NovelToon NovelToon

Peluru Rasa Kavaleri Timur

Satu ~ To much different

...Teruntuk pembaca...

...Karya ini hanya FIKTIF belaka. Semua nama tokoh, kejadian, latar, setting dibuat berdasarkan imajinasi penulis saja. Jika ada kesamaan, itu hanya sebuah kebetulan saja....

...Tidak berniat mencolek atau menyangkutpautkan dengan sebuah lembaga atau instansi tertentu....

Bijaklah berkomentar, welcome untuk pembaca baru di genre klan Ananta yang bakalan beda vibesnya dari klan lain, happy reading guys 😊

...----------------...

Lebih baik pulang tinggal nama, daripada gagal di medan pertempuran.

Sibakan seragam pdh yang bahkan licinnya mengalahkan pualam itu membalut badan atletis tempaan alam dan kawah candradimuka. Hijau bak lumut dengan segala tanda kehormatan yang menempel siap terganti dengan pangkat selevel lebih diatasnya.

Mereka mematut diri di cermin, mungkin hal itu yang sedang dilakukan beberapa prajurit dengan tingkat golongan berbeda saat ini, termasuk Teuku Agrarussel Hakim.

Ditatapnya foto dalam frame di atas meja kecil, potret dirinya dalam balutan seragam putih abu yang mampu menarik memorinya ke masa-masa dimana ia masih mencari jati diri. Hidup memang sekomedi ini, atau justru ia-nya saja yang terlalu konyol. Nyatanya, alasan patah hati, bisa membawanya sejauh ini di dunia militer.

Ia bertekuk lutut di depan seorang wanita, bersama sebuah buket bunga di tangan diantara riuhnya suasana jam istirahat sekolah.

"Bu, saya suka ibu deh...ibu suka saya engga?"

Namun sikapnya siang itu, justru membuat sang guru cantik membawa sosok lelaki yang ia perkenalkan sebagai calon suami di depan khalayak ramai.

"Kalo gue jadi elu sih, gantung diri udah jadi keputusan paling bener..." ujar Panji sambil tertawa.

Kalingga menggeleng, "gue mah lebih milih masuk barak biar langsung di kirim ke medan perang, seenggaknya ngga malu-malu banget. Matinya secara terhormat."

Dan Ryu lebih parah, "besok gue pindah sekolah lah, muka gue pasti ditandain soalnya mirip nih murid ngga tau diri. Ngga kira-kira banget lu, Sel ah nembak guru...."

"Gue ingetin kalo lo lupa Ry, nih abang lo nih, udah ngejar bu Ayu dari kelas XI. Jangan mentang-mentang anak om Dewa, terus Lo pikir semuanya bisa lo takar pake uang."

Ryu berdecih diantara seragam yang telah kusut dan kacau, rapat MPK sekolah membuatnya berpeluh seharian sebab harus berdebat dengan OSIS yang tidak lain adalah Kalingga, "lo gila boleh tapi jangan ngabisin kewarasan lo sampe nol gini, sampe ngajak guru merit, malu gue."

"Lo semua bisa diem ngga?! Berisik!" bentak Russel.

~~

Zahra mondar-mandir mencari barang-barang kecil yang memang seharusnya dapat menyempurnakan penampilannya di acara formal hari ini.

"Abang, liat anting mutiara aku ngga yang sebelah? Tadi jatoh ngga sengaja kesenggol..." tanya nya pada sang suami dengan gerakan panik bolak-balik memasang kain songket di pundaknya, "peniti mana sih.." gumamnya.

Mau-maunya Dewa berjongkok memendarkan pandangan ke sekeliling kolong meja disaat pinggang sedang tak ingin dibikin susah begini, "Ry! Bantuin umimu ini Ry..." teriaknya kemudian.

Sementara Ryu, ia justru belum sempat memakai jasnya sama sekali, dengan rambut agak gondrong nan basah ciri khas anak kampusnya. Gelar akademik magister dengan jurusan berbeda dari sebelumnya ia ambil, mungkin setara dengan spesialis jika di bidang kedokteran...entah ingin berapa panjang lagi gelar yang ingin diraihnya, sampai-sampai kacamata sudah bertengger di pangkal hidungnya demi menekuni dunia pendidikan yang tak habis-habis ia kejar.

Horang kaya di dunia Ananta begitu cara buang-buang duitnya ya guys...😊

Bahkan cibiran Russel yang selalu menjadi lawakan sederhana para sepupunya adalah, besok-besok...gelar tukang cendol juga bakalan dia ambil ! Sama halnya Ryu, Kalingga pun tak kalah, ia kini sedang mengejar gelar doktoralnya.

Candaan khas yang selalu dirindukan jika kumpul keluarga Ananta, meski sekarang...untuk berkumpul saja semua itu rasanya sulit sekali termasuk moment lebaran sekalipun, dan yang paling sulit adalah Russel serta Panji. Keputusannya mengambil jalan ninja masuk ke kesatuan militer negri sempat menjadi kontroversi di pihak keluarga.

"Kamu ngga lagi becanda kan, Sel?" tanya ibunya.

"Yakin."

Sadewa, sang ayah menatap anaknya dengan alis terangkat, "alasan logisnya?"

Pffttt! Clemira sampai tertawa ketika om gondrong bertanya demikian, yang benar saja, alasan logis. Sebab Russel memang tak pernah serius dalam hal apapun. Ingat saja ia pernah datang hanya menggunakan bo xer spongebob saja saat acara formal dimana relasi bisnis abi Fath, abi Ray dan ayahnya berkumpul.

"Cinta sama tanah air."

Dan meledaklah tawa Zea, Kalingga, Ryu, Panji dan Clemira.

"Yang bener aja. Cinta yang sempat lo khianati kah? Dia mah justru penghianat bangsa om!"

Dan mereka langsung bubar bak riak air saat Russel melempar sandalnya.

"Woyyy, kena anak gue nih!" omel Clemira, "tanggung jawab! Mas Tamaaa! Dedek nangis gara-gara Russel nih, umiii, ma cut!"

Ia sempat pulang terlebih dahulu, selesai tugas di bumi cendrawasih, pulang sekitar pukul 2 malam tadi. Dan pagi ini, ia memaksa matanya untuk kembali terjaga demi acara kenaikan pangkat.

"Lingga jadi tunggu di gedung utama kan? Umi ngga mau tunggu atau jalan ke rumah dinas abi Fath dulu, nanti keburu keringetan?"

Langkah heels merahnya terhenti sejenak, memastikan sang putra telah menghubungi keponakannya itu, bahkan Ryu masih berusaha bangkit dari jongkoknya namun ibunya sudah menunjuknya, "pastiin lagi!" mutlak. Titahnya itu.

Ryu mele nguh, uminya adalah jelmaan mendiang sang abba, "iya, mi."

Semerbak wangi kayu basah dan mint turut keluar dari pintu yang terbuka, waktu memang dapat mengubah segalanya, dengan restu Tuhan....sosok pria jangkung berkharisma diantara kulit kecoklatannya itu adalah perwira pertama yang kini dengan jerih payahnya bisa masuk ke dalam satuan khusus baret semerah da rah.

Padahal dulunya ia paling sering bikin emaknya nangis sampai berda rah-da rah.

Benar-benar definisi perubahan besar, "ahh. Harusnya gue ngga mandi dulu tadi." ia menepuk jidatnya sendiri.

"Udah?" ia menutup dan mengunci pintu kamarnya, saat menemukan kedua anggota keluarganya sudah menunggu ratunya rumah selesai berdandan.

"Mbak, saya pergi dulu...ini temen nasi diangetin aja kalo mbak sama pak Hidayat mau makan."

"Iya bu, hati-hati...barakallah bang Ucel. Naik pangkat juga ya..." ada senyuman bahagia yang turut mengisi ruang di wajahnya.

"Makasih, mbak."

"Yuk buruan yuk...." ajaknya tergesa tapi ia tetap membetulkan dasi sang suami, "cakep ngga?" tanya Dewa menaik turunkan alisnya.

"Cakep anak-anaknya." Jawab Zahra.

"Cle sama Ze udah ada di rumah abi Fath, umi Eyi nyusul sama abi Ray, katanya lagi ada acara kenaikan pangkat juga disana. Panji, ngga bisa...lagi nugas di luar. Om Ganesh otewe, macet. Naka sama istrinya paling sampe nanti siang balik dari kampus, langsung ke rumah dinas abi Fath. Oma sama opa ngga bisa ikut, ngga kuat buat nunggu acara formal begitu, nanti kita yang ke rumah sana, soalnya ada sodara yang lain juga."

Ryu sampai memijit kepalanya di tengah fokusnya mengemudi, mengabsen satu persatu anak--cucu sampai cicit dari keluarga Ananta dan keluarga Kurniawan cukup menguras otak. Sekalinya ada acara mesti nyewa gedung cuma buat keluarga.

Apalagi Russel, baru naik pangkat...gajinya harus habis gara-gara syukuran kenaikan pangkat, belum lagi ia yang harus memenuhi tradisi kenaikan pangkat seorang perwira, traktir satu peleton atau satu unit paling minimal.

Acara kenaikan pangkat ini adalah kata lain, *membangkrutkan diri* untuknya di bulan pertama kenaikan gaji.

Sementara di lain tempat. Diantara kemeriahan dan euforia rasa bangga, ada tatapan getir, ada pikiran berkelana menanti kepastian. Ada harap orangtua yang mereka gantungkan demi kehadiran sang putri bungsu.

Tuut...

Tuut...

Sepatu pantofel wedges hitam mengkilat membalut kaki-kaki putihnya itu kontras dengan rok batik berpotongan mermaid, berulang kali langkahnya itu menyusuri lorong menuju dapur, kembali ke ruang tengah, lalu kembali lagi begitu seterusnya. Dan ketika panggilannya terdengar diangkat di sebrang telfon sana, ia langsung menyemburkan segala isi hati dan pikiran yang sudah berdesakan di pangkal lidah.

"Kamu tuh sama sekali ngga ada rasa gimana gitu, papa itu ayah kita, La...masa acara sepenting ini kamu ngga datang, mau sampai kapan kamu begitu sama orangtua, hm? Papa nungguin kamu, mama sampe nangis kamu ngga ada respect sama keluarga sendiri...minimalnya datang walau cuma sejam dua jam terus kamu mau terbang ke Kota karang lagi juga terserah!" ia bahkan sampai ngos-ngosan saat berbicara.

Biasanya ia akan menjaga nada bicaranya, melatih kesabaran apalagi profesinya seorang tenaga pendidik, tapi jika berhadapan dengan sang adik, entahlah bawaannya ia harus selalu mengeluarkan urat-urat kemarahan. Dimana, keluarganya tidak pernah harmonis lagi semenjak Jenggala sang adik, memilih pergi dari rumah dan tinggal bersama sanak saudara mama di Kota Karang.

.

.

.

.

Dua~ Enjoy your flight

Ada helaan nafas lelah. Dirinya baru saja mencuci muka selepas bangun, bersama hawa pagi yang terasa lebih kering saat memasuki musim kemarau begini.

Ia menjambak rambutnya singkat demi mencabut rasa kleyengan tepat di tengah ubun-ubunnya. Semalam ia pulang jam 2 dini hari, dan pagi ini harus diributkan dengan desakan panggilan sang kaka.

Diraihnya kalender kecil yang berdiri di atas meja kecil, dimana tanggal-tanggalnya tak pernah ia lingkari lagi dengan spidol. Tentang ulang tahun papa, ulang tahun sebuah kesatuan, tentang perayaan besar bersama nuansa hijau yang memenuhi ruang retina mata.

...Om Cikal...

📩 Dek, bapak naik pangkat. Jadwal upacara pelantikannya 14 April. Kalau sempat pulanglah.

...Mamaku...

📩 Nak. Lala...udah lama ngga pulang. Mama kangen, sesibuk itu ya kerjaan kamu?

...Panggilan tak terjawab 3...

...Panggilan keluar...

📩 La, jangan lupa makan ya nak.

...Panggilan masuk...

📩 Jangan ambil job yang larut lah, nak.

📩 La, udah pulang. Mama telfon Tanta Yubi, kau pulang jam 3, iya kah, La?

...Panggilan tak terjawab 4...

...Kak Ayunda...

📩 La, papa naik pangkat. Bisa ambil jadwal pulang ngga?

...Panggilan tak terjawab 5...

📩 Mau sampai kapan diem gini sih La? Angkat telfonku!

Panggilan masuk 2 menit 30 detik

Ia kemudian turun dari kasur, suara gemerisik bernada asalnya dari tirai kerang-kerangan lautnya yang sengaja ia pasang di depan pintu kamar dan jendela. Sepatu bootnya masih teronggok berantakan di bawah kasur bekas ia live music semalam.

Tak butuh effort lebih untuk membawa rambutnya jadi satu, sebab rambutnya tak terlalu panjang, bahkan terkesan pendek, hanya sebatas bahu saja.

Gala mengganti kaos slim yang pas di badannya dengan kaos kebesaran. Namun sebelum itu terjadi, mata indah nan hazelnya itu jatuh tertumbuk pada goresan maha karya seniman setempat yang merupakan temannya.

Jenggala, dengan gambar gadis romawi yang memegang seikat gandum terlukis cantik di lengan sebelah kirinya, tak habis dengan itu...tulisan Jenggala lainnya di dada atas sebelah kanannya cukup bisa dilihat siapa saja jika ia memakai baju tanpa lengan, atau bermodel kemben.

Beberapa ikat kepala tenun Buna dan songket berbagai warna terutama motif Lotis tergantung rapi di sisi samping lemari baju kayu.

Ia menatap pantulan diri di cermin seukuran setengah badan. Sepasang mata hazel dengan bagian putihnya masih memerah karena mengantuk dan pusing tak bisa ia tutupi. Bulu mata lentik dan alis indahnya itu sempurna membingkai mata hazel dengan parutan wajah cantik khas timur. Ia juga tak seputih gadis-gadis di ibukota, sebab memiliki kulit sawo matang.

Ia bukan turunan bangsa Arab atau China, maka apa yang diharapkan? Ia hanya turunan sebelah timur dan tengah negri khatulistiwa.

Sejenak jemarinya menjepit hidung mancung yang terasa perih dan berair, lalu beranjak dari duduknya demi bisa ke kamar mandi.

"Pagi Tanta." Peluknya pada sang tante yang telah berdecak memicing sambil membawa Kolo di piring. Nasi bambu itu sudah ia potong jadi beberapa bagian untuk menu santap pagi mereka.

"Mama lu telfon, La. Ck, pulang lah aiiish nona. Kasihan...manangis dia, tau lu pulang larut terus."

Gala hanya mengangguk-angguk untuk kemudian melengos ke kamar mandi, tanpa menjawab apapun.

Om Dandi menggeleng menatap Gala di ujung matanya, "*apa lu ini Gala?! Karmana beta kastau pada Ina dan Amamu, malihat lu macam ini*?" terlihat gurat kecewa dan rasa bersalah di wajah lelah om Dandi.

"*Om dan tanta son bisa manjaga putri bungsu yang dititipkan. Apa pula lu pasang tatoo bagitu? Lebe bae*, Hah?!"

Gala diam dan menghela nafasnya berat, "Ina dan ama son tau, om. Itu biar jadi urusanku." Gala menyudahi sarapannya, baru beberapa suapan namun ia merasa sudah kenyang oleh omelan om Dandi.

"Beta ijin pulang sebentar ka ibukota, om...tanta." Ia lantas menunjukan reservasi tiket penerbangan di ponselnya pada adik dari mama itu, yang akhirnya membuat om Dandi meraup nafas banyak-banyak, ia sangat menyayangi keponakan nakalnya itu, tapi kelakuan Gala ini, masyaAllah!

"Hati-hati, Gala. Sampaikan salam om dan tanta pada Ina dan amamu, juga Ayunda. Pulang lah kembali jika urusanmu sudah selesai." Ucapan lembut tanta Yubi selalu berhasil membuat Gala menunduk patuh.

Tanta Yubi memeluk Gala, keponakan yang sudah mereka anggap layaknya anak sendiri, sebab...sudah 7 tahun menikah, namun keduanya belum jua dikaruniai anak, jadi kehadiran Gala tentu saja kebahagiaan tersendiri untuk mereka.

Gala pergi dengan diantar oleh mobil online pesanannya sebab ia membawa koper pribadi dan ransel. Jika dikira isi kopernya adalah pakaian pribadi, maka salah. Karena yang benar adalah alat dj miliknya yang ia bawa. Entahlah...Gala merasa sebentarnya ini akan sulit benar-benar sebentar.

Ia telah memenuhi semua panggilan live musicnya belakangan ini, dan meminta ijin pada beberapa rumah clubbing atau cafe pinggir pantai tempatnya mengais rejeki hampir setiap malamnya.

***

Ia menunjukan bukti pemesanannya pada loket tiket, lalu mengikuti alur bandara. Ia sempat duduk dan menunggu beberapa saat, bahkan Gala sempat membeli roti dan kopi terlebih dahulu disana.

Bersama lamunan yang mengudara, ia termenung sendiri di bangku tunggu.

Suara empuk announcer dan bel yang mengalun sopan tak bisa mengurangi rasa gusarnya. Sudah berapa lama ia tak pulang ke ibukota? Mungkin di tahun ke dua ini, ia baru menyempatkan kembali untuk bertemu keluarganya, itu pun setelah orang sekelilingnya memaksa dan mendesak, terlebih mama. Ia merindukan mama.

Jika bukan karena mama, jika bukan karena kak Ayunda, ia malas sekali bertemu manusia berjuluk papa. Kepulangannya kali ini bukan untuk memberikan selamat pada sang papa, namun semata-mata hanya untuk menyenangkan hati mama, dimana kak Ayunda bilang, mama sampai sakit memikirkannya, dan kenyataan pahit itu bahkan tak bisa tertandingi oleh rasa kopi di tangannya.

Kembali ia gigit roti yang setidaknya bisa mengisi ruang kosong di lambung setelah tadi ia tak cukup sarapan di rumah.

Tanpa pengawalan seorang ajudan militer papa, ia harus kembali menebalkan rasa sabarnya. Selalu terbayang di benaknya---kondisi paling membuatnya hancur di tahun kedua masa SMA nya, ia benar-benar bertengkar hebat dengan sang papa dan mengatakan kalimat makian bersama perasaan bencinya.

Kondisi itu tak bisa jadi lebih buruk lagi, ketika ia dan papa yang sama-sama keras semakin meruncingkan masalah berujung dengan pertengkaran yang tak pernah usai.

Ia memilih pergi, tanpa mengatakan apapun pada mama dan kak Ayunda selain dari---ia hanya ingin tinggal di tanah kelahiran. Ditambah....huft! Rasa sesak itu benar-benar memukul hancur sisa kewarasannya, semakin membuatnya menutup mata terhadap orang-orang tertentu. Jangan sampai ia menangis di bandara, memalukan!

Suara bel bandara kembali berbunyi, disusul suara empuk announcer yang memanggil jadwal penerbangan ke ibukota. Gala beranjak dan menggusur kopernya, menenteng paper bag kopi dan roti dengan jaket yang ia apit di lengan.

Enjoy your flight.... Sambil mengatupkan kedua tangannya.

Begitu sapa ramah seorang pramugari ketika ia sudah memasuki pesawat untuk mencari tempat duduk.

Matanya langsung tertuju pada angka yang sama dengan yang tertera di boarding pass.

Hmm, oke here we go...Ibukota dan segala mimpi buruknya, aku datang!

.

.

.

.

Hay sayang-sayangnya aku di bagian timur, jika ada kekeliruan atau kerancuan bahasanya, mohon dimaklumi ya, dan dibenarkan 😁🙏

Tiga~ Mar Be Kastau Kalo Ini Nona Manis Pu Nama

Sekitar 4 jam ia melakukan penerbangan, akhirnya mata indah yang mengerjap setelah sempat tertidur itu kini menatap ke arah jendela pesawat yang sengaja tak ia tutup dengan gordennya.

Ia begitu yakin saat melihat gedung-gedung pencakar langit berderet begitu rapat, ia begitu yakin saat melihat bangunan-bangunan yang menghampar berantakan dan sibuk---jika sekarang, dirinya tengah mengudara di atas langit ibukota, bukan lagi berada di Kota Karang.

Oke, ia hampir lupa jalanannya. Untung saja sekarang ini sudah jamannya online. Ia hanya tinggal pesan saja dan seseorang dengan mobilnya akan mengantarkannya ke kandang macan!

"Kak Gala?" seorang dengan kaos santai menunjuk Gala di depan terminal kedatangan. Semacam gestur memastikan.

"Oh iya. Pak Agus ya?" senyumnya terurai.

Ia menggusur koper dibantu oleh pak Agus yang memasukannya ke dalam bagasi mobil.

**

Beberapa kali laju mobil yang ditumpangi harus terhenti sebab kemacetan dan banyaknya lampu merah.

"Ibukota emang macet mbanget e kak." Gala langsung mengalihkan bola matanya ke arah rear vision, dimana kini ia tengah bertegur tatap dengan supir bernama pak Agus ini.

Sebenarnya si supir ragu mengajak Gala untuk mengobrol, sebab gadis ini terlihat anteng saja waktunya terbuang-buang begini, tak seperti kebanyakan penumpangnya yang mudah merasa jengkel. Namun demi kenyamanan dan keamanan akunnya, ia akhirnya bersuara biar ngga dikasih ulasan buruk, setidaknya alasan Gala ngasih bintang 5 itu, karena keramahannya.

Bahkan kini pak Agus merasa bersalah telah mengganggu kekhusyuan Gala yang tengah memperhatikan jalanan.

"Oh, iya pak." Jawabnya, "masih aja, ya?" kekeh Gala.

Pak Agus kini tersenyum lebar manakala menemukan sinyal positif dari kalimat Gala, jika ia tak terganggu.

"Habis liburan yo kak, datang lagi ke ibukota, yo stress maning..." kelakarnya namun kemudian ia mengatupkan tangannya dan mengakhiri itu dengan minta maaf telah so tau.

Alih-alih marah, Gala justru terkekeh kecil, "iya."

Satu yang pak Agus tau, jika penumpang yang dibawanya adalah penghuni kandang macan, itu terbukti dari lokasi tujuannya sekarang.

Belokan dengan ornamen jalanan berbau kandang macan sudah menyibak rasa gugupnya, mulai dari sangkur tertancap, patung gorilla dan yang lain tentunya begitu iconic. Cukup dibuat gusar dan tak nyaman lebih tepatnya saat setiap meter jalanan telah digiling ban mobil hingga gerbang besar yang masih gagah menjulang dengan motto dan semboyan komando pasukan khusus terasa mengaum ketika netranya mampu mengeja itu.

"Sampai kak."

Tak perlu pak Agus beritahu pun Gala sudah tau, bahkan jalanan penanda pun masih ia ingat. Jika selama perjalanan waktu lampau yang ia tempuh menuju bandara dari sini, ia lewati dengan perasaan terluka sekaligus derai air mata.

"Makasih, pak. Tipnya udah aku kasih lewat aplikasi."

"Wah, makasih kak...baik-baik, sehat selalu."

Dan Gala menelan salivanya sulit saat pak Agus mengucapkan itu, berasa tiap tetesnya itu mengandung jutaan racun, mungkin ia akan sangat membutuhkan do'a, mengingat waktu yang akan ia lewati akan berisi peperangan.

Seperti biasa, meski di area depan sana sampai tempatnya berdiri sering dilalui dan dipakai warga ibukota untuk sekedar berolahraga atau berkegiatan. Namun tepat di batas gerbang ini, zona nyaman rakyat biasa sudah ditutup.

"Saya keluarga Mayor Irianto, dari satuan pasukan khusus unit anti teror." Ia lantas menyerahkan kartu tanda penduduk dan segala identitas diri, hingga mereka menyadari jika gadis yang ada di depannya itu adalah putri sang mayor.

Setelah melalui pemeriksaan cukup lama, ia akhirnya bisa masuk.

Gala menghirup sejenak udara yang menurutnya tak sesejuk rumah. Cuaca yang meski teriknya sama namun tak sehangat rumah.

Dan langkahnya itu terhenti ketika bertemu dengan seseorang yang dikenalinya sedang berjalan cepat.

"Om Zaid!" panggilnya menghentikan langkah perwira itu.

"Heyyyy nona dari timur?!" balasnya berseru.

Gala langsung melompat ke arah lelaki paruh baya yang tak sengaja berpapasan dengannya dan memberikan pelukan erat itu.

"Wahhh, si nona manis ini betah banget di sana? Apa kabar?! Sudah pulang ke rumah?" namun binar itu seketika redup melihat koper di belakang badan Gala, ditambah ingat dengan kondisi hubungan ayah dan anak ini, begitupun kegetiran itu menjadikan situasi seru menjadi lebih canggung. Namun tak lama, karena sejurus kemudian Gala segera merekahkan senyumnya kembali, "belum. Baru nyampe banget."

"Welcome home, Jenggala. Papa dan mamamu menunggu kamu terlalu lama, rindu mereka tuh..."

Gala melipat bibir dengan senyum miringnya, "oh ya? Hm...bohong banget. Aku pulang cuma karena mama sama kak Ayunda, om."

Om Zaid mengangguk tak ingin memulai perdebatan, meski ia tak setuju dengan ucapan Gala itu.

"By the way selamat ya om, naik pangkat?! Traktir donggg!"

Ekor matanya menyipit dan mengusap pucuk kepala Gala, "Om Cikalmu juga naik pangkat, ha!" jedanya semakin membuat senyuman Gala tak terkontrol lebarnya.

"Pulang. Mereka lebih nunggu kamu balek." Sejurus kemudian ia memberi telunjuk peringatan pada Gala, "jangan macam-macam. Kami sedang melaksanakan tradisi kenaikan pangkat sekarang."

Salah besar, Zaid! Karena hal itu justru membuat Gala berbinar, "serius?!"

"Ommmm, mau ikutannn!" rengeknya meminta. Bayangan keseruan acara kenaikan pangkat masih cukup diingat Gala.

Zaid yang baru saja kembali dari kantor sudah kembali ke lapangan dengan wajah yang tak bisa dijabarkan, senang, tapi juga panik, bercampur rasa deg-degannya. Bahkan nyawanya seolah dicabut mendadak oleh kenyataan, jika....

/

Anggap aja hiburan gratis...

Aku ngga macem-macem cuma kasih musik penyemangat dan meramaikan aja...

Komandan resimen, brigade, kompi pasukan khusus ngga akan tau....

Khusus buat om Cikal sama om Zaid yang lagi naik pangkat, aku kasih diskon....

Biar acara non formal di unit om lebih unik....

Kejutan buat om Cikal....bilang aja ada artis papan atas ibukota pulau timur mau meriahin acara...

Begitu bujuk Gala agar dirinya bisa memutar musik di acara non formal pengangkatan beberapa prajurit sekaligus membuat heboh markas komando.

Papa ngga ada di sana, kan? Jadi aman. Abis ini aku pulang. Dan untuk kalimat terakhir ini, Zaid memiliki ide bagus, yang mungkin bisa mempertemukan dengan segera sang teman dan putrinya ini, mencairkan kondisi hubungan yang telah lama membeku. Ia sangat paham jika Irianto yang keras tetap mengharapkan dan merindukan Gala.

Bahkan Gala belum menginjakan kakinya di rumah dinas sang papa, namun kini ia sudah merecoki acara unit komando yang sedang khusyuk-khusyuknya melakukan siraman air kembang, dimana satu persatu perwira muda yang naik pangkat berbaris rapi di lapangan berumput.

Lalu bergiliran mereka berjongkok dan disiram oleh komandan.

Di luar rencana...sungguh di luar rencana!!! Zaid tak menyangka jika rupanya acara non formal ini justru mendatangkan pula para petinggi besar di makko ini secara mendadak termasuk beberapa ibu persatuan, sementara ia sudah menginterupsi Gala untuk datang sebentar lagi demi memberikan aksi kejutannya untuk Cikal sekaligus Irianto, papa Gala sendiri. Dimana sebenarnya Gala tak tau jika sang papa ada disana.

Niatnya sih baik, ia ingin Gala dan Irianto bertemu dan saling menyapa.

"Kenapa?" tanya Cikal, rekan seperjuangan, satu letting yang sampai saat ini masih bersamanya dan Irianto ketika melihat wajah sahabatnya mendadak pucat dan panik.

Ia ingin menyusul Gala namun disana, rupanya gadis itu sudah meminta rekan staf tata usaha membantunya memasang alat sound tersambung dengan alat disc jockey dan EDMnya atas perintah Zaid.

"La! Cut La! Komandan dan ibu mendadak ada disini!" pekiknya tertahan sambil melompat-lompat. Ia menggerakan kedua tangannya memberi isyarat untuk tidak keluar lebih dahulu sampai para komandan pergi dari sana.

NO LA!!! NO !!! BALEKKK, BALEEK!

Nyawanya benar-benar di ujung tenggorokan.

Namun isyarat Zaid justru ditanggapi Gala dengan maksud lain, ia justru mengokei dan memutar volumenya agar lebih kencang.

Dan saat seorang jendral panglima baru saja selesai mengucurkan air siraman bunga ke kepala perwira terakhir dari barisan yang sudah berucap sumpah profesi dan sandi yudhanya. Kini alunan musik ciri khas lagu melayu timur mengisi setiap ruang kosong sekitar lapang, dan ruangan di sekelilingnya membuat mereka yang khusyuk seketika menoleh ke arah sumber keributan.

*Ombak su pica di bibir pante*

*Pica dikarang de taga'e*.

*Sapa mo bilang tong ni tara bae*

*Mar be kastau kalo ini* \*\*\*

*Senyum dong manis-manis tu orang* \*\*\*

*macam deng gula air dong manis tu sampe*.

*Mau perem atau laki dong gaga gaga e*.

*Apa lai soal hati dong bikin nyaman e*.

(\**Orang NTT, lyric*)

Para perwira itu langsung melipat bibirnya termasuk Russel, meski ia tak tau dimana dan siapa yang meramaikan acara ini, namun ia terlebih dahulu sudah ikut menggerakan badannya memancing yang lain untuk ikut bergoyang.

Ibu Faranisa tak kuasa menahan tawanya melihat sang suami yang ikut termangu dengan tangan yang masih memegang gayung tak paham dengan apa yang terjadi, "ini ada hiburannya? Siapa yang panggil?" tanya panglima, Al Fath.

"Siap salah ndan! Tak ada---" jawab Irianto.

"Siap salah ndan! Ada. Namun terjadi kesalahan teknis." Ralat Zaid.

"Hiburan macam apa kau ini, ha?!! Ada hiburan tapi tak cakap?!" pelotot Irianto dan Cikal.

"Anak kau, lha!" Zaid tak kalah melotot pada Irianto.

"Jenggala?!!!"

.

.

.

Note : Jenggala bukan anak turunan novel sebelumnya, Naka itu anaknya Ganesha, Ganesha itu kembarannya Sadewa, ayah Russel. Anggaplah begitu, masa iya Ganesha ngga nikah-nikah, atau mungkin nanti bisa jadi ini tokoh buat karyaku ke depannya. Buat pembaca yang masih ingat silsilah Ananta, monggo dipersilahkan tempat dan waktunya untuk menyebutkan 🙏😂

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!