Pagi itu, udara masih terasa dingin ketika Elma memberanikan diri melangkah menuju rumah mertuanya. Tangannya memeluk perutnya yang masih kecil, tiga bulan usia janin di dalam kandungannya. Seminggu terakhir, Dion, suaminya, tidak pulang. Pergi tanpa pamit bahkan tidak meninggalkan uang sepeserpun. Teleponnya tidak aktif, pesan singkat yang ia kirim tidak pernah dibalas. Kekhawatiran semakin menumpuk di hatinya. Dan satu-satunya tempat yang terpikir olehnya adalah rumah ibu mertuanya, Ratna.
Di depan pintu rumah besar bercat putih itu, Elma menarik napas panjang sebelum mengetuk. Ia berharap akan disambut dengan jawaban yang menenangkan, mungkin kabar bahwa Dion sedang sibuk bekerja atau menginap di rumah saudara. Tapi, saat pintu terbuka, wajah Ratna menyambutnya dengan tatapan tajam, jauh dari keramahan seorang mertua kepada menantunya.
“Mau apa kau datang?” suara Ratna datar, bahkan cenderung sinis.
“Ibu, maaf mengganggu,” jawab Elma lirih. "Aku ingin bertanya tentang Dion. Sudah seminggu dia tidak pulang. Apa Ibu tahu dia ada di mana?”
Pertanyaan itu seakan menyulut api. Ratna mendengus keras, lalu tertawa pendek. “Kau ini istri macam apa, hah? Suami pergi seminggu saja kau tidak tahu? Jangan mencari Dion di rumah ini. Aku tidak tahu kemana dia pergi."
Kata-kata itu menusuk dada Elma. Ia menunduk, berusaha menahan air matanya agar tidak jatuh. Ia tahu sejak awal Ratna tidak menyukainya. Baginya, Elma yang berasal dari keluarga sederhana bukanlah pasangan yang pantas bagi Dion. Tapi, cintanya kepada Dion membuatnya bertahan menghadapi cibiran itu selama ini karena Dion selalu memberi semangat kepada Elma selama hubungan mereka berjalan.
Belum sempat Elma menjawab, suara langkah tergesa terdengar dari dalam. Diana, kakak iparnya, muncul sambil melipat tangan di dada. “Ada apa lagi? Oh, ternyata Elma. Astaga, kau sangat menyusahkan. Dion tidak pulang sudah satu minggu dan kau baru mencarinya?" ujar Diana dengan nada mencibir. "Kemungkinan besar Dion sudah bosan hidup dengan perempuan miskin sepertimu."
Diana tertawa sinis, membuat hati Elma semakin hancur. “Kak, aku hanya ingin tahu Dion di mana. Aku khawatir...”
“Sudah, cukup!” potong Ratna. “Jangan banyak alasan. Kalau kau istri yang benar, kau pasti tahu suamimu pergi kemana. Aku yakin kalau Dion pergi mencari ketenangan dan kesenangan karena dia sudah muak hidup denganmu."
Air mata akhirnya jatuh juga di pipi Elma. Ia mencoba menghapusnya dengan cepat, takut terlihat lemah. Tetapi tubuhnya gemetar. Ia tidak tahu lagi harus menjawab apa.
Diana melangkah maju, mendekat. “Kau dengar kata Ibu, kan? Jadi jangan membuat malu keluarga kami lagi. Pergi sekarang juga!”
Elma terbelalak ketika Diana tiba-tiba mendorong bahunya keras. Tubuhnya yang sedang lemah karena kehamilan goyah, lalu jatuh terduduk di lantai teras. Sakit menjalar dari punggungnya, tapi yang lebih sakit adalah rasa tidak dihargai. Ia meraba perutnya spontan, memastikan bayinya masih baik-baik saja.
"Kak, aku sedang hamil,” ucap Elma dengan nada pelan, hampir memohon agar Diana bersikap lebih lembut.
Namun bukannya merasa bersalah, Diana justru menatap dengan dingin. “Justru itu! Kalau anak ini lahir sudah pasti akan menyusahkan Dion. Lebih baik kau gugurkan anak ini sekarang juga."
Ratna mengangguk setuju. “Betul. Jangan bawa-bawa anak itu hanya untuk menarik hati kami. Anak itu juga tidak akan merubah fakta kalau kau bukan istri yang pantas.”
Kata-kata itu bagai palu godam menghantam hati Elma. Perlahan ia berusaha bangkit, menahan sakit di tubuhnya. Ia berdiri terhuyung, tapi tatapannya tetap tertuju pada pintu rumah itu.
"Aku datang hanya untuk bertanya. Tapi kenapa sikap kalian seperti ini?"
suaranya bergetar, tapi tetap lembut.
Ratna menatapnya tajam, lalu menutup pintu dengan keras tanpa sepatah kata lagi. Diana mendengus sebelum ikut menutup tirai jendela. Tinggallah Elma berdiri sendirian di depan rumah dengan air mata yang terus jatuh tanpa henti.
Beberapa tetangga sempat melirik dari jauh, tapi tidak ada yang berani mendekat. Elma merasakan betapa terasing dirinya. Ia menahan perutnya, berbisik pada janin di rahimnya, “Nak, maafkan Mama. Mama berusaha mencari Papa, tapi Mama malah diusir.”
Dengan langkah gontai, Elma meninggalkan rumah itu. Jalanan yang biasa ia lewati kini terasa begitu panjang. Setiap langkahnya berat, tubuhnya lelah, dan hatinya penuh luka. Ia tak tahu harus ke mana lagi mencari Dion. Tapi satu hal yang pasti, ia sadar sekarang benar-benar sendirian.
Setiba di rumah kontrakannya yang sederhana, Elma menutup pintu dengan pelan. Ia jatuh terduduk di kursi kayu reyot, menutupi wajah dengan kedua tangannya. Tangisnya pecah, sesenggukan keras hingga bahunya bergetar.
“Dion, di mana kau sekarang?” gumamnya dengan isak tangis. “Kenapa kau meninggalkan aku sendirian? Apa salahku? Apa anak kita tidak cukup untuk membuatmu bertahan?”
Kesepian menjawabnya, hanya suara angin yang menyusup lewat celah jendela. Pagi itu, Elma merasa dunia benar-benar menutup pintu untuknya. Ia memeluk perutnya lagi, berjanji pada diri sendiri, meski tanpa suaminya, meski tanpa semangat mertua atau iparnya, ia akan tetap berjuang demi anak yang dikandungnya.
Namun jauh di lubuk hati, harapan kecil tetap ia simpan, semoga Dion kembali, menjelaskan semuanya, dan memeluknya lagi.
***
Keesokan harinya, Elma memutuskan untuk pergi ke rumah teman-teman Dion, berharap agar mereka mengetahui kemana Dion pergi. Tapi, semua jawaban yang didapat Elma sungguh membuat dadanya sesak, tidak ada satupun teman Dion memberikan jawaban yang mengenakan selain mengusir Elma.
"Jangan mencari Dion lagi. Dia sudah bahagia. Entah apa yang sudah kau lakukan sampai Dion menikahi perempuan miskin dan tidak berguna sepertimu."
Elma hanya diam saja walaupun hatinya terasa sakit, setiap orang menghakimi dirinya setelah suaminya pergi.
"Dion, kemana kau pergi? Kemana lagi aku harus mencari? Kenapa semua menghakimiku? Kenapa mereka semua menyalahkanku?"
Elma hanya bisa menangis, semua orang menjauhi dirinya, jawaban menohok dari keluarga Dion dan teman-teman Dion cukup mencurigakan bagi Elma, seolah ada yang ditutupi tentang kepergian Dion tapi Elma tidak bisa mendesak jawaban itu.
"Elma..." panggil Bu Leni, tetangga kontrakan Elma.
"Iya, Bu. Ada apa?" tanya Elma sembari mengusap air matanya.
"Sudahlah, mulai sekarang jangan memikirkan suamimu yang tidak bertanggung jawab itu. Ibu mertuamu dan kakak iparmu sebenarnya tahu kemana perginya Dion. Tapi, mereka semua menyembunyikannya darimu."
"Aku juga berpikir seperti itu, Bu. Tapi kenapa? Kalau seandainya Dion sudah tidak menyukaiku, seharusnya dia bicara baik-baik padaku."
"Kalau pun bicara baik-baik padamu, apa kau akan menerima kejujurannya apalagi sekarang kau sedang hamil. Elma, kehidupan rumah tangga tidak sesederhana yang kau pikirkan. Kau menikah hanya bermodalkan cinta sedang kehidupan rumah tangga harus memiliki modal kesabaran, keikhlasan dan yang paling utama dari cinta adalah materi."
Elma terdiam, ia tahu betul sejak ia menjalin hubungan dengan Dion, keluarga dan teman-teman Dion tidak pernah menyukai dan menyetujui pernikahannya bersama Dion.
Sepuluh hari. Itu angka yang terus terngiang di kepala Elma setiap kali ia terjaga dari tidur malam yang penuh air mata. Sepuluh hari suaminya menghilang tanpa kabar, tanpa pesan, tanpa alasan. Elma bahkan sudah pergi kemanapun, ke rumah teman-temannya, sampai mendatangi beberapa tempat yang selalu menjadi tempat nongkrong Dion, tapi semuanya nihil. Seolah Dion benar-benar lenyap dari dunia.
Yang membuat hati Elma semakin terkoyak adalah sikap ibu mertua dan kakak iparnya. Bukannya menunjukkan rasa cemas, mereka justru terlihat hidup dengan tenang, bahkan tampak bahagia setiap hari. Saat Elma berusaha mencari kabar ke rumah mereka untuk kedua kalinya, yang ia lihat malah Diana tersenyum lebar sambil memamerkan mobil barunya di halaman rumah.
Mobil itu masih mengkilap, dengan pita merah terikat di kap mesin seakan baru keluar dari showroom. Tetangga sekitar berkumpul, memuji, bahkan iri. Diana dengan bangga berkata, “Akhirnya, setelah kerja keras, aku bisa beli mobil baru. Ini semua karena doa Mama juga.”
Elma berdiri jauh di seberang jalan, mengamati dari balik pohon. Dadanya sesak. Ia tahu persis keadaan keluarga Dion. Bisnis showroom mobil yang mereka banggakan itu bangkrut beberapa bulan lalu. Utang menumpuk, karyawan banyak yang diberhentikan, dan Ratna selalu marah-marah karena harus menutup showroom. Lalu, dari mana datangnya uang sebanyak itu hingga Diana mampu membeli mobil baru?
“Tidak masuk akal,” gumam Elma pelan. “Sementara aku di sini, berjuang sendiri, menunggu kabar suamiku yang hilang, mereka malah bersenang-senang?”
Air matanya kembali menetes. Namun kali ini bukan hanya karena sedih, melainkan juga karena rasa curiga yang semakin menguat. Ada sesuatu yang disembunyikan Ratna dan Diana. Sesuatu yang berkaitan dengan hilangnya Dion.
Malam itu, Elma duduk di kursi kayu di rumah kontrakannya. Lampu redup, hanya suara jam dinding yang menemani pikirannya yang bergejolak. Ia memegang sebuah buku catatan kecil milik Dion yang sempat tertinggal di laci meja. Ia membuka halaman demi halaman, berharap menemukan jejak atau petunjuk.
Sebagian besar hanya coretan angka, catatan stok mobil, dan nama beberapa pelanggan. Namun, di halaman terakhir ada tulisan tangan yang membuat Elma terdiam,
"Kalau aku tidak pulang beberapa hari, berarti ada masalah. Jangan percaya siapapun, bahkan keluargaku sendiri. Hanya percaya pada hatimu sendiri, El."
Elma menutup mulutnya dengan tangan. Tubuhnya gemetar. Kata-kata itu seakan ditulis khusus untuk dirinya, untuk saat seperti ini. Dion sudah memprediksi sesuatu akan terjadi. Tapi apa? Dan kenapa harus menyebut keluarganya sendiri?
“Ya Tuhan, apa sebenarnya yang terjadi padamu, Dion?” bisiknya.
Kegelisahan yang dirasakan Elma semakin membesar. Selama ini hubungan mereka baik-baik saja, bahkan Dion selalu memperlakukan Elma dengan baik.
***
Keesokan harinya, Elma memberanikan diri mendatangi rumah mertuanya lagi. Meski hati masih trauma dengan perlakuan kasar sebelumnya, ia merasa harus mencari jawaban.
Saat tiba, ia mendapati Ratna sedang duduk santai di teras, menyesap teh hangat. Diana keluar dari garasi dengan kunci mobil barunya, tampak begitu puas dengan hidupnya.
Elma mendekat, mencoba bicara dengan tenang. “kak, aku hanya ingin bertanya sekali lagi. Apa benar tidak ada kabar dari Dion? Sudah sepuluh hari dia tidak pulang, dan aku semakin khawatir."
Ratna menoleh dengan tatapan penuh kejengkelan. “Elma, sudah kubilang berkali-kali, aku tidak tahu! Jangan ganggu hidup kami dengan tangisanmu. Kalau Dion tidak pulang, itu urusanmu sebagai istri. Jangan tanya aku.”
Diana ikut menimpali dengan senyum miring. “Iya, jangan datang lagi ke rumah ini. Gugurkan kandungan itu secepatnya, kami tidak sudi memiliki keturunan darimu."
Elma menelan ludah sembari menggelengkan kepalanya. "Tidak kak. Aku tidak akan menggugurkan anak ini. Kalian tidak berhak mengaturku!" Elma menolak dengan tegas. "Aneh, kalian tidak ada rasa sedih sama sekali kehilangan Dion. Kalian justru membeli mobil baru, dari mana uangnya? Bukankah showroom sudah tutup sejak beberapa bulan yang lalu."
Pertanyaan itu membuat wajah Ratna berubah sedikit tegang, meski cepat ia sembunyikan dengan tawa sinis. “Urusan kami bukan urusanmu, Elma. Jangan ikut campur!”
Diana mendekat, menepuk bahu Elma cukup keras. “Kau pikir kami pakai uang haram? Salah besar! Kami masih punya tabungan, warisan Papa juga ada. Jadi berhenti menuduh kami. Kalau kau tidak senang, lebih baik pulang saja.”
Elma hanya bisa terdiam. Ia tahu apa yang dikatakan Diana tidak masuk akal. Warisan papa mereka sudah lama habis dipakai menutupi utang showroom. Tapi Ratna dan Diana jelas tidak akan mengaku.
***
Hari-hari berikutnya, Elma semakin frustasi. Ia berusaha mencari ke kantor polisi, melapor tentang hilangnya Dion. Namun, laporan itu hanya dicatat tanpa tindak lanjut berarti. Polisi menganggap Dion mungkin hanya pergi sementara waktu karena setelah polisi datang ke rumah keluarga Dion, Ratna dan Diana justru meminta polisi untuk menghentikan pencarian.
Malam-malam Elma semakin panjang. Ia duduk termenung sambil memeluk perutnya yang mulai membesar sedikit. Kadang ia berdoa cukup lama, berharap Tuhan memberi petunjuk. Kadang ia menulis di buku harian, mencoba menuangkan semua rasa sakit dan kebingungannya.
Di satu sisi, ia ingin percaya bahwa Dion masih hidup dan akan kembali. Namun di sisi lain, bayangan Ratna dan Diana yang seakan tahu sesuatu membuatnya semakin resah.
Keesokan harinya Bu Lani, datang membawa makanan. “Elma, kau harus kuat, Nak. Ibu dengar kabar kalau ibu mertua dan kakak iparmu sekarang hidup enak. Bahkan Diana pamer beli mobil baru. Padahal setahuku, showroom keluarga mereka sudah tutup."
Elma menatap Bu Lani dengan mata membesar. “Bu, jadi bukan hanya aku yang merasa aneh?”
Bu Lani mengangguk. “Banyak orang heran. Ada yang bilang Diana dapat uang dari hasil penjualan mobil bekas, tapi jumlahnya tidak mungkin sebanyak itu. Apalagi sampai bisa beli mobil baru. Hati-hati, Nak. Jangan-jangan mereka memang menyembunyikan sesuatu.”
Ucapan itu membuat hati Elma semakin mantap. Ada yang tidak beres. Entah kenapa firasatnya mengatakan kalau Dion dan keluarganya sudah menyembunyikan sesuatu.
Malamnya, Elma kembali membuka catatan Dion. Ia meneliti nama-nama yang tertulis. Di antaranya ada satu nama yang berulang kali ditulis, “Pak Surya, 750 juta.”
Elma mengernyit. Ia tidak mengenal nama itu. Namun angka besar di sampingnya membuatnya curiga, mungkin itu adalah utang atau transaksi penting.
“Apa mungkin ini ada hubungannya dengan hilangnya Dion?” pikirnya.
Untuk pertama kalinya sejak Dion menghilang, Elma merasakan ada secercah arah. Ia memutuskan untuk pergi besok pagi akan mencari tahu siapa Pak Surya itu.
Namun sebelum tidur, ia duduk lama di dekat jendela, menatap langit malam. Ia berbicara pelan pada suaminya yang entah di mana.
“Dion, tunggu aku. Aku akan mencari kebenaran. Aku akan menemukanmu, meski semua orang menutup mulut. Aku berjanji, aku tidak akan menyerah.”
Air mata mengalir lagi, tapi kali ini bercampur dengan tekad. Elma tahu jalan di depannya tidak akan mudah. Ratna dan Diana jelas bukan sekadar keluarga biasa, mereka menyimpan rahasia besar.
Sore itu, Elma bersiap untuk keluar rumah. Ia sudah mengumpulkan keberanian sejak pagi, membawa catatan kecil peninggalan Dion dengan nama Pak Surya yang tertulis berulang kali di dalamnya. Hari ini ia berniat mencari tahu siapa orang itu, berharap bisa menemukan jejak keberadaan suaminya.
Namun sebelum kakinya melangkah ke luar pintu kontrakan, suara ketukan keras menggema. Elma sedikit terkejut, buru-buru membuka pintu. Dan betapa terkejutnya ia saat melihat sosok Diana berdiri di ambang pintu dengan senyum sinis menghiasi wajahnya.
“Kak? Ada apa, apa Kakak sudah menemukan Dion?” tanya Elma yang terlihat bersemangat.
Diana melangkah masuk tanpa diundang, menutup pintu dengan keras. Ia berjalan mondar-mandir seolah rumah kontrakan sederhana itu adalah miliknya sendiri. Tatapannya tajam, penuh penghakiman pada Elma yang selama ini sangat ia benci.
“Aku datang karena sudah bosan melihatmu terus-terusan sibuk mencari Dion. Sudah cukup, Elma. Berhenti sekarang juga,” ucap Diana dengan nada tinggi.
Elma mengernyit. “Apa maksudmu, Kak? Aku hanya ingin tahu di mana suamiku berada. Aku khawatir, Kak. Sudah hampir dua minggu dia tidak pulang.”
Diana mendengus, lalu menoleh dengan senyum dingin. “Justru itu! Kau harus menghentikan semua usahamu. Dion tidak mau ditemukan. Bahkan dia tidak menginginkan anak yang kau kandung.”
Kalimat itu membuat tubuh Elma gemetar. Ia spontan meraba perutnya yang masih datar. "Tidak, aku tidak mau. Anak ini darah daging Dion! Bagaimana mungkin dia tidak menginginkannya? Kami saling mencintai, kalian tidak bisa memaksaku."
Diana mendekat, menatap Elma dari jarak dekat. “Kau tahu apa? Dion sudah muak denganmu. Dia tidak ingin hidup bersama perempuan miskin yang hanya bisa membebaninya. Dan sekarang, kau malah hamil? Itu hanya memperparah keadaannya. Jadi, dengarkan baik-baik, segera gugurkan anak itu.”
Elma terbelalak, hatinya bergejolak antara marah dan sedih. Dengan suara tegas meski bergetar, ia menjawab, “Tidak, Kak! Sudah berapa kali aku katakan kalau aku tidak akan pernah melakukan itu. Anak ini tidak bersalah. Kalau Kakak memintaku menggugurkannya, itu sama saja kakak memintaku membunuh darah dagingku sendiri.”
Diana tertawa keras, tawanya penuh ejekan. “Kau ini benar-benar bodoh, Elma. Dion sudah bilang sendiri kalau dia tidak mau anak itu. Kau masih saja membela diri. Apa kau pikir kehamilanmu bisa mengikat Dion? Hah? Jangan mimpi!”
Air mata mulai menggenang di mata Elma. Namun rasa penasaran dan kecurigaannya lebih besar. Ia menguatkan hati, menatap Diana dengan tatapan penuh desakan. "Kak, aku yakin kakak tahu di mana Dion berada. Katakan sekarang! Jangan hanya menghinaku tanpa alasan. Aku berhak tahu di mana suamiku berada.”
Alih-alih menjawab, Diana malah mengeluarkan sesuatu dari tasnya. Sebuah amplop putih lusuh, lalu ia melemparkannya ke meja kayu di ruang tamu kontrakan itu. “Kalau kau tidak percaya dengan omonganku, baca saja ini. Itu tulisan tangan Dion sendiri.”
Dengan tangan gemetar, Elma mengambil amplop itu. Ia membuka perlahan, menemukan selembar kertas berisi tulisan tangan yang sangat ia kenal, tulisan Dion.
"Elma, jangan cari aku lagi. Aku sudah memutuskan untuk pergi. Aku tidak ingin hidup denganmu lagi, dan aku tidak menginginkan anak yang kau kandung. Jangan terus menyiksaku dengan tangisanmu. Gugurkan kandungan itu sebelum semuanya terlambat."
Mata Elma membesar, air matanya jatuh membasahi kertas itu. Ia menutup mulutnya dengan tangan, seakan tidak percaya dengan apa yang ia baca. “Tidak mungkin… ini tidak mungkin. Dion tidak mungkin menulis ini,” suaranya parau, penuh kepedihan.
Diana menyilangkan tangan di dada, menatap Elma dengan puas. “Sekarang kau sadar, kan? Dion memang sudah tidak peduli lagi padamu. Jadi berhentilah membuang waktu untuk mencarinya.”
Elma menatap Diana dengan mata berkaca-kaca, suaranya lirih tapi penuh permohonan. “Kak, tolong bawa aku bertemu Dion. Sekali saja. Aku ingin mendengar langsung dari mulutnya. Kalau memang dia sudah tidak mau denganku, biar aku yang pergi. Tapi izinkan aku menemuinya….”
Diana mendengus kesal, lalu mendekat cepat. Tanpa aba-aba, tangannya melayang keras ke wajah Elma. Plak! Suara tamparan menggema di ruang sempit itu.
Elma terhuyung, memegang pipinya yang memerah, matanya berkaca-kaca.
“Sadarlah, Elma!” bentak Diana. “Dion sudah meninggalkanmu. Dia tidak mau lagi hidup denganmu, apalagi dengan bayi itu. Jangan sok drama di depan mataku! Kau hanya mempermalukan dirimu sendiri.”
Elma terdiam, tubuhnya gemetar. Ia ingin melawan, ingin berteriak, tapi rasa sakit di hatinya membuat semua kata-kata menghilang. Air matanya jatuh deras, menetes ke lantai.
Diana memandangnya sejenak dengan tatapan dingin, lalu berbalik. “Ingat, Elma. Kalau kau masih keras kepala mencari Dion, jangan salahkan aku kalau hidupmu akan semakin hancur.”
Tanpa menunggu jawaban, Diana melangkah keluar rumah, menutup pintu dengan keras hingga getarannya terasa di seluruh ruangan kontrakan.
Sunyi kembali menguasai rumah itu. Elma terduduk lemas di lantai, masih memegang surat yang kini basah oleh air matanya. Ia menatap tulisan Dion berulang kali, berharap ada keajaiban bahwa ia salah membaca. Namun setiap huruf jelas menegaskan bahwa suaminya menolak keberadaannya, bahkan menolak anak yang dikandungnya.
Hatinya hancur berkeping-keping. Ingatan tentang saat-saat bersama Dion berputar di kepalanya, senyum hangatnya, janji-janji setia yang pernah diucapkannya, pelukan penuh cinta ketika Elma pertama kali mengabarkan tentang kehamilan. Semua itu kini terasa seperti kebohongan belaka.
“Kenapa, Dion? Kenapa tega kau melakukan ini padaku? Padahal aku mencintaimu dengan sepenuh hati…” bisik Elma sambil menangis tersedu.
Ia memeluk perutnya erat-erat, seakan melindungi janin yang tidak tahu apa-apa dari dunia yang kejam. “Nak, jangan dengarkan kata mereka. Mama tidak akan pernah meninggalkanmu. Mama akan tetap menjagamu, meski Papa tidak mau mengakuimu.”
Tangis Elma pecah semakin keras. Ia merasa terjebak di antara kenyataan pahit dan misteri yang belum terungkap. Ia tidak tahu apakah harus percaya surat itu sepenuhnya, atau justru ada permainan licik di baliknya.
Namun satu hal pasti, tamparan Diana dan surat itu membuatnya sadar bahwa perjalanannya mencari Dion akan semakin sulit. Semua pintu seakan tertutup, dan hanya ia seorang diri yang berjuang.
Malam itu, Elma terbaring di ranjang tipis dengan tubuh menggigil. Ia memandangi surat Dion yang masih tergenggam erat di tangannya. Meski hatinya remuk, ada suara kecil dalam dirinya yang berbisik:
“Jangan menyerah, Elma. Ada sesuatu yang tidak beres. Kau harus menemukan kebenarannya.”
Dan di balik rasa sakit serta air mata, tekad itu mulai tumbuh. Elma tidak akan berhenti, meski dunia berusaha mematahkan semangatnya.
Kecintaannya pada Dion telah menutup mata Elma, bahkan ia menganggap surat itu hanya karangan kakak iparnya yang selama ini tidak menyukai dirinya. Padahal saat itu Elma sadar jika surat itu asli tulisan tangan Dion.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!