NovelToon NovelToon

Takdir Kedua

Dira… aku pulang

Ruangan gelap dan pengap.

Shinta Bagaskara membuka mata, masih bisa merasakan sakit menusuk di dadanya.

Baru beberapa saat lalu, ada sebilah pisau yang menancap di sana.

Rasa dingin tajam dari pisau itu saat menembus jantungnya masih jelas di ingatan—nyeri hebat yang merambat ke seluruh tubuh, seakan meretakkan tulangnya.

Darah terus mengalir ketika ia tergeletak di lantai, napasnya makin lama makin lemah.

Pandangan terakhirnya adalah wajah Dira Bagaskara yang juga terbaring di lantai, matanya melotot penuh kebencian.

Dira mati. Shinta sendiri yang mencabut pisau dari dadanya, lalu menusukkannya ke Dira, memilih mati bersama.

Dira… dulu adalah adik yang paling ia sayangi, orang yang paling ia percaya di dunia ini.

Tapi ternyata, dialah orang yang menghisap habis nilai hidup Shinta, bahkan sampai menginginkan nyawanya.

Dira menggunakan Shinta untuk mendekati Fajar Pramudya.

Menggunakan Shinta untuk jadi pelukis terkenal.

Menggunakan Shinta untuk jadi aktris pemenang penghargaan.

Menggunakan Shinta untuk membuat perusahaan Bagaskara Group masuk jajaran lima ratus besar dunia.

Semua kejayaan ia rebut sendiri, sementara di balik senyumnya yang polos dan tidak bersalah, setiap langkahnya adalah untuk menghancurkan Shinta.

Karena iri dengan bakat melukisnya, Dira bahkan mematahkan tangan Shinta dengan tipu daya.

Dan ketika nilai Shinta sudah habis, makanan dan minumannya diracuni perlahan.

Semakin ia mengingat, semakin kencang Shinta menggenggam seprai. Dada dipenuhi amarah dan kebencian yang tak terbendung.

Dira menghancurkan hidupnya, merebut keluarganya, dan merampas segalanya.

Lalu… bagaimana dengan sekarang?

Bukankah ia sudah mati?

Kenapa ia masih hidup?

Apa Dira yang sengaja menyelamatkannya hanya untuk menyiksa lagi?

Shinta menggeleng. Tidak mungkin. Dira tidak akan pernah menyelamatkan dia. Lagi pula, ia sendiri yang sudah menusuk Dira sampai mati.

Barulah ia mulai memperhatikan sekeliling.

Rumah bata tua yang lapuk. Selimut bau apek. Tempat tidur pendek yang bahkan tidak cukup untuk tingginya. Semua begitu familiar.

“Rumah keluarga Wulan?” gumamnya serak, jarang bicara setelah sekian lama.

Ia menekan dadanya. Tidak mungkin ia lupa tempat ini.

Tujuh belas tahun hidupnya dulu dihabiskan di rumah ini—dan semua yang pernah terjadi di sini adalah mimpi buruk yang membekas seumur hidup.

Bagaimana mungkin ia kembali ke sini?

Alisnya berkerut dalam.

Tiba-tiba—

Suara seorang wanita terdengar dari pintu, kasar dan penuh ketidaksabaran.

“Dasar anak sial! Kenapa belum bangun juga?”

“Kalau bikin adikmu nunggu, awas saja kau nanti!”

Wanita itu, Sari Wulandari, masuk dengan celemek masih terikat di pinggang. Begitu melihat Shinta duduk di ranjang, wajahnya tambah kesal.

“Cepat bangun! Cuma demam kecil, dua hari sudah berbaring. Kau pikir kau putri kaya? Huh! Cuma sampah yang aku pungut, jangan sok besar kepala!”

Waktu Shinta sakit, Sari terlalu pelit untuk membawanya ke dokter atau membeli obat. Jadi ia dibiarkan begitu saja.

Sari mengelap tangannya di celemek. “Cepat siap-siap. Orangnya sudah datang.”

Mendengar itu, hati Shinta mencelos. Wajahnya seketika dingin.

Benar… ia kembali ke masa sebelum dibawa pulang ke keluarga Bagaskara.

Sari melihat Shinta masih diam, langsung ngomel lagi, “Apa kau mau aku yang pakaikan baju?”

Dari dapur tiba-tiba tercium bau gosong.

“Ik! Ikanku!”

Keluarga Wulan miskin. Bisa makan ikan saja sudah termasuk mewah. Begitu sadar ikannya gosong, Sari langsung menyalahkan Shinta.

“Anak pembawa sial! Sejak kau datang, tidak ada satu pun hal baik terjadi di rumah ini!”

Sambil menggerutu, Sari buru-buru ke dapur.

Shinta bangkit dari ranjang. Perutnya kosong, sudah dua hari tidak makan. Di meja ruang tamu ada sepiring sayur, sedikit ikan gosong, dan sebakul nasi putih.

Ia hanya sanggup menghabiskan sepiring kecil nasi. Bertahun-tahun diperlakukan buruk, lambungnya sudah terbiasa kecil. Dua hari tidak makan pun, ia hanya bisa menelan segitu.

“Sudah siap?” Seorang pria berjas masuk ke dalam.

Sari, yang sedang menata ikan gosongnya, langsung keluar dapur dan menyunggingkan senyum ramah. “Siap, siap.”

Begitu pria itu pergi lagi, wajah Sari berubah galak. Ia melotot ke arah Shinta. “Dasar anak sial! Cepat bereskan barang-barangmu!”

Shinta memang tidak berniat lama-lama di rumah Wulan. Ia kembali ke kamar, membereskan barang. Tak banyak yang ia punya, jadi sebentar saja sudah selesai.

Begitu keluar, Sari sudah menunggu di halaman bersama yang lain.

Ia mendekat, lalu memberi peringatan dengan nada tajam:

“Dengar baik-baik! Begitu kau kembali ke keluarga Bagaskara, kau harus selalu baik pada adikmu. Kalau bukan karena dia, kau tidak mungkin bisa kembali! Dia suruh kau ke timur, kau jangan berani ke barat! Paham?!”

“Dasar bocah nggak tahu diri!” kata Sari sambil bersiap menjewer lengan Shinta. Tapi Shinta hanya menatapnya dingin.

Tatapan itu membuat hati Sari ciut, tangannya pun langsung ditarik kembali.

Ia mengernyit kesal. Apa Shinta sekarang sudah berani melawan?

Tangannya lalu menunjuk Shinta sambil melontarkan sumpah serapah.

Rasa sebal jelas terlihat di mata Shinta. Ia langsung menangkap jari tengah Sari dan memelintirnya. Ucapannya terdengar datar tapi menusuk,

“Mulutmu nggak pantas buat menghina aku.”

“Aw!” wajah Sari meringis kesakitan. Ia berteriak marah, “Dasar anak sialan! Berani sekali kau melawan?! Jangan kira cuma karena kau jadi nona Bagaskara, aku nggak bisa mengajarimu!”

Suara teriakannya nyaring menusuk telinga. Shinta sampai harus mengorek telinganya sebelum melepaskan tangan itu.

Ia lalu menunduk sedikit, mendekat ke telinga Sari, lalu terkekeh pelan.

“Tenang aja. Semua perlakuan kalian selama ini… akan aku hitung satu per satu. Termasuk anak kesayanganmu itu.”

Habis bicara, Shinta mengeluarkan sebutir permen susu. Ia buka bungkusnya, masukkan ke mulut, lalu naik ke mobil.

“Anak kurang ajar! Dasar serigala berbulu domba! Aku yang membesarkanmu sekian lama, tapi kau malah melawan aku begini. Kalau bukan karena aku, entah kau sudah mati di mana!” Sari sempat terdiam karena ucapan Shinta, tapi begitu sadar, ia kembali mengomel sambil meludah ke mana-mana.

“Jalan.”

Shinta hanya memerintah singkat. Ia sudah terlalu terbiasa dengan tamparan dan makian Sari. Sejak kecil ia nggak pernah tahu kenapa orangtuanya selalu membencinya, sampai akhirnya ia dibawa pulang… dan sadar bahwa ia bukan anak kandung mereka.

Sebenarnya, identitasnya sudah ditukar. Dira yang seharusnya tumbuh di desa, justru menikmati status sebagai putri besar keluarga Bagaskara. Sementara Shinta sendiri menderita di kampung.

Dan ketika akhirnya dipulangkan, “orangtua kandungnya” itu pun hanya mengakui Dira sebagai anak.

Ironisnya, Shinta dulu masih rela merendahkan diri, berharap diberi sepotong kecil kasih sayang. Bahkan secuil perhatian dari Dira saja, ia berusaha keras untuk mempertahankannya.

Kini, duduk di mobil, Shinta menatap keluar jendela pada pemandangan yang terus bergeser ke belakang.

Sudut bibirnya terangkat tipis, tapi senyumnya dingin menusuk.

Tidak lagi. Ia tidak akan pernah lagi terbuai oleh kehangatan palsu itu.

Dira… aku pulang.

Awal Kebangkitan

Begitu tiba di rumah keluarga Bagaskara, mereka sedang makan malam bersama.

Pelayan rumah Bagaskara mengantar Shinta Bagaskara masuk. Tiga anggota keluarga Bagaskara sempat terdiam beberapa detik.

Laraswati Bagaskara melirik Shinta dari atas sampai bawah, lalu langsung mengernyit melihat penampilannya.

“Kakak.”

Dira Bagaskara yang pertama bereaksi. Wajahnya penuh senyum hangat. Ia meletakkan sendok dan garpu, lalu mendekati Shinta dengan manis, bahkan mencoba meraih lengannya. Tapi Shinta cepat-cepat menghindar. Gerakan penolakannya jelas sekali.

Senyum Dira sempat kaku, tapi segera ia pulihkan. “Kakak, kau pasti lapar, kan? Ayo makan bareng.”

Ia lalu menyuruh pelayan rumah Bagaskara, “Cepat bawakan piring dan sendok-garpu untuk kakak.”

Shinta melirik sekilas meja makan itu. Jelas sekali, mereka sama sekali lupa bahwa hari ini dirinya akan pulang. Ada senyum mengejek yang samar muncul di matanya. Ia langsung berjalan mendekat, duduk di kursi tanpa basa-basi.

Dira dengan sigap mengambilkan sepotong ikan bakar untuknya. “Kak, makan yang banyak ya. Di desa pasti jarang bisa makan makanan enak begini.”

Haryo Bagaskara pun ikut menimpali, “Shinta, di sini beda dengan desa. Hidup di Kota Hastinapura butuh waktu untuk menyesuaikan diri.”

Sejak awal, Haryo sama sekali tidak punya rasa sayang sebagai ayah terhadap putri yang baru dipulangkan ini. Alasan ia menjemput Shinta hanyalah agar bisa menikahkannya dengan keluarga yang setara, demi memperkuat kedudukan keluarga Bagaskara.

Tatapan jijik di matanya saat melihat Shinta pun tak bisa disembunyikan.

Benar saja, bocah desa. Sama sekali nggak pantas di tempat ini.

Shinta tak peduli dengan sandiwara ayah dan anak itu.

Ia menatap makanan di piringnya, keningnya berkerut. Tak lama kemudian, ia menyingkirkan piring itu ke samping, bangkit, lalu melangkah ke dapur untuk mengambil piring baru sendiri.

“Kakak…” Dira menggigit bibir bawahnya, wajahnya penuh keluhan.

Shinta hanya melirik sekilas, lalu dingin menjawab,

“Kotor.”

“Pak!”

Suara keras terdengar saat Haryo membanting sendok dan garpunya ke meja.

“Shinta, apa kau tidak punya sopan santun?”

“Aku anak yang tidak pernah diajari orangtua. Jadi wajar kalau sopan santunku nggak ada bagus-bagusnya.”

Shinta sama sekali tidak berniat menjalin hubungan baik dengan keluarga Bagaskara. Di kehidupan sebelumnya, ia sudah rela meletakkan harga dirinya di bawah kaki mereka, membiarkan diinjak, tapi tetap tidak pernah bisa mendapatkan hati mereka. Di mata keluarga ini, hanya ada kepentingan.

Kali ini, tujuannya kembali hanya satu: membuat keluarga Bagaskara tidak akan bisa hidup tenang lagi.

“Kau!” wajah Haryo langsung memerah pucat bergantian, marah tak karuan.

Sementara itu Shinta malah santai menikmati makanan, wajahnya penuh selera.

Melihat sikapnya, Haryo langsung berdiri, mendengus dingin, lalu berjalan naik ke lantai atas tanpa melanjutkan makan.

“Shinta, lihat tuh! Sampai bapakmu dibuat marah begitu.” Laraswati menatap Shinta dengan kesal.

Namun saat menoleh pada Dira, tatapannya langsung berubah lembut. “Dira, kakakmu itu nggak ngerti tata krama. Tolong ajari dia, ya.”

“Iya, Mama.” Dira mengangguk manis, suaranya lembut penuh pengertian.

“Anak baik.” Laraswati tersenyum puas, lalu ikut naik ke atas. Walaupun sebenarnya dia juga tak suka Shinta, bagaimanapun Shinta adalah anak kandungnya—jadi ia masih harus berpura-pura.

Begitu suasana tenang kembali, Dira menoleh pada Shinta.

“Kakak, kalau sudah kenyang, aku ajak kau jalan-jalan. Sekalian beli baju baru untukmu…”

Ucapan itu membuat Dira kembali teringat pada penampilan Shinta saat pertama kali bertemu tadi.

Atasan hanya kaos putih sederhana dengan jaket tipis di luar. Bawahannya celana jeans lama yang warnanya sudah agak pudar. Tapi meski sederhana, tubuhnya proporsional, kaki panjang jenjang, dan justru makin menonjolkan pesona elegan yang tidak bisa disembunyikan.

Dira menatap lebih teliti. Rambut hitamnya terurai lembut, mata jernih bercahaya, wajahnya masih terlihat muda, tapi cantiknya begitu memukau—sudah bisa ditebak, suatu hari nanti, ia akan jadi kecantikan yang mampu mengguncang dunia.

Tanpa sadar, Dira menggigit bibir. Sebelumnya ia selalu meremehkan Shinta. Hanya seorang anak desa, mana mungkin bisa dibandingkan dengannya—seorang putri Bagaskara yang sejak kecil dibesarkan dengan pendidikan bangsawan?

Namun sekarang, alarm di hatinya berdentang kencang.

Wajah itu… ditambah dengan aura alami yang seolah terlahir untuk jadi ratu. Tidak akan ada yang percaya kalau dia cuma orang desa.

Bahkan dirinya sendiri, berdiri berhadapan begini, bisa kalah pamor.

Tidak. Ia tidak boleh membiarkan Shinta merebut segalanya darinya!

Dira buru-buru menenangkan diri, lalu tersenyum lembut.

“Aku akan bantu Kakak berdandan, biar makin cantik.”

Shinta mengambil tisu, menghapus bekas minyak di bibir, lalu menoleh dengan senyum tipis.

“Dira, sekarang Haryo dan Laraswati nggak ada di sini. Kau nggak perlu lagi pura-pura manis di depanku.”

Sekejap saja wajah Dira berubah. Umurnya baru tujuh belas tahun, pikirannya masih belum matang untuk menutupi segalanya. Topeng ramah yang tadi ia pakai langsung runtuh. Wajahnya terpelintir penuh kebencian.

Shinta melangkah melewatinya, lalu berhenti sebentar dan berbisik,

“Barang yang bukan milikmu… selamanya takkan jadi milikmu.”

“Shinta!” Dira menggertakkan gigi. “Mereka hanya mengakui aku! Aku satu-satunya putri keluarga Bagaskara. Kau bukan siapa-siapa!”

“Putri keluarga Bagaskara?” Shinta tersenyum miring, suara tawanya terdengar sinis.

“Dari dulu aku tak pernah peduli dengan gelar itu.”

Kehormatan dan kejayaan? Kehidupan kali ini, ia akan menciptakan dengan tangannya sendiri.

---

Sampai di lantai dua, Shinta memilih kamar di sisi paling kiri.

Setelah membereskan sedikit barang, ia langsung duduk dan mulai berpikir tentang langkah selanjutnya.

Yang paling mendesak sekarang: uang.

Untuk membangun perusahaannya sendiri, ia butuh modal besar.

Mencari ratusan juta atau bahkan miliaran dalam waktu singkat jelas bukan perkara mudah. Tapi kemudian, satu cara langsung terlintas di benaknya.

Main saham.

Pasar saham bisa membuat orang jatuh bangkrut dalam semalam, tapi juga bisa melahirkan miliarder dalam hitungan hari. Kekayaan bisa berlipat ganda, bahkan puluhan kali lipat.

Di kehidupan sebelumnya, Shinta dikenal sebagai “Dewi Saham”. Ia tak pernah sekalipun gagal saat terjun ke pasar.

Saat rantai modal Bagaskara Group nyaris putus, justru Shinta yang menggunakan sisa dana keluarga, lalu membawanya ke pasar saham—dan berhasil melipatgandakannya lebih dari sepuluh kali lipat, menyelamatkan Bagaskara Group dari kehancuran.

Tapi, jasa sebesar itu akhirnya dicuri oleh Dira.

Setelah merencanakan semuanya, Shinta mulai menulis di atas kertas, mencatat berbagai cara untuk mendapatkan modal. Main saham jelas butuh dana awal. Dari sekian banyak pilihan, akhirnya ia mengerucutkan pada satu cara terakhir.

Baru saja ia meletakkan pena, tanpa mengetuk pintu, seorang pelayan rumah Bagaskara langsung masuk. Suara langkahnya “tak-tok, tak-tok” cukup berisik, membuat Shinta berkerut kesal.

Bukan Lagi Anak Desa

Pelayan rumah Bagaskara melempar begitu saja setumpuk pakaian dan perlengkapan mandi ke lantai, nadanya sinis.

“Ini baju dan perlengkapanmu. Nyonya suruh aku bawakan.”

Setelah bicara, ia bergumam sambil hendak pergi,

“Dasar sok jadi nona besar. Baru pulang sudah minta dilayani.”

Dari beberapa hari terakhir, jelas terlihat bahwa Laraswati dan Haryo Bagaskara memang tidak terlalu peduli pada Shinta. Apalagi Shinta berani menentang Haryo saat baru pulang tadi.

Pelayan kecil ini tipikal penakut pada yang kuat, arogan pada yang lemah. Tak heran ia berani melecehkan Shinta.

“Tunggu.”

Shinta berbalik, matanya menyipit, menatap tajam pelayan itu.

Hanya seorang pelayan kecil?

Di kehidupan sebelumnya, Shinta terbiasa menelan semua hinaan demi mendapat muka baik di hadapan Laraswati dan Haryo. Akibatnya, para pelayan pun tidak pernah menganggapnya sebagai putri Bagaskara. Apalagi, di balik semua ini jelas ada bisikan-bisikan Dira.

Tapi kali ini berbeda. Untuk orang-orang yang tidak penting seperti ini, Shinta tidak akan merendahkan diri.

Ia mendengus pelan.

“Kau siapa, berani bersikap begini pada majikan? Meski aku baru pulang dari desa, aku tetap darah Bagaskara. Masa kau, seorang pelayan rendahan, berani naik ke kepalaku? Katakan, kalau aku laporkan ke Haryo, kira-kira apa yang akan terjadi padamu?”

Aura dingin Shinta membuat udara seolah ikut membeku.

Pelayan itu langsung terpaku. Tatapan Shinta begitu menusuk, ucapannya berputar di kepalanya.

Ia memang benci Shinta—ah, paling juga cuma anak yang tidak dianggap. Apa haknya bisa sombong?

Namun saat pikiran itu muncul, wajahnya tiba-tiba menegang, darahnya serasa mengalir dingin. Bagaimanapun, Shinta tetaplah putri kandung tuan dan nyonya besar. Meskipun tak disayang, ia tetap jauh lebih tinggi kedudukannya dibanding seorang pelayan kecil seperti dirinya.

Kalau benar-benar sampai dilaporkan, ia bisa dipecat kapan saja.

Membayangkan itu, wajahnya pucat pasi. Ia buru-buru membungkuk, nadanya rendah penuh penyesalan.

“Nona, saya yang lancang. Maafkan saya, saya tidak akan berani lagi.”

Shinta melirik ke arah pintu. Isyaratnya jelas: keluar.

Pelayan itu langsung menghela napas lega, lalu kabur dengan tubuh gemetaran. Bahkan jalannya pun hampir tersandung-sandung.

Setelah ia pergi, Shinta tak sekalipun melihat baju dan barang-barang yang tadi dijatuhkan. Ia angkat dan langsung membuang semuanya ke tempat sampah.

Setelah membersihkan diri seadanya, Shinta naik ke ranjang.

Namun meski sudah berbaring, matanya tak juga terpejam. Ia kembali memikirkan semua kejadian hari ini. Rasanya seperti mimpi. Ia bukan tipe orang yang percaya hal gaib, tapi kesempatan hidup kedua yang benar-benar ia alami ini tak bisa dipungkiri.

Kali ini, ia bisa memperbaiki semua yang hilang.

Kakek Winarta…

Ia tidak akan lagi membiarkan siapa pun memutuskan hubungannya dengan keluarga Pramudya.

---

Keesokan paginya, Shinta sudah bangun lebih awal.

Dira berangkat sekolah lebih pagi, jadi ketika Shinta turun, hanya Haryo dan Laraswati yang sedang sarapan.

Shinta menarik kursi, duduk dengan tenang di meja.

“Shinta,” Haryo membuka mulut. “Besok aku akan urus kepindahanmu ke sekolah di sini. Kota Hastinapura berbeda dengan desa. Sistem pendidikannya lebih maju, anak-anak di sini pintar-pintar. Nilai terbaik di desa, sampai sini pun cuma jadi paling bawah. Apalagi nilaimu memang tidak bagus dari awal.”

Bagi Haryo, pada dasarnya ia tidak punya harapan apa pun pada Shinta. Anak yang tumbuh di desa bisa apa?

Untung saja mereka masih punya Dira. Sejak dulu selalu masuk sepuluh besar di sekolah, bahkan jadi murid Raden Wijaya dalam seni lukis. Itu cukup membuat Haryo bisa sedikit angkat kepala.

Shinta tidak menjawab. Dia hanya mengambil sepotong roti dan pelan-pelan mengunyahnya.

Laraswati juga tidak terlalu peduli.

“Aku sudah kenyang,” kata Shinta setelah makan beberapa potong roti, lalu berdiri dari kursinya.

Begitu melihat pakaian Shinta, Haryo langsung mengernyit. Ia menoleh pada Laraswati.

“Kau tidak menyiapkan pakaian untuk Shinta?”

Laraswati pun ikut mengerutkan dahi. “Aku sudah suruh pelayan mengantar, kok.”

Mata mereka berdua serentak mengarah ke Shinta.

Shinta menyipitkan mata, berpikir sebentar, lalu perlahan membuka mulut.

“Jelek.”

Semua pakaian itu dipilih oleh Dira. Ia sudah melihat foto Shinta sebelumnya, jadi sengaja memilih baju-baju yang kuno dan kebesaran.

Di kehidupan sebelumnya, Shinta terus-menerus diejek kampungan karena pakaian itu. Haryo dan Laraswati bahkan tidak berani mengakui Shinta sebagai anak mereka di depan orang lain.

Wajah Laraswati mengeras. Benar saja, Shinta sama sekali tidak seperti Dira yang manis dan pengertian.

“Shinta, kalau kau tidak suka, ya sudah. Pilih saja sendiri yang kau mau.”

Haryo mengeluarkan sebuah kartu bank dan menyodorkannya.

“Di dalam ada lima juta rupiah.”

Menurut Haryo, memberi Shinta lima juta sudah cukup sebagai bentuk tanggung jawab seorang ayah. Anak ini kan besar di desa, seumur hidupnya mana pernah pegang uang jajan sebanyak itu. Dia pasti akan sangat terharu.

Tapi Shinta tidak mengambilnya. Dia malah menatap ayahnya dengan senyum mengejek.

“Dira juga cuma dapat lima juta uang jajan?”

“Dua puluh juta,” jawab Haryo blak-blakan.

“Pak,” Shinta menekankan sebutan itu dengan nada berat. “Sebagai anak kandungmu sendiri, aku bahkan tidak sebanding dengan anak angkatmu?”

Itu pertama kalinya sejak dia kembali hidup lagi, Shinta memanggilnya “Ayah.”

Di kehidupan sebelumnya, dia sudah melunasi semua hutang darahnya pada mereka. Di kehidupan ini, dia tidak akan lagi menyerah atau berkompromi.

Apa yang seharusnya jadi miliknya, akan dia rebut kembali.

Belum sempat Haryo menjawab, Laraswati sudah melompat, “Shinta, bagaimana bisa kau membandingkan dirimu dengan Dira? Dia punya banyak teman, banyak kebutuhan. Kau baru pulang dari desa, memangnya butuh uang untuk apa?”

Shinta mengabaikan Laraswati. Tatapannya tetap tenang, tapi menusuk Haryo.

Senyum di wajah Haryo hampir pudar. Dipandangi seperti itu oleh Shinta membuatnya kikuk dan tidak nyaman.

Akhirnya ia mengalah. “Baik, aku yang salah. Mulai sekarang uang jajanmu sama seperti Dira.”

Tapi Shinta belum selesai.

“Selama delapan belas tahun terakhir, total berapa uang jajan yang sudah diterima Dira?”

“Shinta!” Wajah Laraswati langsung memerah padam. “Apa kau ingin merebut semua yang dimiliki Dira?”

Shinta terkekeh dingin.

“Kalau saja tidak ada salah tukar waktu itu, bukankah Dira yang akan jadi ‘anak desa’? Semua yang dia nikmati sekarang sebenarnya bukan miliknya. Jadi dari mana kata ‘merebut’ itu?”

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!