NovelToon NovelToon

Menantu Pilihan Untuk Sang CEO Duda

Bab 1

Fio menutup pintu ruang dosen dengan langkah berat. Hatinya bergejolak, campuran antara kecewa dan frustrasi. Uang ujian yang belum dibayar menjadi batu sandungan yang tak bisa ia hindari. Gadis berusia dua puluh satu tahun itu selalau merasa prustasi ketika waktu ujian tiba.

“Fiona, maaf, tapi pembayaran ujian semester ini belum masuk. Tanpa itu, kamu tidak bisa mengikuti ujian minggu depan.” Leo tidak mempunyai toleransi bagi mahasiswanya karena semua itu sudah menjadi aturan.

“Tapi Pak… saya… saya sedang menunggu kiriman uang dari ayah saya. Pasti akan segera sampai.”

“Maaf, aturan sudah jelas. Tidak ada toleransi. Kalau belum dibayar, ya tidak bisa ikut ujian. Saya tidak bisa membuat pengecualian.”

Fio menghela napas panjang, menahan kecewa. “Baiklah, Pak… terima kasih sudah memberi tahu.”

Fio melangkah keluar ruangan dengan langkah lemas. Di parkiran kampus, angin sore menyapu wajahnya, tapi tidak mampu menenangkan pikirannya yang kacau. Ia menunggangi motornya dengan tangan gemetar, mencoba menenangkan diri dan memikirkan cara untuk menyelesaikan masalah kuliahnya.

Namun, nasib tidak berpihak. Sebuah mobil melaju terlalu dekat, dan dalam sekejap, motor Fio terserempet. Tubuhnya terhuyung, dan sebelum sempat menjerit, Fio terjatuh ke aspal. Rasa sakit menyengat kaki dan lengannya, membuatnya nyaris pingsan.

Pengemudi mobil itu, seorang wanita paruh baya, segera berhenti dan berlari mendekat dengan panik. “Ya Ampun! Nak, kamu baik-baik saja? Maafkan saya, saya tidak sengaja…”

Fio hanya bisa menahan rasa sakit, kepalanya berputar, tapi matanya menangkap kepanikan sang wanita. Tanpa banyak pikir, wanita itu membantu Fio berdiri untuk masuk ke mobilnya dan membawa Fio ke rumah sakit terdekat, sambil terus meminta maaf.

Di ruang gawat darurat, dokter memeriksa Fio dengan cermat. Kakinya terluka cukup parah karena ternyata ada batu yang menancap di kakinya, dan dokter menegaskan Fio harus dirawat setidaknya dua hari ke depan. Rasa frustrasi dan takut bercampur dalam hati Fio—apalagi ketika ia mengetahui siapa orang yang menabraknya.

Fio terbaring di ranjang rumah sakit, kaki dibalut perban tebal, rasa sakit masih menyengat setiap kali ia bergeser. Di kursi sampingnya, Bu Rania—wanita yang menabraknya—duduk sambil sesekali menghela napas, tampak cemas.

“Nak… Ibu benar-benar minta maaf atas kecelakaan ini. Kamu baik-baik saja?”

Fio mencoba tersenyum tipis, suaranya lirih. “Saya… saya baik, Bu. Hanya kaki saya yang sakit, nanti pasti sembuh.”

Bu Rania menatap Fio dengan mata lembut, lalu bertanya pelan. “Kalau boleh tahu… orang tuamu ikut? Atau ada yang bisa saya hubungi?”

Fio menunduk, menahan emosi yang tiba-tiba muncul. “Ibu saya sudah meninggal dua tahun lalu. Ayah saya di kota lain… dia tidak akan datang.”

Mendengar itu, Bu Rania terdiam sejenak, hatinya tersentuh. Gadis ini begitu mandiri meski masih muda, berani menanggung sendiri masalah yang seharusnya ringan jika ada keluarga dekat. Tanpa banyak bicara, Bu Rania meraih tangan Fio dan menepuknya lembut.

“Nak… kamu kuat. Ibu bisa melihat itu. Jangan khawatir, ibu akan bantu sebisa mungkin.”

Fio hanya tersenyum tipis, menahan rasa sakit di kaki dan getir di hati.

Bu Rania segera menghubungi anak satu-satunya untuk menyelesaikan permasalahan ini.

Darrel Arly Pratama, seorang CEO duda berumur dua puluh delapan tahun adalah anak satu-satunya dari pasangan Rania dan Hadi Pratama. Di umurnya yang ke dua puluh tujuh tahun Darrel sudah menjadi seorang duda tanpa anak setelah pernikahannya yang berumur dua tahun kandas.

Tanpa melihat ke arah Fio, Darrel langsung membayar administrasinya sampai dua hari ke depan. Kemudian ia beranjak pulang ke rumah masa kecilnya.

"Darrel... Bagaimana..." Sebelum pulang Bu Rania bertanya soal tanggung jawabnya sebagai pengendara, tapi Darrel cepat memotong.

"Kita sudah bertanggung jawab dan luka dia juga pasti segera sembuh. Bahkan aku meminta untuk diberikan obat terbaik untuk penyembuhannya. Aku akan pulang sekarang karena nanti malam aku ada acara lagi." ia melangkah pergi meninggalkan Bu Rania.

Bu Rania tidak bisa berkata-kata lagi, ia mengantarkan Darrel pulang setelah menitipkan Fio kepada suster rumah sakit. Di dalam mobil, suasana hening kecuali suara mesin, sampai akhirnya Bu Rania memecah kesunyian dengan nada serius.

"Darrel. Mama minta sesuatu darimu. Demi membalas rasa bersalah mama, tolong kamu menikah dengan Fio. Mama benar-benar merasa bersalah. Mana dia sendirian.”

Darrel tetap menatap jalan, wajahnya dingin, suaranya datar. “Ma… yang penting kita sudah bertanggung jawab. Kita tidak harus begitu.”

Bu Rania menoleh, mata tajam penuh penekanan.

“Darrel. Mama mohon. Kamu juga jangan betah sendiri. Lupakan Diana. Mereka sudah bahagia.”

“Ya, karena itu, Ma. Aku tidak ingin…”

“Kamu mau menunjukkan ke dia kalau kamu tidak bisa move on? Jangan begitu. Justru itu hanya akan membuatmu terlihat lemah.”

“Ma… cinta itu tidak bisa dipaksakan.”

Bu Rania menepuk setir dengan lembut tapi tegas.

“Bisa. Buktinya mama sama papa. Kita juga dijodohkan, dan kamu lihat sekarang papa kamu bucin banget sama mama.”

Darrel mendengus pelan, setengah kesal, setengah tak acuh. “Mama tahu istilah begitu dari mana sih?”

“Kamu kira kamu doang yang tahu? Sudah! Besok kita ke rumah sakit lagi dan tawarkan perjodohan ini.”

Darrel hanya diam, menatap jalan dengan wajah datar, lalu menarik napas panjang. Ia menepikan mobilnya saat tiba di depan rumah. Bu Rania menatapnya sejenak, lalu keluar meninggalkan Rafael sendirian.

Di mobil, keheningan kembali menyelimuti Rafael, wajahnya tetap dingin, sulit ditebak—tapi di mata Bu Rania, ia tahu benih perubahan atau konflik di antara mereka akan segera dimulai.

***

Keesokan harinya.

Fio duduk di ranjang rumah sakit, kaki terbalut perban tebal, tapi pikirannya tak henti-henti melayang ke pekerjaan paruh waktunya. Ia tahu, jika ia bolos hari ini, tidak hanya kehilangan uang, tapi reputasinya juga bisa tercoreng karena ia teringat kalau kemarin dia tidak kerja akibat kecelakaan ini.

Tiba-tiba ponselnya bergetar lagi. Pak Anwar, bosnya di tempat kerja sejak pagi menghubunginya tanpa henti. Namun karena dia baru bangun dan daya ponselnya habis, Fio baru mengetahui saat ini.

“Fio… kamu di mana? Kita butuh kamu sekarang. Jangan sampai kamu bolos lagi.” suara tidak bersahabat dari bos mudanya itu membuat telinga Fio berdenging.

Fio menunduk, panik. Ia belum siap memberi tahu bosnya tentang kecelakaan ini. Begitu ponsel berhenti berdering, ia mengambil napas dalam-dalam, menurunkan kakinya perlahan dari ranjang, dan mencoba menggerakkan tubuhnya yang lemas. Hari ini dia harus bekerja supaya tidak dipecat. Karena sangat bahaya baginya, dia tidak akan bisa makan kalau dia berhenti bekerja.

Ia mengendap-endap ke arah pintu, hatinya berdebar-debar takut ketahuan suster. Langkahnya pelan, tapi setiap langkah membuat rasa sakit di kakinya menusuk. Ponsel bergetar lagi.

“Fio! Ini serius, kamu harus segera ke tempat kerja. Kita sedang kekurangan staf.”

Fio menggigit bibir, menahan rasa sakit dan rasa bersalah. Dengan susah payah, ia menuruni lorong rumah sakit, menghindari suster yang berkeliling. Setiap detik terasa seperti tantangan besar, tapi tekadnya lebih kuat daripada rasa nyeri yang menggerayangi.

Akhirnya, ia berhasil keluar dari pintu samping rumah sakit. Angin sore menyentuh wajahnya, namun rasa cemas masih mengikat perutnya. Ia menarik napas panjang, mencoba menenangkan diri, melangkah berjalan kaki untuk mencari angkot.

Fio menutup mata, tahu—entah bagaimana, hidupnya kini benar-benar berubah dari satu langkah yang tampak sepele: sekadar berusaha menepati tanggung jawab pada pekerjaan paruh waktu.

Fio akhirnya sampai di depan pintu kafe tempat ia bekerja paruh waktu. Napasnya terengah, keringat membasahi dahinya, tapi ia tersenyum tipis, lega karena berhasil sampai. Ia menekan bel pintu masuk dengan tangan gemetar.

Namun, saat pintu terbuka, wajah bosnya, Anwar, tampak tegang dan dingin. Ia menatap Fio dengan mata tajam, seakan bisa membaca setiap kesalahan yang dibuat.

“Fio… akhirnya kamu datang. Tapi… kamu terlambat hampir dua jam. Ini sudah keterlaluan.”

Fio menunduk, suaranya pelan tapi memohon “Pak Anwar… maaf… saya… saya ada kecelakaan, dan saya tidak ingin membuat masalah. Tolong… jangan pecat saya. Saya benar-benar butuh pekerjaan ini untuk kuliah.”

Anwar menghela napas panjang, menatap Fio sebentar, lalu menunduk menyesuaikan ekspresi seriusnya.

“Fio… saya mengerti keadaanmu, tapi aturan kafe ini jelas. Keterlambatan seperti ini… saya tidak bisa lagi menoleransi. Saya sudah terlalu sering memberi peringatan.”

Fio matanya berkaca-kaca, suaranya hampir patah “Pak… tolong… saya janji tidak akan terlambat lagi… ini benar-benar pertama kalinya… Tolong, saya mohon… saya butuh uang ini untuk kuliah.”

Anwar menatap Fio beberapa detik, hatinya sedikit tersentuh, tapi keputusan sudah bulat.

"Maaf, Fio. Saya tidak bisa lagi menerima alasan. Saya harus menepati aturan. Mulai hari ini, hubungan kerja kita berakhir.”

Bersambung

Bab 2

Fio menunduk, rasa sakit di kaki bercampur rasa hancur di hatinya. Semua usaha, semua risiko yang ia ambil untuk datang tepat waktu… sia-sia. Ia mengangguk perlahan, mencoba menahan tangis.

 “Aku... Harus kuat. Ini belum berakhir... Aku pasti bisa menemukan jalan keluarnya."

Dengan langkah berat, Fio meninggalkan kafe, sadar bahwa hidupnya kini berada di persimpangan yang tak terduga: terluka secara fisik, kehilangan pekerjaan, tapi juga berhadapan dengan masa depannya yang terombang-ambing.

Fio melangkah keluar dari kafe dengan langkah berat. Gaji separuh yang diterimanya terasa begitu sedikit di tangan, jauh dari cukup untuk membayar biaya kuliah yang semakin menumpuk. Hatinya sesak, campur aduk antara frustrasi, lelah, dan putus asa.

Ia berhenti di tepi jalan, menatap layar ponselnya, dan setelah ragu beberapa detik, memberanikan diri untuk mengirim pesan kepada ayahnya.

 [“Ayah… aku butuh bantuan. Sebentar lagi ujian, dan aku belum bisa bayar kuliah…”]

Balasan ayahnya cepat muncul, dingin dan mengejutkan:

[“Ayah tidak ada uang. Kamu berhenti kuliah saja.”]

Fio menunduk, jantungnya serasa tercekat. Ia mengetik lagi, suara hati dan tangisnya bercampur:

[“Ayah… aku anak ayah bukan? Jangan hanya Lira saja yang ayah biayai kuliahnya. Lira bukan anak ayah?”]

Tak lama, jawaban singkat datang, menusuk:

[“Gak usah hubungi ayah lagi kalau mau membandingkan.”]

Fio menatap layar, mata berkaca-kaca. Jantungnya perih, tapi ia mencoba tetap menulis, menumpahkan semua harapan yang tersisa dalam pesan terakhirnya:

[“Ayah… aku mohon. Sebentar lagi aku lulus. Aku gak akan membebani ayah lagi.”]

Ia menekan tombol kirim sambil menahan tangis, berharap sedikit belas kasihan. Tapi layar hanya menunjukkan centang biru—dibaca—tanpa balasan sedikit pun. Fio menunduk, dada sesak. Ia tahu, kali ini, ia benar-benar sendirian.

Dengan napas berat, ia menatap langit senja, mencoba menguatkan diri. Pilihan sulit menanti, tapi Fio tahu: ia harus bertahan, apa pun yang terjadi.

ibu, andai ibu tidak pergi. Andai ibu bawa aku. Ibu... Aku benar-benar sendirian sekarang. Kenapa ibu secepat itu meninggalkan aku? Bahunya bergetar, air matanya lolos begitu saja, tidak ia tahan.

"Sshh! Tiba-tiba rasa linu di kakinya semakin menjalar. Tubuhnya gemetar dan ia memutuskan untuk duduk di bangku pinggir jalan.

***

Sementara itu di tempat lain. Bu Rania dan Darrel tiba di rumah sakit dengan mobil mewah keluarga. Bu Rania duduk di kursi penumpang depan, matanya tajam menatap jalan, sementara Darrel tetap diam, wajahnya dingin dan sulit ditebak seperti biasa.

Begitu sampai, Bu Rania segera turun dan memimpin langkah ke ruang perawatan Fio. Namun, begitu pintu terbuka…

“Fio? Di mana dia? Kenapa kamar ini kosong?” ia begitu panik.

Darrel hanya menatap sekeliling dengan ekspresi datar, tangannya di saku jas. Tidak ada kata-kata yang keluar dari mulutnya.

Bu Rania berbalik, matanya menyipit menatap suster yang berdiri di dekat pintu:

“Suster! Apa ini maksudnya? Fio tidak ada di kamar. Bagaimana bisa kalian membiarkannya pergi?”

Suster tampak kebingungan, menatap Bu Rania dan Darrel dengan panik.

“Maaf, Nyonya… kami tidak tahu… tadi ia ada, tapi mungkin… dia keluar sebentar…”

Bu Rania menghela napas panjang, wajahnya merah karena marah dan kesal.

 “Keluar sebentar? Dari rumah sakit? Tanpa izin? Ini serius! Saya ingin melihat rekaman CCTV sekarang juga. Semua langkahnya harus jelas!”

Darrel akhirnya angkat bicara dengan nada datar, tapi tetap dingin:

“Mama, ada juga ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi. Jangan sampai ada kelalaian.”

Hanya pura-pura, karena kalau tidak begitu takutnya mamanya tantrum di sana.

Bu Rania menatap putranya sejenak, lalu kembali menatap suster dengan tajam. “Segera tunjukkan rekaman CCTV. Saya ingin tahu ke mana Fio pergi dan siapa yang bertanggung jawab.”

Suster tergagap, tapi buru-buru mengajak mereka ke ruangan CCTV dan menyiapkan rekaman CCTV. Bu Rania menahan napas, menyadari bahwa langkah Fio—meski mungkin tampak nekat—adalah awal dari sesuatu yang bisa jadi rumit.

 Sementara Darrel tetap diam, menatap layar dengan mata dingin, seperti sedang menunggu permainan dimulai.

***

Bu Rania menatap layar CCTV dengan mata tajam. Hatinya campur aduk—marah karena Fio bisa saja terluka lagi, tapi juga terenyuh melihat gadis itu begitu berani menanggung sendirian masalahnya.

Ia menoleh ke Darrel, yang tetap duduk dengan wajah dingin, tangan disilangkan di dada.

 “Darrel… mama ingin kita menemukan Fio. Lacak dia dari arah saat dia keluar dari rumah sakit. Jangan sampai dia tersesat atau terluka lagi.”

Darrel menatap ibunya sekejap, ekspresinya datar.

 “Baik, Ma. Tapi aku rasa dia bisa bertahan sendiri. Gadis itu cukup tangguh.”

 “Tangguh atau tidak, dia masih muda dan sendirian. Mama tidak mau mengambil risiko. Ini tanggung jawabmu sebagai anak mama.”

Darrel menghela napas pelan, tapi akhirnya mengangguk.

 “Baik. Aku akan mencari dia. Jangan khawatir, Ma.”

Bu Rania menatap putranya, sedikit lega. Meski dingin dan cuek, Darrel selalu bisa diandalkan ketika urusan keluarga serius. Ia tahu, untuk menemukan Fio sebelum terjadi hal yang lebih buruk, hanya Darrel yang bisa diandalkan.

***

Darrel mengambil kunci mobilnya, menyalakan mesin, dan meninggalkan rumah sakit dengan langkah tenang tapi tegas. Sementara Bu Rania menunggu di ruangan adiknya, direktur di rumah sakit tersebut.

Di dalam mobil, wajahnya tetap dingin, mata menatap jalanan, tapi pikirannya mulai menyesuaikan arah dan strategi untuk menemukan Fio. Ia menelusuri jalanan kota mengikuti arah yang terlihat di CCTV. Matanya tajam menatap sekeliling, mencari sosok kecil yang menonjol.

Di sisi jalan, ia melihat seorang gadis duduk di kursi trotoar, kaki masih dibalut perban, wajahnya letih, ponsel di tangan, seakan menahan tangis. Tanpa ragu, Darrel menurunkan jendela mobil dan menepikan kendaraan.

Fio menoleh, kaget saat melihat sosok tinggi dan tampan dengan wajah dingin menatapnya dari dalam mobil. Ia terkejut dan menahan rasa cemas. “T-tuan…?” ia sedikit mengenali Darrel dari wajahnya.

Darrel menatapnya dengan mata dingin, suaranya datar dan tegas.

“Fio. Kamu tidak seharusnya ada di sini. Rumah sakit bukan tempat jalan-jalan.”

Fio menelan ludah, mencoba tersenyum tipis, tapi napasnya masih berat.

“Saya… saya hanya… saya harus bekerja… saya terlambat… jadi saya keluar sebentar.”

Darrel mengerutkan alis, tetap tenang tapi menekankan kekuasaan dan kewibawaannya.

“Keluar sebentar? Kamu terluka, sendirian, dan hampir terjadi hal lebih buruk. Ikuti saya kembali ke rumah sakit sekarang.”

Fio menunduk, malu dan ketakutan, tapi tubuhnya lemah dan tidak bisa melawan. Ia tahu menolak bukan pilihan.

Tanpa banyak bicara, Darrel mempersilakan Fio masuk ke mobil. Ia menyalakan mesin, wajahnya tetap dingin, menatap jalan di depan, tapi ada ketelitian dan perhatian tersembunyi—cara dia memastikan gadis itu aman, meski tak pernah diucapkan.

Fio duduk di kursi penumpang, rasa gugup dan canggung bercampur lega. Ia sadar, hidupnya kini benar-benar berubah sejak hari ini. Dan gadis tangguh seperti dirinya, seakan dipaksa masuk ke dalam dunia orang-orang yang dingin, kaya, dan penuh rahasia.

***

"Sshh!" Fio mendesis saat kakinya dilangkahkan setelah turun dari mobil. Sampai akhirnya tiba-tiba ambruk.

"Fio!"

Bersambung

Bab 3

Darrel yang baru saja menutup pintu mobil sontak terkejut melihat Fio hampir terjatuh ke pelataran tempat parkir. Ia berlari cepat, berusaha menangkap tubuh Fio sebelum menghantam tembok parkiran.

Namun situasinya justru semakin kacau—Fio terhuyung ke depan, dan Darrel yang menahan dari samping ikut kehilangan keseimbangan. Dalam sekejap, tubuh mungil Fio jatuh tepat menimpa dada Darrel yang terdorong ke belakang.

Brukk!

Mereka berdua ambruk ke lantai pelataran rumah sakit. Fio berada di atas Darrel, wajahnya hanya sejengkal dari wajah CEO dingin itu.

Fio membelalakkan mata, pipinya langsung merona hebat.

“Aduh! Maaf! Saya tidak sengaja!”

Darrel mengerjap sekali, napasnya sedikit tercekat karena benturan, tapi wajahnya tetap dingin seperti biasa—meski jelas ada rasa kaget di matanya. “Kamu benar-benar… merepotkan.”

Fio gelagapan “Saya… saya bisa bangun sendiri! Saya—”

“Diam. Jangan bergerak, nanti lukamu semakin parah.” ucapnya datar dan pelan.

Darrel bangun dengan Fio yang masih berada di atasnya.

Sebelum Fio sempat mengelak, Darrel langsung berdiri dan mengangkat tubuhnya dengan cara bridal style—membuat Fio semakin panik dan malu. Sepertinya bagi Darrel, berat tubuh Fio seperti satu karung kapas.

“T-tunggu! Saya bisa jalan sendiri kok!” Fio gelagapan. Bisa-busanya Darrel mengangkatnya tanpa beban.

“Kamu bahkan tidak bisa berdiri.” jawab Darrel singkat, ekspresinya tetap dingin, tapi gerakannya hati-hati saat membawanya masuk.

Para suster yang melihat adegan itu langsung sigap menghampiri, sebagian lagi berbisik-bisik melihat CEO muda yang terkenal dingin itu membawa gadis asing dalam pelukannya.

Fio hanya bisa menutupi wajahnya dengan kedua tangan, malu setengah mati. Sementara Darrel… tetap tenang, seakan insiden baru saja bukan apa-apa—padahal degup jantungnya sempat ikut berantakan sesaat tadi.

Di tempat lain.

Bu Rania menatap jam tangannya dengan gelisah. Sudah hampir setengah jam ia menunggu di ruang direktur rumah sakit, ruangan adiknya sendiri—untuk membicarakan biaya perawatan Fio dan pengawasan medis.

“Kak Rania, gadis itu benar-benar keluar tanpa ada yang melihat?” tanya Riani.

Bu Rania menghela napas panjang, “Iya… padahal dia masih luka. Suster pun sampai kebingungan. Untung CCTV rumah sakit masih berfungsi.”

Belum sempat sang adik menambahkan komentar, ponsel Bu Rania bergetar. Nama Darrel muncul di layar.

“Halo, Darrel?!”

Suara tenang tapi tegas Darrel terdengar di seberang.

“Mama, Fio sudah saya temukan. Kami sudah sampai di rumah sakit.”

Sekejap mata Bu Rania berbinar lega. “Alhamdulillah… baik, Mama segera ke sana. Bawa dia ke ruang rawatnya.”

Tanpa menunggu lama, Bu Rania berdiri dari kursi dan pamit ke adiknya. “Nanti kita lanjutkan lagi, ya. Fio sudah ditemukan.”

Ia berjalan cepat menyusuri koridor, langkahnya penuh campuran antara lega dan khawatir. Dalam hati, ia benar-benar merasa iba pada gadis itu—sendirian, terluka, tapi tetap keras kepala bertahan hidup.

Begitu tiba di depan kamar rawat, Bu Rania langsung membuka pintu. Matanya langsung menangkap pemandangan Fio yang sedang duduk di tepi ranjang dengan kaki diperban ulang, sementara Darrel berdiri bersandar pada dinding dengan ekspresi dingin khasnya.

Bu Rania mendekat, “Fio… Ya Allah, Nak. Saya benar-benar khawatir. Kenapa kamu pergi begitu saja?”

Fio menunduk, malu. “Saya… m-maaf, Bu. Saya tidak bermaksud membuat repot. Saya cuma… harus bekerja. Saya takut dipecat.”

Nada suaranya lirih, matanya berkaca-kaca.

Bu Rania mendesah pelan, duduk di sisi ranjang dan menggenggam tangan Fio dengan lembut. “Nak… keadaanmu belum pulih. Kerja bisa dicari, tapi nyawa dan kesehatan itu yang utama. Kalau sampai terjadi apa-apa di jalan tadi, bagaimana?”

Fio hanya bisa diam, tenggorokannya tercekat.

Sementara Darrel masih bersandar di dinding, tangan terlipat di dada, tapi tatapannya sesekali melirik ke arah Fio — seolah sedang menilai keras kepalanya.

“Mulai sekarang, kamu istirahat dulu. Semua biaya rumah sakit saya yang tanggung. Jangan pikirkan apa pun, ya?”

Fio membelalakkan mata kecil. “Tapi, Bu—”

Bu Rania menepuk tangan Fio pelan. “Sudah. Tidak ada tapi-tapian.”

Darrel hanya menghela napas pelan, lalu berjalan mendekat. “Kalau kamu kabur lagi, kali ini aku yang langsung menyeretmu kembali.”

Nada bicaranya datar, tapi ada sedikit ketegasan yang membuat Fio refleks mengangguk cepat.

Bu Rania sempat menahan tawa kecil melihat interaksi keduanya—diam-diam, ada sesuatu dalam tatapan Darrel yang mulai berubah tanpa ia sadari.

Malam harinya Bu Rania tetap pulang karena ada suaminya yang menunggu di rumah. Darrel? Mana peduli. Dia juga ikut pulang. Bu Rania menitipkan itu kepada suster di sana dan meminta menjaga Fio dengan baik.

***

Ruangan rumah sakit itu sunyi. Hanya terdengar suara detak jam dinding dan desiran lembut dari pendingin udara. Lampu utama sudah dimatikan, hanya lampu tidur redup yang menyala di sudut ruangan, menciptakan suasana temaram.

Fio duduk bersandar di tempat tidurnya, menatap langit-langit dengan mata kosong. Hatinya berat… seolah seluruh dunia menekan bahunya yang kecil.

Tangannya mengusap perban di kakinya pelan. Luka itu tidak seberapa dibandingkan dengan kekacauan dalam hidupnya saat ini.

“Apa aku… berhenti kuliah dan bekerja dulu?” lirihnya.

Kalimat itu meluncur begitu saja dari bibirnya, seperti beban yang selama ini dipendam akhirnya pecah malam ini.

“Tapi kalau begitu… aku harus mengulang.”

Air matanya mulai berkaca-kaca. Ia menunduk, menatap jari-jarinya yang saling menggenggam di atas selimut.

Ingatan masa lalu tiba-tiba menyeruak. Malam terakhir bersama ibunya, di ruang depan rumah kontrakan mereka—ibunya memegang tangan Fio dengan tatapan hangat penuh harap.

"Kalaupun nanti Ibu nggak ada… Fio harus tetap lanjut kuliah, ya. Ibu ada tabungan. Ibu tidak mau melihat Fio berhenti di tengah jalan. Kamu anak pintar, Nak… Ibu percaya."

Air mata Fio menetes tanpa bisa ditahan. Ia memejamkan mata rapat-rapat, menggigit bibirnya untuk menahan isak.

“Bu… Fio janji mau lanjut kuliah. Tapi sekarang… tabungan itu udah habis untuk biaya rumah sakit dan pemakaman Ibu. Aku tidak punya siapa-siapa lagi. Ayah pun… bahkan untuk mengirim uang saja selalu penuh alasan.”

Matanya melirik ponsel yang tergeletak di meja samping tempat tidur. Chat terakhir dengan ayahnya masih terpampang—pesan dingin, singkat, dan menyakitkan.

Ia menarik napas dalam-dalam, mencoba menahan perih di dada.

Meski keadaannya begitu berat, jauh di lubuk hatinya… ada api kecil yang belum padam. Keinginannya untuk kuliah, untuk menyelesaikan apa yang telah ia mulai, begitu besar.

“Aku tidak boleh nyerah. Ibu percaya sama aku… aku juga harus percaya sama diriku sendiri.”

Namun meski mulutnya berkata begitu, air matanya terus mengalir—campuran antara ketakutan, lelah, dan tekad yang berjuang keras agar tidak pudar.

***

Keesokan harinya.

Sore ini, matahari mulai condong ke barat, cahayanya menembus jendela kamar rawat dan membuat suasana menjadi hangat keemasan. Fio sudah rapi dengan pakaian sederhana, tas kecil tersampir di bahunya. Kakinya memang belum benar-benar pulih, tapi ia bisa berjalan pelan dengan bantuan tongkat penopang dari rumah sakit.

Saat pintu kamar terbuka, Bu Rania masuk dengan senyum hangat. Ia datang sendiri saat ini. “Fio… saya dengar kamu mau pulang hari ini?”

Fio tersenyum sopan, meski wajahnya tampak lelah.

“Iya, Bu. Saya sudah minta izin ke dokter. Kaki saya sudah sedikit membaik, dan… saya tidak ingin terlalu lama merepotkan pihak rumah sakit atau Ibu.”

“Nak, kamu ini masih dalam masa pemulihan. Kenapa terburu-buru pulang? Bagaimana kalau lukamu kambuh?”

Fio menggeleng pelan. “Saya baik-baik saja, Bu. Terima kasih banyak sudah membantu saya sampai sejauh ini. Tapi saya sudah cukup merepotkan.”

Bu Rania mendesah kecil. Ada ketulusan dan kepedulian dalam sorot matanya. “Kalau begitu… bagaimana kalau kamu ikut saya ke rumah? Sementara waktu saja. Biar saya yang mengurus semuanya sampai kamu benar-benar pulih.”

Fio terbelalak kecil, jelas tidak menyangka tawaran itu. “Hah? Ke… rumah Ibu? Wah, saya… saya tidak enak, Bu. Kita bahkan baru kenal. Saya tidak bisa begitu saja ikut ke rumah orang, apalagi rumah Ibu…”

Bu Rania tersenyum sabar, berusaha membujuk dengan lembut. “Nak… Saya sudah menganggap kamu seperti anak sendiri. Lagipula, saya merasa sangat bersalah atas kejadian waktu itu. Biarkan saya menebusnya dengan sedikit kebaikan, ya?”

Fio menggigit bibirnya, ragu. Tapi kemudian ia menggeleng pelan. “Maaf, Bu… saya benar-benar menghargai niat baik Ibu. Tapi saya lebih nyaman pulang ke kontrakan saja. Di sana juga sudah terbiasa.”

Bu Rania memandangnya beberapa saat, lalu akhirnya mengangguk dengan senyum tipis.

Bu Rania: “Baiklah… kalau begitu saya antar kamu pulang. Setidaknya saya tenang melihatmu sampai rumah.”

***

Di dalam mobil menuju kontrakan Fio, Bu Rania duduk di kursi depan, sesekali melirik ke arah Fio yang duduk tenang di kursi penumpang.

Setelah beberapa saat, Bu Rania membuka suara dengan nada hati-hati. “Fio… ada satu hal yang ingin saya bicarakan. Tentang masa depanmu.”

Fio menoleh pelan, agak bingung.

“Tentang apa, Bu?”

Bu Rania menarik napas dalam-dalam, lalu menatap gadis itu dengan mata serius namun lembut. “Mama tahu ini mendadak. Tapi… saya ingin menjodohkan kamu dengan anak saya, Darrel.”

Deg

Bersambung

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!