarang Suta mendekati gadis itu? Sebab statusnya masih perawan dan bebas untuk menjalin hubungan dengan siapa saja.

Pemuda yang sudah bujang lapuk itu, akhirnya pergi meninggalkan Saryat seorang diri ditengah ladang padi yang berada dilereng bukit.

Saryat menatap punggung Suta dengan perasaan hampa, apakah ia harus merelakan sang pujaan hati untuk sang juragan beras, hanya karena sebuah ketidakberdayaannya. Hatinya sangat nelangsa, sakit terperih kan.

Suta bersiul dengan riang, lalu menuruni bukit dan kembali naik ke atas bukit untuk nantinya tiba didesa Tiga Sari.

Saryat kembali bekerja, setelah Suta sudah mendaki bukit diujung sana, dan seperti janjinya, ia pulang hingga senja.

Hari mulai senja, Saryat menenteng cangkulnya yang kotor oleh tanah, dan rasa haus terasa sangat mengeringkan kerongkongannya, bekal yang dibawanya sudah habis, dan ia mempercepat langkahnya.

Saat melewati pohon Gintung yang tumbuh subur dan tinggi menjulang, ia melihat mata air yang begitu jernih. Tak ada salahnya jika ia mengambil air minum dan sekedar melepas dahaganya yang sudah tidak lagi dapat ia tahan.

"Kalau sekedar minum, tak masalah juga, yang penting tidak dipakai untuk buang kotoran atau najis" Saryat bergumam dengan lirih.

Pemuda itu mempercepat langkahnya, seolah ada yang menuntunnya, dan membuatnya untuk menghampiri telaga yang mana mata airnya mengalir tepat dibawah pohon Gintung, seolah sumber mata airnya berasal dari akar pohon tersebut.

Saryat berdiri ditepian telaga. Menatap nanar pada air yang begitu jernih. Kemudian ia berjongkok dan menempelkan sisi kedua telapak tangannya untuk menjadikan wadah dalam mengambil air tersebut.

Ssssrrruuupt

Terdengar suara pemuda itu menyeruput air yang mengalir sejuk ketenggorokannya.

Setalah rasa dahaganya hilang, ia duduk termangu menatap pobon gintung yang saat ini sedang berbuah lebat. Buahnya yang kecoklatan dan rasa asam yang cukup kuat, dapat dijadikan bahan makanan.

Getahnya dapat dijadikan obat luka dan antiseptic, sedangkan air yang terkandung dari kulitnya dan berwarna merah juga dijadikan sebagai pewarna alami pada masa itu.

Saat pandangannya teralihkan ke air telaga, tiba-tiba ia teringin untuk mandi. Pemuda itu membuka pakaiannya. Karena merasa tidak akan ada orang yang melihatnya, ia menceburkan dirinya tanpa sehelai benangpun.

Dinginnya air telaga membuat ia merasakan sensasi yang sangat berbeda, tubuhnya segar seketika, dan membuat rasa lelahnya setelah seharian bekerja hilang dalam sekejap.

Sssssstttttsss

Kembali terdengar suara desisan yang mirip seekor ular.

"Hah!" Saryat tersentak kaget. Degub jantungnya memburu, dan ia mengamati sekitarnya untuk mencari dimana sumber suara yang sudah membuat bulu kuduknya meremang.

Pemuda itu merasakan sesuatu yang tak nyaman, lalu memilih beranjak dari telaga, bergegas mengenakan pakaiannya kembali.

Sesaat ia melihat ke arah langit, dan hari semakin gelap. Pemuda itu menyambar cangkulnya. Kemudian beranjak pergi meninggalkan telaga dan mempercepat langkahnya.

Saat ia tiba diatas bukit, terlihat cahaya lampu yang berasal dari pelita dan berbahan bakar minyak tanah berkelap dan berkelip mengikuti arah angin yang bertiup.

"Aku kemalaman," ujarnya dengan resah, dan pastinya ia tahu jika Tainah--si Mbok dan Ayu pasti mengkhawatirkannya.

Ia meluncur ditebing jurang agar segera tiba dan hampir saja tergelincir jika tak mampu menyeimbangkan tubuhnya.

Pemuda itu setengah berlari menyusuri jalanan setapak untuk segera tiba dirumahnya, dan dengan nafasnya yang tersengal, akhirnya ia sampai juga diteras rumah, dan tentunya disambut dengan tatapan yang tajam dari Ayu--adik perempuannya.

"Kenapa lama sekali, Kang? Ibu khawatir dan menangis sejak pukul lima sore tadi, karena Kang Saryat lama pulang, kirain sudah dimakan macan tutul," (Salah satu hewan buas yang terdapat dihutan Tegal, Jawa Tengah).

Saryat menatap sang adik dengan memutar bola mata malas. Melayani omelan Ayu hanya akan menambah masalah, tetapi kali ini ia sudah sangat gemas. "Kamu ini, loh, Yu. Kakangmu pulang bukannya disambut dengan segelas kopi, tetapi malah diomelin," sahut Saryat yang masih tampak lelah.

"Aku itu ngomel karena khawatir sama kamu, Kang. Aku takut kamu kenapa-napa. Karena cuma kamu laki-laki yang ada dirumah ini satu-satunya!" Ayu tak ingin kalah. Meskipun ia begitu sangat cerewet, tetapi kasih sayangnya terhadap sang kakak sangatlah luas.

Mendengar obrolan kedua anaknya, Tainah merasa lega, dan doa-doanya terjawab, jika akhirnya Saryat kembali dengan selamat.

Wanita paruh baya dengan uban yang hampir menyeluruh, bergegas menuju kedepan. Setibanya disana, ia tersenyum sumringah saat melihat puteranya sudah kembali.

"Ya Gusti Allah, akhirnya puteraku kembali, pekik Tainah dengan wajah sumringah. Ia menghampiri Saryat dan meraih tangannya

"Ayo masuk, hari masih Maghrib, pamali diluar.'" Tainah mengajak keduanya untuk masuk kedalam rumah.

Saryat dan juga Ayu menghentikan perdebatan mereka, lalu memilih untuk masuk kerumah.

Keberadaan pohon gintung ditebing bukit yang diambil dari jarak yang cukup jauh. Nara sumber tidak berani untuk mengambil dari jarak dekat, karena sangat dikeramatkan dan aura mistisnya begitu kentara.

Holat ikan mas yang dimasak menggunakan getah dari pohon Sikkam (Gintung) dipadu dengan pucuk rotan.

Makanan khas dari etnis Simalungun dan Batak yang menggunakan kulit pohon sikkam (Gintung, Guntung, Gadog, Pipolo, dsb) adalah Holat dan Hinasumba. Holat adalah masakan dari getah atau sari kulit pohon sikkam yang dicampur bumbu, digunakan pada ayam panggang (Dayok Nabinatur) atau disajikan dengan darah (non-halal) dan daging ikan mas. Hinasumba adalah masakan berwarna merah yang juga dihasilkan oleh sikkam, yang terdapat pada Dayok Nabinatur. 

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!